Malu Jika Istri Berjualan
[Nin, apa maksudmu dengan berjualan barang-barang bekas di akun sosial media seperti itu? Apa kamu nggak malu, Nin? Nanti dikira aku yang nggak becus jadi suami, aku yang nggak bertanggung jawab sama kamu. Hapus, Nin!]
Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Tian. Tentu saja hal itu membuat Nina geram bukan main.
Tanpa membalas pesan itu, Nina langsung saja menghubungi nomor suaminya. Dengan amarah yang sudah cukup meletup, Nina langsung saja mengutarakan niatnya.
"Halo, Nin, kenapa ka–"
"Halo! Harusnya yang malu itu Mas Tian lah! Kenapa bisa istrinya berjualan pakaian dan koleksi pribadinya, hingga sampai melakukan hal seperti itu, harusnya sih, Mas Tian punya malu, ya! Kalau aku nggak usaha kayak gini, memangnya perut Hisam bisa kenyang? Tolong, jadi lelaki itu setidaknya punya perasaan, Mas, meskipun udah nggak punya otak yang berfungsi!" Karena rasa kesal yang terus melanda, Nina begitu menggebu memarahi Tian.
Dia sudah teramat kesal, tak peduli lagi orang mau berkata dan menilainya bagaimana. Karena sejujurnya, dapur rumah tangganya hanya dirinya sendiri yang paling tahu.
Bahkan, Nina juga seakan tak ingin memberi kesempatan Tian untuk berkata-kata apalagi menjelaskan.
"Nin, dengarkan aku dulu!" ujar Tian dengan nada memelas.
"Dengerin apalagi? Dua hari ini aku menunggu uang transferan dari kamu, Mas! Tapi, apa? Mana uangnya? Dua puluh ribu saja kamu nggak bisa kasih buat aku kan? Aku nggak pernah nuntut banyak dari kamu, Mas! Aku juga nggak pernah minta kamu buat mikirin aku! Tapi, tolong. Setidaknya sebagai lelaki yang bergelar sebagai Ayah, tolong lah kamu sadar diri. Kamu boleh mengabaikanku, tapi tolong, Mas! Jangan abaikan perut Hisam! Bagaimana mungkin kamu bisa hidup dengan sesantai dan setenang itu saat susu Hisam habis. Bagaimana bisa kamu membiarkan aku yang berjalan kesana kemari, berusaha pinjam sana sini, sampai rasanya aku hampir ingin mati! Tapi, kamu? Nggak ada effort-nya sama sekali, Mas!" Nina masih saja berbicara dengan nada keras, dia sudah tak ingat lagi sedang menumpuk dosa karena menggunakan nada tinggi pada suaminya.
"Nin, sabarlah dulu! Tunggu dan dengarkan penjelasan aku, ya? Waktu aku kirim pesan semalam, kamu nggak ada balasan. Aku pikir, kamu bisa bergantian denganku. Berusaha untuk Hisam. Tolong jangan seperti ini, Nin! Jangan perhitungan sama aku, bukankah rumah tangga itu memang seharusnya saling, ya? Saling membantu, saling menguatkan dan saling mendukung. Jangan saling menyalahkan begini, Nin, aku mohon!" Suara bariton yang khas milik Tian kini terdengar begitu memuakkan di telinga Nina.
Wanita itu sudah tak percaya lagi dengan semua yang dibicarakan oleh Tian. Seperti kaset yang memutar rangkaian kejadian, satu per satu muncul di bayangan Nina. Membuat wanita itu semakin merasa kecewa.
"Tapi masalahnya, di rumah tangga kita ini, aku nggak merasakan adanya saling tuh, Mas! Susu buat Hisam saja kamu nggak bisa mengusahakan! Bukan hanya satu kali hal ini terjadi, untuk keadaan darurat aku bisa pinjam dulu, tapi jika pinjaman ku semakin banyak. Kamu selalu saja pura-pura nggak tahu dan seakan nggak mau buat bayar! Udah ah, kalo kamu telepon aku cuma buat bahas masalah yang ku rasa nggak ada jalan keluarnya ini, sebaiknya matikan saja! Fokuslah bekerja, cari uang yang banyak untuk anakmu! Bukan aku!" ujar Nina yang semakin berani.
"Nin, kamu kenapa ngebantah terus sih! Kamu udah nggak mau dengerin lagi omonganku? Kalo memang kamu nggak mau hapus itu postingan ma–"
"Maka apa? Memangnya kenapa kalau sampai aku nggak mau ngelakuin yang kamu suruh, Mas? Mas, ingat! Jangan egois, Hisam butuh susu, Hisam butuh pampers dan dia juga butuh beli minyak telon! Jangan kamu tahunya minta kel0n aja, tapi butuhan anak nggak mau mengusahakan!" Nina sudah tidak peduli, padahal di ujung sana, wajah Tian sudah memerah karena menahan emosi.
"Nin, kalo kamu kayak gini, itu sama saja dengan menginjak harga diriku, Nin. Orang akan berpikir, untuk apa aku kerja jauh-jauh sampai merelakan anak dan istri di rumah? Tapi, istrinya sendiri malah jualin semua barang yang dia punya! Mau ditaruh mana, Nin, muka ini? Sengaja sepertinya, kamu ingin rumah tangga kita dipandang sebelah mata oleh orang lain!" kata Tian dengan suara melunak.
Lelaki dengan tubuh tegap itu tampak menyugar rambutnya beberapa kali di seberang, dia bingung bagaimana lagi menemukan cara agar istrinya itu mau menghapus semua postingan jualannya.
Bukannya melarang, tapi Tian sudah terlanjur malu. Pada semua wanita yang dia berikan janji manis, dia selalu berkata bahwa istri itu harusnya di rumah. Menikmati hasil kerja keras, dari suaminya. Eh, ternyata, istrinya sendiri malah aktif berjualan di sosial media. Tian merasa gagal terlihat mempesona di kaum hawa nantinya. Itulah yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Maaf, Mas, peduli setan orang mau bilang gimana tentang rumah tangga kita ini. Itu semua terserah saja! Yang jelas, cuma ini caraku bisa bertahan, cuma dengan berjualan beginilah aku bisa merawat anak kita! Andai saja tahu, aku akan bernasib seperti ini, sudah jelas aku tak akan mau terburu-buru melahirkan anak dari kamu!"
"Nin, jaga omongan kamu!"
"Terserah!"
"Baiklah, jika sampai satu jam ke depan aku masih melihat kamu posting jualan lagi di sosial media. Jangan salahkan aku jika aku a–"
Nina langsung saja mematikan sambungan teleponnya, dia tak peduli lagi ancaman apa yang akan diberikan oleh Tian nanti.
"Suka-suka kamu aja lah, Mas, aku juga akan sama. Suka-suka dengan yang ku perbuat," ujar Nina akhirnya bisa bernapas lega.
***
Bab 1 Susu Tak Terbeli[Maaf, ya, Nin, aku belum dapat uangnya. Kamu bisa sabar sedikit lagi, ya? Aku pasti usahakan!]Pesan masuk di ponsel Nina membuat wanita itu mendesah perlahan. Dia memang memberitahukan suaminya, Tian, melalui pesan singkat. Bahwa susu formula untuk Hisam sudah habis dan waktunya beli. Uang di dompet Nina hanya tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk membeli susu, bahkan yang ukurannya paling kecil sekalipun.[Tolong, usahakan secepatnya ya, Mas! Keburu malam, aku nggak bisa keluar jika malam. Hisam juga nggak mungkin berhenti minum susu, kasihan.]Nina kembali membalas pesan dari suaminya. Sudah hampir empat tahun mereka menjalani biduk rumah tangga. Mereka dikarunia bayi mungil berusia 4 bulan yang diberi nama Hisam.Nina mengenal Tian dari kantor. Dulu, Nina pernah magang di kantor Tian. Jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, sekitar 5 tahun, membuat Nina merasa terlindungi akan kehadiran sosok Tian.Setelah lulus SMK, kurang lebih satu tahun seteng
Bab 2 Mencari Pinjaman 30.000Nina segera menidurkan Hisam dalam ranjang, dia kembali mencoba untuk menghubungi Tian. Sudah lebih dari tiga kali Nina menelpon sang suami, namun tak ada tanda-tanda telpon dari Nina akan direspon. Wanita dengan mata bulat itu terlihat kesal. Dia beberapa kali mendesah perlahan. Jarum jam berputar terus ke arah kanan, waktu juga terasa berlalu. Tapi, Tian juga belum mengirimkan satu pun kabar. Nina kembali memeriksa aplikasi m-banking di ponselnya. Siapa tahu suaminya itu sudah mengirimkan uang padanya, namun lupa untuk memberinya kabar.Seulas senyum tipis, muncul di wajah Nina. Kenapa tak dia coba saja langsung mengecek saldo di ATM-nya? Bukankah tadi Tian juga sudah mentransfer uang senilai dua ratus ribu rupiah untuk membayar acara reuni. Pasti sang suami sudah mendapatkan uang, begitu pikir Nina.Dengan semangat 45' akhirnya Nina membuka aplikasi bank berwarna biru pada benda pipih tersebut. Muncullah beberapa digit angka yang berbaris rapi di sana.
Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas."Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. "Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono."Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus
Bab 4 Bersembunyi Di Balik Nama TonoSesampainya di rumah, Nina segera membuatkan sebotol susu untuk Hisam. Sambil menepuk lembut pantat sang buah hati, Nina mengalunkan sholawat agar anaknya kembali tertidur. Perut Nina lapar, dia baru sadar belum sempat makan dari siang tadi karena panik dengan kiriman uang dari suaminya yang tak kunjung masuk."Ssh, ushh, shhh … bobok yang nyenyak ya, adek Hisam sayang. Ibu mau sholat Isya dulu, lalu makan. Anak sholeh-nya Ibu pintar," ujar Nina berbicara sendiri. Seakan-akan Hisam bisa mendengar dan mengerti ucapannya.Nina beringsut mundur, dengan gerakan perlahan dia turun dari kasur. Tak lupa untuk membuat pagar mengitari Hisam dari bantal dan guling, agar anaknya itu tak jatuh.Setelah selesai, hal pertama yang Nina lakukan adalah mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi, dia harus menelan kecewa karena Tian belum ada kabar. Jangankan mengirim bukti transferan uang, membalas pesannya yang sejak Ashar tadi dia kirim pun tidak. Nina kesal, n
Bab 5 Gelagat Aneh"Loh, kata siapa, Sayang? Iya memang benar istri Tono sedang hamil besar. Tapi, dia belum pulang kampung. Nina ini bagaimana, sih? Kalau Tono pulang, Mas juga ikut pulang, dong! Kan kami ini satu rekan, satu pekerjaan. Hehe. Ini Tono masih di sini, dia tadi pamit keluar sebentar ada perlu. Makanya Mas tunggu dia pulang, buat pinjam uang, lalu Mas kirim nanti ke Nina. Sabar ya, cantiknya Mas ini!" jelas Tian panjang lebar.Nina hanya mengerutkan kening. Dia paham betul bahwa suaminya sedang berbohong. "Oh, oke! Ya sudah kalau gitu, Mas. Nina tunggu secepatnya. Nggak mau kan kalau nanti Hisam haus dan berujung dehidrasi? Kamu tahu sendiri, ASI-ku sama sekali nggak keluar? Jangan lupa sholat, lekas istirahat! Kerja yang semangat biar dapat banyak duit dan cepat pulang!" kata Nina yang sudah malas dengan kebohongan suaminya.Setelah mematikan telepon, Nina mondar-mandir. Selera makannya tiba-tiba saja hilang. Dia bingung, dengan cara apa dirinya bisa menyambung hidup k