Ketika Ben dan Gale sibuk berpandangan, tiba-tiba tawa Ladarian pecah. Membuat keduanya heran sekaligus terkejut. Keheningan yang menyergap beberapa menit lalu langsung lari terbirit-birit. Digantikan oleh suara tawa Ladarian yang menggema ke seluruh ruangan.
Beberapa detik kemudian Gale dan Ben ikut tertawa. Mereka tahu kalau baru saja selamat dari hukuman besar yang menunggu.
“Lucu sekali!” Ladarian masih terus terbahak-bahak sembari memegangi perut. “Perutku sampai sakit.”
“Dia memang payah sekali, Om!” Ben menunjuk Gale sambil terus tertawa.
“Enak saja!” Gale langsung menyahut. “Kau juga tidak kalah payah. Ditampar seorang gadis, memalukan sekali.”
“Lebih tepatnya kalian berdua yang memalukan hahaha.” Ladarian terlihat puas sekali tertawa. Bahkan dari sudut matanya sampai keluar air mata.
Kalau tawa Ladarian karena merasa ceritanya lucu, tidak demikian dengan arti ta
Arizona, 1984Matahari sudah keluar dari peraduannya sejak tadi. Menghangatkan tanah yang diguyur hujan deras semalam. Menguapkan embun yang masih bertengger di atas dedaunan.Di ujung gang dekat rumah kosong, Kate tergeletak tidak berdaya. Hangatnya matahari pagi bahkan tidak bisa membuatnya tersadar. Ia masih diam di tempat. Tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kalau saja gang ini dilewati orang, pasti mereka akan berpikir kalau Kate adalah seorang mayat.Tanpa peduli dengan tubuh lemah yang tergolek di bawah sana, matahari terus saja beranjak naik. Melaksanakan tugas hariannya. Menghangatkan bumi untuk kemudian memanggangnya. Seperti siang ini misalnya. Suhu bumi meningkat beberapa derajat dibanding tadi pagi. Matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinar.“Bangun, Kate!” Kesiur angin seolah berbisik membangunkan gadis tersenyum.Perlahan-lahan, Kate menggerakkan jari. Untuk kemudian mulai membuka mata. Namun, r
“Apa yang sudah terjadi?” Kate berseru histeris. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa berteriak sekuat itu.Bagaimana tidak histeris? Ia terduduk di atas tanah tanpa ada selembar benang pun yang menempel di badannya. Dengan cepat ia mengedarkan pandangan. Bajunya berceceran tidak jauh darinya.Tanpa pikir panjang, gadis malang itu beringsut untuk memungut pakaian. Wajahnya bersemu merah. Sedih, marah, malu, semuanya bercampur di sana. Benar-benar tidak bisa dideskripsikan dengan kalimat. “Apa yang sudah terjadi sebenarnya?” batinnya sambil terus bergerak.Sayangnya, baju itu tidak lagi utuh. Selain kotor, ada beberapa bagian yang sobek. Sepertinya ditarik dengan paksa. Namun, ia tetap mencoba untuk mengenakannya. Lebih baik ada yang sedikit sobek daripada tidak memakai selembar kain pun.Setelah bersusah payah untuk menggerakkan badan ketika memakai baju, sekarang penampilan Kate sedikit lebih baik. Meski masih sama kacaun
Bumi berputar sebagaimana mestinya. Sama sekali tidak peduli dengan seorang gadis malang yang kembali tidak sadarkan diri di lantai sebuah bangunan kosong. Gadis yang kehilangan seluruh harapan hidup karena tingkah manusia serakah tak punya hati.Kadang semesta memang memberikan rasa sakit tak berkesudahan untuk segelintir orang. Rasa sakit yang tidak akan pernah ditemukan obatnya. Yang setiap harinya akan terus mengalirkan darah tak kasat mata. Luka menganga yang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia normal. Hanya orang-orang berhati bijak yang akan menyadari betapa dalamnya luka tersebut.Akan tetapi, semesta selalu bekerja dua sisi. Ketika memberikan rasa sakit, ia juga sedang menyiapkan alasan di balik semua itu. Sama seperti yang dialami oleh Kate sekarang. Memang saat ini ia belum mengerti atau mungkin tidak akan pernah mengerti. Namun, kejadian hari ini sangatlah berarti untuk seseorang di masa depan sana. Seseorang yang tidak sengaja terhubung dengannya nan
“Hei! Lihatlah gadis itu!” Seorang ibu paruh baya berbicara pada temannya sembari menunjuk Kate.Yang ditunjuk hanya bisa menunduk sembari berjalan dengan tertatih. Ia tahu pasti akan menyita perhatian orang. Bagaimana tidak? Penampilannya sungguh acak-acakan. Rambut berantakan, wajah kusut, baju dan celana sobek, badan membiru dan lebam. Tentu saja orang akan bertanya-tanya.Rupanya seruan itu membuat orang-orang yang ada di jalan refleks menoleh. Tentu saja sama seperti yang dipikirkan oleh Kate. Mereka semua memandangnya dengan heran. Kening-kening berkerut, jari-jari menunjuk, mulut-mulut berbisik.“Mama, Mama, apakah itu orang gila?” Seorang anak kecil bertanya pada ibunya sambil menunjuk Kate.Wajar saja kalau anak kecil itu berpikir demikian. Penampilan Kate memang sangat tidak meyakinkan untuk disebut manusia normal.Dituduh seperti itu, hati Kate rasanya sakit sekali. Ia benar-benar tidak memiliki harga diri sekaran
Entah butuh waktu berapa lama untuk Kate sampai di rumah. Yang pasti, matahari sudah sempurna tenggelam ketika akhirnya ia sampai di depan pintu rumah.Rumah kecil di permukiman padat penduduk itu terlihat sepi. Kate mendongak dan menatap tulisan Gil Dalton dengan nanar. Hatinya langsung mencelos mengingat ayahnya.Tangan kecil Kate mendorong pintu yang tidak terkunci. Pelan-pelan sekali ia melakukannya. Seolah takut bangunan ringkih ini akan roboh karena sentuhan tangannya. Begitu pintu sudah terbuka sempurna, hanya ruangan kosong dan lengang yang menyapa. Sama sekali tidak ada orang.“Ayah ke mana?” Kate berbicara dalam hati. Ia belum berani mengeluarkan suara. Lebih tepatnya tidak ingin Gil melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini.Pelan-pelan sekali ia mencoba masuk. Kemudian menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ia terlihat seperti maling yang sedang mengendap-endap memasuki rumah orang. Padahal ini adalah rumah ayahnya sendiri
“Maaf untuk apa, Sayang? Kau tidak perlu minta maaf. Aku senang karena akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku takut sekali kalau kau hilang.” Gil mengelus rambut Kate dengan halus.Kalimat tersebut terdengar menyakitkan di telinga. Membuat air mata Kate tidak berhenti mengalir. Bahkan sampai membasahi baju Gil.Lihatlah, lelaki itu begitu menyayanginya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menceritakan apa yang sudah terjadi. Ia tidak ingin Gil kecewa. Karena hal itu pasti akan berakibat buruk pada kesehatan Gil nantinya.Dalam hati, Kate bertekad untuk menyimpan semua cerita ini sendiri. Alangkah lebih baiknya jika tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Gil. Biarlah kejadian kelam malam itu menjadi kenangan buruk yang jauh tertinggal di belakang sana.“Kau ke mana saja?” Gil melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi Kate. Bibirnya tampak bergetar ketika mengatakan hal ini. Pertanda betapa hebat gejolak perasaannya di dalam sana
“Sial! Kenapa jalanan bisa semacet ini?” Seorang lelaki berambut ikal mengomel sendirian di balik kemudi. Mobil hitam yang dikendarainya melaju dengan cepat menuju kemacetan.Beberapa meter di depan sana, mobil dan motor sudah berjajar antre. Tampaknya juga sudah mengular entah dari jarak berapa. Yang pasti, sampai belokan di depan sana pun masih macet. Benar-benar tidak bergerak. Entah apa penyebab semua kemacetan ini.“Oh, God! Please! Aku tidak punya banyak waktu!” serunya dengan frustrasi.Hanya dalam beberapa detik, mobil yang dikendarainya juga akan terjebak macet. Matanya melirik ke kaca spion, di belakangnya juga banyak kendaraan. Kalau sampai ia berhenti, sudah bisa dipastikan mobil ini tidak akan bisa berkutik lagi. Itu artinya, ia sedang menggadaikan nyawa seseorang pada malaikat maut.Seorang pengendara lain dalam mobil tampak suntuk. Sepertinya sudah berjam-jam ia terjebak di sini. “Apa aku haru
Arizona, 1985“Tolong angkat teleponnya, Jam.” Seorang wanita dengan perut besar tampak khawatir. Wajahnya sudah pucat pasi. Sementara sebelah tangan sibuk mengelus perut. Bulatan besar itu seolah siap mengeluarkan isinya kapan saja.Gagang telepon di tangannya hanya mengeluarkan suara deringan. Namun, suara lelaki yang sejak tadi diharapkannya sama sekali tidak terdengar. Ia semakin panik karena kontraksi di perutnya terasa semakin hebat. Untuk kesekian kali, ia mencoba untuk menelepon ulang nomor yang sama. Meski harapannya sudah semakin mengecil sekarang.Titik-titik keringat mulai bermunculan di kening ibu hamil. “Jam, kau di mana? Rasa sakit ini benar-benar menyiksaku sekarang.”Ruangan besar itu terasa sunyi. Di atas kursi, sang ibu hamil sudah terduduk dengan lemas. Bahkan tenaganya pun sudah tidak cukup kuat untuk memanggil pelayan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Namun, mulutnya tak henti-he