GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 3Aku mencoba mencari suaminya Karmila. Namun, itu pekerjaan sia-sia. Ratusan lelaki berada dalam ruangan saat ini. Hampir sebagian tidak terdeteksi olehku.
"Kamu sendiri ke sini, Karmila?" tanyaku ingin tahu."Iya Mbak, suami saya sedang ada dinas luar Mbak." Ada rasa tidak suka saat melihat Karmila melirik Mas Satriaku.Mas Satria pun terkesan curi-curi pandang ke arah Karmila. Ah! Sungguh menyebalkan berada dalam situasi seperti ini.
"Ya sudah, Misya biar aku gendong, kamu makan saja dulu," ujar Mas Satria lembut. Jantungku berdebar mendengar lembutnya suara Mas Satria."Baik, Mas, eh, Pak." Netraku menatap lekat ke arah Mas Satria. Tatapanku mengisyaratkan aku butuh jawaban atas keanehan ini. Karmila berlalu di hadapanku. Berjalan anggun ke arah meja makanan.Perhatianku beralih pada Mas Satria yang sibuk menatap ke arah Karmila.
"Sepertinya kamu sangat dekat dengan Karmila," ujarku dengan wajah kesal. Mas Satria terlihat panik dengan pertanyaanku.
"Mama cemburu, ya?" Mas Satria masih saja mengodaku."Entahlah!" Aku semakin tidak nyaman melihat Misya berada di gendongan Mas Satria."Kamu sering gendong anaknya Karmila, ya, Pa?" Selidikku dengan tatapan penuh tanda tanya."Kadang-kadang Ma, kalau kami meeting, Karmila sering membawa Misya, Ma," jelas Mas Satria tanpa menolehku, netranya tertuju pada Misya.Alasannya sama sekali tidak logis. Bagaimana ceritanya mau meeting bawa anak. Sangat tak masuk akal. Namun, aku tidak membantah. Situasinya sangat tidak tepat.
"Ooh begitu!" Rasa dongkol mulai menguasai diri.Aku mulai mencari keberadaan Roby. Aku tidak rela Mas Satria mengendong bayi itu terus menerus.
"Roby!" teriakku ke arah Roby yang sedang berjalan keluar.
Segera badannya berbalik menuju ke arahku. Langkahnya terlihat cepat, beberapa detik, Roby berdiri tepat di hadapanku.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya cepat."Tolong gedong bayi ini!" Aku mengambil Misya dari gendongan mas Satria dan menyerahkan kepada Roby.
"Biar papa saja yang gendong, Ma," protes mas Satria. Ada ekspresi kesal, saat aku mengambil paksa Misya dalam gendongannya. "Papa itu bukan babysitter, Papa urus para tamu undangan!" ujarku seraya menarik lengannya untuk bangun.Mas Satria pintar membalikkan keadaan. Wajah kesalnya berganti semringah secepat kilat. Tersenyum manis ke arahku. Ah! Mas, terlalu pintar meredakan emosi yang merangkak dalam jiwa.
"Siap, istriku sayang, senyumnya mana? jangan cembelut!" Goda mas Satria, berjalan setengah berlari menjauhiku yang sebelumnya telah melayangkan kecupan hangat di keningku.
Aku mendekati Roby yang sibuk bercengkrama dengan Misya. Dia pun terlihat tidak asing dengan bayi mungil dalam gendongannya. Keanehan semakin terlihat. Namun, aku belum menemukan jawaban atas semua ini.
"Rob, kamu kenal dengan wanita itu?" Tunjukku ke arah Karmila yang tengah mengambil minuman."Yang mana, Bu?" Roby celingak-celinguk mencari sosok yang aku tuju."Itu lho, yang pake baju hampir sama dengan saya." Tunjukku lagi ke arah Karmila."Ibu Karmila maksud Ibu, ya?" tanya Roby cepat."Heemmm," desisku mengiyakan."Terus ...." "Terus apanya, Rob?" Aku berbalik bertanya kepadanya."Ya, kenapa dengan Bu Karmila, Bu?" Roby tidak melirik ke arahku dia sibuk dengan Misya."Siapa sebenarnya Karmila? Perasaan saya mengatakan dia begitu dengan suami saya," ujarku berusaha mengartikan keadaan yang baik-baik saja, tetapi batinku bergejolak."Bu Karmila rekan bisnis Pak Satria, Bu," sahut Robi dengan tatapan ke arah Karmila.Rasanya sulit mempercayainya.
"Sekedar rekan bisnis, tidak lebih, 'kan?" Rasa ingin bertanya kepada Roby semakin menjadi."Iyalah Bu, Bapak kan sayang sekali kepada Ibu." Ucapannya sedikit menenangkan hatiku. Perlakuan Mas Satria terhadapku diketahui semua orang. Dimanjakan bak ratu dalam istana."Suami Karmila kerja dimana dan namanya siapa?" Pertanyaanku menghentikan aktivitas Roby yang sedang bercengkrama dengan Misya. "Itu ... i--itu ...""Itu apa, hah?" Selaku cepat."Ada apa ini, kok sepertinya serius banget pembicaraanya, Mbak?" tanya Karmila yang tiba-tiba datang tanpa kusadari."Ah, nggak kok Bu, Bu Tania menanyakan tentang suami Ibu." Kalimat yang keluar dari mulut Roby membuatku merasa tidak hati dengan Karmila."Oh, suami saya bekerja di perusahaan dia sendiri, namanya Agung Purnomo," jawab Karmila santai.Roby melirik ke arah Karmila. Ada gurat tidak suka yang netra kutangkap dari wajah lelaki yang menemaniku dan suami selama tujuh tahun."Rob, bawa sini Misya!" Perintah Karmila. Gaya bicara Karmila pada Roby mengisyaratkan mereka sudah lama saling mengenal."Baik, Bu!" Roby menyerahkan bayi mungil itu ke pelukan Karmila.Beberapa saat kemudian Mama Rina datang menemuiku. Seperti biasa, wajahnya selalu ceria. Mertua yang paling baik sedunia. Gambaran Mama Rina bagiku.
"Nak, ibu-ibu pengajian ingin bertemu kamu dan Arisya," ujar Mamanya Mas Satria pelan."Baik, Bu!" Aku menetralkan perasaan untuk sejenak. Rasa cemburu sangat cepat bersarang di hatiku. Membuat kosentrasi terpecah"Ini siapa, Nak?" tanya Mamanya Mas Satria seraya menepuk pelan bahu Karmila."Ini rekan bisnis Satria, Bu." Mas Satria tiba-tiba datang dari arah yang tidak aku ketahui."Saya Karmila, Bu." Karmila memeluk erat Mamanya Mas Satria. Lalu, mencium tangannya takzim. Raut wajah Karmila terlihat berbeda saat dekat dengan Mamanya Mas Satria. Terlihat bahagia sekali."Ya sudah, nanti kita bicara lagi, nak, Ya," ujarnya kepada Karmila."Ayo, Nak!" Ajak mama Rina yang sudah sigap mengendong Arisya untuk di bawa ke ruang tengah.Aku mengikuti mama dari belakang. Tidak rela rasanya meninggalkan Karmila dengan Mas Satria meski ratusan orang lain ada di rumah ini. "Kenapa cemburu ini terlalu cepat menjalari hatiku?" Batinku.Tidak bisa dipungkiri semejak Roby salah bicara tentang jumlah anak kami, hatiku tidak tenang seperti ada yang menganjal dalam hati.Aku mengedarkan netra ke sekeliling untuk memantau Mas Satria. Namun, wujudnya tidak mampu tertangkap netraku karena terhalang tembok rumah yang berdiri kokoh memisahkan ruangan.Prosesi yang dilakukan ibu-ibu pengajian sangat lamban. Aku tidak fokus dengan do'a yang mereka lantunkan untuk Arisya dan keluargaku. Hati dan pikiranku tertuju kepada mas Satria dan Karmila.Satu jam kemudian acara selesai. Aku menitipkan Arisya pada Mamanya Mas Satria. Aku bergegas mencari Mas Satria dan Karmila. Beberapa menit mencari ke sana ke mari mereka juga belum tertangkap oleh indera penglihatanku."Roby, dimana Pak Satria?" tanyaku dengan nafas tersenggal."Pak Satria ... Pak Satria di luar Bu," ucapnya seperti orang ketakutan."Kenapa kamu, Rob? Akhir-akhir saya lihat kamu banyak berubah." Rasa penasaranku terhadap perubahan sikap Robi membuncah di dada."Tidak apa-apa, Bu," jawab Roby, tatapannya lurus ke depan."Kamu tidak bisa membohongi saya, ada yang kamu sembunyikan dari saya, Rob?" Selidikku dengan tatapan penuh tanda tanya."Tidak ada bu," Roby terkekeh sendiri. "Ayo, kita cari Pak Satria!" Ajak RobyAku tidak menjawab ajakan Roby, sikap Roby sangat aneh. Biasanya dia riang dan bersemangat. "Ah, semuanya bikin pusing," kesalku dalam hati."Papa!" Panggilku saat melihat Mas Satria di parkiran mobil. Mas Satria tersenyum manis seraya melambaikan tanganya ke arah mobil yang berjalan di sampingnya."Iya, Ma!" Mas Satria berlari ke arahku."Papa, ngapain di luar?" tanyaku ketus."Papa antar Karmila, Ma" jawabnya tanpa rasa bersalah."Perhatian kali Papa pada wanita itu!" Aku mencebik kesal."Dia itu mitra bisnis Papa, Papa kerja sama dengannya, Ma." Mas Satria membela diri."Entahlah!" Aku membuang muka."Mama ... mama mau tau rahasia nggak?" bisiknya di telingaku."Rahasia apa, Pa?" Jawabku cepat."Penasaran, ya?" Mas Satria mencubit perutku manja."Apaan sih, Pa? Cepetaan," pintaku setengah berteriak dengan memasang wajah kesal."Tidak ada satu wanita pun yang mampu mengantikan Mama di hati papa Satria," teriaknya sehingga beberapa orang melihat heran ke arahku dan mas Satria berdiri."Ah, Papa, malu tahu," protesku dengan mencubit lengannya."Oouuuchhhh, sakit sayang!" Ringgis Mas Satria manja."Malu apa senang, Ma? Tu pipi bakpao sudah memerah, hahahhahah." Mas Satria meledekku dengan tertawa terbahak-bahak."Papaaaa ....""Apa papa, Ma? Mau digendong atau dipeluk ni?" Perlakuan mas Satria yang seperti ini membuatku mencintainya. Dia sangat lihai dalam mengembalikan mood-ku yang jelek menjadi bersemangat lagi.BersambungGAIRAH CINTA TERLARANGPart 4"Pa, lihat ni!" Panggilku dengan memperlihatkan bingkisan seperangkat perhiasan anak-anak kepada Mas Satria.Sebuah kotak perhiasan anak-anak yang harganya puluhan juta berada di tanganku. Sebuah kado yang sangat berlebihan menurutku."Cantik ya, Ma?" Respon yang diberikan Mas Satria cukup membuatku terperangah. Dia tidak kaget sama sekali. Seakan dia sudah tahu akan isi kotak di tanganku."Terlalu cantik dan pastinya mahal, Pa," balasku."Pastinya, Ma. Harganya sampai 50 juta lebih, Ma," ujar Mas Satria, tanganya terus merobek kertas bingkisan yang para tamu berikan untuk Arisya."Kok Papa bisa tahu harganya segitu, Papa tahu ini hadiah dari siapa?" Selidikku cepat. Tatapan tajam kuarahkan padanya. Namun, Mas Satria sama sekali tidak menoleh ke arahku."Hadiah dari Karmila, 'kan?" tanyanya padaku. Ekspresi dan gaya bicaranya terkesan santai tanpa beban.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 5Tidak terasa umur Arisya sudah lima bulan. Kesehatanku sudah kembali normal. Semua pekerjaan sudah bisa aku lakukan sendiri. Namun, Mas Satria memintaku untuk fokus dengan anak-anak.Mas Satria menyewa dua orang babysitter untuk membantu mengurus anak-anak. Dia memang lelaki idaman semua wanita. Selalu memperlakukanku dengan sempurna tanpa cacat.Hidup yang sangat indah, memiliki keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Orangtua yang menyayangiku sepenuh hati. Serta mertua yang baik hati, selalu memperlakukanku layaknya anak sendiri."Ma, Papa minta izin ada tugas keluar kota selama tiga hari," ujar Mas Satria saat sarapan pagi.Aku terkesiap. Terkesan mendadak, tidak seperti biasanya. Mencoba menetralkan suasana. Menepis segala praduga yang kembali datang dengan tiba-tiba."Kenapa baru bilang sekarang, Pa? maunya kan semalam biar mama masukin koper baju Papa," jawabku ce
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 6Aku tak mampu menafsir apa yang sedang terjadi di tempat ini. Hanya mampu mendengar dan mencoba mencerna ucapan Roby, Thalita dan juga Mas Satria.Ayo Mbak!" Ajak Roby pada Thalita."Tunggu!" tegasku."Kamu panggil Thalita apa, Rob?" Pertanyaanku membuat Roby tidak nyaman."Sayang, kan udah aku bilang jangan malu akuin aku di depan umum, sebentar lagi aku kan jadi istrimu," ujar Thalita manja, tangannya bergelayut manja di lengan Roby. Namun, matanya melirik ke arah Mas Satria."Hemmm, iya, maklum baru pertama, hahahhaha ... saya antar Thalita dulu ya, Bu, Pak."Roby menarik pergelangan tangan Thalita. Beberapa detik kemudian mereka telah hilang dari pandangan mataku."Udah Pa, nggak usah dilihatin terus, orangnya udah hilang."Aku mendengkus kesal melihat sikap Mas Satria yan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 7Untuk apa Thalita membagikan hal beginian.Hufhh!Aku mengusap wajahku kasar.Ini sangat aneh menurutku, wanita secantik dan semuda Thalita menyukai postingan yang sangat dibenci kebanyakan kaum perempuan."Bu, Arisya haus, Bu." Suara babysitter Arisya membuatku terkejut."Oh, ya! Baik, saya segera ke kamar Arisya," jawabku, untuk sejenak melupakan pikiran yang menyakitiku dan fokus pada buah hatiku.Aku melangkah gontai menuju kamar. Hal baru saja aku temukan cukup membuat pikiranku berkelana tak tentu arah.***"Ma, Assalamualaikum!" Suara mas Satria terdengar lantang di balik pintu."Waalaikumsalam," jawabku cepat yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang depan.Begitu pintu terbuka, Mas Satria terlihat dengan senyum indahnya. Roby berdiri di belakang Mas Satria dengan dua tas di tangannya. Roby melirikku dengan ekor matanya.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 8Aku mengalah keluar dengan seribu tanda tanya yang masih menindih hatiku. Benarkah mas Satria menyembunyikan rahasia besar dariku?"Ya Allah, berikan jalan yang terbaik untuk keluarga kami," ucapku dalam hati.Berjalan dengan langkah gontai menuju ke dalam rumah. Hati dan jiwa tidak tenang. Alam pikiran mereka-reka apa yang akan Roby sampaikan untukku. Nurani tidak mampu menebak apa yang sedang terjadi pada hubunganku dan Mas Satria.Aku melangkah ke ruang kerja Mas Satria, membuka pintu dengan perlahan. Lalu, masuk dan duduk di kursi yang biasa Mas Satria duduki. Aku mulai membuka laci meja Mas Satria satu persatu. Membuka setiap kotak yang ada di lacinya dengan harapan ada clue untuk meredakan rasa penasaranku.Hasilnya nihil tidak ada apa-apa, tidak ada jejak yang bisa membuat hatiku sedikit tenang. Aku menghidupkan laptop di ruang kerjanya
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 9 Mas Satria mengetuk pintu kamar Roby. Dia mengulas senyum nakal ke arahku. Memasang wajah mesum untuk mengodaku. Suara Roby terdengar dari dalam. Dia membuka pintu dengan raut wajah bingung. Melirik ke arahku dan Mas Satria bergantian. "Begini Rob, baju saya yang kemarin, kamu yang bawa ke tempat laundry, 'kan?" tanya Mas Satria. Roby terdiam, raut wajahnya terlihat seperti berpikir keras. "Yang mana, Pak?" tanya Roby bingung. "Baju semalam kita pulang dari luar kotak dalam tas. Itu semua urusan kamu, 'kan?" Suara Mas Satria santai, tapi terdengar menekan. Tatapannya membuat Roby menunduk. "Oooh ... i--iya, Pak," jawab Roby tanpa menoleh. "Dengar tu, Ma. Papa tidak tau apa-apa." Mas Satria membela diri. "Roby, bisa kamu jelaskan kepada saya, kenapa kertas
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 10Aku terdiam, jemari sibuk memainkan gawai di tanganku. Pikiran menjelajah mencari jawaban yang tak akan kutemui hanya berdiam diri di sini."Ma ... mamaaa!" Terdengar suara mas Satria dari luar. Sejenak terdiam, bukankah dia mengatakan akan telat pulang hari ini. Arrggh! Kok jadi aneh gini? Aku berbicara seorang diri sambil menarik kasar rambutku."Iya, Pa." Aku beranjak dari tempat tidur untuk menemuinya.Melangkah gontai menuju pintu depan. Setiap langkah terasa berat untuk menemuinya."Papa udah pulang, bukan katanya meeting sampai malam?" tanyaku seraya mengambil tas kerjanya."Nggak jadi, Ma, Cepat selesai masalah di kantor, ya ... Papa pulang terus. Papa mau ngajak kalian jalan-jalan," ujarnya tersenyum manis."Tapi, anak-anak lagi bobok, Pa," ujarku pelan dan tidak bersemangat."Nggak
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 11Langkah terasa berat menaiki tangga rumah mewah yang belum kuketahui milik siapa.Sejenak mematung di depan pintu ukiran jepara di hadapanku. Detak jantung yang tak normal membuat tubuh sedikit bergetar.Kukumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menekan bel di samping pintu utama."Sebentar!" Terdengar teriakan wanita dari dalam. Langkah kaki semakin terdengar mendekat. Sepertinya, dia berlari ke arahku."Siapa, Ya?" Terlihat seorang wanita berpakaian pelayan seiring pintu terbuka."Saya adiknya Pak Satria," ujarku pelan.Dia memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Oaalaaah! Adiknya tuan rupanya, mari masuk!" Ajaknya mempersilahkan.Apa maksud wanita ini, Mas Satriaku tuan di rumah ini?"Maaf, Mbak, Pak Satrianya tidak ada di rumah, istrinya lagi keluar Mbak ...""Istri, Mbak?" tanyaku resah. Jantungku berhenti ber
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami