PART 66
Naluriku mengatakan keanehan masih terjadi pada kasus Roby. Firasatku mengatakan bukan hanya Thalitha yang terlibat dalam kasus kematian Roby.
"Sejauh ini, belum ada tersangka lain dalam kasus ini, Tan," jawab Revan. Dia menatapku tajam. Hari ini ada rasa aneh yang terasa dalam diri. Tatkala netranya beradu dengan netraku.
"Hmmm ...! Kita ke tempat Thalita sekarang, Ya!" ajakku pada Revan yang masih duduk santai.
"Kemarin, kamu chat aku, mau bicarain apa, Tan?" tanyanya padaku.
"Mau bahas kalung Thalita, tapi ya sudahlah, orangnya juga sudah tertangkap. Aku ambil tas dulu di atas," ujarku seraya berlari menaiki tangga.
"Aku tunggu di mobil, Tan!" teriak Revan.
Tidak lama kemudian aku turun menuju mobil Revan.
"Tania!" Suara Ayah memanggilku. Langkahku terhenti dan menoleh pada Ayah.
"Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ayah padaku.
"Mau pergi sebentar sama Revan, Yah, ada masalah yang harus Tania selesaikan
PART 67Revan menatap marah ke arah Thalita."Jawab saya yang ditanya Tania, jangan berlagak seperti orang gila!" tegas Revan emosi. Sorot mata elangnya sangat menakutkan."Kalian itu siapa, hah? Suka sekali mencampuri urusan orang lain, najis!" maki Talitha. Wajah Revan terlihat memerah. Beruntung yang di hadapannya seorang perempuan. Andaikan lelaki, maka bisa dipastikan tinjunya akan melayang tanpa perintah."Kalian lihat saja, suamiku akan mengeluarkanku dari sini, setelah itu, kalian akan aku habisi satu persatu," ujar Talitha dengan setengah berbisik.Raut wajahku seketika berubah, bukan ketakutan yang jadi penyebabnya. Akan tetapi, emosi karena ingin aku gampar wajah kusamnya. Beraninya dia mengancamku dan keluargaku. Wanita dihadapanku sudah dikuasai napsu buta."Dasar wanita tidak tahu malu, sudah berbuat keji, masih saja berlagak sombon
Part 68Aku mengikuti Revan yang berjalan keluar menuju mobil. Dalam setiap langkah, bayangan kesakitan masih saja membayangi."Hey, jangan ngelamun. Ayo naik!" Lagi-lagi, aku terkejut dengan perintah Revan berikan. Akhir-akhir ini, aku sering melamun karena beban yang menyesaki otak dan pikiran."Tania!" Panggil Revan pelan saat kami sudah di dalam mobil."Iya, Van," jawabku."Sidang perceraian kamu minggu depan, kamu sudah siap, Tan?" tanya Revan padaku."Siap nggak siap, harus siap!" Aku memandang lurus ke depan. Berbagai bayangan memenuhi kepalaku."Kamu masih mencintai Satria, Tan?" Pertanyaan Revan membuatku tidak nyaman."Nggak!" Bohongku, meski, di dasar hati, Satria masih ada bekasnya di hatiku."Sidang pertama mediasi antara kamu dan Satria. Perlu aku temenin, Tan?" tanya Re
Part 69Plaaak ...!Tangannya mendarat kesekian kali di wajahku.Plaaak ...! Plaaaak ...!"Tidak punya akhlak kamu, Sya. selama ini aku diam, aku tidak mau terlihat bodoh di mata orang dengan meladeni wanita gila seperti kamu. Aku diam, kamu makin melunjak!" Kudorong tubuhnya menjauh dariku. Dia memegang kedua belah pipinya."Marsya, aku tidak tahu alasannya kau membenciku akhir-akhir ini ...""Dari dulu aku sudah membencimu, Tania!" teriaknya tertahan."Tania! Marsya!" Suara Mama Rina semakin mendekat."Iya, Ma," jawabku.Marsya merubah ekspresi wajahnya."Jangan pernah main tangan denganku lagi!" tegasku pada Marsya yang masih menatapku dengan pandangan Sarkas."Tania, kita ke atas jenguk Satria!" Ajak Mama Rina.Aku mengikuti Mama Rina. Membiarkan Marsya meredakan emosi yang meledak-ledak dalam jiwanya.Sesampai di atas, orangtuaku dan Revan sudah terlebih dulu berad
Part 70Aku meraung histeris dengan situasi yang sangat mencekam. Revan berusaha menenangkanku. Namun, bagaimana aku bisa tenang dengan lumuran darah di tangan dan pakaian yang aku kenakan."Tenang Tania," bisik Revan di telingaku."Tania! Apa yang kamu lakukan pada Satria?!" teriak mama Rina dengan nada membentak. Sorot matanya mengintimidasi. Tubuhku semakin bergetar hebatLidahku kelu tidak mampu berucap, Revan memegang pundakku dan menuntunku ke tempat Ibu berdiri. Tubuh ibu kaku dengan ekspresi panik."Jaga Tania," pinta Revan pada Ibuku.Revan dan Ayah mengangkat tubuh Satria. Membawanya ke bawah untuk di bawa ke rumah sakit."Awas kamu Tania, kalau kamu tidak mau balikan sama anak saya, bukan begini caranya!" Hatiku sakit mendengar penuturan wanita paruh baya di hadapanku. Namun, tidak ada bantahan karena detak jantungku hampir meledakkan dadaku."Ini buka salah Tania," bela Ibu yang tidak tahu ap
Part 71"Sabar, sayang!" Ibu memelukku erat seraya menyeka air mataku dengan jemarinya.Revan berhenti di depan sebuah rumah sakit elit di daerah tempat tinggal Satria. Dia turun dan membukakan pintu untukku dan Ibu. Baru saja kuturunan kakiku menginjak tanah, kepalaku mendadak pusing.Brruuukk ...!Tubuhku terjatuh menghantam lantai semen depan rumah sakit, sayup terdengar suara Ibu dan Revan memanggilku.****Aku terbangun dengan kepala yang masih sangat sakit, di tangan sebelah kiriku sudah menancap cairan kehidupan. Sudah pasti aku sedang berbaring di ranjang pesakitan.Kuedarkan pandangan ke sekitar ruangan, tidak ada satu orang pun yang menungguiku. Kemana Revan dan orangtuaku? Kenapa mereka meninggalkan aku seorang diri? Bagaimana keadaan Satria?Ribuan pertanyaan telah disiapkan memori untuk bertanya kepada
Part 72"Apa ... Tania akan dibawa ke penjara, Van?" tanya Ayah seakan tidak percaya apa yang Revan ucapkan."Iya, Yah, Marsya sudah membuat laporan," jawab Revan seraya menghempaskan badannya. Aku diam tidak mampu berucap."Tidak bisa ... tidak bisa, Nak, Tania tidak bersalah, tidak bisa!" Ibu mendekat dan memelukku erat, dia membelai wajahku lembut."Tenang, Nak!" Ibu membingkai wajahku dengan kedua tanganku.Suasana mendadak hening, aura kegelapan sedang menghampiriku, ujianku bertambah lagi. Aku tidak tahu sanggup atau tidak menghadapinya."Sebentar lagi Tania akan dibawa ke kantor polisi, Yah," ujar Revan dengan mengusap kasar wajahnya."Tidak akan aku biarkan mereka membawa anakku, tidak akan!" teriak Ayah emosi."Yah, dengarkan Revan, kalau Ayah sayang sama Tania, Ayah harus kooperatif dengan apa yang pihak kepolisian katakan, jangan membantah ....""Tidak, anakku tidak bersalah, Van, mereka tidak bisa
Part 73Aku dibawa ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Revan diizinkan masuk dengan catatan tidak menganggu upaya penyelidikan.Seorang polisi dengan wajah yang sanggar duduk di balik sebuah meja yang dipenuhi berkas-berkas dan seperangkat layar monitor laptop. Dia melihat tajam ke arahku. Darahku berdesir hebat, rasa kalut semakin nyata terasa."Cantik dan alim begini, kok kejam, Mbak?" tanya polisi itu sinis, terdengar Revan membuang napas kasar, seperti orang sedang kesal."Silahkan duduk!" perintah polisi bernama Subroto, sesuai dengan name tag di bajunya."Anda duduk di sana!" Perintahnya pada Revan."Tanyakan yang sesuai dengan kasusnya, jangan tanya hal yang lain," ucap Revan sebelum berjalan menuju sudut ruangan. Polisi itu tersenyum sinis pada Revan."Saudari Tania, apa motif anda melakukan percobaan pembunuhan terhadap Pak Satria?" tanyanya padaku."Saya tidak membunuhnya, dia menusuk dirinya sendiri," jawabku lanta
Part 74Revan menanyakan apa yang aku perlukan, aku memintanya membawa mukena dan sajadah serta al-qur'an kecil untukku. Dia memintaku untuk menunggu beberapa menit.Aku duduk seorang diri di sudut ruangan. Hatiku dan pikiranku tidak lagi sejalan. Rasa sakit, kecewa, menyesal dan terluka. Semuanya bercampur menjadi satu. Lelehan air mata membasahi pipiku."Ya Allah, terlalu berat ujianmu untukku," lirihku pilu.Revan kembali dengan satu kantong besar penuh belanjaan untukku. Napasnya memburu dengan raut wajah kelelahan. Dia bukan siapa-siapa, tapi perhatiannya membuatku merasa berarti."Jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa minta petugas menghubungiku," ujar Revan."Tolong, jaga anak-anak dan orangtuaku!" pintaku pada Revan. Sebisa mungkin menahan derai air mata."Jangan pernah bersedih, aku berjanji akan secepatnya