Part 74
Revan menanyakan apa yang aku perlukan, aku memintanya membawa mukena dan sajadah serta al-qur'an kecil untukku. Dia memintaku untuk menunggu beberapa menit.
Aku duduk seorang diri di sudut ruangan. Hatiku dan pikiranku tidak lagi sejalan. Rasa sakit, kecewa, menyesal dan terluka. Semuanya bercampur menjadi satu. Lelehan air mata membasahi pipiku.
"Ya Allah, terlalu berat ujianmu untukku," lirihku pilu.
Revan kembali dengan satu kantong besar penuh belanjaan untukku. Napasnya memburu dengan raut wajah kelelahan. Dia bukan siapa-siapa, tapi perhatiannya membuatku merasa berarti.
"Jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa minta petugas menghubungiku," ujar Revan.
"Tolong, jaga anak-anak dan orangtuaku!" pintaku pada Revan. Sebisa mungkin menahan derai air mata.
"Jangan pernah bersedih, aku berjanji akan secepatnya
Part 75"Aku tetap pada pendirianku, lebih kamu pulang, pikiranku tidak berubah, Satria," jawabku lantang.Wajah Satria terlihat menampakkan ekspresi keterkejutan yang luar biasa, saat mendengar ucapanku."Berarti kamu sudah siap kehilangan anak-anak, Tania?" tanya Satria lagi. Dia berusaha menekanku dengan membawa nama anak-anak."Jawabanku tetap sama!""Kamu akan menyesal, Tania!"Satria melotot ke arahku. Dia kesal dengan ucapanku yang sama sekali tidak goyah dengan penawarannya."Tidak ada pilihan dalam hidup yang membuatku menyesal, kecuali, menikah dengan lelaki yang tidak memiliki hati seperti kamu!" tegasku dengan nada remeh."Tania!"Terlihat Satria berusaha berdiri dengan kekuatannya yang masih belum seberapa. Namun sayang, kemampuannya belum terkumpul sempurna."Kamu heran mendengar ucapanku, kamu cuma buang-buang waktu di sini, aku akan tetap mengajukan cerai dan tid
Part 76Meringkuk dalam penjara karena fitnah dari orang yang paling aku puja dan cinta, sama sekali tidak pernah terlintas, meski dalam mimpi sekali pun.Beberapa hari ini, rindu untuk anak-anak membuncah dalam dada. Aku melarang orangtuaku membawa mereka ke penjara. Aku tidak ingin trauma hadir dalam diri anak-anak.Ibu dan Ayah tiada henti memberikan semangat untukku. Aku yakin, ini semuanya hanya sementara. Allah tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.Revan tidak menemuiku dalam beberapa hari ini. Dia menitip pesan pada ayah akan mengunjungiku hari ini. Ayah juga memgatakan Revan sedang berjuang untuk membebaskanku.Sidang perceraianku tetap di lanjutkan. Revan meminta Anton untuk terus memantau jalannya sidang."Bu, Tania! Pak Revan ingin berjumpa dengan anda," ujar penjaga tahanan.Aku berjalan denga
Part 77"Kalian ...." Aku menutup mulutku yang terbuka dengan kedua tanganku."Mamaaaaa!" teriak Rangga dan Adiba secara bersamaaan. Mereka turun dan memelukku."Ma, abang rindu sama Mama," ucap Rangga dalam pelukanku."Kakak juga, Ma," sahut Adiba dengan mengeratkan pelukannya."Mama jangan pergi lagi, ya!" Rangga melayangkan ciumannya bertubi-tubi di wajahku.Bulir bening turun tanpa perintah dari tuannya. Kerinduanku untuk permata hatiku telah sampai pada akhirnya. Aku terisak bahagia melihat mereka."Mama jangan menangis, ada abang sama adek di sini, kami sayang sama Mama." Ucapan Rangga semakin membuat air mataku luruh berderai."Ma, jangan nangis lagi, kakak sayang sama Mama," timpal Adiba seraya menyeka air mataku dengan jemarinya."Mama nggak nangis lagi," ujarku seraya menghapus air mata dengan hijabku. Menyungingkan senyum terindah untuk permata hatiku.Aku melirik ke arah Revan, dia terseny
Part 78Revan turun membukakan pintu untuk Rangga, Adiba dah Mama Rina. Anak-anak berlarian menuju ke dalam rumah yang disusul Mama Rina dari belakang."Silahkan turun, Ratuku!" Revan membukakan pintu untukku."Ratuku, sejak kapan, Van?" tanyaku seraya menurunkan kaki.Melihat aku kesusahan turun dari mobil, Revan berkata, "ayo sayang! Sini sama papa."Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Dia meraih tubuh Arisya ke dalam dekapannya."Aku masih istri sah Satria, Van!" tegasku pada Revan."Lalu ...." ujar Revan sembari bercanda dengan Arisya."Hheumm!" Leguhan kecil yang keluar dari bibirku, tidak ada gunanya memperpanjang masalah.Aku melangkah mendahului Revan yang masih berdiri dengan wajah cengengesan."Tunggu!" teriakknya pelan."Makanya cepat, jangan bengong!""Mama lama kali, capek kami tungguinnya," ujar Rangga kesal."Kenapa nggak masuk duluan, Bang?" tanyaku dengan melihat ke ara
Part 79Keanehan sangat nyata terasa. Tidak mungkin Marsya dan Satria melepaskanku begitu saja. Mereka sangat membenciku dan ancaman terakhir dari Satria yang menginginkanku membusuk di penjara. Membuatku tidak bisa mempercayai begitu saja dengan omongan Mama Rina."Van!" Aku mengarahkan pandangan penuh tanda tanya pada Revan."Sssstttt!" Revan meletakkan telunjuknya di atas bibirnya."Ya sudah, kalau kalian tidak mau mengatakannya." Aku mencebik kesal."Nak, tidak usah dipikirkan lagi, yang terpenting kamu sudah bisa berkumpul lagi dengan anak-anak.Mama Rina ingin tinggal sementara waktu denganku. Dengan Dalih ingin menenangkan diri. Orangtuaku mengizinkannya, meskipun, awalnya Ayah kurang setuju. Bujukanku meluluhkan hati Ayah untuk menerima Mama Rina.Rasa penasaran kian menyeruak. Namun, aku tidak tahu, kepada siapa harus bertanya, agar rasa ingin tahuku tuntas tidak berbekas."Aku pulang, Tan, aku harus ke luar kota untuk
Part 80"Ya Allah, Van, janganlah bahas gituan sekarang, kepalaku pusing!" Aku melipat kedua tanganku di dada dan bersandar pada tembok rumah. Netraku menatap loteng teras rumahku."Iya ... iya! Intinya jaga dirimu baik-baik. Do'aku selalu untukmu, Tan. Aku pamit," ujar Revan seraya membalikkan badan menuju mobilnya. Hanya punggung bidangnya yang terlihat. Tidak ada perbedaan pada fisik Revan. Hanya tubuhnya yang semakin kekar dan berisi."Van! Bagaimana dengan Kasus Talitha?" Revan membalikkan badannya menghadapku lagi. Aku berdiri tepat di hadapan Revan. Menunggu penjelasan yang akan dia berikan untukku."Satria berusaha membebaskannya, tapi, itu nggak kan berhasil. Thalita sudah mengaku, palingan hukumannya saja yang dikurangi, Tan," ungkap Revan. Badannya dia sandarkan pada tiang teras rumahku. Tanganya terus memainkan kunci mobilnya."Satu lagi, kamu tahu alasan
Part 81"Mama, kami main game sama Opa, ya," ujar Rangga dengan memasang muka mengibanya."Kaka juga mau, Ma," timpal Adiba dengan berlari ke arahku berdiri. Merengek untuk meminta ikut dengan Abangnya."Lakukan hal sesuka kalian hari ini, hari ini free!" teriakku. Disambut teriakan dari anak-anak yang melompat-lompat kegirangan."Oma! Temenin kakak, ya!" Rengeknya pada Mama Rina. Mau tidak mau Mama Rina harus ikut di arena bermain dengan Adiba. Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka."Mama sama Oma Salma tunggu di restoran, kalau sudah siap, kalian turun, ya!" Pesanku pada anak-anak di sambut anggukan. Sebagai tanda mereka mengerti tentang yang aku katakan.Aku dan Ibu masuk ke dalam restoran dan mall. Memesan makanan dan minuman yang ingin kami pesan. Suara riuh rendah manusia terdengar sangat nyata. Duduk menunggu anak-anak selesai bermain."Bu, titip Arisya, ya? Tania mau ke kamar mandi sebentar," ujarku seraya me
Part 82"Itu bukan urusanmu, yang perlu kamu lakukan, selesaikan segera perceraianmu dan kembalikan mamaku," ujarnya ketus. Amarah menguasainya, mata indahnya berubah semerah saga."Aku tanya sekali lagi, kamu menyukai Satria, sehingga, kamu menaruh benci padaku, benarkah, Sya"? selidikku."Jangan kau campuri urusan pribadiku!" Dia menghardik penuh amarah ke arahku. Aku semakin bingung dengan emosi Marsya yang meledak-ledak."Aku semakin yakin, bahwa, kamu menyukai Satria. Sadar, Sya, dia itu Kakakmu," ujarku seraya berusaha menenangkan Marsya."Kau diam! Kau tidak tahu apa-apa." Marsya melempar tas mewahnya ke arahku."Oouucch!"Sudut tasnya mengenai pelipisku. Rasa nyeri terasa jelas terasa dalam aliran darahku. Tangan bergerak pelan meraba pelipisku ada bercak darah yang mengalir."Sya, aku harap