Keluar kandang harimau, masuk ke kandang singa.
Kate bahkan tidak menyadari saat tubuhnya menabrak sesuatu dan membuatnya jatuh terjerembap ke tanah. Setelah beberapa detik, barulah ia tahu kalau keadaan sangat tidak berpihak padanya. Di depan sana, menjulang sosok raksasa yang sama besar dengan raksasa sebelumnya. Ditambah wajahnya juga tak kalah menyeramkan.
Untuk menghadapi satu orang saja Kate kewalahan. Apalagi dua. Dunia benar-benar terasa mengerikan sekarang. Ia tidak bisa lagi berpikir jernih atau berusaha untuk berpikir positif. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bayangan hal-hal yang tidak menyenangkan.
“Berhenti di sana!” Kate mencoba memberi peringatan pada lelaki kedua agar tidak mendekat.
Sayangnya, peringatan itu hanya dibalas dengan seringai. “Tidak perlu berteriak-teriak. Kita bisa mengobrol dengan lebih akrab,” ucapnya.
Kate menoleh. Di ujung sana, lelaki yang pertama sedang berdiri sembari tersenyum. A
Di dalam mobil, Ben merasa risau. Setiap gerakan Gale di luar sana terasa lambat sekali. Sementara mobil musuh mereka sudah semakin mendekat. Hanya tinggal berbicara detik. Semuanya bisa berakhir begitu saja.Akhirnya, Ben memberanikan diri untuk membuka kaca jendela dan menjulurkan kepala ke luar. Sebenarnya ia tahu apa konsekuensi dari tindakannya ini. Tentu saja hal itu memberikan kesempatan pada musuh untuk memecahkan kepalanya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa dilakukan selain hal itu. Pasalnya, ia juga tidak bisa keluar dari mobil. Lebih berbahaya.“Gale! Cepat!” teriak Ben dari jendela.Di jalur lain, kendaraan terlihat memadati jalanan. Suara mesin-mesin kendaraan menelan suara Ben begitu saja. Jangankan sampai ke telinga Gale, dari jarak satu meter saja suaranya sudah tidak terdengar. Entah terbawa angin ke sebelah mana. Yang pasti, ada atau tidak teriakannya, sama sekali tidak memengaruhi Gale.Lihatlah! Pemuda itu malah berjalan
Musuh mereka tidak bisa mengejar karena terhalang oleh kendaraan lain. Hal ini tentu menguntungkan sekali karena mereka bisa menghilangkan jejak.“Kau memang sudah gila, Gale,” ujar Ben setelah keadaan sudah cukup stabil.Mobil yang mereka naiki meluncur dengan mulus di jalan bebas hambatan. Ben dengan cepat membanting setir untuk segera keluar jalur tadi. Menyelamatkan nyawa mereka dan juga nyawa orang lain karena tindakan mereka yang melawan arus.“Aku? Gila?” Gale tampak tidak mengerti dengan kalimat sahabatnya itu. Terbukti dengan kerutan di keningnya yang menunjukkan kebingungan.Ben masih tetap fokus menyetir. Namun, ia masih sempat untuk melirik orang yang duduk di sampingnya. “Saat sedang dikejar musuh, malah terpesona pada seorang gadis di tengah jalan. Apa namanya kalau bukan gila?”“Oh itu.” Gale tertawa kecil.Pemuda itu menyenderkan siku di kaca mobil. Kemudian menopang kepalanya m
Jawaban Ben kembali mengundang tawa Gale. Ia tahu kalau sahabatnya itu sedang kesal. Ia sangat memaklumi hal itu.Lagi pula siapa yang tidak akan panik ketika peluru musuh berdesing di udara. Terlambat satu detik saja bisa fatal akibatnya. Atau gerakan yang salah juga bisa membahayakan nyawa.“Tapi kita tidak pernah tahu kapan dan pada siapa kita jatuh cinta,” sahut Gale yang tiba-tiba berubah menjadi seperti pujangga.“Tapi tidak harus ketika dikejar musuh juga, kan?” Ben memberikan penekanan pada kata musuh. Seolah ingin menyadarkan Gale bahwa situasi yang mereka hadapi barusan tidak main-main.Wajah Ben yang bersungut-sungut terlihat lucu sekali di mata Gale. Ia tidak bisa berhenti tertawa sejak tadi. Semakin Ben terlihat serius, semakin ia tidak kuasa menahan gejolak di perut. Menggelikan.“I know, Dude. Tapi, ah sudahlah. Kau memang harus merasakan sendiri untuk tahu seperti apa rasanya.” Gale memil
Arizona, 1985Ketika Frank dan Jam sedang mengobrol dengan dokter. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakang. Mereka menoleh bersamaan. Tiga orang tenaga kesehatan sedang mendorong brankar dengan cepat menuju ke arah mereka. Di atas brankar tergolek seorang wanita hamil yang sepertinya juga akan melahirkan.Akan tetapi, sepertinya wanita itu sendirian. Tidak ada tanda-tanda suami atau keluarga yang mendampingi. Hanya ada petugas rumah sakit yang mengantar.“Dok, pasien harus masuk meja operasi. Kami tidak bisa melakukan persalinan secara normal,” ucap salah seorang tenaga kesehatan menghampiri dokter. Sementara dua orang temannya masih memegangi brankar.“Bawa masuk segera dan siapkan operasi. Sebentar lagi saya menyusul.” Sang dokter menjawab dengan cepat tanpa pikir panjang.Frank dan Jam hanya terdiam menyaksikan apa yang sedang terjadi. Frank sempat melirik seorang ibu muda yang tergolek tak berdaya di atas br
Tidak lama kemudian, Aleda dibawa keluar dari ruang operasi. Frank hanya bisa melihat dari kejauhan karena Aleda diantar oleh tiga orang petugas kesehatan yang tadi mengantar pasien ke ruangan itu. Meski begitu, Frank bergegas mengikuti mereka.Aleda dibawa ke sebuah ruang rawat inap. Sementara anaknya masih dibersihkan oleh perawat.“Silakan masuk, Pak.” Salah seorang petugas menyilakan Frank. “Kami permisi dulu.”“Terima kasih.” Frank mengangguk dan tersenyum.Setelah petugas tersebut pergi, Frank masuk. Aleda tampak duduk bersandar di atas tempat tidur. Keadaannya sudah jauh lebih baik dibanding beberap jam lalu. Operasinya juga berjalan lancar. Bahkan nyaris tanpa kendala.“Kau baik-baik saja?” tanya Frank sembari menarik kursi ke samping tempat tidur.Wanita itu tersenyum. “Sangat baik. Aku tidak sabar menunggu mereka mengantar bayiku ke sini.”Ruangan hening sejenak. Ti
“Hidungnya mancung sepertimu,” komentar Aleda memecahkan keheningan.Jam menoleh pada istrinya. Kemudian kembali menatap bayi dalam gendongan. Sebuah senyum terbit di ujung bibir. “Dia pasti akan tumbuh jadi pribadi yang menakjubkan seperti ibunya.”Bayi kecil itu menggeliat. Membuat Jam sedikit terkejut. Namun, kemudian tawanya pecah. Baru kali ini ia merasa sangat bahagia menggendong anak kecil. Kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.“Siapa namanya?” tanya Jam sembari memandang Aleda dengan lembut.Ditanya begitu, Aleda tampak berpikir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan beberapa nama, tetapi nama anak perempuan. Tadinya ia pikir akan melahirkan anak lelaki. Namun, ternyata dugaannya salah. Ia pun berusaha untuk mengingat nama anak lelaki yang sempat menarik perhatiannya.“Amda.” Aleda bergumam pelan sembari berpikir. “Amda Adrion.”“Amda?” ulang Jam sem
Di sisa perjalanan, mereka hanya berdiam diri. Gale sibuk memikirkan gadis tadi, Ben entah sibuk memikirkan apa. Yang pasti mobil menjadi hening. Tidak ada lagi perdebatan sengit seperti tadi.Lalu lintas terlihat ramai lancar. Tidak ada lagi barisan kendaraan panjang di lampu merah. Ini karena mereka semakin dekat dengan rumah. Rumah keluarga Gale memang jauh dari pusat kota.Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai. Bangunan besar itu ketat dengan penjagaan. Beberapa orang berseragam hitam langsung cekatan membuka pintu gerbang ketika melihat mobil Gale.“Ayahmu sudah pulang,” ujar Ben ketika melihat sebuah mobil mewah milik ayah Gale yang sudah terparkir rapi di halaman.“Baguslah.” Hanya itu jawaban dari Gale. Ia terlihat biasa saja. Tidak ada sedikit pun antusiasme di wajahnya.Ben memarkir mobil dengan rapi. Dua orang penjaga langsung membukakan pintu untuk mereka.“Terima kasih,” ucap Gale pad
Untuk urusan yang satu ini, Ben selalu menyerahkan pada Gale. Karena ia tahu, jawabannya tidak akan sebaik jawaban sahabatnya itu. Lagi pula ia juga tidak mau ambil risiko karena salah menjawab. Bisa-bisa masalah besar akan langsung menghampiri mereka berdua.“Lancar,” sahut Gale seperti tanpa berpikir. Bahkan ia membubuhinya dengan senyuman manis. Seolah pekerjaan mereka memang tidak pernah menemui kendala. “Lancar sekali, Dad.”Ben melirik sekilas pada Gale. Ia tak habis pikir, bisa semudah itu Gale berbicara. Padahal nyawa mereka berdua hampir saja melayang. Apalagi karena kecerobohan yang Gale buat. Kalau saja Ladarian tahu tentang hal ini, pasti Gale akan diceramahi panjang lebar.Dulu waktu masih kecil, mereka pernah berbuat kesalahan yang membahayakan nyawa. Saat Ladarian tahu, mereka langsung mendapat ceramah selama 3 jam nonstop. Benar-benar hal yang membosankan. Mungkin karena alasan itulah Gale memilih untuk bermain aman sekara