Bab 2 Mencari Pinjaman 30.000
Nina segera menidurkan Hisam dalam ranjang, dia kembali mencoba untuk menghubungi Tian. Sudah lebih dari tiga kali Nina menelpon sang suami, namun tak ada tanda-tanda telpon dari Nina akan direspon. Wanita dengan mata bulat itu terlihat kesal. Dia beberapa kali mendesah perlahan. Jarum jam berputar terus ke arah kanan, waktu juga terasa berlalu. Tapi, Tian juga belum mengirimkan satu pun kabar. Nina kembali memeriksa aplikasi m-banking di ponselnya. Siapa tahu suaminya itu sudah mengirimkan uang padanya, namun lupa untuk memberinya kabar.
Seulas senyum tipis, muncul di wajah Nina. Kenapa tak dia coba saja langsung mengecek saldo di ATM-nya? Bukankah tadi Tian juga sudah mentransfer uang senilai dua ratus ribu rupiah untuk membayar acara reuni. Pasti sang suami sudah mendapatkan uang, begitu pikir Nina.
Dengan semangat 45' akhirnya Nina membuka aplikasi bank berwarna biru pada benda pipih tersebut. Muncullah beberapa digit angka yang berbaris rapi di sana.
"Lah, masih tetap sama! Dua puluh tiga ribu dua ratus dua puluh rupiah. Ya Allah, ternyata Mas Tian belum juga mengirimkan uang. Lalu, kenapa bisa dia membayar untuk acara reuni tadi? Tidak kah salah, dia lebih mementingkan membayar reuni jika dibandingkan dengan membelikan putranya susu? Sial, mana panggilanku nggak ada yang dijawab. Ke mana, sih, dia!" Nina mulai merutuk kesal. Dia melirik ke arah Hisam, bayi mungil itu tampak tertidur pulas.
Ada sedikit rasa nyeri dalam dada Nina. Tiba-tiba saja dia merasa tidak pantas menjadi seorang Ibu. Andai saja Nina bisa menyusui secara langsung, tentu dia tidak akan pontang-panting memikirkan uang untuk membeli susu formula. Nina sudah berusaha untuk mengikuti pijat laktasi yang biasanya diadakan oleh bidan kampung, tanpa dipungut biaya sepeserpun. Dia juga sudah mengikuti anjuran dari beberapa orang, tentang makan daun katuk, konsumsi banyak sayur, air putih, semua sudah berusaha dia coba. Tapi, tetap saja air susunya tak bisa deras. Dia juga sudah mencoba untuk memompa secara manual. Hasilnya miris, bukan segelas susu yang dia dapat, tapi malah merah dan bengkak pada payud@ranya. Setelah semua usaha dia coba, akhirnya Nina menyerah. Ternyata stres lah penyebab satu-satunya air susu Nina menjadi mampet.
Nina mencoba berpikir, mencari cara agar dirinya bisa mendapatkan uang sebelum adzan Maghrib berkumandang. Saldo di ATM-nya hanya sisa 20 ribu saja. Itu artinya dia harus segera mencari pinjaman berupa transferan 30 puluh ribu agar bisa diambil. Ditambah dengan uang cash senilai dua belas ribu rupiah yang dia miliki, Nina bisa membeli susu formula dengan kemasan 400gr. Cukup untuk 2-3 hari ke depan, begitu pikirnya.
Saat bingung harus mencari uang ke mana lagi, Nina akhirnya mendapatkan sebuah ide. Dia akan meminta bantuan pada Sofia, tetangga yang tinggal di depan rumah kontrakannya. Baru kali ini Nina mengesampingkan rasa malu, dia tahu Sofia tipe wanita yang julid dan suka sekali mencari gara-gara dengannya. Tapi, Nina tak punya pilihan lain, Sofia lah satu-satunya tetangga yang dia kenal. Karena yang lain secara otomatis seperti menjauhi Nina karena wanita itu miskin. Nina memang jarang sekali keluar rumah, dia hanya sesekali tampak ke luar ketika membeli sayur dan menjemur Hisam. Selebihnya, Nina suka mengurung diri di dalam rumah. Dia takut dikucilkan, lagipula Nina juga merasa minder jika harus berkumpul dengan tetangga-tetangga di luar yang perekonomiannya jauh di atas Nina.
Kali ini dia terpaksa, terpaksa harus menurunkan harga dirinya di depan Sofia. Nina langsung saja menyambar hijab instan, lalu menyusun bantal dan guling di sekeliling Hisam, karena dia akan pergi sebentar ke rumah Sofia untuk meminjam uang.
Setelah dirasa posisi Hisam aman, Nina langsung melangkah lebar pergi ke rumah Sofia.
Untunglah, pagar rumah Sofia tidak dikunci, jadi Nina bisa masuk dengan cepat.
"Assalamualaikum," ucap Nina berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka.
Tak ada sahutan, sepertinya rumah Sofia dalam keadaan lengang.
"Assalamualaikum, Mbak Sofia!" ulang Nina lagi kali ini dengan menambahkan panggilan untuk Sofia.
"Waalaikumsalam, ya, siapa?" sahut suara cempreng yang dikenali Nina beriringan dengan suara langkah yang semakin dekat.
"Eh, Nina, ada apa?" tanya Sofia seraya melipat kedua tangan di depan dada. Dia menatap Nina dari atas hingga ke bawah, seperti biasa, tatapannya begitu menyebalkan. Itulah yang dirasakan oleh Nina.
"Mbak, permisi, ya! Sebenarnya, aku ke sini mau minta tolong. Maaf kalau aku lancang, Mbak!" ujar Nina membuka obrolan.
"Ya, kenapa?" Wajah Sofia semakin terangkat dengan dagu lancip yang mengarah ke Nina.
"Suamiku belum juga transfer uang, ini susu Hisam udah habis. Kalau boleh aku mau pinjam uangnya, Mbak, nanti kalau Mas Tian sudah transfer, aku kembalikan secepatnya!" kata Nina sembari memamerkan senyum tipis.
"Aduh, sebenarnya aku ini tipe orang yang paling nggak suka meminjami. Tapi, aku kasihan loh, lihat nasib kamu yang sekarang. Bisa gitu, ya, berbanding terbalik! Padahal dulu … ah, sudahlah nggak perlu dibahas. Namanya juga roda, ya, bisa berputar. Memangnya kamu butuh berapa? Maaf tapi, ya, aku nggak bisa minjemin banyak. Kalaupun jadi, ya, aku pasti akan meminjamimu sesuai kemampuan saja, jadi semisal kamu nggak bayar pun, aku bisa mengikhlaskan saja nantinya!" ujar Sofia yang sebetulnya membuat Nina kesal.
"Kalau boleh, aku minta ditransfer tiga puluh ribu saja, Mbak, di ATM. Nanti biar ku ambil. Karena saldo ku kurang, nggak bisa diambil, Mbak. Setelah Mas Tian transfer, aku akan mengembalikannya. Aku janji," ucap Nina serius.
"Tiga puluh ribu, ya? Oke deh, kalau hanya segitu, sih, aku bisa! Oke, mana nomor rekeningmu?" tanya Sofia yang segera dibalas Nina dengan menyebutkan delapan angka yang sudah dihafal luar kepala.
"Sudah!" ujar Sofia sembari menunjukkan layar ponselnya pada Nina. Wanita dengan baju lusuh itu mengerjapkan mata lalu mengangguk setelah melihat layar ponsel Sofia. Bukti transfer sudah sukses, akhirnya Nina bisa memberikan susu untuk Hisam sore ini.
"Makasih banyak ya, Mbak!" kata Nina. Dia sempat menyesal karena sudah menilai Sofia yang tidak-tidak. Meskipun begitu, Sofia masih mau membantunya di kala susah begini.
"Ya, sama-sama!" Sofia hanya mengangguk singkat.
Lalu, Nina pun berpamitan kembali pulang.
Sesampainya di pagar Sofia, sosok lelaki yang begitu Nina kenali pun berjalan dengan santai melewatinya. Nina mematung sejenak, menatap punggung lelaki berbadan kekar tersebut.
"Loh, itu bukannya Mas Tono, ya? Kok dia ada di sini? Bukannya Mas Tono yang ajak Mas Tian kerja bareng selama ini di luar kota? Tapi, itu kok Mas Tono bisa ada di sini? Apa mereka pulang? Tapi, Mas Tian kenapa enggak?" ujar Nina bertanya dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Nina segera berlari kecil untuk menyusul langkah lelaki di depannya.
"Mas, Mas Tono, tunggu sebentar!" seru Nina dengan napas tersengal.
Lelaki berwajah manis dengan kulit sawo matang itu langsung saja membalikkan badan, menatap ke arah Nina.
Seketika, wajahnya berubah menjadi pucat pasi saat melihat Nina yang berdiri di depannya.
"Mas Tono kan? Kok Mas Tono bisa ada di sini? Bukannya masih ada proyek sama Mas Tian? Mas Tono pulang? Lalu, Mas Tian mana?" tanya Nina dengan wajah penasaran. Dia menatap lekat ke arah Tono.
"Eh, Nina, iya. Ehm, anu, itu, Nin. Aduh, anu, Tian itu … sebenarnya Tian …," ujar Tono terlihat salah tingkah.
***
Jangan lupa subscribe, dan bantu unlock ya, Kak. Tidak kah kalian penasaran dengan Tian?
Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas."Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. "Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono."Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus
Bab 4 Bersembunyi Di Balik Nama TonoSesampainya di rumah, Nina segera membuatkan sebotol susu untuk Hisam. Sambil menepuk lembut pantat sang buah hati, Nina mengalunkan sholawat agar anaknya kembali tertidur. Perut Nina lapar, dia baru sadar belum sempat makan dari siang tadi karena panik dengan kiriman uang dari suaminya yang tak kunjung masuk."Ssh, ushh, shhh … bobok yang nyenyak ya, adek Hisam sayang. Ibu mau sholat Isya dulu, lalu makan. Anak sholeh-nya Ibu pintar," ujar Nina berbicara sendiri. Seakan-akan Hisam bisa mendengar dan mengerti ucapannya.Nina beringsut mundur, dengan gerakan perlahan dia turun dari kasur. Tak lupa untuk membuat pagar mengitari Hisam dari bantal dan guling, agar anaknya itu tak jatuh.Setelah selesai, hal pertama yang Nina lakukan adalah mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi, dia harus menelan kecewa karena Tian belum ada kabar. Jangankan mengirim bukti transferan uang, membalas pesannya yang sejak Ashar tadi dia kirim pun tidak. Nina kesal, n
Bab 5 Gelagat Aneh"Loh, kata siapa, Sayang? Iya memang benar istri Tono sedang hamil besar. Tapi, dia belum pulang kampung. Nina ini bagaimana, sih? Kalau Tono pulang, Mas juga ikut pulang, dong! Kan kami ini satu rekan, satu pekerjaan. Hehe. Ini Tono masih di sini, dia tadi pamit keluar sebentar ada perlu. Makanya Mas tunggu dia pulang, buat pinjam uang, lalu Mas kirim nanti ke Nina. Sabar ya, cantiknya Mas ini!" jelas Tian panjang lebar.Nina hanya mengerutkan kening. Dia paham betul bahwa suaminya sedang berbohong. "Oh, oke! Ya sudah kalau gitu, Mas. Nina tunggu secepatnya. Nggak mau kan kalau nanti Hisam haus dan berujung dehidrasi? Kamu tahu sendiri, ASI-ku sama sekali nggak keluar? Jangan lupa sholat, lekas istirahat! Kerja yang semangat biar dapat banyak duit dan cepat pulang!" kata Nina yang sudah malas dengan kebohongan suaminya.Setelah mematikan telepon, Nina mondar-mandir. Selera makannya tiba-tiba saja hilang. Dia bingung, dengan cara apa dirinya bisa menyambung hidup k
Malu Jika Istri Berjualan[Nin, apa maksudmu dengan berjualan barang-barang bekas di akun sosial media seperti itu? Apa kamu nggak malu, Nin? Nanti dikira aku yang nggak becus jadi suami, aku yang nggak bertanggung jawab sama kamu. Hapus, Nin!]Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Tian. Tentu saja hal itu membuat Nina geram bukan main. Tanpa membalas pesan itu, Nina langsung saja menghubungi nomor suaminya. Dengan amarah yang sudah cukup meletup, Nina langsung saja mengutarakan niatnya."Halo, Nin, kenapa ka–""Halo! Harusnya yang malu itu Mas Tian lah! Kenapa bisa istrinya berjualan pakaian dan koleksi pribadinya, hingga sampai melakukan hal seperti itu, harusnya sih, Mas Tian punya malu, ya! Kalau aku nggak usaha kayak gini, memangnya perut Hisam bisa kenyang? Tolong, jadi lelaki itu setidaknya punya perasaan, Mas, meskipun udah nggak punya otak yang berfungsi!" Karena rasa kesal yang terus melanda, Nina begitu menggebu memarahi Tian.Dia sudah teramat kesal, tak peduli lagi or
Bab 1 Susu Tak Terbeli[Maaf, ya, Nin, aku belum dapat uangnya. Kamu bisa sabar sedikit lagi, ya? Aku pasti usahakan!]Pesan masuk di ponsel Nina membuat wanita itu mendesah perlahan. Dia memang memberitahukan suaminya, Tian, melalui pesan singkat. Bahwa susu formula untuk Hisam sudah habis dan waktunya beli. Uang di dompet Nina hanya tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk membeli susu, bahkan yang ukurannya paling kecil sekalipun.[Tolong, usahakan secepatnya ya, Mas! Keburu malam, aku nggak bisa keluar jika malam. Hisam juga nggak mungkin berhenti minum susu, kasihan.]Nina kembali membalas pesan dari suaminya. Sudah hampir empat tahun mereka menjalani biduk rumah tangga. Mereka dikarunia bayi mungil berusia 4 bulan yang diberi nama Hisam.Nina mengenal Tian dari kantor. Dulu, Nina pernah magang di kantor Tian. Jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, sekitar 5 tahun, membuat Nina merasa terlindungi akan kehadiran sosok Tian.Setelah lulus SMK, kurang lebih satu tahun seteng
Malu Jika Istri Berjualan[Nin, apa maksudmu dengan berjualan barang-barang bekas di akun sosial media seperti itu? Apa kamu nggak malu, Nin? Nanti dikira aku yang nggak becus jadi suami, aku yang nggak bertanggung jawab sama kamu. Hapus, Nin!]Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh Tian. Tentu saja hal itu membuat Nina geram bukan main. Tanpa membalas pesan itu, Nina langsung saja menghubungi nomor suaminya. Dengan amarah yang sudah cukup meletup, Nina langsung saja mengutarakan niatnya."Halo, Nin, kenapa ka–""Halo! Harusnya yang malu itu Mas Tian lah! Kenapa bisa istrinya berjualan pakaian dan koleksi pribadinya, hingga sampai melakukan hal seperti itu, harusnya sih, Mas Tian punya malu, ya! Kalau aku nggak usaha kayak gini, memangnya perut Hisam bisa kenyang? Tolong, jadi lelaki itu setidaknya punya perasaan, Mas, meskipun udah nggak punya otak yang berfungsi!" Karena rasa kesal yang terus melanda, Nina begitu menggebu memarahi Tian.Dia sudah teramat kesal, tak peduli lagi or
Bab 5 Gelagat Aneh"Loh, kata siapa, Sayang? Iya memang benar istri Tono sedang hamil besar. Tapi, dia belum pulang kampung. Nina ini bagaimana, sih? Kalau Tono pulang, Mas juga ikut pulang, dong! Kan kami ini satu rekan, satu pekerjaan. Hehe. Ini Tono masih di sini, dia tadi pamit keluar sebentar ada perlu. Makanya Mas tunggu dia pulang, buat pinjam uang, lalu Mas kirim nanti ke Nina. Sabar ya, cantiknya Mas ini!" jelas Tian panjang lebar.Nina hanya mengerutkan kening. Dia paham betul bahwa suaminya sedang berbohong. "Oh, oke! Ya sudah kalau gitu, Mas. Nina tunggu secepatnya. Nggak mau kan kalau nanti Hisam haus dan berujung dehidrasi? Kamu tahu sendiri, ASI-ku sama sekali nggak keluar? Jangan lupa sholat, lekas istirahat! Kerja yang semangat biar dapat banyak duit dan cepat pulang!" kata Nina yang sudah malas dengan kebohongan suaminya.Setelah mematikan telepon, Nina mondar-mandir. Selera makannya tiba-tiba saja hilang. Dia bingung, dengan cara apa dirinya bisa menyambung hidup k
Bab 4 Bersembunyi Di Balik Nama TonoSesampainya di rumah, Nina segera membuatkan sebotol susu untuk Hisam. Sambil menepuk lembut pantat sang buah hati, Nina mengalunkan sholawat agar anaknya kembali tertidur. Perut Nina lapar, dia baru sadar belum sempat makan dari siang tadi karena panik dengan kiriman uang dari suaminya yang tak kunjung masuk."Ssh, ushh, shhh … bobok yang nyenyak ya, adek Hisam sayang. Ibu mau sholat Isya dulu, lalu makan. Anak sholeh-nya Ibu pintar," ujar Nina berbicara sendiri. Seakan-akan Hisam bisa mendengar dan mengerti ucapannya.Nina beringsut mundur, dengan gerakan perlahan dia turun dari kasur. Tak lupa untuk membuat pagar mengitari Hisam dari bantal dan guling, agar anaknya itu tak jatuh.Setelah selesai, hal pertama yang Nina lakukan adalah mengecek notifikasi pesan di ponselnya. Lagi, dia harus menelan kecewa karena Tian belum ada kabar. Jangankan mengirim bukti transferan uang, membalas pesannya yang sejak Ashar tadi dia kirim pun tidak. Nina kesal, n
Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas."Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. "Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono."Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus
Bab 2 Mencari Pinjaman 30.000Nina segera menidurkan Hisam dalam ranjang, dia kembali mencoba untuk menghubungi Tian. Sudah lebih dari tiga kali Nina menelpon sang suami, namun tak ada tanda-tanda telpon dari Nina akan direspon. Wanita dengan mata bulat itu terlihat kesal. Dia beberapa kali mendesah perlahan. Jarum jam berputar terus ke arah kanan, waktu juga terasa berlalu. Tapi, Tian juga belum mengirimkan satu pun kabar. Nina kembali memeriksa aplikasi m-banking di ponselnya. Siapa tahu suaminya itu sudah mengirimkan uang padanya, namun lupa untuk memberinya kabar.Seulas senyum tipis, muncul di wajah Nina. Kenapa tak dia coba saja langsung mengecek saldo di ATM-nya? Bukankah tadi Tian juga sudah mentransfer uang senilai dua ratus ribu rupiah untuk membayar acara reuni. Pasti sang suami sudah mendapatkan uang, begitu pikir Nina.Dengan semangat 45' akhirnya Nina membuka aplikasi bank berwarna biru pada benda pipih tersebut. Muncullah beberapa digit angka yang berbaris rapi di sana.
Bab 1 Susu Tak Terbeli[Maaf, ya, Nin, aku belum dapat uangnya. Kamu bisa sabar sedikit lagi, ya? Aku pasti usahakan!]Pesan masuk di ponsel Nina membuat wanita itu mendesah perlahan. Dia memang memberitahukan suaminya, Tian, melalui pesan singkat. Bahwa susu formula untuk Hisam sudah habis dan waktunya beli. Uang di dompet Nina hanya tinggal dua belas ribu saja. Tak cukup untuk membeli susu, bahkan yang ukurannya paling kecil sekalipun.[Tolong, usahakan secepatnya ya, Mas! Keburu malam, aku nggak bisa keluar jika malam. Hisam juga nggak mungkin berhenti minum susu, kasihan.]Nina kembali membalas pesan dari suaminya. Sudah hampir empat tahun mereka menjalani biduk rumah tangga. Mereka dikarunia bayi mungil berusia 4 bulan yang diberi nama Hisam.Nina mengenal Tian dari kantor. Dulu, Nina pernah magang di kantor Tian. Jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh, sekitar 5 tahun, membuat Nina merasa terlindungi akan kehadiran sosok Tian.Setelah lulus SMK, kurang lebih satu tahun seteng