“Sial! Kenapa jalanan bisa semacet ini?” Seorang lelaki berambut ikal mengomel sendirian di balik kemudi. Mobil hitam yang dikendarainya melaju dengan cepat menuju kemacetan.
Beberapa meter di depan sana, mobil dan motor sudah berjajar antre. Tampaknya juga sudah mengular entah dari jarak berapa. Yang pasti, sampai belokan di depan sana pun masih macet. Benar-benar tidak bergerak. Entah apa penyebab semua kemacetan ini.
“Oh, God! Please! Aku tidak punya banyak waktu!” serunya dengan frustrasi.
Hanya dalam beberapa detik, mobil yang dikendarainya juga akan terjebak macet. Matanya melirik ke kaca spion, di belakangnya juga banyak kendaraan. Kalau sampai ia berhenti, sudah bisa dipastikan mobil ini tidak akan bisa berkutik lagi. Itu artinya, ia sedang menggadaikan nyawa seseorang pada malaikat maut.
Seorang pengendara lain dalam mobil tampak suntuk. Sepertinya sudah berjam-jam ia terjebak di sini. “Apa aku harus menunggu sampai tahun depan?” ujarnya kesal pada keadaan. Matanya menatap nanar menembus jendela mobil. Mengamati hari yang teriknya luar biasa. Tetap terasa gerah meski pendingin mobil sudah maksimal.
Akan tetapi, suasana siang itu kemudian rusak begitu saja. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Seperti ada benda keras yang menabrak benda keras lainnya. Hal itu tentu saja membuat mereka penasaran dan langsung mencari tahu sumber suara. Sekaligus dalang yang sudah membuat jantung hampir melompat dari tempatnya.
Dari arah belakang, mereka bisa melihat sebuah mobil yang menerjang separator jalan dan melaju melawan arah. Beberapa kali mobil tersebut hampir menabrak kendaraan lain yang melaju ke arah sebaliknya.
“Oh, aku tidak punya pilihan, Guys,” ujar lelaki berambut ikal. Ia tahu orang-orang itu tidak akan mendengarnya. Namun, ia masih mengatakannya.
Lelaki berambut ikal itu tidak punya pilihan lain. Kalau sampai ia terjebak macet, akibat yang ditimbulkan akan sangat fatal. Akhirnya, dalam waktu sepersekian detik, ia memutuskan untuk menerjang separator. Pilihan ini bukannya tanpa risiko. Ia tahu risiko terburuknya adalah nyawanya sendiri atau mungkin malah nyawa orang lain yang tidak bersalah.
Satu lagi, tindakan ini benar-benar melanggar hukum. Bisa saja ia dikejar oleh petugas keamanan yang nantinya akan semakin menyusahkannya. Namun, ia sudah bertekad untuk menghadapi apa pun yang ada. Bahkan menabrak mobil polisi yang berusaha mengejarnya kalau memang diperlukan.
“Wait for me, Boy!” serunya sendirian dan semakin dalam menginjak pedal gas.
***
Berkilo-kilo meter dari sana.
“Kenapa?” tanya seorang wanita. Ia berjongkok di depan pria yang, kalau menilik dari lukanya, sedang sekarat. “Duniamu terhempas ke tanah?” lanjutnya sambil menyeringai.
Meski pria di depannya sudah berlumuran darah dan tampak tidak berdaya, wanita itu sama sekali tidak merasa iba. Bahkan terlihat sangat bahagia. Seolah baru saja memenangkan undian berhadiah yang sudah ditunggu-tunggu selama puluhan tahun.
“Sekarang kau percaya kalau lautan memang penuh misteri? Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam sana. Mungkin kehidupan bawah laut yang indah, mungkin juga monster yang menyeramkan. Tidak ada yang tahu. Tidak juga kau, badai yang katanya hebat.”
Wanita itu terus mengoceh. Tidak peduli pria di depannya mendengarkan atau tidak. Ia hanya ingin menikmati detik demi detik. Lebih tepatnya menikmati rasa sakit yang sudah ditimbulkan olehnya. Karena ia tahu, luka fisik yang diderita pria ini tidak sebanding dengan luka hati. Ia merasa bangga karena sudah berhasil menciptakan luka sehebat ini.
Bahkan pria ini akan mengingat rasa sakitnya sampai ke neraka. Kabar baiknya, ia merasa gerbang neraka sudah terbuka lebar dan siap menerima tubuh tak berdaya yang tergeletak di atas aspal itu.
“Akulah pemain ulung. Akulah pemenang yang sesungguhnya,” bisiknya.
Arizona, 1985“Tolong angkat teleponnya, Jam.” Seorang wanita dengan perut besar tampak khawatir. Wajahnya sudah pucat pasi. Sementara sebelah tangan sibuk mengelus perut. Bulatan besar itu seolah siap mengeluarkan isinya kapan saja.Gagang telepon di tangannya hanya mengeluarkan suara deringan. Namun, suara lelaki yang sejak tadi diharapkannya sama sekali tidak terdengar. Ia semakin panik karena kontraksi di perutnya terasa semakin hebat. Untuk kesekian kali, ia mencoba untuk menelepon ulang nomor yang sama. Meski harapannya sudah semakin mengecil sekarang.Titik-titik keringat mulai bermunculan di kening ibu hamil. “Jam, kau di mana? Rasa sakit ini benar-benar menyiksaku sekarang.”Ruangan besar itu terasa sunyi. Di atas kursi, sang ibu hamil sudah terduduk dengan lemas. Bahkan tenaganya pun sudah tidak cukup kuat untuk memanggil pelayan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Namun, mulutnya tak henti-he
“Apa Anda suami pasien?” tanya seorang perawat menghampiri Frank.“Saya pelayannya,” jawab Frank.Menilik dari ekspresi perawat tersebut, sepertinya ada sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ada apa, Sus?”“Pasien harus dioperasi, Pak. Keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan secara normal,” ucap perawat tersebut dengan wajah serius.“Lakukan saja, Sus.” Tanpa banyak berpikir Frank langsung menyetujui.“Tapi kami harus meminta tanda tangan keluarga atau suami.” Perawat berkata dengan tegas.Jawaban itu semakin membuat Frank gusar. Ia tidak tahu Jam sudah sampai di mana sekarang. Belum tentu juga lelaki itu akan tiba di sini dalam waktu singkat mengingat hujan sudah mulai turun di luar.“Apa tidak bisa diwakilkan?” Frank menaikkan sebelah alis. Mencoba untuk membuat negosiasi.Sang perawat tersenyum. “Prosedur rumah sakit se
Frank menoleh ke asal suara. Jam berjalan tergopoh. Kemejanya terlihat kusut tidak karuan. Sama kusut dengan wajahnya. Belum lagi ditambah titik-titik air yang jatuh dari rambut. “Ada di ujung dunia belahan mana kau?” tanya Frank tanpa basa-basi. Raut wajahnya tampak kesal. Meski hanya pelayan, Frank sudah dianggap saudara sendiri oleh Jam. Bahkan di antara mereka sudah tidak ada sekat antara pelayan dan majikan. Tak jarang Jam yang harus menunduk pada Frank jika merasa dirinya salah. “Ruangan ini memang cukup tenang, Frank. Sampai kau tidak sadar kalau di luar sedang terjadi badai hebat.” Jam berusaha untuk membela diri. Tangannya menyisir rambut yang sedikit berantakan dan basah. Saat Frank menelepon dan mengatakan Aleda masuk rumah sakit, Jam memang langsung pergi menyusul. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Angin bergerak kencang sampai merobohkan sebuah pohon besar. Tentu saja hal itu juga melumpuhkan lalu lintas. Ke
Bunyi peluru di udara entah sudah terdengar berapa kali sejak tadi. Belum lagi suara teriakan yang terus-menerus memecahkan konsentrasi. Hiruk pikuk kota sama sekali tidak peduli dengan dua mobil hitam yang terus berkejaran sejak tadi. Entah sudah berapa kilometer mereka habiskan untuk hal itu.“Belok kanan, Gale!” teriak Ben sembari menunjuk pertigaan di depan mereka.Pria bernama Gale itu langsung membelokkan kemudi dengan cepat. Sesuai dengan instruksi sahabatnya. Mobil di belakang mereka juga ikut membelok dengan akurat. Seperti bisa membaca gerakan mobil ini.Jalanan yang mereka lewati cukup ramai. Gale harus pintar-pintar menyesuaikan diri agar mobilnya bisa melaju dengan cepat dan tanpa hambatan. Begitu ada sedikit celah, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Langsung bermanuver dengan gerakan yang begitu memesona. Skill mengemudinya memang sudah terlihat sejak pertama kali ia mencuri pakai mobil milik ayahnya.“Coba tembak, B
Sementara itu, Gale masih diam terpaku di tempat. Matanya menatap lurus menembus kaca depan mobil. Di zebra cross sana beberapa anak berbaris menuju ke seberang jalan. Namun, bukan itu yang berhasil menyita perhatiannya. Melainkan seorang gadis yang sedang mengatur anak-anak itu.“Ayo, anak-anak.” Sang gadis tampak memberikan instruksi agar anak-anak mulai berjalan.Rambut panjang gadis itu dibiarkan terurai begitu saja. Tampak terayun-ayun dengan indah. Belum lagi ditambah dengan caranya mengarahkan anak-anak. Meski terlihat sedikit kesulitan, ia tetap tersenyum dengan manis. Jiwa keibuan terpancar dari sosoknya.Benar-benar sihir yang hebat untuk seorang Gale. Ia sampai lupa diri kalau mereka sedang dikejar-kejar oleh musuh sekarang. Pesona yang sangat kuat dari seorang pengasuh anak-anak di tengah jalan. Bahkan Gale merasa dunianya seperti berhenti sekarang. Tidak ada yang bergerak, bahkan detak jantungnya sendiri.“Seperti m
Arizona, 1984Hujan mengguyur kota sejak dua jam yang lalu. Hawa dinginnya terasa begitu menusuk tulang. Jalanan juga terlihat lebih lengang dibanding biasanya. Sepertinya orang-orang enggan untuk pergi keluar rumah. Penghangat ruangan memang lebih baik dibanding dinginnya jalanan. Hanya mereka yang memiliki kepentingan mendesak yang terpaksa harus ada di jalanan.“Kate, kau belum pulang?” tanya rekan kerjanya sembari mengunci pintu.Kate masih berdiri di depan toko. Memandang titik-titik air hujan yang turun bersusulan sejak tadi. “Aku masih menunggu hujan reda,” jawabnya.“Kenapa tidak naik angkutan umum saja?” Rekan kerjanya menunjuk sebuah bus yang melaju pelan di depan mereka. Bus kota itu terlihat kosong. Hanya ada beberapa orang di dalamnya.Hanya gelengan kepala yang diberikan oleh Kate sebagai jawaban. Ia bisa saja naik bus malam ini dan duduk dengan santai di dalamnya. Namun, uang yang ada di k
“Eh, siapa in ....” Kate merasa kesulitan untuk bernapas karena tiba-tiba dari belakang ada yang membekap mulutnya. Bukan hanya itu, Kate merasa dirinya ditarik oleh sosok tak dikenal itu.Bukannya tidak melawan, Kate malah berusaha untuk melepaskan diri dengan cara menendang-nendang. Sayangnya, orang di belakangnya yang entah siapa itu seperti memiliki kekuatan super. Sama sekali tidak terpengaruh oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Kate.“Diam!” Suara di belakang Kate terdengar berat dan kasar.Tangan besar yang menutupi wajah Kate cukup membuatnya hampir kehabisan oksigen. Bahkan pandangannya pun sudah mulai berkunang-kunang. Malam yang gelap dan mencekam semakin terasa menakutkan. Kate melihat bulan di atas sana bergerak mengikuti gerakannya yang terus diseret oleh penculiknya.Entah akan dibawa ke mana ia. Yang pasti, mereka terus menjauh dari jalanan utama. Bahkan sekarang kaki Kate sudah tidak lagi menapak ke tanah. Ia se
Keluar kandang harimau, masuk ke kandang singa.Kate bahkan tidak menyadari saat tubuhnya menabrak sesuatu dan membuatnya jatuh terjerembap ke tanah. Setelah beberapa detik, barulah ia tahu kalau keadaan sangat tidak berpihak padanya. Di depan sana, menjulang sosok raksasa yang sama besar dengan raksasa sebelumnya. Ditambah wajahnya juga tak kalah menyeramkan.Untuk menghadapi satu orang saja Kate kewalahan. Apalagi dua. Dunia benar-benar terasa mengerikan sekarang. Ia tidak bisa lagi berpikir jernih atau berusaha untuk berpikir positif. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bayangan hal-hal yang tidak menyenangkan.“Berhenti di sana!” Kate mencoba memberi peringatan pada lelaki kedua agar tidak mendekat.Sayangnya, peringatan itu hanya dibalas dengan seringai. “Tidak perlu berteriak-teriak. Kita bisa mengobrol dengan lebih akrab,” ucapnya.Kate menoleh. Di ujung sana, lelaki yang pertama sedang berdiri sembari tersenyum. A