Tidak lama kemudian, Aleda dibawa keluar dari ruang operasi. Frank hanya bisa melihat dari kejauhan karena Aleda diantar oleh tiga orang petugas kesehatan yang tadi mengantar pasien ke ruangan itu. Meski begitu, Frank bergegas mengikuti mereka.
Aleda dibawa ke sebuah ruang rawat inap. Sementara anaknya masih dibersihkan oleh perawat.
“Silakan masuk, Pak.” Salah seorang petugas menyilakan Frank. “Kami permisi dulu.”
“Terima kasih.” Frank mengangguk dan tersenyum.
Setelah petugas tersebut pergi, Frank masuk. Aleda tampak duduk bersandar di atas tempat tidur. Keadaannya sudah jauh lebih baik dibanding beberap jam lalu. Operasinya juga berjalan lancar. Bahkan nyaris tanpa kendala.
“Kau baik-baik saja?” tanya Frank sembari menarik kursi ke samping tempat tidur.
Wanita itu tersenyum. “Sangat baik. Aku tidak sabar menunggu mereka mengantar bayiku ke sini.”
Ruangan hening sejenak. Ti
“Hidungnya mancung sepertimu,” komentar Aleda memecahkan keheningan.Jam menoleh pada istrinya. Kemudian kembali menatap bayi dalam gendongan. Sebuah senyum terbit di ujung bibir. “Dia pasti akan tumbuh jadi pribadi yang menakjubkan seperti ibunya.”Bayi kecil itu menggeliat. Membuat Jam sedikit terkejut. Namun, kemudian tawanya pecah. Baru kali ini ia merasa sangat bahagia menggendong anak kecil. Kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.“Siapa namanya?” tanya Jam sembari memandang Aleda dengan lembut.Ditanya begitu, Aleda tampak berpikir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan beberapa nama, tetapi nama anak perempuan. Tadinya ia pikir akan melahirkan anak lelaki. Namun, ternyata dugaannya salah. Ia pun berusaha untuk mengingat nama anak lelaki yang sempat menarik perhatiannya.“Amda.” Aleda bergumam pelan sembari berpikir. “Amda Adrion.”“Amda?” ulang Jam sem
Di sisa perjalanan, mereka hanya berdiam diri. Gale sibuk memikirkan gadis tadi, Ben entah sibuk memikirkan apa. Yang pasti mobil menjadi hening. Tidak ada lagi perdebatan sengit seperti tadi.Lalu lintas terlihat ramai lancar. Tidak ada lagi barisan kendaraan panjang di lampu merah. Ini karena mereka semakin dekat dengan rumah. Rumah keluarga Gale memang jauh dari pusat kota.Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai. Bangunan besar itu ketat dengan penjagaan. Beberapa orang berseragam hitam langsung cekatan membuka pintu gerbang ketika melihat mobil Gale.“Ayahmu sudah pulang,” ujar Ben ketika melihat sebuah mobil mewah milik ayah Gale yang sudah terparkir rapi di halaman.“Baguslah.” Hanya itu jawaban dari Gale. Ia terlihat biasa saja. Tidak ada sedikit pun antusiasme di wajahnya.Ben memarkir mobil dengan rapi. Dua orang penjaga langsung membukakan pintu untuk mereka.“Terima kasih,” ucap Gale pad
Untuk urusan yang satu ini, Ben selalu menyerahkan pada Gale. Karena ia tahu, jawabannya tidak akan sebaik jawaban sahabatnya itu. Lagi pula ia juga tidak mau ambil risiko karena salah menjawab. Bisa-bisa masalah besar akan langsung menghampiri mereka berdua.“Lancar,” sahut Gale seperti tanpa berpikir. Bahkan ia membubuhinya dengan senyuman manis. Seolah pekerjaan mereka memang tidak pernah menemui kendala. “Lancar sekali, Dad.”Ben melirik sekilas pada Gale. Ia tak habis pikir, bisa semudah itu Gale berbicara. Padahal nyawa mereka berdua hampir saja melayang. Apalagi karena kecerobohan yang Gale buat. Kalau saja Ladarian tahu tentang hal ini, pasti Gale akan diceramahi panjang lebar.Dulu waktu masih kecil, mereka pernah berbuat kesalahan yang membahayakan nyawa. Saat Ladarian tahu, mereka langsung mendapat ceramah selama 3 jam nonstop. Benar-benar hal yang membosankan. Mungkin karena alasan itulah Gale memilih untuk bermain aman sekara
Ben langsung tergagap begitu menyadari kalau ia baru saja melamun. Di depannya, Gale dan Ladarian sudah melepaskan pelukan. Sekarang kedua lelaki itu sedang menatapnya dengan wajah bingung.“Hehehe ....” Ben menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Bingung harus mengatakan apa. Ia pikir tidak akan mungkin berkata kalau sedang terharu dengan pemandangan di depannya. Meski hal tersebut memang benar, tetap akan terasa menggelikan mendengarnya.Dididik dengan kekerasan dan hidup dalam lingkungan yang berbahaya membuat Ben tumbuh jadi pemuda keras. Dalam hidupnya, ia tidak pernah menangis. Bahkan ketika jatuh dari sepeda dan membuat kepalanya bocor. Ketika itu darah sudah mengalir deras ke wajahnya. Namun, ia masih bisa tersenyum sembari berkata kalau ia baik-baik saja.Lantas sekarang ia akan berkata kalau kejadian barusan membuatnya terharu dan ingin menangis? Ah, itu tentu akan mencoreng citra yang sudah ada selama ini. Ia tidak ingin dicap sebaga
“Apa maksudmu?” Ladarian langsung menoleh pada Ben. Sekarang tatapan tajam itu beralih.Jelas saja Ben agak gemetar ditatap seperti itu. Ia memang sudah memberanikan diri untuk buka suara. Namun, ia lupa mempersiapkan diri kalau harus ditatap dengan sorot mata tajam.Sejauh ini, Ladarian memang orang yang paling disegani oleh Ben. Bahkan posisi ayahnya saja kalah dengan lelaki yang sedang berdiri di depannya saat ini.“T-tadi kami sedang jalan-jalan mencari udara segar.” Ben takut-takut memulai kalimat.Ladarian sama sekali tidak memotong. Ia menunggu dengan sabar meski tahu kalau Ben membutuhkan lebih banyak waktu untuk menjelaskan hal ini. Sementara Gale tampak was-was. Ekspresinya menyiratkan kekhawatiran. Bagaimana kalau Ben menceritakan yang sebenarnya terjadi?“Kami iseng masuk ke salah satu taman yang cukup ramai,” lanjut Ben. Sesekali ia melirik pada Gale. Entah menyuruh pemuda itu tetap diam di tempat, a
“Apa ceritamu barusan benar-benar terjadi?” tanya Ladarian akhirnya membuka mulut setelah terdiam cukup lama.Tanpa pikir panjang, Ben langsung mengangguk. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Baginya, Ladarian mau menanggapi saja sudah merupakan kesempatan emas yang tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja.“Ah, benar sekali, Dad. Bahkan aku beberapa kali menabrak orang. Diteriaki seorang nenek-nenek karena menumpahkan minuman di tangannya.” Gale berusaha untuk membumbuhi. Sengaja menambah-nambahi agar cerita Ben terlihat semakin nyata.Merasa mendapat dukungan, Ben langsung terlihat bersemangat. Setidaknya ia tahu kalau ada Gale yang akan membantunya sekarang. Jadi, kalau sampai Ladarian masih tidak percaya, mereka bisa memikul kebohongan ini berdua.“Jangan lupakan juga seorang anak kecil yang menangis karena kau tidak sengaja menginjak mobil-mobilannya. Kemudian ibu anak tersebut berteriak serta memaki-makimu.” Be
Ketika Ben dan Gale sibuk berpandangan, tiba-tiba tawa Ladarian pecah. Membuat keduanya heran sekaligus terkejut. Keheningan yang menyergap beberapa menit lalu langsung lari terbirit-birit. Digantikan oleh suara tawa Ladarian yang menggema ke seluruh ruangan.Beberapa detik kemudian Gale dan Ben ikut tertawa. Mereka tahu kalau baru saja selamat dari hukuman besar yang menunggu.“Lucu sekali!” Ladarian masih terus terbahak-bahak sembari memegangi perut. “Perutku sampai sakit.”“Dia memang payah sekali, Om!” Ben menunjuk Gale sambil terus tertawa.“Enak saja!” Gale langsung menyahut. “Kau juga tidak kalah payah. Ditampar seorang gadis, memalukan sekali.”“Lebih tepatnya kalian berdua yang memalukan hahaha.” Ladarian terlihat puas sekali tertawa. Bahkan dari sudut matanya sampai keluar air mata.Kalau tawa Ladarian karena merasa ceritanya lucu, tidak demikian dengan arti ta
Arizona, 1984Matahari sudah keluar dari peraduannya sejak tadi. Menghangatkan tanah yang diguyur hujan deras semalam. Menguapkan embun yang masih bertengger di atas dedaunan.Di ujung gang dekat rumah kosong, Kate tergeletak tidak berdaya. Hangatnya matahari pagi bahkan tidak bisa membuatnya tersadar. Ia masih diam di tempat. Tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kalau saja gang ini dilewati orang, pasti mereka akan berpikir kalau Kate adalah seorang mayat.Tanpa peduli dengan tubuh lemah yang tergolek di bawah sana, matahari terus saja beranjak naik. Melaksanakan tugas hariannya. Menghangatkan bumi untuk kemudian memanggangnya. Seperti siang ini misalnya. Suhu bumi meningkat beberapa derajat dibanding tadi pagi. Matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinar.“Bangun, Kate!” Kesiur angin seolah berbisik membangunkan gadis tersenyum.Perlahan-lahan, Kate menggerakkan jari. Untuk kemudian mulai membuka mata. Namun, r