Bab 5 Gelagat Aneh
"Loh, kata siapa, Sayang? Iya memang benar istri Tono sedang hamil besar. Tapi, dia belum pulang kampung. Nina ini bagaimana, sih? Kalau Tono pulang, Mas juga ikut pulang, dong! Kan kami ini satu rekan, satu pekerjaan. Hehe. Ini Tono masih di sini, dia tadi pamit keluar sebentar ada perlu. Makanya Mas tunggu dia pulang, buat pinjam uang, lalu Mas kirim nanti ke Nina. Sabar ya, cantiknya Mas ini!" jelas Tian panjang lebar.
Nina hanya mengerutkan kening. Dia paham betul bahwa suaminya sedang berbohong.
"Oh, oke! Ya sudah kalau gitu, Mas. Nina tunggu secepatnya. Nggak mau kan kalau nanti Hisam haus dan berujung dehidrasi? Kamu tahu sendiri, ASI-ku sama sekali nggak keluar? Jangan lupa sholat, lekas istirahat! Kerja yang semangat biar dapat banyak duit dan cepat pulang!" kata Nina yang sudah malas dengan kebohongan suaminya.
Setelah mematikan telepon, Nina mondar-mandir. Selera makannya tiba-tiba saja hilang. Dia bingung, dengan cara apa dirinya bisa menyambung hidup kelak. Apalagi, dia tahu betul bahwa di dalam dompet, sudah tak ada uang lagi.
Akhirnya, Nina mendapatkan ide. Dia berniat menjual pakaian, tas dan sepatu miliknya yang masih bagus. Dengan brand yang cukup ternama, kondisi yang masih bagus karena digunakan hanya 1-2 kali saja. Nina memutuskan untuk mengiklankan barang-barang bekas miliknya ke akun jual-beli dengan logo keranjang oren.
Namun, tentu saja Nina butuh waktu. Tak mungkin dia melakukannya malam ini. Dia memutuskan untuk mengerjakannya besok saja.
Saat ini, Nina hanya ingin tidur, mengistirahatkan pikiran yang entah tak beraturan.
Dia memeluk Hisam, hanya buah hatinya lah yang bisa memberi ketenangan di saat jiwanya merasa gundah seperti ini.
Nina sendiri bingung, apa sebenarnya yang sedang disembunyikan oleh suaminya? Dari tingkah laku Mas Tono yang mencurigakan dan kaget saat bertemu dengannya tadi, lalu dilanjutkan dengan Tian, suaminya yang jago berbohong. Membuat Nina yakin, pasti banyak sesuatu tak beres yang sedang disembunyikan oleh suaminya. Nina yakin betul!
Nina berusaha untuk memejamkan mata, tak peduli pada perutnya yang keroncongan. Asalkan buah hatinya kenyang dan bisa tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya, Nina mendapatkan balasan pesan dari wanita dengan akun nama BelindaBalaBala.
[Bisa, ini ya, Kak. 081277776161.]
Begitulah balasan singkat yang diberikan oleh Belinda padanya. Dari sanalah Nina bertekad akan mencari tahu tentang si Belinda. Ada hubungan apa wanita itu dengan suaminya? Ataukah suaminya berbohong untuk menutupi sesuatu yang berkaitan dengan wanita tersebut?
Nina langsung saja menyalin dan menyimpan nomor tersebut pada ponselnya.
Mumpung Hisam sedang anteng, dia mulai memfoto pakaian dan barang-barang koleksi pribadinya. Dari mulai 50 ribu rupiah, hingga 200 ribu rupiah untuk harga yang dibanderol Nina.
Kurang lebih ada 25 foto untuk hari ini yang siap untuk Nina posting. Dia akan memposting di akun sosial media lain, seperti status WA, Igeh, Fesbuk dan juga e-commerce shopping.
Baru saja beberapa menit Nina selesai memposting, Sofia tetangganya langsung saja memberikan komentar untuk kaos tanpa lengan, berdada rendah warna hitam itu.
[Nin, ini 50 ribu? Nggak boleh nego? Barter sama hutangmu yang kemarin, boleh, ya?]
Nina membaca balasan pesan yang mengomentari statusnya dari Sofia.
"Oh, iya, aku lupa kalau pinjam uang pada Sofia, biarlah. Aku kasih saja ini, hitung-hitung nego karena dia sudah memberiku pinjaman di saat yang tepat," lirih Nina menganggukkan kepalanya. Seakan-akan bisa menjawab pesan Sofia secara langsung.
Tanpa menunggu lagi, Nina langsung saja mengetikkan balasan untuk Sofia.
[Oke, kemari lah!]
Belum ada sepuluh menit, pintu rumahnya tiba-tiba saja sudah diketuk oleh Sofia.
Nina buru-buru membukakan pintu sebelum Hisam terbangun karena kaget.
Dia segera memberikan kaos yang diminta oleh Sofia, kini mereka imbang.
"Kenapa, Nin, kok baju-baju sama semua koleksimu tiba-tiba dijual?" tanya Sofia dengan wajah datar.
Nina hanya menghela nafas saja. Biarlah, mau Sofia menggosip dan menyebarkannya pun Nina tak peduli. Bukankah memang kondisi dan keadaannya benar seperti itu?
"Mas Tian belum juga kirim uang, jadi aku nggak punya pilihan lain lagi, selain menjual beberapa koleksi barang-barang ku. Maaf juga, kalau aku baru bisa bayar hutangku, mana pakai baju lagi!" ujar Nina kini tanpa malu. Dia sudah tidak mau, mau senyinyir apa Sofia nanti padanya.
"Oh, gitu!"
Namun, di luar dugaan, Sofia hanya menyahut singkat, padat dan jelas. Setelahnya, dia pamit pulang. Hal itu benar-benar membuat Nina bingung. Sofia yang dikenal julid dan suka sekali mengambil bahan curhatan untuk dijadikan gosip, ternyata sedang tak tertarik untuk membahas dirinya. Di samping itu, Nina juga merasa bersyukur.
Alhamdulillah, itulah kata yang dilontarkan oleh Nina, saat satu per satu teman-temannya, bahkan orang lain mulai berkomentar untuk menanyakan detail barang yang ingin mereka beli. Ada juga beberapa di antaranya mulai tertarik dan menanyakan bagaimana cara mereka bisa bertransaksi.
Akhirnya, Nina mengusap peluh di dahinya. Jika ditotal, pendapatan dia hari ini mencapai 370 ribu rupiah. Nina mengucapkan banyak syukur, saat mengecek saldo yang berjajar di rekening miliknya. Kini, dia semakin bersemangat untuk berjualan. Tak lagi peduli pada Tian yang belum juga mengirimkan uang untuk nafkah dirinya beserta dengan Hisam.
Sorenya, Nina mulai mengantarkan pesanan milik teman-temannya, ada juga yang diambil ke rumahnya. Dia melakukan itu dengan berjalan kaki, sembari menggendong Hisam. Nina tak punya kendaraan lagi, dia hanya menggantungkan kedua kaki untuk mencari rupiah, demi menyambung hidup. Daripada terus berharap pada suaminya yang entahlah.
Malam harinya, barulah Nina bisa beristirahat. Dia membungkus satu porsi lontong sate, ceker mercon, jus alpukat dan juga klepon cetot. Bahagia sekali rasanya, dia sudah tak perlu lagi berhemat. Meskipun, belum pasti juga penghasilan yang dia miliki. Namun, Nina berjanji mulai saat ini akan berusaha mendapatkan penghasilan pasti.
"Ah, enak sekali! Rasanya sudah lama tidak memanjakan lambung seperti ini." Nina beberapa kali mengucapkan syukur dan juga nikmat karena rejeki tak terduga atas pikiran dadakan yang dimilikinya.
Namun, baru saja beberapa suap dia makan. Satu notifikasi masuk ke dalam ponselnya.
Tian memanggil, rupanya sang suami yang berusaha untuk menghubunginya. Nina tak merespon, dia asyik menikmati ceker protol dengan bumbu pedas tanpa mau mengangkat panggilan dari Tian.
Hisam juga anteng, rebahan di kasur, tepatnya di samping Nina yang sedang asyik makan.
Dua kali Tian memanggil, Nina tak kunjung merespon.
Hingga akhirnya satu pesan yang muncul di notifikasi layar ponselnya, membuat Nina menghentikan aktivitasnya.
Dia mulai mengusap benda pipih dengan layar sentuh tersebut. Lalu, membaca pesan yang dikirimkan oleh suaminya.
Mata Nina membulat sempurna, jantungnya berdegup kencang dan emosi seketika melanda jiwanya. Ditambah sensasi pedas yang dia rasakan, dada Nina seakan terbakar oleh kobaran api yang membara.
Nina berdecak kesal tatkala membaca isi pesan dari suaminya.
[Nin, apa maksudmu ….]
***
Malu Jika Istri Berjualan[Nin, apa maksudmu dengan berjualan barang-barang bekas di akun sosial media seperti itu? Apa kamu nggak malu, Nin? Nanti dikira aku yang nggak becus jadi suami, aku yang nggak bertanggung jawab sama kamu. Hapus, Nin!]Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Tian. Tentu saja hal itu membuat Nina geram bukan main. Tanpa membalas pesan itu, Nina langsung saja menghubungi nomor suaminya. Dengan amarah yang sudah cukup meletup, Nina langsung saja mengutarakan niatnya."Halo, Nin, kenapa ka–""Halo! Harusnya yang malu itu Mas Tian lah! Kenapa bisa istrinya berjualan pakaian dan koleksi pribadinya, hingga sampai melakukan hal seperti itu, harusnya sih, Mas Tian punya malu, ya! Kalau aku nggak usaha kayak gini, memangnya perut Hisam bisa kenyang? Tolong, jadi lelaki itu setidaknya punya perasaan, Mas, meskipun udah nggak punya otak yang berfungsi!" Karena rasa kesal yang terus melanda, Nina begitu menggebu memarahi Tian.Dia sudah teramat kesal, tak peduli lagi or
Bab 1 Susu Tak Terbeli[Maaf, ya, Nin, aku belum dapat uangnya. Kamu bisa sabar sedikit lagi, ya? Aku pasti usahakan!]Pesan masuk di ponsel Nina membuat wanita itu mendesah perlahan. Dia memang memberitahukan suaminya, Tian, melalui pesan singkat. Bahwa susu formula untuk Hisam sudah habis dan waktunya beli. Uang di dompet Nina hanya tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk membeli susu, bahkan yang ukurannya paling kecil sekalipun.[Tolong, usahakan secepatnya ya, Mas! Keburu malam, aku nggak bisa keluar jika malam. Hisam juga nggak mungkin berhenti minum susu, kasihan.]Nina kembali membalas pesan dari suaminya. Sudah hampir empat tahun mereka menjalani biduk rumah tangga. Mereka dikarunia bayi mungil berusia 4 bulan yang diberi nama Hisam.Nina mengenal Tian dari kantor. Dulu, Nina pernah magang di kantor Tian. Jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, sekitar 5 tahun, membuat Nina merasa terlindungi akan kehadiran sosok Tian.Setelah lulus SMK, kurang lebih satu tahun seteng
Bab 2 Mencari Pinjaman 30.000Nina segera menidurkan Hisam dalam ranjang, dia kembali mencoba untuk menghubungi Tian. Sudah lebih dari tiga kali Nina menelpon sang suami, namun tak ada tanda-tanda telpon dari Nina akan direspon. Wanita dengan mata bulat itu terlihat kesal. Dia beberapa kali mendesah perlahan. Jarum jam berputar terus ke arah kanan, waktu juga terasa berlalu. Tapi, Tian juga belum mengirimkan satu pun kabar. Nina kembali memeriksa aplikasi m-banking di ponselnya. Siapa tahu suaminya itu sudah mengirimkan uang padanya, namun lupa untuk memberinya kabar.Seulas senyum tipis, muncul di wajah Nina. Kenapa tak dia coba saja langsung mengecek saldo di ATM-nya? Bukankah tadi Tian juga sudah mentransfer uang senilai dua ratus ribu rupiah untuk membayar acara reuni. Pasti sang suami sudah mendapatkan uang, begitu pikir Nina.Dengan semangat 45' akhirnya Nina membuka aplikasi bank berwarna biru pada benda pipih tersebut. Muncullah beberapa digit angka yang berbaris rapi di sana.
Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas."Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. "Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono."Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus
Bab 4 Bersembunyi Di Balik Nama TonoSesampainya di rumah, Nina segera membuatkan sebotol susu untuk Hisam. Sambil menepuk lembut pantat sang buah hati, Nina mengalunkan sholawat agar anaknya kembali tertidur. Perut Nina lapar, dia baru sadar belum sempat makan dari siang tadi karena panik dengan kiriman uang dari suaminya yang tak kunjung masuk."Ssh, ushh, shhh … bobok yang nyenyak ya, adek Hisam sayang. Ibu mau sholat Isya dulu, lalu makan. Anak sholeh-nya Ibu pintar," ujar Nina berbicara sendiri. Seakan-akan Hisam bisa mendengar dan mengerti ucapannya.Nina beringsut mundur, dengan gerakan perlahan dia turun dari kasur. Tak lupa untuk membuat pagar mengitari Hisam dari bantal dan guling, agar anaknya itu tak jatuh.Setelah selesai, hal pertama yang Nina lakukan adalah mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi, dia harus menelan kecewa karena Tian belum ada kabar. Jangankan mengirim bukti transferan uang, membalas pesannya yang sejak Ashar tadi dia kirim pun tidak. Nina kesal, n
Malu Jika Istri Berjualan[Nin, apa maksudmu dengan berjualan barang-barang bekas di akun sosial media seperti itu? Apa kamu nggak malu, Nin? Nanti dikira aku yang nggak becus jadi suami, aku yang nggak bertanggung jawab sama kamu. Hapus, Nin!]Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Tian. Tentu saja hal itu membuat Nina geram bukan main. Tanpa membalas pesan itu, Nina langsung saja menghubungi nomor suaminya. Dengan amarah yang sudah cukup meletup, Nina langsung saja mengutarakan niatnya."Halo, Nin, kenapa ka–""Halo! Harusnya yang malu itu Mas Tian lah! Kenapa bisa istrinya berjualan pakaian dan koleksi pribadinya, hingga sampai melakukan hal seperti itu, harusnya sih, Mas Tian punya malu, ya! Kalau aku nggak usaha kayak gini, memangnya perut Hisam bisa kenyang? Tolong, jadi lelaki itu setidaknya punya perasaan, Mas, meskipun udah nggak punya otak yang berfungsi!" Karena rasa kesal yang terus melanda, Nina begitu menggebu memarahi Tian.Dia sudah teramat kesal, tak peduli lagi or
Bab 5 Gelagat Aneh"Loh, kata siapa, Sayang? Iya memang benar istri Tono sedang hamil besar. Tapi, dia belum pulang kampung. Nina ini bagaimana, sih? Kalau Tono pulang, Mas juga ikut pulang, dong! Kan kami ini satu rekan, satu pekerjaan. Hehe. Ini Tono masih di sini, dia tadi pamit keluar sebentar ada perlu. Makanya Mas tunggu dia pulang, buat pinjam uang, lalu Mas kirim nanti ke Nina. Sabar ya, cantiknya Mas ini!" jelas Tian panjang lebar.Nina hanya mengerutkan kening. Dia paham betul bahwa suaminya sedang berbohong. "Oh, oke! Ya sudah kalau gitu, Mas. Nina tunggu secepatnya. Nggak mau kan kalau nanti Hisam haus dan berujung dehidrasi? Kamu tahu sendiri, ASI-ku sama sekali nggak keluar? Jangan lupa sholat, lekas istirahat! Kerja yang semangat biar dapat banyak duit dan cepat pulang!" kata Nina yang sudah malas dengan kebohongan suaminya.Setelah mematikan telepon, Nina mondar-mandir. Selera makannya tiba-tiba saja hilang. Dia bingung, dengan cara apa dirinya bisa menyambung hidup k
Bab 4 Bersembunyi Di Balik Nama TonoSesampainya di rumah, Nina segera membuatkan sebotol susu untuk Hisam. Sambil menepuk lembut pantat sang buah hati, Nina mengalunkan sholawat agar anaknya kembali tertidur. Perut Nina lapar, dia baru sadar belum sempat makan dari siang tadi karena panik dengan kiriman uang dari suaminya yang tak kunjung masuk."Ssh, ushh, shhh … bobok yang nyenyak ya, adek Hisam sayang. Ibu mau sholat Isya dulu, lalu makan. Anak sholeh-nya Ibu pintar," ujar Nina berbicara sendiri. Seakan-akan Hisam bisa mendengar dan mengerti ucapannya.Nina beringsut mundur, dengan gerakan perlahan dia turun dari kasur. Tak lupa untuk membuat pagar mengitari Hisam dari bantal dan guling, agar anaknya itu tak jatuh.Setelah selesai, hal pertama yang Nina lakukan adalah mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi, dia harus menelan kecewa karena Tian belum ada kabar. Jangankan mengirim bukti transferan uang, membalas pesannya yang sejak Ashar tadi dia kirim pun tidak. Nina kesal, n
Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas."Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. "Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono."Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus
Bab 2 Mencari Pinjaman 30.000Nina segera menidurkan Hisam dalam ranjang, dia kembali mencoba untuk menghubungi Tian. Sudah lebih dari tiga kali Nina menelpon sang suami, namun tak ada tanda-tanda telpon dari Nina akan direspon. Wanita dengan mata bulat itu terlihat kesal. Dia beberapa kali mendesah perlahan. Jarum jam berputar terus ke arah kanan, waktu juga terasa berlalu. Tapi, Tian juga belum mengirimkan satu pun kabar. Nina kembali memeriksa aplikasi m-banking di ponselnya. Siapa tahu suaminya itu sudah mengirimkan uang padanya, namun lupa untuk memberinya kabar.Seulas senyum tipis, muncul di wajah Nina. Kenapa tak dia coba saja langsung mengecek saldo di ATM-nya? Bukankah tadi Tian juga sudah mentransfer uang senilai dua ratus ribu rupiah untuk membayar acara reuni. Pasti sang suami sudah mendapatkan uang, begitu pikir Nina.Dengan semangat 45' akhirnya Nina membuka aplikasi bank berwarna biru pada benda pipih tersebut. Muncullah beberapa digit angka yang berbaris rapi di sana.
Bab 1 Susu Tak Terbeli[Maaf, ya, Nin, aku belum dapat uangnya. Kamu bisa sabar sedikit lagi, ya? Aku pasti usahakan!]Pesan masuk di ponsel Nina membuat wanita itu mendesah perlahan. Dia memang memberitahukan suaminya, Tian, melalui pesan singkat. Bahwa susu formula untuk Hisam sudah habis dan waktunya beli. Uang di dompet Nina hanya tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk membeli susu, bahkan yang ukurannya paling kecil sekalipun.[Tolong, usahakan secepatnya ya, Mas! Keburu malam, aku nggak bisa keluar jika malam. Hisam juga nggak mungkin berhenti minum susu, kasihan.]Nina kembali membalas pesan dari suaminya. Sudah hampir empat tahun mereka menjalani biduk rumah tangga. Mereka dikarunia bayi mungil berusia 4 bulan yang diberi nama Hisam.Nina mengenal Tian dari kantor. Dulu, Nina pernah magang di kantor Tian. Jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, sekitar 5 tahun, membuat Nina merasa terlindungi akan kehadiran sosok Tian.Setelah lulus SMK, kurang lebih satu tahun seteng