Bumi berputar sebagaimana mestinya. Sama sekali tidak peduli dengan seorang gadis malang yang kembali tidak sadarkan diri di lantai sebuah bangunan kosong. Gadis yang kehilangan seluruh harapan hidup karena tingkah manusia serakah tak punya hati.
Kadang semesta memang memberikan rasa sakit tak berkesudahan untuk segelintir orang. Rasa sakit yang tidak akan pernah ditemukan obatnya. Yang setiap harinya akan terus mengalirkan darah tak kasat mata. Luka menganga yang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia normal. Hanya orang-orang berhati bijak yang akan menyadari betapa dalamnya luka tersebut.
Akan tetapi, semesta selalu bekerja dua sisi. Ketika memberikan rasa sakit, ia juga sedang menyiapkan alasan di balik semua itu. Sama seperti yang dialami oleh Kate sekarang. Memang saat ini ia belum mengerti atau mungkin tidak akan pernah mengerti. Namun, kejadian hari ini sangatlah berarti untuk seseorang di masa depan sana. Seseorang yang tidak sengaja terhubung dengannya nan
“Hei! Lihatlah gadis itu!” Seorang ibu paruh baya berbicara pada temannya sembari menunjuk Kate.Yang ditunjuk hanya bisa menunduk sembari berjalan dengan tertatih. Ia tahu pasti akan menyita perhatian orang. Bagaimana tidak? Penampilannya sungguh acak-acakan. Rambut berantakan, wajah kusut, baju dan celana sobek, badan membiru dan lebam. Tentu saja orang akan bertanya-tanya.Rupanya seruan itu membuat orang-orang yang ada di jalan refleks menoleh. Tentu saja sama seperti yang dipikirkan oleh Kate. Mereka semua memandangnya dengan heran. Kening-kening berkerut, jari-jari menunjuk, mulut-mulut berbisik.“Mama, Mama, apakah itu orang gila?” Seorang anak kecil bertanya pada ibunya sambil menunjuk Kate.Wajar saja kalau anak kecil itu berpikir demikian. Penampilan Kate memang sangat tidak meyakinkan untuk disebut manusia normal.Dituduh seperti itu, hati Kate rasanya sakit sekali. Ia benar-benar tidak memiliki harga diri sekaran
Entah butuh waktu berapa lama untuk Kate sampai di rumah. Yang pasti, matahari sudah sempurna tenggelam ketika akhirnya ia sampai di depan pintu rumah.Rumah kecil di permukiman padat penduduk itu terlihat sepi. Kate mendongak dan menatap tulisan Gil Dalton dengan nanar. Hatinya langsung mencelos mengingat ayahnya.Tangan kecil Kate mendorong pintu yang tidak terkunci. Pelan-pelan sekali ia melakukannya. Seolah takut bangunan ringkih ini akan roboh karena sentuhan tangannya. Begitu pintu sudah terbuka sempurna, hanya ruangan kosong dan lengang yang menyapa. Sama sekali tidak ada orang.“Ayah ke mana?” Kate berbicara dalam hati. Ia belum berani mengeluarkan suara. Lebih tepatnya tidak ingin Gil melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini.Pelan-pelan sekali ia mencoba masuk. Kemudian menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ia terlihat seperti maling yang sedang mengendap-endap memasuki rumah orang. Padahal ini adalah rumah ayahnya sendiri
“Maaf untuk apa, Sayang? Kau tidak perlu minta maaf. Aku senang karena akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku takut sekali kalau kau hilang.” Gil mengelus rambut Kate dengan halus.Kalimat tersebut terdengar menyakitkan di telinga. Membuat air mata Kate tidak berhenti mengalir. Bahkan sampai membasahi baju Gil.Lihatlah, lelaki itu begitu menyayanginya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menceritakan apa yang sudah terjadi. Ia tidak ingin Gil kecewa. Karena hal itu pasti akan berakibat buruk pada kesehatan Gil nantinya.Dalam hati, Kate bertekad untuk menyimpan semua cerita ini sendiri. Alangkah lebih baiknya jika tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Gil. Biarlah kejadian kelam malam itu menjadi kenangan buruk yang jauh tertinggal di belakang sana.“Kau ke mana saja?” Gil melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi Kate. Bibirnya tampak bergetar ketika mengatakan hal ini. Pertanda betapa hebat gejolak perasaannya di dalam sana
“Sial! Kenapa jalanan bisa semacet ini?” Seorang lelaki berambut ikal mengomel sendirian di balik kemudi. Mobil hitam yang dikendarainya melaju dengan cepat menuju kemacetan.Beberapa meter di depan sana, mobil dan motor sudah berjajar antre. Tampaknya juga sudah mengular entah dari jarak berapa. Yang pasti, sampai belokan di depan sana pun masih macet. Benar-benar tidak bergerak. Entah apa penyebab semua kemacetan ini.“Oh, God! Please! Aku tidak punya banyak waktu!” serunya dengan frustrasi.Hanya dalam beberapa detik, mobil yang dikendarainya juga akan terjebak macet. Matanya melirik ke kaca spion, di belakangnya juga banyak kendaraan. Kalau sampai ia berhenti, sudah bisa dipastikan mobil ini tidak akan bisa berkutik lagi. Itu artinya, ia sedang menggadaikan nyawa seseorang pada malaikat maut.Seorang pengendara lain dalam mobil tampak suntuk. Sepertinya sudah berjam-jam ia terjebak di sini. “Apa aku haru
Arizona, 1985“Tolong angkat teleponnya, Jam.” Seorang wanita dengan perut besar tampak khawatir. Wajahnya sudah pucat pasi. Sementara sebelah tangan sibuk mengelus perut. Bulatan besar itu seolah siap mengeluarkan isinya kapan saja.Gagang telepon di tangannya hanya mengeluarkan suara deringan. Namun, suara lelaki yang sejak tadi diharapkannya sama sekali tidak terdengar. Ia semakin panik karena kontraksi di perutnya terasa semakin hebat. Untuk kesekian kali, ia mencoba untuk menelepon ulang nomor yang sama. Meski harapannya sudah semakin mengecil sekarang.Titik-titik keringat mulai bermunculan di kening ibu hamil. “Jam, kau di mana? Rasa sakit ini benar-benar menyiksaku sekarang.”Ruangan besar itu terasa sunyi. Di atas kursi, sang ibu hamil sudah terduduk dengan lemas. Bahkan tenaganya pun sudah tidak cukup kuat untuk memanggil pelayan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Namun, mulutnya tak henti-he
“Apa Anda suami pasien?” tanya seorang perawat menghampiri Frank.“Saya pelayannya,” jawab Frank.Menilik dari ekspresi perawat tersebut, sepertinya ada sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ada apa, Sus?”“Pasien harus dioperasi, Pak. Keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan secara normal,” ucap perawat tersebut dengan wajah serius.“Lakukan saja, Sus.” Tanpa banyak berpikir Frank langsung menyetujui.“Tapi kami harus meminta tanda tangan keluarga atau suami.” Perawat berkata dengan tegas.Jawaban itu semakin membuat Frank gusar. Ia tidak tahu Jam sudah sampai di mana sekarang. Belum tentu juga lelaki itu akan tiba di sini dalam waktu singkat mengingat hujan sudah mulai turun di luar.“Apa tidak bisa diwakilkan?” Frank menaikkan sebelah alis. Mencoba untuk membuat negosiasi.Sang perawat tersenyum. “Prosedur rumah sakit se
Frank menoleh ke asal suara. Jam berjalan tergopoh. Kemejanya terlihat kusut tidak karuan. Sama kusut dengan wajahnya. Belum lagi ditambah titik-titik air yang jatuh dari rambut. “Ada di ujung dunia belahan mana kau?” tanya Frank tanpa basa-basi. Raut wajahnya tampak kesal. Meski hanya pelayan, Frank sudah dianggap saudara sendiri oleh Jam. Bahkan di antara mereka sudah tidak ada sekat antara pelayan dan majikan. Tak jarang Jam yang harus menunduk pada Frank jika merasa dirinya salah. “Ruangan ini memang cukup tenang, Frank. Sampai kau tidak sadar kalau di luar sedang terjadi badai hebat.” Jam berusaha untuk membela diri. Tangannya menyisir rambut yang sedikit berantakan dan basah. Saat Frank menelepon dan mengatakan Aleda masuk rumah sakit, Jam memang langsung pergi menyusul. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Angin bergerak kencang sampai merobohkan sebuah pohon besar. Tentu saja hal itu juga melumpuhkan lalu lintas. Ke
Bunyi peluru di udara entah sudah terdengar berapa kali sejak tadi. Belum lagi suara teriakan yang terus-menerus memecahkan konsentrasi. Hiruk pikuk kota sama sekali tidak peduli dengan dua mobil hitam yang terus berkejaran sejak tadi. Entah sudah berapa kilometer mereka habiskan untuk hal itu.“Belok kanan, Gale!” teriak Ben sembari menunjuk pertigaan di depan mereka.Pria bernama Gale itu langsung membelokkan kemudi dengan cepat. Sesuai dengan instruksi sahabatnya. Mobil di belakang mereka juga ikut membelok dengan akurat. Seperti bisa membaca gerakan mobil ini.Jalanan yang mereka lewati cukup ramai. Gale harus pintar-pintar menyesuaikan diri agar mobilnya bisa melaju dengan cepat dan tanpa hambatan. Begitu ada sedikit celah, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Langsung bermanuver dengan gerakan yang begitu memesona. Skill mengemudinya memang sudah terlihat sejak pertama kali ia mencuri pakai mobil milik ayahnya.“Coba tembak, B