GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 10
Aku terdiam, jemari sibuk memainkan gawai di tanganku. Pikiran menjelajah mencari jawaban yang tak akan kutemui hanya berdiam diri di sini.
"Ma ... mamaaa!" Terdengar suara mas Satria dari luar. Sejenak terdiam, bukankah dia mengatakan akan telat pulang hari ini. Arrggh! Kok jadi aneh gini? Aku berbicara seorang diri sambil menarik kasar rambutku.
"Iya, Pa." Aku beranjak dari tempat tidur untuk menemuinya.
Melangkah gontai menuju pintu depan. Setiap langkah terasa berat untuk menemuinya.
"Papa udah pulang, bukan katanya meeting sampai malam?" tanyaku seraya mengambil tas kerjanya.
"Nggak jadi, Ma, Cepat selesai masalah di kantor, ya ... Papa pulang terus. Papa mau ngajak kalian jalan-jalan," ujarnya tersenyum manis.
"Tapi, anak-anak lagi bobok, Pa," ujarku pelan dan tidak bersemangat.
"Nggak
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 11Langkah terasa berat menaiki tangga rumah mewah yang belum kuketahui milik siapa.Sejenak mematung di depan pintu ukiran jepara di hadapanku. Detak jantung yang tak normal membuat tubuh sedikit bergetar.Kukumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menekan bel di samping pintu utama."Sebentar!" Terdengar teriakan wanita dari dalam. Langkah kaki semakin terdengar mendekat. Sepertinya, dia berlari ke arahku."Siapa, Ya?" Terlihat seorang wanita berpakaian pelayan seiring pintu terbuka."Saya adiknya Pak Satria," ujarku pelan.Dia memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Oaalaaah! Adiknya tuan rupanya, mari masuk!" Ajaknya mempersilahkan.Apa maksud wanita ini, Mas Satriaku tuan di rumah ini?"Maaf, Mbak, Pak Satrianya tidak ada di rumah, istrinya lagi keluar Mbak ...""Istri, Mbak?" tanyaku resah. Jantungku berhenti ber
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 12 Saat aku tersadar, aku mendapati diriku berada di sebuah kamar yang sangat asing. Netra menjelajah ke seluruh ruangan, tidak ada benda yang mampu membuatku mengenali tempatku berada sekarang. Kepala terasa pusing, pandangan masih kabur. Beringsut pelan dari atas kasur empuk tempatku berbaring, turun dan melangkah keluar untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang memenuhi dada. Perlahan membuka pintu agar tidak menimbulkan suara, melangkah pelan sambil melihat ke penjuru ruangan mencari sesuatu yang bisa menghilangkan rasa penasaran. "Tania, rupanya kamu sudah bangun." Suara lelaki di belakangku membuat langkahku terhenti. Suara yang tidak asing bagi telingaku. "Tania!" Panggilnya lagi. "Kamu ...." suaraku seakan tercekat di tenggorokan. "Iya, ini aku, Tan." Lelaki di hadapanku menyunggingkan senyum yang dulunya pernah aku rindui. "Ke--kenapa aku bisa di sini, Van? tanyaku
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 13Revan bergegas lari ke belakang. Tubuhnya hilang di balik tembok pembatas ruangan.Beberapa saat kemudian dia kembali. Wajahnya terlihat panik. Sama halnya seperti dulu."Tan, ayo minum!" Revan menyodorkan segelas air putih untukku. Entah kapan dia mengambilnya, pikiran tidak fokus. Rasa nyeri dan ngilu nyata mengrogoti hatiku."Cerita sama aku, Tan," pinta Revan berulang."Maaf, aku sedang tidak ingin bicara," ucapku dengan tatapan yang tidak jelas."Ya sudah, tidak apa, kakimu masih sakit, Tan?" tanya Revan mengalah."Sedikit," lirihku.Revan beranjak dari hadapanku, tanpa mengucap sepatah kata pun."Van!" Panggilku pelan."Iya, Tania," jawabnya sambil membalikkan badan ke arahku."Aku boleh minta tolong, Van?" tanyaku malu tanpa menatapnya."Minta tolong apa?" Revan mendekat ke arahku."Tolong antarkan aku pulang, aku tidak sangg
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 15Mematut diri di depan cermin. Melepas hijab dan melempar begitu saja. Wajahku masih cantik, kulitku masih kencang, tubuhku masih langsing seperti dulu. Tidak ada yang berubah meski aku sudah memiliki tiga buah hati."Kamu cantik, tapi ... kamu bodoh Tania, hahahahhaha!" Bayangan diriku seakan tertawa melihat kekalahanku"You are stupid woman, Tania, hahahahhaha!" Bayang itu saja menertawakanku."Apa yang salah padaku, Satria?!" teriakku sambil membanting foto kenangan kami berdua."Ini ... katamu aku harus memakai make up yang mahal, agar aku senantiasa menarik di matamu, tapi apa ... kamu masih saja menduakanku, aku tidak butuh semua ini!" teriakku histeris seraya melempar semua perlalatan make up yang di beli oleh Mas Satria.Langkahku beralih pada lemari kesayanganku. Aku diam mematung melihat jejeran baju nan seksi tergan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 16Aku terbangun saat pintu kamar di ketuk, sayup terdengar suara Mbok Yem yang memanggil namaku. Membuka mata dan melihat sekelilingku, kamarku tak ubah kapal pecah. Semua berserakan di lantai.Isi lemari berhamburan di lantai. Sprei dan selimut tidak lagi berada di tempatnya.Mata mengerjap pelan. Sinar matahari menerobos melalu gorden yang sedikit tersingkap."Bu ... Bu Tania!" teriak Mbok Yem.Aku beringsut pelan. Mengeser bokongku berat. Rasa ngantuk masih mendera. Seluruh sendi terasa ngilu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat membuka pintu."Ibu tidak apa-apa, 'kan? Semalam saya dengar Ibu teriak-teriak." Raut wajah Mbok Yem terlihat khawatir.Aku kembali memasuki kamar. Tidak menjawab pertanyaan wanita setia. Bertahun mengabdi sepenuh hati. Mbok Yem melotot saat melihat kamarku berantakan."Bu! Kenapa seperti ini, Bu?" tanya mbok yem lembut. Tangannya mem
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 14Jenak kebisuan memenuhi mobil. Kami berdua larut dalam pikiran masing-masing. Sibuk menjalin jemari untuk hilangkan rasa gugup yang mendera."Kamu banyak berubah,Tania yang dulu sama sekarang tu beda banget. Tadi saja aku hampir tidak mengenalimu," ujar Revan memecah keheningan."Sama saja, tidak ada bedanya," sahutku."Beda, dulu kamu tidak berhijab, sekarang kamu berhijab. Cantik." Revan membuatku sejenak melupakan sakitku."Hehhehe ... bisa saja kamu, Van." Aku tersenyum ringan."Sudah lama kita nggak jumpa, aku pikir kita tidak akan pernah berjumpa lagi." Revan melirik ke arahku."Iya, salah kamu sendiri, pergi tanpa pamit," jawabku ketus."Tapi, hari ini, kita bertemu lagi, mungkin ini sebuah takdir ....""Takdir apaan, Van?" Aku mengernyitkan dahiku sebagai tanda otakku sedang berpikir keras."Takdir apa, ya? Aku juga tidak tahu, hahahhahah ...." Revan tertawa lepa
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 17Aku membantu mbok Yem membersihkan kamar. Kemudian, beranjak mandi beberapa menit untuk kembali menyegarkan badan pikiran. Rinai air turun dari kran seiring air mata yang berlomba mencapai pipi.Tenang Tania, semua akan baik-baik saja. Aku meyakinkan diriku sendiri. Mendoktrin diri sendiri untuk tenang.Keluar dari kamar mandi, kamar sudah rapi seperti semula. Meski, beberapa botol parfum dan make up_ku pecah tiada bentuk. Aku tak peduli, aku bisa membeli tokonya sekalian.Mataku beralih pada foto pernikahan. Saksi cintaku dengan Mas Satria. Diambil kala sumpah setia didengungkan penuh cinta. Namun pada akhirnya dia menjadi pengkhianat cinta."Mbok, fotonya bawa keluar saja," pintaku padanya. Mata senjanya memandangku heran."Baik, Bu," jawabnya seraya mengambil foto yang tertinggal dengan bingkai ukiran kayu. Kacanya berserak di lantai.Drrrrt ... drrrrttt!Su
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 18Sesampai di tempat perjanjian. Lelaki yang ingin kutemui belum nampak batang hidungnya. Aku harus bertindak sebelum semuanya terlambat."Maafkan aku, Pa, kamu yang memulai semua ini," lirihku pilu."Buk Tania." Suara berat lelaki di sampingku membuat lamunanku buyar."Maaf saya terlambat!" Dia menarik kursi dan duduk di hadapanku. Sejurus kemudian duduk menatapku lekat."Tidak apa-apa, Pak," ucapku datar."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" selidiknya dengan menatapku tanpa kedip. Tangannya mengesek layar benda persegi di tangan."Saya ingin mengubah beberapa sertifikat aset berharga kami atas nama anak-anak dan nama saya, gimana, Pak?" tanyaku pelan. Berharap jawabanya sesuai dengan keinginan."Gampang Bu, asalkan ada persetujuan dari pemilik sebelumnya, semua sangat mudah, Bu," jawabnya s
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami