PART 67
Revan menatap marah ke arah Thalita.
"Jawab saya yang ditanya Tania, jangan berlagak seperti orang gila!" tegas Revan emosi. Sorot mata elangnya sangat menakutkan.
"Kalian itu siapa, hah? Suka sekali mencampuri urusan orang lain, najis!" maki Talitha. Wajah Revan terlihat memerah. Beruntung yang di hadapannya seorang perempuan. Andaikan lelaki, maka bisa dipastikan tinjunya akan melayang tanpa perintah.
"Kalian lihat saja, suamiku akan mengeluarkanku dari sini, setelah itu, kalian akan aku habisi satu persatu," ujar Talitha dengan setengah berbisik.
Raut wajahku seketika berubah, bukan ketakutan yang jadi penyebabnya. Akan tetapi, emosi karena ingin aku gampar wajah kusamnya. Beraninya dia mengancamku dan keluargaku. Wanita dihadapanku sudah dikuasai napsu buta.
"Dasar wanita tidak tahu malu, sudah berbuat keji, masih saja berlagak sombon
Part 68Aku mengikuti Revan yang berjalan keluar menuju mobil. Dalam setiap langkah, bayangan kesakitan masih saja membayangi."Hey, jangan ngelamun. Ayo naik!" Lagi-lagi, aku terkejut dengan perintah Revan berikan. Akhir-akhir ini, aku sering melamun karena beban yang menyesaki otak dan pikiran."Tania!" Panggil Revan pelan saat kami sudah di dalam mobil."Iya, Van," jawabku."Sidang perceraian kamu minggu depan, kamu sudah siap, Tan?" tanya Revan padaku."Siap nggak siap, harus siap!" Aku memandang lurus ke depan. Berbagai bayangan memenuhi kepalaku."Kamu masih mencintai Satria, Tan?" Pertanyaan Revan membuatku tidak nyaman."Nggak!" Bohongku, meski, di dasar hati, Satria masih ada bekasnya di hatiku."Sidang pertama mediasi antara kamu dan Satria. Perlu aku temenin, Tan?" tanya Re
Part 69Plaaak ...!Tangannya mendarat kesekian kali di wajahku.Plaaak ...! Plaaaak ...!"Tidak punya akhlak kamu, Sya. selama ini aku diam, aku tidak mau terlihat bodoh di mata orang dengan meladeni wanita gila seperti kamu. Aku diam, kamu makin melunjak!" Kudorong tubuhnya menjauh dariku. Dia memegang kedua belah pipinya."Marsya, aku tidak tahu alasannya kau membenciku akhir-akhir ini ...""Dari dulu aku sudah membencimu, Tania!" teriaknya tertahan."Tania! Marsya!" Suara Mama Rina semakin mendekat."Iya, Ma," jawabku.Marsya merubah ekspresi wajahnya."Jangan pernah main tangan denganku lagi!" tegasku pada Marsya yang masih menatapku dengan pandangan Sarkas."Tania, kita ke atas jenguk Satria!" Ajak Mama Rina.Aku mengikuti Mama Rina. Membiarkan Marsya meredakan emosi yang meledak-ledak dalam jiwanya.Sesampai di atas, orangtuaku dan Revan sudah terlebih dulu berad
Part 70Aku meraung histeris dengan situasi yang sangat mencekam. Revan berusaha menenangkanku. Namun, bagaimana aku bisa tenang dengan lumuran darah di tangan dan pakaian yang aku kenakan."Tenang Tania," bisik Revan di telingaku."Tania! Apa yang kamu lakukan pada Satria?!" teriak mama Rina dengan nada membentak. Sorot matanya mengintimidasi. Tubuhku semakin bergetar hebatLidahku kelu tidak mampu berucap, Revan memegang pundakku dan menuntunku ke tempat Ibu berdiri. Tubuh ibu kaku dengan ekspresi panik."Jaga Tania," pinta Revan pada Ibuku.Revan dan Ayah mengangkat tubuh Satria. Membawanya ke bawah untuk di bawa ke rumah sakit."Awas kamu Tania, kalau kamu tidak mau balikan sama anak saya, bukan begini caranya!" Hatiku sakit mendengar penuturan wanita paruh baya di hadapanku. Namun, tidak ada bantahan karena detak jantungku hampir meledakkan dadaku."Ini buka salah Tania," bela Ibu yang tidak tahu ap
Part 71"Sabar, sayang!" Ibu memelukku erat seraya menyeka air mataku dengan jemarinya.Revan berhenti di depan sebuah rumah sakit elit di daerah tempat tinggal Satria. Dia turun dan membukakan pintu untukku dan Ibu. Baru saja kuturunan kakiku menginjak tanah, kepalaku mendadak pusing.Brruuukk ...!Tubuhku terjatuh menghantam lantai semen depan rumah sakit, sayup terdengar suara Ibu dan Revan memanggilku.****Aku terbangun dengan kepala yang masih sangat sakit, di tangan sebelah kiriku sudah menancap cairan kehidupan. Sudah pasti aku sedang berbaring di ranjang pesakitan.Kuedarkan pandangan ke sekitar ruangan, tidak ada satu orang pun yang menungguiku. Kemana Revan dan orangtuaku? Kenapa mereka meninggalkan aku seorang diri? Bagaimana keadaan Satria?Ribuan pertanyaan telah disiapkan memori untuk bertanya kepada
Part 72"Apa ... Tania akan dibawa ke penjara, Van?" tanya Ayah seakan tidak percaya apa yang Revan ucapkan."Iya, Yah, Marsya sudah membuat laporan," jawab Revan seraya menghempaskan badannya. Aku diam tidak mampu berucap."Tidak bisa ... tidak bisa, Nak, Tania tidak bersalah, tidak bisa!" Ibu mendekat dan memelukku erat, dia membelai wajahku lembut."Tenang, Nak!" Ibu membingkai wajahku dengan kedua tanganku.Suasana mendadak hening, aura kegelapan sedang menghampiriku, ujianku bertambah lagi. Aku tidak tahu sanggup atau tidak menghadapinya."Sebentar lagi Tania akan dibawa ke kantor polisi, Yah," ujar Revan dengan mengusap kasar wajahnya."Tidak akan aku biarkan mereka membawa anakku, tidak akan!" teriak Ayah emosi."Yah, dengarkan Revan, kalau Ayah sayang sama Tania, Ayah harus kooperatif dengan apa yang pihak kepolisian katakan, jangan membantah ....""Tidak, anakku tidak bersalah, Van, mereka tidak bisa
Part 73Aku dibawa ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Revan diizinkan masuk dengan catatan tidak menganggu upaya penyelidikan.Seorang polisi dengan wajah yang sanggar duduk di balik sebuah meja yang dipenuhi berkas-berkas dan seperangkat layar monitor laptop. Dia melihat tajam ke arahku. Darahku berdesir hebat, rasa kalut semakin nyata terasa."Cantik dan alim begini, kok kejam, Mbak?" tanya polisi itu sinis, terdengar Revan membuang napas kasar, seperti orang sedang kesal."Silahkan duduk!" perintah polisi bernama Subroto, sesuai dengan name tag di bajunya."Anda duduk di sana!" Perintahnya pada Revan."Tanyakan yang sesuai dengan kasusnya, jangan tanya hal yang lain," ucap Revan sebelum berjalan menuju sudut ruangan. Polisi itu tersenyum sinis pada Revan."Saudari Tania, apa motif anda melakukan percobaan pembunuhan terhadap Pak Satria?" tanyanya padaku."Saya tidak membunuhnya, dia menusuk dirinya sendiri," jawabku lanta
Part 74Revan menanyakan apa yang aku perlukan, aku memintanya membawa mukena dan sajadah serta al-qur'an kecil untukku. Dia memintaku untuk menunggu beberapa menit.Aku duduk seorang diri di sudut ruangan. Hatiku dan pikiranku tidak lagi sejalan. Rasa sakit, kecewa, menyesal dan terluka. Semuanya bercampur menjadi satu. Lelehan air mata membasahi pipiku."Ya Allah, terlalu berat ujianmu untukku," lirihku pilu.Revan kembali dengan satu kantong besar penuh belanjaan untukku. Napasnya memburu dengan raut wajah kelelahan. Dia bukan siapa-siapa, tapi perhatiannya membuatku merasa berarti."Jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa minta petugas menghubungiku," ujar Revan."Tolong, jaga anak-anak dan orangtuaku!" pintaku pada Revan. Sebisa mungkin menahan derai air mata."Jangan pernah bersedih, aku berjanji akan secepatnya
Part 75"Aku tetap pada pendirianku, lebih kamu pulang, pikiranku tidak berubah, Satria," jawabku lantang.Wajah Satria terlihat menampakkan ekspresi keterkejutan yang luar biasa, saat mendengar ucapanku."Berarti kamu sudah siap kehilangan anak-anak, Tania?" tanya Satria lagi. Dia berusaha menekanku dengan membawa nama anak-anak."Jawabanku tetap sama!""Kamu akan menyesal, Tania!"Satria melotot ke arahku. Dia kesal dengan ucapanku yang sama sekali tidak goyah dengan penawarannya."Tidak ada pilihan dalam hidup yang membuatku menyesal, kecuali, menikah dengan lelaki yang tidak memiliki hati seperti kamu!" tegasku dengan nada remeh."Tania!"Terlihat Satria berusaha berdiri dengan kekuatannya yang masih belum seberapa. Namun sayang, kemampuannya belum terkumpul sempurna."Kamu heran mendengar ucapanku, kamu cuma buang-buang waktu di sini, aku akan tetap mengajukan cerai dan tid
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami