GAIRAH CINTA TERLARANG
Part 4
"Pa, lihat ni!" Panggilku dengan memperlihatkan bingkisan seperangkat perhiasan anak-anak kepada Mas Satria.
Sebuah kotak perhiasan anak-anak yang harganya puluhan juta berada di tanganku. Sebuah kado yang sangat berlebihan menurutku.
"Cantik ya, Ma?" Respon yang diberikan Mas Satria cukup membuatku terperangah. Dia tidak kaget sama sekali. Seakan dia sudah tahu akan isi kotak di tanganku."Terlalu cantik dan pastinya mahal, Pa," balasku. "Pastinya, Ma. Harganya sampai 50 juta lebih, Ma," ujar Mas Satria, tanganya terus merobek kertas bingkisan yang para tamu berikan untuk Arisya."Kok Papa bisa tahu harganya segitu, Papa tahu ini hadiah dari siapa?" Selidikku cepat. Tatapan tajam kuarahkan padanya. Namun, Mas Satria sama sekali tidak menoleh ke arahku."Hadiah dari Karmila, 'kan?" tanyanya padaku. Ekspresi dan gaya bicaranya terkesan santai tanpa beban."Iya, kok Papa tahu? atau jangan-jangan dia sudah kasih tahu Papa sebelumnya," ketusku dengan membanting kotak perhiasan di tanganku.Beruntung, kami sedang berada atas ranjang. Kotak perhiasannya tidak rusak, karena terbentur dengan empuknya ranjang.
"Mama, jangan dibanting! Rusak nanti, kan sayang," protes Mas Satria.
Dia segera meraih kotak perhiasan tersebut. Meletakkannya atas nakas di samping ranjang. Dia menghentikan aktivitasnya. Mulai fokus merayu seperti yang selalu dia lakukan.
"Abisnya, Mama tidak suka dengan Karmila!" Aku melongos kesal. Kucubit pinggangnya berulang kali."Cemburu boleh, Ma, tapi ... jangan seperti ini, Papa sayang sama Mama." Mas Satria menarikku dalam pelukannya.Mas Satria menyibak mayang hitamku yang menutup mata indahku. Kecupan hangan dia labuhkan di keningku. Hangat dekapannya bagai tersengat litrik.
"Mama sayang sama Papa, Mama tidak rela Papa dekat-dekat dengan wanita lain," Tandasku dengan nada sedih. Mendonggakkan wajahnya untuk lrbih leluasa menatap wajah tampan penuh pesona. "Lihat mata Papa, meskipun, di luaran sana banyak wanita yang lebih segalanya dari Mama, yakinlah tidak ada satu wanita pun yang bisa menggantikan posisi Mama di hati papa," jelas Mas Satria dengan tatapan penuh arti.Jenak-jenak kebisuan tercipta. Hanya bahasa tubuhnya yang mengungkapkan cinta. Aku melepas pelan pelukannya. Hati belum tenang dengan segala prahara yang aku rasa sedang membayangi bahtera rumah tanggaku.
"Bersumpahlah padaku, Pa," pintaku cepat.Tidak ada hal lain yang terlintas dalam otakku selain mendengar sumpah dari suamiku. Terkesan gila. Namun, itulah yang terjadi, kala logika tak mampu lagi berfungsi. Saat, cemburu menguasai hati dan jiwa. Maka, di saat itulah kegelisahan mengurung jiwa dalam kekalutan yang tiada akhir.
"Papa tidak suka, Ma. Seperti anak kecil, dikit-dikit sumpah, kita sudah sama-sama dewasa. Saling percaya sayang." Mas Satria mengusap pucuk kepalaku lembut. Ucapannya tidak ada yang salah. Namun, cukup membuat rasa penasaran semakin menjadi."Berarti Papa bohong sama Mama," ujarku seraya membuang muka. Mendorong tubuhnya menjauh. Meciptakan jarak yang pada dasarnya tak pernah kuinginkan."Ma, tatap mata papa." Mas Satria membingkai wajahku dengan kedua tanganya. Berusaha merayu dengan penuh cinta."Papa cinta sama Mama, sampai kapan pun Papa tidak akan meninggalkan Mama," ucapnya penuh keyakinan. Namun, ada keraguan dengan ucapannya. Resah itu bertandang begitu saja tanpa diundang."Akhir-akhir ini Mama resah, Mama takut Papa macam-macam di luar sana." Jujurku pada Mas Satria.Kuungkapkan segala hal yang membebani dada. Segala praduga yang meresahkan hari-hariku. Jujur lebih baik, dari pada memendam yang menyebabkan hati semakin penuh dengan hal yang tak kan pernah terpecahkan selama tak diungkapkan.
"Ma, percaya sama papa, Papa akan selalu ada di samping Mama, Papa tidak akan kemana-mana, Ma." Hatiku kembali tentram mendengar penuturan manis dari mulut Mas Satria."Mama, jangan suka marah-marah, nanti, cantiknya hilang," Candanya tanpa beban."Maafin mama, ya, Pa?"Kata maaf itu keluar begitu saja. Sikapku yang mencurugainya membuat kami berdua sama-sama tak nyaman.
"Pastinya, sebelum Mama minta maaf, udah papa maafin," ujarnya lembut. Kembali merangkulku penuh cinta.
Tangannya memeluk pinggangku erat. Bibirnya terus saja mengecup pipi dan keningku. Tangannya terus beraktivitas membelai setiap inci tubuhku.
"Kita lanjut buka kadonya, Pa," ajakku lembut."Jangan," balasnya singkat, matanya melirik nakal ke arahku.Aku tahu maksudnya dan tujuannya. Namun, aku pura-pura tidak tahu tentang maksud yang ingin disampaikannya.
"Kenapa, Pa?" tanyaku seraya meletakkan kado di tanganku."Buka kadonya besok saja, ada yang lebih penting yang ingin papa lakuin sama Mama," ujarnya genit."Apa itu, Pa?" Aku merebahkan kepalaku di pundaknya.
"Sini dekat lagi!" pintanya lembut.
Tanpa sadar, aku sudah berada di pangkuannya. Tangan mulai kulingkarkan di lehernya. Hampir dua bulan kami tidak bermesraan seperti ini. Jantungku berdetak bagai genderang yang ingin perang.
"Papa pengen, Ma," bisiknya di telingaku. Tangannya mulai menjelajah area sensitif. Senyum nakal dengan memasang wajah mesum."Nggak mau, Mama capek, Pa," Protesku manja. Seharian lelah menjalani setiap prosesi akikahan Arisya. Tubuh terasa lelah dan segera ingin bertemu dengan ranjang.
"Ma, nggak sayang sama Papa, hampir tiga bulan lho, Ma," Rengeknya manja. "Sekali saja, ya, ya,ya!" Pintanya seraya mengedip-ngedipkan mata. Wajahnya memelas. Aku menahan tawa melihat ekspresinya. "Sekali saja, ya?" Rasa sayangku kepada Mas Satria membuatku harus siap melayaninya kapan saja dia mau. Bakti seorang istri pada suami. "Horeeeee!" teriaknya tertahan, Mas Satria takut anak-anak terbangun mendengar teriakannya."Apa sih, Pa, macam anak kecil aja, tidak pantas lagi!" Aku pura-pura kesal dengan sikapnya, padahal aku sangat bahagia melihat tingkahnya."Papa ikutin gurunya Papa, Ma." Ucapannya membuat keningku berkerut."Guru, apa, Pa? Bigung Mama jadinya." Mas Satria tersenyum melihat wajahku yang terlihat seperti orang linglung."Mama gurunya," jawabnya dengan tertawanya lepas. "Kok, jadinya Mama sih? Makin bingung ni, Pa." Aku mulai kesal dengan Mas Satria."Mama kalau Papa berikan sesuatu atau Papa ngajak jalan-jalan, selalu teriak "hore" seperti anak kecil. Banyak yang bilang nggak pantas lagi Mama seperti itu, sudah tua," ledeknya seraya tertawa."Papaaaaa!" Aku mencubit perutnya lembut. "Jadinya Mama nggak boleh manja lagi sama Papa, Mama nggak boleh lagi pecicilan sama Papa, gitu maksud Papa, 'kan?" Aku menarik nafas kasar. Memanyunkan mulutku lima centi. Berpura-pura kesal untuk mendapatkan seluruh perhatiannya."Salah lagi, lelaki memang selalu salah." Mas Satria menepuk jidatnya."Boleh ... boleh, bagi Papa, gimana pun Mama, Papa selalu mencintai Mama setulus hati Papa," gombalnya padaku. Suasana hangat semakin tercipta. Mas Satria terus saja memacingku untuk membalas sentuhannya."Hemmm," desisku pelan."Ma, jangan ngambek lagi lah, ayo!"Mas Satria mengendongku menuju kamar kami. Beruntung semua penghuni rumah terlelap dibuai mimpi karena kelelahan.
Mas Satria merebahkan tubuhku di atas ranjang. Suasana hangat dan penuh cinta tercipta. Menikmati hangatnya pangutan bibirnya. Sentuhannya berhasil memancing hasratku yang selama ini membuncah untuk disalurkan.
Malam ini aku menunaikan kewajibanku sebagai istri yang tertunda sekian lama. Rasanya tidak adil, jika aku terus menolak Mas Satria. Takutnya dia tergoda dengan wanita lain. Aku harus memberikan pelayanan yang terbaik untuknya.Seperti menurut pendapat sebagian orang. Kehidupan ranjang adalah hal terpenting dalam sebuah ikatan pernikahan. Kebanyakan para pelaku selingkuh mengaku kekurangan kebutuhan biologis dari pasangan.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 5Tidak terasa umur Arisya sudah lima bulan. Kesehatanku sudah kembali normal. Semua pekerjaan sudah bisa aku lakukan sendiri. Namun, Mas Satria memintaku untuk fokus dengan anak-anak.Mas Satria menyewa dua orang babysitter untuk membantu mengurus anak-anak. Dia memang lelaki idaman semua wanita. Selalu memperlakukanku dengan sempurna tanpa cacat.Hidup yang sangat indah, memiliki keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Orangtua yang menyayangiku sepenuh hati. Serta mertua yang baik hati, selalu memperlakukanku layaknya anak sendiri."Ma, Papa minta izin ada tugas keluar kota selama tiga hari," ujar Mas Satria saat sarapan pagi.Aku terkesiap. Terkesan mendadak, tidak seperti biasanya. Mencoba menetralkan suasana. Menepis segala praduga yang kembali datang dengan tiba-tiba."Kenapa baru bilang sekarang, Pa? maunya kan semalam biar mama masukin koper baju Papa," jawabku ce
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 6Aku tak mampu menafsir apa yang sedang terjadi di tempat ini. Hanya mampu mendengar dan mencoba mencerna ucapan Roby, Thalita dan juga Mas Satria.Ayo Mbak!" Ajak Roby pada Thalita."Tunggu!" tegasku."Kamu panggil Thalita apa, Rob?" Pertanyaanku membuat Roby tidak nyaman."Sayang, kan udah aku bilang jangan malu akuin aku di depan umum, sebentar lagi aku kan jadi istrimu," ujar Thalita manja, tangannya bergelayut manja di lengan Roby. Namun, matanya melirik ke arah Mas Satria."Hemmm, iya, maklum baru pertama, hahahhaha ... saya antar Thalita dulu ya, Bu, Pak."Roby menarik pergelangan tangan Thalita. Beberapa detik kemudian mereka telah hilang dari pandangan mataku."Udah Pa, nggak usah dilihatin terus, orangnya udah hilang."Aku mendengkus kesal melihat sikap Mas Satria yan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 7Untuk apa Thalita membagikan hal beginian.Hufhh!Aku mengusap wajahku kasar.Ini sangat aneh menurutku, wanita secantik dan semuda Thalita menyukai postingan yang sangat dibenci kebanyakan kaum perempuan."Bu, Arisya haus, Bu." Suara babysitter Arisya membuatku terkejut."Oh, ya! Baik, saya segera ke kamar Arisya," jawabku, untuk sejenak melupakan pikiran yang menyakitiku dan fokus pada buah hatiku.Aku melangkah gontai menuju kamar. Hal baru saja aku temukan cukup membuat pikiranku berkelana tak tentu arah.***"Ma, Assalamualaikum!" Suara mas Satria terdengar lantang di balik pintu."Waalaikumsalam," jawabku cepat yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang depan.Begitu pintu terbuka, Mas Satria terlihat dengan senyum indahnya. Roby berdiri di belakang Mas Satria dengan dua tas di tangannya. Roby melirikku dengan ekor matanya.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 8Aku mengalah keluar dengan seribu tanda tanya yang masih menindih hatiku. Benarkah mas Satria menyembunyikan rahasia besar dariku?"Ya Allah, berikan jalan yang terbaik untuk keluarga kami," ucapku dalam hati.Berjalan dengan langkah gontai menuju ke dalam rumah. Hati dan jiwa tidak tenang. Alam pikiran mereka-reka apa yang akan Roby sampaikan untukku. Nurani tidak mampu menebak apa yang sedang terjadi pada hubunganku dan Mas Satria.Aku melangkah ke ruang kerja Mas Satria, membuka pintu dengan perlahan. Lalu, masuk dan duduk di kursi yang biasa Mas Satria duduki. Aku mulai membuka laci meja Mas Satria satu persatu. Membuka setiap kotak yang ada di lacinya dengan harapan ada clue untuk meredakan rasa penasaranku.Hasilnya nihil tidak ada apa-apa, tidak ada jejak yang bisa membuat hatiku sedikit tenang. Aku menghidupkan laptop di ruang kerjanya
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 9 Mas Satria mengetuk pintu kamar Roby. Dia mengulas senyum nakal ke arahku. Memasang wajah mesum untuk mengodaku. Suara Roby terdengar dari dalam. Dia membuka pintu dengan raut wajah bingung. Melirik ke arahku dan Mas Satria bergantian. "Begini Rob, baju saya yang kemarin, kamu yang bawa ke tempat laundry, 'kan?" tanya Mas Satria. Roby terdiam, raut wajahnya terlihat seperti berpikir keras. "Yang mana, Pak?" tanya Roby bingung. "Baju semalam kita pulang dari luar kotak dalam tas. Itu semua urusan kamu, 'kan?" Suara Mas Satria santai, tapi terdengar menekan. Tatapannya membuat Roby menunduk. "Oooh ... i--iya, Pak," jawab Roby tanpa menoleh. "Dengar tu, Ma. Papa tidak tau apa-apa." Mas Satria membela diri. "Roby, bisa kamu jelaskan kepada saya, kenapa kertas
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 10Aku terdiam, jemari sibuk memainkan gawai di tanganku. Pikiran menjelajah mencari jawaban yang tak akan kutemui hanya berdiam diri di sini."Ma ... mamaaa!" Terdengar suara mas Satria dari luar. Sejenak terdiam, bukankah dia mengatakan akan telat pulang hari ini. Arrggh! Kok jadi aneh gini? Aku berbicara seorang diri sambil menarik kasar rambutku."Iya, Pa." Aku beranjak dari tempat tidur untuk menemuinya.Melangkah gontai menuju pintu depan. Setiap langkah terasa berat untuk menemuinya."Papa udah pulang, bukan katanya meeting sampai malam?" tanyaku seraya mengambil tas kerjanya."Nggak jadi, Ma, Cepat selesai masalah di kantor, ya ... Papa pulang terus. Papa mau ngajak kalian jalan-jalan," ujarnya tersenyum manis."Tapi, anak-anak lagi bobok, Pa," ujarku pelan dan tidak bersemangat."Nggak
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 11Langkah terasa berat menaiki tangga rumah mewah yang belum kuketahui milik siapa.Sejenak mematung di depan pintu ukiran jepara di hadapanku. Detak jantung yang tak normal membuat tubuh sedikit bergetar.Kukumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menekan bel di samping pintu utama."Sebentar!" Terdengar teriakan wanita dari dalam. Langkah kaki semakin terdengar mendekat. Sepertinya, dia berlari ke arahku."Siapa, Ya?" Terlihat seorang wanita berpakaian pelayan seiring pintu terbuka."Saya adiknya Pak Satria," ujarku pelan.Dia memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Oaalaaah! Adiknya tuan rupanya, mari masuk!" Ajaknya mempersilahkan.Apa maksud wanita ini, Mas Satriaku tuan di rumah ini?"Maaf, Mbak, Pak Satrianya tidak ada di rumah, istrinya lagi keluar Mbak ...""Istri, Mbak?" tanyaku resah. Jantungku berhenti ber
GAIRAH CINTA TERLARANG PART 12 Saat aku tersadar, aku mendapati diriku berada di sebuah kamar yang sangat asing. Netra menjelajah ke seluruh ruangan, tidak ada benda yang mampu membuatku mengenali tempatku berada sekarang. Kepala terasa pusing, pandangan masih kabur. Beringsut pelan dari atas kasur empuk tempatku berbaring, turun dan melangkah keluar untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang memenuhi dada. Perlahan membuka pintu agar tidak menimbulkan suara, melangkah pelan sambil melihat ke penjuru ruangan mencari sesuatu yang bisa menghilangkan rasa penasaran. "Tania, rupanya kamu sudah bangun." Suara lelaki di belakangku membuat langkahku terhenti. Suara yang tidak asing bagi telingaku. "Tania!" Panggilnya lagi. "Kamu ...." suaraku seakan tercekat di tenggorokan. "Iya, ini aku, Tan." Lelaki di hadapanku menyunggingkan senyum yang dulunya pernah aku rindui. "Ke--kenapa aku bisa di sini, Van? tanyaku
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami