GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 6
Aku tak mampu menafsir apa yang sedang terjadi di tempat ini. Hanya mampu mendengar dan mencoba mencerna ucapan Roby, Thalita dan juga Mas Satria.
Ayo Mbak!" Ajak Roby pada Thalita.
"Tunggu!" tegasku.
"Kamu panggil Thalita apa, Rob?" Pertanyaanku membuat Roby tidak nyaman.
"Sayang, kan udah aku bilang jangan malu akuin aku di depan umum, sebentar lagi aku kan jadi istrimu," ujar Thalita manja, tangannya bergelayut manja di lengan Roby. Namun, matanya melirik ke arah Mas Satria.
"Hemmm, iya, maklum baru pertama, hahahhaha ... saya antar Thalita dulu ya, Bu, Pak."
Roby menarik pergelangan tangan Thalita. Beberapa detik kemudian mereka telah hilang dari pandangan mataku.
"Udah Pa, nggak usah dilihatin terus, orangnya udah hilang."
Aku mendengkus kesal melihat sikap Mas Satria yang terus memandang ke arah Roby dan Thalita, padahal, mereka tidak terlihat lagi.
"Ah Mama, papa cuma lihatin doang, beruntung ya! Roby dapat gebetan secantik dan sebaik Thalita," ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Oh, jadinya Papa nggak beruntung memiliki mama, hah?" tanyaku cepat. Memasang muka kesal dengan ucapannya yang membangkitkan api cemburu di hati.
"Nggak, nggak gitu Ma, Mama itu paling cantik dan paling papa cinta. Nomor satu di hati papa."
Mas Satria memelukku erat dan melayang kecupan yang bertubi di wajahku.
"Pa, jangan berlebih di depan umum, malu," desisku pelan dan menjauh dari pelukannya.
"Tania Larasati aku mencintaimu sepenuh hatikuuuuu!" teriaknya kencang, semua pengunjung memandang heran ke arah kami.
"Pa, sssstt! malu," desisku kesal.
"Istri sendiri pun," kilahnya dengan memanyunkan wajahnya.
"Katanya mau keluar kota, kenapa masih di sini, Pa?" tanyaku dengan menatapnya tajam. Aku butuh jawaban konkrit darinya.
"Tadi, pas mau berangkat, Roby minta Papa tunda sebentar perjalanan untuk berjumpa dengan Talitha, Ma." Alasan yang Mas Satria berikan untukku.
"Kenapa papa ikut-ikutan, hah?" Interogasiku. Hati siapa yang tidak cemburu. Suami berduaan dengan wanita lain.
"Sekalian mau dikenalin ke papa, Ma, Roby sudah seperti adik papa sendiri." Alasan yang terlalu bijak.
Sulit untuk kupahami dan dimengerti. Rasa hati tidak tenang, jiwa gelisah dan resah tidak jelas.
"Ada apa sebenarnya yang terjadi, ya Allah, tunjukkan jalan kebenaran atas segala yang terjadi dalam hidupku," pintaku dalam hati. Tiada tempat berserah dan bergantung, selain Allah--sang pemilik hidup.
"Mama sendiri, ngapain jauh-jauh kesini?" Dia mulai menginterogasiku.
"Mau belanja untuk anak-anak."
Kuungkap tujuan utama melangkahkan kaki ke tempat ini.
"Papa temanin, sembari menunggu Roby antar Thalita," tawarnya padaku.
"Boleh."
Aku Bangkit dari kursi mengandeng tangan Mas Satria. Pengunjung cafe melihat ke arahku. Berusaha setenang mungkin berjalan tanpa memperdulikan mereka yang terus memandang ke arah kami dan berbisik-bisik dengan teman semeja mereka. Entah apa yang sedang mereka katakan untuk kami.
Mas Satria menemaniku belanja sepuasnya. Memilih barang-barang untuk ketiga buah hati kami.
Setelah puas berbelanja, Mas Satria melanjutkan perjalanannya. Sementara aku kembali ke rumah. Tak sabar melihat ekspresi anak-anak dengan barang bawaanku.
****
Hari ini, Mas Satria akan pulang, kemungkinan nanti sore atau pun malam dia akan sampai ke rumah.
Santai di ruang tamu dengan merebahkan diri di sofa mewah milikku. Memulai pencarian untuk mengungkap teka-teki yang menganjal dalam batinku.
Sungguh tidak enak rasanya, memiliki harta yang melimpah, akan tetapi, batin dan jiwa diselimuti rasa resah dan gelisah yang teramat membebani.
Aku membuka aplikasi f******k, sudah lama aku tidak mengakses akunku. Terakhir pas Arisya aqiqah. Itu pun hanya mengupload beberapa foto keluarga. Beranda dipenuhi oleh beragam status dan foto dari akun teman-teman dunia nyataku atau pun dunia maya.
Aku tekan di bilah pencarian, mencari nama Karmila, rasa penasaranku membuncah di dada tentang wanita bernama Karmila. Gerak-geriknya sangat aneh menurutku. Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui terlalu jauh tentangku, jika dia hanya rekan kerja Mas Satria. Anaknya pun sangat nyaman di gendongan suamiku.
Di bilah pencarian sangat banyak yang namanyanya Karmila. Tiba-tiba aku teringat, jika memang Karmila rekan bisnisnya Mas Satria, pastinya mereka juga berteman.
Aku klik akun Mas Satria, ternyata, pembaharuan statusnya beberapa menit yang lalu.
[Bersabarlah, semuanya akan indah pada waktunya.] Di tambah emoticon love yang berjejer rapi.
"Apa maksud dari statusnya Mas Satria?" tanyaku dalam hati.
Hatiku berdegup kencang, adakah rahasia yang sedang berlangsung di belakangku. Drama apa yang sedang Mas Satria mainkan untukku?
"Aaaaarrrggghhh!" pekikku kesal.
Cemburu sudah menguasai relung hati. Sulit sekali mengendalikan rasa cemburuku. Sikapku terlalu kekanak-kanakan, hanya bisa marah dan menanggis. Aku terlalu bodoh membiarkan semuanya berjalan seadanya tanpa curiga sedikit pun.
"Tenang Tania, tenang," ucapku pada diriku sendiri.
"Semua akan baik-baik saja, Satria tidak akan menyakitimu," hiburku pada diri sendiri.
Kubaca setiap kata-kata yang Mas Satria tulis. Terkesan alay seperti anak muda yang jatuh cinta. Setiap postingan mengandung unsur cinta, kecewa, sabar dan hal-hal yang berbau remaja.
Sebenarnya hal yang biasa saja, namun, rasa curiga sudah mengendalikan hati, semua terasa serba salah.
Tidak ada nama wanita lain atau pun foto wanita lain dalam setiap postingannya. Namun, setiap kata-kata di postingannya menghidupkan api cemburuku.
Aku mencari nama Karmila di pertemanan Mas Satria. Tidak susah untuk menemukannya, karena, hanya ada satu nama akun yang bernama Karmila.
"Sial, sial, sial!" Gerutu kesal.
Aku tidak bisa melihat postingan apapun di akun Karmila, aku harus mengirim pertemanan terlebih dahulu. Hal itu enggan aku lakukan.
Memutar pikiran untuk menemukan cara agar aku bisa melihat setiap postingan wanita yang katanya rekan bisnis Mas Satria.
"Bod*h, kan aku tahu aku password akun Mas Satria," gumamku pelan.
"Baru segini ajha masalahnya, otakku sudah lemot," keluhku sambil memukul pelan kepalaku.
Segera ku logout akunku, menekan email dan pasword akun Mas Satria. Kalimat yang tertera di layar ponsel mahalku, sungguh, mencabik-cabik hatiku.
Bagaimana tidak, email dan paswordnya tidak lagi sikron. Sejak kapan itu sudah berlaku, aku tidak tahu, sangat lama sekali aku tidak membuka akun mas Satria.
"No ... no ... nooooo!" teriakku kesal sambil membanting bantal sofa ke lantai.
"Pa, kamu mau main-main denganku, oke, kita lihat siapa yang akan menang!" Dadaku terasa panas.
"Oke, sekarang akun Thalita," desisku pelan. Berbicara seorang diri dengan jantung bagai genderang yang mau perang.
Tanganku terus menekan layar ponsel, mencari akun Thalita di pertemanan Mas Satria. Akunnya aku temukan, foto profilnya sangat menggoda. Rambut panjangnya terurai dengan mini dress yang menampakkan bentuk payud*ranya.
Aku baca setiap postingannya, biasa saja, tidak ada yang aneh, masalah percintaan serta beberapa tautan yang membuatku heran, tautan tentang menjadi istri kedua, poligami, dan nikah siri.
Bersambung
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 7Untuk apa Thalita membagikan hal beginian.Hufhh!Aku mengusap wajahku kasar.Ini sangat aneh menurutku, wanita secantik dan semuda Thalita menyukai postingan yang sangat dibenci kebanyakan kaum perempuan."Bu, Arisya haus, Bu." Suara babysitter Arisya membuatku terkejut."Oh, ya! Baik, saya segera ke kamar Arisya," jawabku, untuk sejenak melupakan pikiran yang menyakitiku dan fokus pada buah hatiku.Aku melangkah gontai menuju kamar. Hal baru saja aku temukan cukup membuat pikiranku berkelana tak tentu arah.***"Ma, Assalamualaikum!" Suara mas Satria terdengar lantang di balik pintu."Waalaikumsalam," jawabku cepat yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang depan.Begitu pintu terbuka, Mas Satria terlihat dengan senyum indahnya. Roby berdiri di belakang Mas Satria dengan dua tas di tangannya. Roby melirikku dengan ekor matanya.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 8Aku mengalah keluar dengan seribu tanda tanya yang masih menindih hatiku. Benarkah mas Satria menyembunyikan rahasia besar dariku?"Ya Allah, berikan jalan yang terbaik untuk keluarga kami," ucapku dalam hati.Berjalan dengan langkah gontai menuju ke dalam rumah. Hati dan jiwa tidak tenang. Alam pikiran mereka-reka apa yang akan Roby sampaikan untukku. Nurani tidak mampu menebak apa yang sedang terjadi pada hubunganku dan Mas Satria.Aku melangkah ke ruang kerja Mas Satria, membuka pintu dengan perlahan. Lalu, masuk dan duduk di kursi yang biasa Mas Satria duduki. Aku mulai membuka laci meja Mas Satria satu persatu. Membuka setiap kotak yang ada di lacinya dengan harapan ada clue untuk meredakan rasa penasaranku.Hasilnya nihil tidak ada apa-apa, tidak ada jejak yang bisa membuat hatiku sedikit tenang. Aku menghidupkan laptop di ruang kerjanya
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 9 Mas Satria mengetuk pintu kamar Roby. Dia mengulas senyum nakal ke arahku. Memasang wajah mesum untuk mengodaku. Suara Roby terdengar dari dalam. Dia membuka pintu dengan raut wajah bingung. Melirik ke arahku dan Mas Satria bergantian. "Begini Rob, baju saya yang kemarin, kamu yang bawa ke tempat laundry, 'kan?" tanya Mas Satria. Roby terdiam, raut wajahnya terlihat seperti berpikir keras. "Yang mana, Pak?" tanya Roby bingung. "Baju semalam kita pulang dari luar kotak dalam tas. Itu semua urusan kamu, 'kan?" Suara Mas Satria santai, tapi terdengar menekan. Tatapannya membuat Roby menunduk. "Oooh ... i--iya, Pak," jawab Roby tanpa menoleh. "Dengar tu, Ma. Papa tidak tau apa-apa." Mas Satria membela diri. "Roby, bisa kamu jelaskan kepada saya, kenapa kertas
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 10Aku terdiam, jemari sibuk memainkan gawai di tanganku. Pikiran menjelajah mencari jawaban yang tak akan kutemui hanya berdiam diri di sini."Ma ... mamaaa!" Terdengar suara mas Satria dari luar. Sejenak terdiam, bukankah dia mengatakan akan telat pulang hari ini. Arrggh! Kok jadi aneh gini? Aku berbicara seorang diri sambil menarik kasar rambutku."Iya, Pa." Aku beranjak dari tempat tidur untuk menemuinya.Melangkah gontai menuju pintu depan. Setiap langkah terasa berat untuk menemuinya."Papa udah pulang, bukan katanya meeting sampai malam?" tanyaku seraya mengambil tas kerjanya."Nggak jadi, Ma, Cepat selesai masalah di kantor, ya ... Papa pulang terus. Papa mau ngajak kalian jalan-jalan," ujarnya tersenyum manis."Tapi, anak-anak lagi bobok, Pa," ujarku pelan dan tidak bersemangat."Nggak
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 11Langkah terasa berat menaiki tangga rumah mewah yang belum kuketahui milik siapa.Sejenak mematung di depan pintu ukiran jepara di hadapanku. Detak jantung yang tak normal membuat tubuh sedikit bergetar.Kukumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menekan bel di samping pintu utama."Sebentar!" Terdengar teriakan wanita dari dalam. Langkah kaki semakin terdengar mendekat. Sepertinya, dia berlari ke arahku."Siapa, Ya?" Terlihat seorang wanita berpakaian pelayan seiring pintu terbuka."Saya adiknya Pak Satria," ujarku pelan.Dia memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Oaalaaah! Adiknya tuan rupanya, mari masuk!" Ajaknya mempersilahkan.Apa maksud wanita ini, Mas Satriaku tuan di rumah ini?"Maaf, Mbak, Pak Satrianya tidak ada di rumah, istrinya lagi keluar Mbak ...""Istri, Mbak?" tanyaku resah. Jantungku berhenti ber
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 12 Saat aku tersadar, aku mendapati diriku berada di sebuah kamar yang sangat asing. Netra menjelajah ke seluruh ruangan, tidak ada benda yang mampu membuatku mengenali tempatku berada sekarang. Kepala terasa pusing, pandangan masih kabur. Beringsut pelan dari atas kasur empuk tempatku berbaring, turun dan melangkah keluar untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang memenuhi dada. Perlahan membuka pintu agar tidak menimbulkan suara, melangkah pelan sambil melihat ke penjuru ruangan mencari sesuatu yang bisa menghilangkan rasa penasaran. "Tania, rupanya kamu sudah bangun." Suara lelaki di belakangku membuat langkahku terhenti. Suara yang tidak asing bagi telingaku. "Tania!" Panggilnya lagi. "Kamu ...." suaraku seakan tercekat di tenggorokan. "Iya, ini aku, Tan." Lelaki di hadapanku menyunggingkan senyum yang dulunya pernah aku rindui. "Ke--kenapa aku bisa di sini, Van? tanyaku
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 13Revan bergegas lari ke belakang. Tubuhnya hilang di balik tembok pembatas ruangan.Beberapa saat kemudian dia kembali. Wajahnya terlihat panik. Sama halnya seperti dulu."Tan, ayo minum!" Revan menyodorkan segelas air putih untukku. Entah kapan dia mengambilnya, pikiran tidak fokus. Rasa nyeri dan ngilu nyata mengrogoti hatiku."Cerita sama aku, Tan," pinta Revan berulang."Maaf, aku sedang tidak ingin bicara," ucapku dengan tatapan yang tidak jelas."Ya sudah, tidak apa, kakimu masih sakit, Tan?" tanya Revan mengalah."Sedikit," lirihku.Revan beranjak dari hadapanku, tanpa mengucap sepatah kata pun."Van!" Panggilku pelan."Iya, Tania," jawabnya sambil membalikkan badan ke arahku."Aku boleh minta tolong, Van?" tanyaku malu tanpa menatapnya."Minta tolong apa?" Revan mendekat ke arahku."Tolong antarkan aku pulang, aku tidak sangg
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 15Mematut diri di depan cermin. Melepas hijab dan melempar begitu saja. Wajahku masih cantik, kulitku masih kencang, tubuhku masih langsing seperti dulu. Tidak ada yang berubah meski aku sudah memiliki tiga buah hati."Kamu cantik, tapi ... kamu bodoh Tania, hahahahhaha!" Bayangan diriku seakan tertawa melihat kekalahanku"You are stupid woman, Tania, hahahahhaha!" Bayang itu saja menertawakanku."Apa yang salah padaku, Satria?!" teriakku sambil membanting foto kenangan kami berdua."Ini ... katamu aku harus memakai make up yang mahal, agar aku senantiasa menarik di matamu, tapi apa ... kamu masih saja menduakanku, aku tidak butuh semua ini!" teriakku histeris seraya melempar semua perlalatan make up yang di beli oleh Mas Satria.Langkahku beralih pada lemari kesayanganku. Aku diam mematung melihat jejeran baju nan seksi tergan
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami