Part 70
Aku meraung histeris dengan situasi yang sangat mencekam. Revan berusaha menenangkanku. Namun, bagaimana aku bisa tenang dengan lumuran darah di tangan dan pakaian yang aku kenakan.
"Tenang Tania," bisik Revan di telingaku.
"Tania! Apa yang kamu lakukan pada Satria?!" teriak mama Rina dengan nada membentak. Sorot matanya mengintimidasi. Tubuhku semakin bergetar hebat
Lidahku kelu tidak mampu berucap, Revan memegang pundakku dan menuntunku ke tempat Ibu berdiri. Tubuh ibu kaku dengan ekspresi panik.
"Jaga Tania," pinta Revan pada Ibuku.
Revan dan Ayah mengangkat tubuh Satria. Membawanya ke bawah untuk di bawa ke rumah sakit.
"Awas kamu Tania, kalau kamu tidak mau balikan sama anak saya, bukan begini caranya!" Hatiku sakit mendengar penuturan wanita paruh baya di hadapanku. Namun, tidak ada bantahan karena detak jantungku hampir meledakkan dadaku.
"Ini buka salah Tania," bela Ibu yang tidak tahu ap
Part 71"Sabar, sayang!" Ibu memelukku erat seraya menyeka air mataku dengan jemarinya.Revan berhenti di depan sebuah rumah sakit elit di daerah tempat tinggal Satria. Dia turun dan membukakan pintu untukku dan Ibu. Baru saja kuturunan kakiku menginjak tanah, kepalaku mendadak pusing.Brruuukk ...!Tubuhku terjatuh menghantam lantai semen depan rumah sakit, sayup terdengar suara Ibu dan Revan memanggilku.****Aku terbangun dengan kepala yang masih sangat sakit, di tangan sebelah kiriku sudah menancap cairan kehidupan. Sudah pasti aku sedang berbaring di ranjang pesakitan.Kuedarkan pandangan ke sekitar ruangan, tidak ada satu orang pun yang menungguiku. Kemana Revan dan orangtuaku? Kenapa mereka meninggalkan aku seorang diri? Bagaimana keadaan Satria?Ribuan pertanyaan telah disiapkan memori untuk bertanya kepada
Part 72"Apa ... Tania akan dibawa ke penjara, Van?" tanya Ayah seakan tidak percaya apa yang Revan ucapkan."Iya, Yah, Marsya sudah membuat laporan," jawab Revan seraya menghempaskan badannya. Aku diam tidak mampu berucap."Tidak bisa ... tidak bisa, Nak, Tania tidak bersalah, tidak bisa!" Ibu mendekat dan memelukku erat, dia membelai wajahku lembut."Tenang, Nak!" Ibu membingkai wajahku dengan kedua tanganku.Suasana mendadak hening, aura kegelapan sedang menghampiriku, ujianku bertambah lagi. Aku tidak tahu sanggup atau tidak menghadapinya."Sebentar lagi Tania akan dibawa ke kantor polisi, Yah," ujar Revan dengan mengusap kasar wajahnya."Tidak akan aku biarkan mereka membawa anakku, tidak akan!" teriak Ayah emosi."Yah, dengarkan Revan, kalau Ayah sayang sama Tania, Ayah harus kooperatif dengan apa yang pihak kepolisian katakan, jangan membantah ....""Tidak, anakku tidak bersalah, Van, mereka tidak bisa
Part 73Aku dibawa ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Revan diizinkan masuk dengan catatan tidak menganggu upaya penyelidikan.Seorang polisi dengan wajah yang sanggar duduk di balik sebuah meja yang dipenuhi berkas-berkas dan seperangkat layar monitor laptop. Dia melihat tajam ke arahku. Darahku berdesir hebat, rasa kalut semakin nyata terasa."Cantik dan alim begini, kok kejam, Mbak?" tanya polisi itu sinis, terdengar Revan membuang napas kasar, seperti orang sedang kesal."Silahkan duduk!" perintah polisi bernama Subroto, sesuai dengan name tag di bajunya."Anda duduk di sana!" Perintahnya pada Revan."Tanyakan yang sesuai dengan kasusnya, jangan tanya hal yang lain," ucap Revan sebelum berjalan menuju sudut ruangan. Polisi itu tersenyum sinis pada Revan."Saudari Tania, apa motif anda melakukan percobaan pembunuhan terhadap Pak Satria?" tanyanya padaku."Saya tidak membunuhnya, dia menusuk dirinya sendiri," jawabku lanta
Part 74Revan menanyakan apa yang aku perlukan, aku memintanya membawa mukena dan sajadah serta al-qur'an kecil untukku. Dia memintaku untuk menunggu beberapa menit.Aku duduk seorang diri di sudut ruangan. Hatiku dan pikiranku tidak lagi sejalan. Rasa sakit, kecewa, menyesal dan terluka. Semuanya bercampur menjadi satu. Lelehan air mata membasahi pipiku."Ya Allah, terlalu berat ujianmu untukku," lirihku pilu.Revan kembali dengan satu kantong besar penuh belanjaan untukku. Napasnya memburu dengan raut wajah kelelahan. Dia bukan siapa-siapa, tapi perhatiannya membuatku merasa berarti."Jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa minta petugas menghubungiku," ujar Revan."Tolong, jaga anak-anak dan orangtuaku!" pintaku pada Revan. Sebisa mungkin menahan derai air mata."Jangan pernah bersedih, aku berjanji akan secepatnya
Part 75"Aku tetap pada pendirianku, lebih kamu pulang, pikiranku tidak berubah, Satria," jawabku lantang.Wajah Satria terlihat menampakkan ekspresi keterkejutan yang luar biasa, saat mendengar ucapanku."Berarti kamu sudah siap kehilangan anak-anak, Tania?" tanya Satria lagi. Dia berusaha menekanku dengan membawa nama anak-anak."Jawabanku tetap sama!""Kamu akan menyesal, Tania!"Satria melotot ke arahku. Dia kesal dengan ucapanku yang sama sekali tidak goyah dengan penawarannya."Tidak ada pilihan dalam hidup yang membuatku menyesal, kecuali, menikah dengan lelaki yang tidak memiliki hati seperti kamu!" tegasku dengan nada remeh."Tania!"Terlihat Satria berusaha berdiri dengan kekuatannya yang masih belum seberapa. Namun sayang, kemampuannya belum terkumpul sempurna."Kamu heran mendengar ucapanku, kamu cuma buang-buang waktu di sini, aku akan tetap mengajukan cerai dan tid
Part 76Meringkuk dalam penjara karena fitnah dari orang yang paling aku puja dan cinta, sama sekali tidak pernah terlintas, meski dalam mimpi sekali pun.Beberapa hari ini, rindu untuk anak-anak membuncah dalam dada. Aku melarang orangtuaku membawa mereka ke penjara. Aku tidak ingin trauma hadir dalam diri anak-anak.Ibu dan Ayah tiada henti memberikan semangat untukku. Aku yakin, ini semuanya hanya sementara. Allah tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.Revan tidak menemuiku dalam beberapa hari ini. Dia menitip pesan pada ayah akan mengunjungiku hari ini. Ayah juga memgatakan Revan sedang berjuang untuk membebaskanku.Sidang perceraianku tetap di lanjutkan. Revan meminta Anton untuk terus memantau jalannya sidang."Bu, Tania! Pak Revan ingin berjumpa dengan anda," ujar penjaga tahanan.Aku berjalan denga
Part 77"Kalian ...." Aku menutup mulutku yang terbuka dengan kedua tanganku."Mamaaaaa!" teriak Rangga dan Adiba secara bersamaaan. Mereka turun dan memelukku."Ma, abang rindu sama Mama," ucap Rangga dalam pelukanku."Kakak juga, Ma," sahut Adiba dengan mengeratkan pelukannya."Mama jangan pergi lagi, ya!" Rangga melayangkan ciumannya bertubi-tubi di wajahku.Bulir bening turun tanpa perintah dari tuannya. Kerinduanku untuk permata hatiku telah sampai pada akhirnya. Aku terisak bahagia melihat mereka."Mama jangan menangis, ada abang sama adek di sini, kami sayang sama Mama." Ucapan Rangga semakin membuat air mataku luruh berderai."Ma, jangan nangis lagi, kakak sayang sama Mama," timpal Adiba seraya menyeka air mataku dengan jemarinya."Mama nggak nangis lagi," ujarku seraya menghapus air mata dengan hijabku. Menyungingkan senyum terindah untuk permata hatiku.Aku melirik ke arah Revan, dia terseny
Part 78Revan turun membukakan pintu untuk Rangga, Adiba dah Mama Rina. Anak-anak berlarian menuju ke dalam rumah yang disusul Mama Rina dari belakang."Silahkan turun, Ratuku!" Revan membukakan pintu untukku."Ratuku, sejak kapan, Van?" tanyaku seraya menurunkan kaki.Melihat aku kesusahan turun dari mobil, Revan berkata, "ayo sayang! Sini sama papa."Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Dia meraih tubuh Arisya ke dalam dekapannya."Aku masih istri sah Satria, Van!" tegasku pada Revan."Lalu ...." ujar Revan sembari bercanda dengan Arisya."Hheumm!" Leguhan kecil yang keluar dari bibirku, tidak ada gunanya memperpanjang masalah.Aku melangkah mendahului Revan yang masih berdiri dengan wajah cengengesan."Tunggu!" teriakknya pelan."Makanya cepat, jangan bengong!""Mama lama kali, capek kami tungguinnya," ujar Rangga kesal."Kenapa nggak masuk duluan, Bang?" tanyaku dengan melihat ke ara