GAIRAH CINTA TERLARANG
Part 2
"Assalamualaikum sayang!" Wajah Mama Mas Satria terlihat seiiring pintu kamar terbuka.
Secepat kilat kuhapus air mata, agar Mama Rina tidak melihat keresahanku. Ucapan Mas Satria pun terhenti. Tak ada gunanya berdebat untuk saat ini."Waalaikum salam, Ma," jawab Mas Satria bersemangat. Wajahnya berubah ceria melihat kedatangan mama. Aku mengulas senyum terindah menyambut mertua tercinta."Kali ini kamu selamat, Mas," lirihku dalam hati."Maafkan Mama ya, Sayang. Mama tidak bisa menemani kamu di rumah sakit kemarin," ujar mama Rina seraya mengecup keningku lembut."Tidak apa, Ma, Tania mengerti keadaan Mama yang super sibuk," jawabku seraya menyunggingkan senyum manis untuk mama mertuaku yang baik hati."Cucu mama mana, Nak?" Tanya Mama seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan."Itu, Ma." Tunjuk Mas Satria ke arah box bayi di sudut kamar."Alhamdulillah, sekarang mama memiliki tiga orang cucu yang lucu-lucu." Mama Rina mengecup pipi putri kecilku. Wajahny terlihat bahagia melihat cucunya.Mama Rina mengendong bayi mungilku. Tubuh kecilnya mengeliat manja dengan mata terpejam. Dia seperti mampu merasakan sentuhan Oma-nya.
"Satria, kamu sekarang semakin tua, anak sudah tiga, jadilah imam yang lebih baik untuk Tania." Nasehat mama Rina lembut.Mas Satria tersenyum, berjalan mendekati Mama Rina yang sibuk menganggu cucunya yang kembali tertidur nyenyak.
"Iya Ma, Satria berusaha menjadi imam yang baik untuk istri dan anak-anak Satria." Mas Satria melirikku dengan senyuman khasnya.
"Dengerin tuh, Pa!" timpalku cepat. Kesempatan untuk memancingnya terbuka lebar. Namun, akan berefek tidak baik untuk semua, jika aku mencoba mengali hal yang menganjal dalam hati."Iya, Sayang!" Mas Satria melangkah mendekatiku. Tangan nakalnya menjawil hidungku manja.Jujur di hatiku masih ada rasa tidak nyaman dengan ucapan Roby. Setelah kesehatan dan kekuatanku kembali seperti semula, titik terang dari kegelisahan hati harus kucari secepatnya.Firasat mengatakan sesuatu yang tidak baik membayangi keluargaku. Entah itu bisikan iblis atau kenyataan.
Secepat mungkin, mengembalikan suasana hangat. Percuma, jika momen bahagia ini terlewat begitu saja. Kutepis segala hal yang membebani pikiranku.
****
Hari ini tepat empat puluh empat hari aku melahirkan anak ketiga. Kami sekeluarga membuat acara aqiqah untuk putri kecil kami. Sebelumnya telah kami laksanakan pada hari ke tujuh. Namun, hanya keluarga dekat saja dan hari ini banyak tamu yang diundang oleh kedua belah pihak keluarga.
Dua bulan ini, Mas Satria tidak ada acara keluar negeri atau pun luar kota. Sepulang dari kantor dia langsung kerumah. Perhatian penuh dia berikan untukku. Sehingga, kecurigaan yang membelenggu hati hilang untuk sementara waktu.Roby tidak lagi tinggal di paviliun belakang rumah. Palingan sesekali dia ke rumah untuk mengantarkan berkas untuk Mas Satria. Dia terkesan menghindar dariku. Mas Satria juga jarang bercerita tentang Roby. Tidak seperti sebelum-sebelumnya.Menurutku, ini suatu keanehan yang tidak mampu kuartikan. Roby yang dulunya tidak terpisahkan dengan Mas Satria. Tiba-tiba menjaga jarak seperti orang yang saling memendam amarah.Ketika aku menanyakannya pada Mas Satria dan Roby. Jawaban mereka berdua sama persis, seperti telah direncanakan. Orang tua Roby di kampung menjadi alasan Roby tidak lagi tinggal di paviliun.Kutepiskan segala pikiran yang tidak mengenakan hatiku. Selama dua bulan ini pun Mas Satria selalu di sampingku. Ponselnya pun tidak pernah dia rahasiakan dariku. Tidak ada alasan untukku cemburu tentang sesuatu yang belum jelas rimbanya.Dari pagi rumah sudah di penuhi oleh keluargaku dan keluarga Mas Satria. Para tetangga yang datang membantu, meskipun semua sudah ada panitianya masing-masing. Akan tetapi, antusias para tetangga sangat membuatku takjub. Itu mungkin saja karena sikap Mas Satria yang selalu berbagi dengan mereka.Semua sudah disiapkan dengan sempurna. Rangga dan Adiba sudah di ambil alih oleh adik-adikku. Mereka sangat dekat dengan anak-anakku. Rangga berusia enam tahun, sedangkan Adiba lima tahun. Jarak antara Rangga dan Adiba tidak terlalu jauh. Karena, setelah melahirkan Rangga aku tidak mengunakan alat kontrasepsi untuk jarak kehamilanku. Dekorasi nuansa putih biru memenuhi setiap ruangan. Dari pagar rumah hingga halaman, Mas Satria memerintahkan event organizernya mendekor sesuai dengan warna favoritku dan Mas Satria.Baju untuk hari ini pun serba putih biru. Semuanya sudah terkonsep dengan rapi. Raut kebahagian jelas terpancar dari wajah Mas Satria.wajah tampan penuh pesona yang selalu membuatku tergila-gila."Mbak!" Tegur seorang wanita cantik yang berdiri tegak di hadapanku, dalam gendongannya seorang bayi perempuan yang imut. Sejenak, tertegun melihat wajah cantik yang sangat asing bagiku."Iya, maaf, siapa ya?" tanyaku lembut. Mengulas senyum ramah pada wanita berbulu mata lentik di hadapanku."Saya Karmila, mitra kerja Pak Satria," jawab wanita yang memakai kostum senada denganku. Tangannya dijulurkan ke hadapanku."Oooo ... Saya Tania, istrinya Pak Satria." Kusambut hangat uluran tangannya."Iya, Pak Satria sering cerita banyak tentang Mbak," ujarnya dengan menatapku. Seolah-olah, dia telah lama mengenalku. Tak ada rasa canggung dari sikapnya."Cerita banyak, Bu?" selidikku dengan dahiku berkerut. "Iya, Pak Satria selalu memuji Mbak, Mbak wanita hebat dan paling dia cintai," jawabnya cepat seakan mengerti akan keherananku karena ucapannya. Senyumnya terlihat manis. "Hemmm ... Ibu bisa saja," jawabku tersipu malu."Jangan panggil Ibu, panggil saja Karmila, lagian umur saya lebih muda dari pada Mbak," pintanya seraya mengedipkan mata kepadaku. Sikapnya benar-benar aneh. "Oh ... ya ... baik Bu Karmila, eh, Karmila."Aku sampai belepotan bicaranya. Karmila wanita yang ramah. Dia bercerita banyak hal tentangnya dan keluargaku. Penasaran semakin membuncah setiap mendengar deretan kata yang keluar dari mulutnya.
"Ini ada kado untuk Arisya." Karmila menyodorkan sebuah kado yang dibalut kertas berwarna biru dengan motif bunga mawar putih."Terimakasih, sepertinya Karmila banyak tahu tentang keluarga kami."Ucapanku membuat mata Karmila membulat. Wajahnya dia tundukkan sejenak. Sepertinya, dia tidak menyangka, jika akan lahir pertanyaan yang membuat dia kesusahan mencari jawabannya.
"Ah ... tidak, Mbak, kami palingan sering cerita keluarga masing-masing saat jeda meeting atau pun jam makan siang," jawabnya tenang."Hemm, Karmila satu kantor dengan Pak Satria, ya?" Selidikku. Semakin lama rasa penasaran semakin mengalungi hati."Tidak, Mbak. Karmila punya perusaan sendiri," sahutnya cepat.Dari jauh Mas Satria memperhatikan kami berdua. Sepertinya, dia sengaja membiarkan kami bicara. Hingga, dia datang menghampiri kami.
"Ma, sudah kenalan sama Mitra kerja papa, ya?" tanya Mas Satria, matanya melirik ke arah Karmila."Sudah Pa," jawabku asal."Ini anak kamu, Karmila?" tanyaku seraya meraba pipi mulus bayi dalam gendongannya."Iya Mbak, anak saya," jawabnya dengan senyum yang merekah."Berapa umurnya, sepertinya masih bayi sekali, ya?" Selidikku."Iya Mbak, lima bulan, Mbak, namanya Misya," tandasnya seraya melirik ke arah Mas Satria.Gerak-geriknya mencurigakan. Wanita mana yang tak kan kesal. Wanita lain secara terang-terangan menatap suaminya dengan tatapan tak mampu kuartikan. Seperti, ada ikatan yang erat antara mereka.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 3Aku mencoba mencari suaminya Karmila. Namun, itu pekerjaan sia-sia. Ratusan lelaki berada dalam ruangan saat ini. Hampir sebagian tidak terdeteksi olehku."Kamu sendiri ke sini, Karmila?" tanyaku ingin tahu."Iya Mbak, suami saya sedang ada dinas luar Mbak." Ada rasa tidak suka saat melihat Karmila melirik Mas Satriaku.Mas Satria pun terkesan curi-curi pandang ke arah Karmila. Ah! Sungguh menyebalkan berada dalam situasi seperti ini."Ya sudah, Misya biar aku gendong, kamu makan saja dulu," ujar Mas Satria lembut. Jantungku berdebar mendengar lembutnya suara Mas Satria."Baik, Mas, eh, Pak." Netraku menatap lekat ke arah Mas Satria. Tatapanku mengisyaratkan aku butuh jawaban atas keanehan ini. Karmila berlalu di hadapanku. Berjalan anggun ke arah meja makanan.Perhatianku beralih pada Mas Satria yang sibuk menatap ke arah Karmila."Sepertinya kamu sangat dekat de
GAIRAH CINTA TERLARANGPart 4"Pa, lihat ni!" Panggilku dengan memperlihatkan bingkisan seperangkat perhiasan anak-anak kepada Mas Satria.Sebuah kotak perhiasan anak-anak yang harganya puluhan juta berada di tanganku. Sebuah kado yang sangat berlebihan menurutku."Cantik ya, Ma?" Respon yang diberikan Mas Satria cukup membuatku terperangah. Dia tidak kaget sama sekali. Seakan dia sudah tahu akan isi kotak di tanganku."Terlalu cantik dan pastinya mahal, Pa," balasku."Pastinya, Ma. Harganya sampai 50 juta lebih, Ma," ujar Mas Satria, tanganya terus merobek kertas bingkisan yang para tamu berikan untuk Arisya."Kok Papa bisa tahu harganya segitu, Papa tahu ini hadiah dari siapa?" Selidikku cepat. Tatapan tajam kuarahkan padanya. Namun, Mas Satria sama sekali tidak menoleh ke arahku."Hadiah dari Karmila, 'kan?" tanyanya padaku. Ekspresi dan gaya bicaranya terkesan santai tanpa beban.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 5Tidak terasa umur Arisya sudah lima bulan. Kesehatanku sudah kembali normal. Semua pekerjaan sudah bisa aku lakukan sendiri. Namun, Mas Satria memintaku untuk fokus dengan anak-anak.Mas Satria menyewa dua orang babysitter untuk membantu mengurus anak-anak. Dia memang lelaki idaman semua wanita. Selalu memperlakukanku dengan sempurna tanpa cacat.Hidup yang sangat indah, memiliki keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Orangtua yang menyayangiku sepenuh hati. Serta mertua yang baik hati, selalu memperlakukanku layaknya anak sendiri."Ma, Papa minta izin ada tugas keluar kota selama tiga hari," ujar Mas Satria saat sarapan pagi.Aku terkesiap. Terkesan mendadak, tidak seperti biasanya. Mencoba menetralkan suasana. Menepis segala praduga yang kembali datang dengan tiba-tiba."Kenapa baru bilang sekarang, Pa? maunya kan semalam biar mama masukin koper baju Papa," jawabku ce
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 6Aku tak mampu menafsir apa yang sedang terjadi di tempat ini. Hanya mampu mendengar dan mencoba mencerna ucapan Roby, Thalita dan juga Mas Satria.Ayo Mbak!" Ajak Roby pada Thalita."Tunggu!" tegasku."Kamu panggil Thalita apa, Rob?" Pertanyaanku membuat Roby tidak nyaman."Sayang, kan udah aku bilang jangan malu akuin aku di depan umum, sebentar lagi aku kan jadi istrimu," ujar Thalita manja, tangannya bergelayut manja di lengan Roby. Namun, matanya melirik ke arah Mas Satria."Hemmm, iya, maklum baru pertama, hahahhaha ... saya antar Thalita dulu ya, Bu, Pak."Roby menarik pergelangan tangan Thalita. Beberapa detik kemudian mereka telah hilang dari pandangan mataku."Udah Pa, nggak usah dilihatin terus, orangnya udah hilang."Aku mendengkus kesal melihat sikap Mas Satria yan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 7Untuk apa Thalita membagikan hal beginian.Hufhh!Aku mengusap wajahku kasar.Ini sangat aneh menurutku, wanita secantik dan semuda Thalita menyukai postingan yang sangat dibenci kebanyakan kaum perempuan."Bu, Arisya haus, Bu." Suara babysitter Arisya membuatku terkejut."Oh, ya! Baik, saya segera ke kamar Arisya," jawabku, untuk sejenak melupakan pikiran yang menyakitiku dan fokus pada buah hatiku.Aku melangkah gontai menuju kamar. Hal baru saja aku temukan cukup membuat pikiranku berkelana tak tentu arah.***"Ma, Assalamualaikum!" Suara mas Satria terdengar lantang di balik pintu."Waalaikumsalam," jawabku cepat yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang depan.Begitu pintu terbuka, Mas Satria terlihat dengan senyum indahnya. Roby berdiri di belakang Mas Satria dengan dua tas di tangannya. Roby melirikku dengan ekor matanya.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 8Aku mengalah keluar dengan seribu tanda tanya yang masih menindih hatiku. Benarkah mas Satria menyembunyikan rahasia besar dariku?"Ya Allah, berikan jalan yang terbaik untuk keluarga kami," ucapku dalam hati.Berjalan dengan langkah gontai menuju ke dalam rumah. Hati dan jiwa tidak tenang. Alam pikiran mereka-reka apa yang akan Roby sampaikan untukku. Nurani tidak mampu menebak apa yang sedang terjadi pada hubunganku dan Mas Satria.Aku melangkah ke ruang kerja Mas Satria, membuka pintu dengan perlahan. Lalu, masuk dan duduk di kursi yang biasa Mas Satria duduki. Aku mulai membuka laci meja Mas Satria satu persatu. Membuka setiap kotak yang ada di lacinya dengan harapan ada clue untuk meredakan rasa penasaranku.Hasilnya nihil tidak ada apa-apa, tidak ada jejak yang bisa membuat hatiku sedikit tenang. Aku menghidupkan laptop di ruang kerjanya
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 9 Mas Satria mengetuk pintu kamar Roby. Dia mengulas senyum nakal ke arahku. Memasang wajah mesum untuk mengodaku. Suara Roby terdengar dari dalam. Dia membuka pintu dengan raut wajah bingung. Melirik ke arahku dan Mas Satria bergantian. "Begini Rob, baju saya yang kemarin, kamu yang bawa ke tempat laundry, 'kan?" tanya Mas Satria. Roby terdiam, raut wajahnya terlihat seperti berpikir keras. "Yang mana, Pak?" tanya Roby bingung. "Baju semalam kita pulang dari luar kotak dalam tas. Itu semua urusan kamu, 'kan?" Suara Mas Satria santai, tapi terdengar menekan. Tatapannya membuat Roby menunduk. "Oooh ... i--iya, Pak," jawab Roby tanpa menoleh. "Dengar tu, Ma. Papa tidak tau apa-apa." Mas Satria membela diri. "Roby, bisa kamu jelaskan kepada saya, kenapa kertas
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 10Aku terdiam, jemari sibuk memainkan gawai di tanganku. Pikiran menjelajah mencari jawaban yang tak akan kutemui hanya berdiam diri di sini."Ma ... mamaaa!" Terdengar suara mas Satria dari luar. Sejenak terdiam, bukankah dia mengatakan akan telat pulang hari ini. Arrggh! Kok jadi aneh gini? Aku berbicara seorang diri sambil menarik kasar rambutku."Iya, Pa." Aku beranjak dari tempat tidur untuk menemuinya.Melangkah gontai menuju pintu depan. Setiap langkah terasa berat untuk menemuinya."Papa udah pulang, bukan katanya meeting sampai malam?" tanyaku seraya mengambil tas kerjanya."Nggak jadi, Ma, Cepat selesai masalah di kantor, ya ... Papa pulang terus. Papa mau ngajak kalian jalan-jalan," ujarnya tersenyum manis."Tapi, anak-anak lagi bobok, Pa," ujarku pelan dan tidak bersemangat."Nggak
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami