Sebuah sanggar seni dibangun di tengah-tengah kota yang ramai. Desas-desus tentang sanggar seni itu sudah menyebar di banyak telinga, bukan karena keburukannya, namun karena kehebatannya yang selalu menorehkan prestasi dari kalangan usia yang tidak menentu. Pemilik sanggar seni ini memang sengaja tidak memberikan batasan usia untuk siapapun yang ingin mendaftar disini, karena beliau merasa semua orang berhak berkreasi dengan ide-idenya yang sudah tertanam di pikirannya.
Desas-desus tentang sanggar seni yang bernama ‘Sanggar Seni Kenangan’ ini juga mampir ke telinga ibu rumah tangga muda yang bernama Sinta, dan saat pertama kali mendengar tentang sanggar seni itu, bu Sinta langsung merasa seperti beliau sudah mengenal baik sanggar seni itu, beliau merasa dekat dan ingin segera mengunjunginya.
Setelah beberapa kali rencananya gagal untuk mengunjungi sanggar seni yang terkenal itu, akhirnya hari ini bu Sinta bisa melowongkan waktunya untuk mampir. Bu Sinta berangkat menuju Sanggar Seni Kenangan, dengan menggunakan mobil yang biasa ia pakai untuk mengantar jemput sekolah anaknya yang masih berusia 4 tahun.
"Kenapa hari ini terasa seperti lebih macet dari biasanya," keluh bu Sinta.
Jalanan di Jakarta sedang macet, banyak mobil dan motor yang berebutan untuk sampai di rumahnya masing-masing terlebih dulu. Bu Sinta tidak berhenti mengetuk-ketuk jari tangannya ke kemudi mobilnya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya kesabaran bu Sinta membuahkan hasil, jalanan mulai longgar dan mobil yang dikendarainya bisa melaju dengan lancar.
Sekitar 15 menit kemudian, akhirnya bu Sinta memasuki pekarangan rumah yang di atasnya terdapat tulisan ‘Sanggar Seni Kenangan’, tulisan itu membuat bu Sinta semakin yakin jika dirinya tidak salah. Bu Sinta memarkir mobilnya di depan sanggar, lalu beliau masuk dengan langkah yang perlahan, bu Sinta melihat ke sekelilingnya, beliau tidak menyangka jika sanggar yang telah diperbincangkan oleh banyak orang ini, hanyalah sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tapi memiliki aura yang hangat, selama ini bu Sinta mengiranya ‘Sanggar Seni Kenangan’ adalah sebuah gedung tinggi di pinggir jalanan ramai.
Bu Sinta mulai membuka pintu depan sanggar, dan beliau langsung diperlihatkan dengan pemandangan banyak orang yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing, mereka terlihat sibuk dan tidak ada yang menyadari kedatangan bu Sinta. Bu Sinta melihat beberapa orang ada yang sedang melukis, merajut syal, bahkan ada yang sedang membuat kerajinan dari tanah liat, mereka semua dikelompokkan sesuai pengerjaannya masing-masing.
Di saat bu Sinta masih tertegun dengan pemandangan yang ada di depannya, ternyata sudah ada salah satu ibu-ibu yang menyadari kehadirannya, beliau menghampiri bu Sinta dengan tersenyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya ibu-ibu tersebut dengan suara yang terdengar sangat lembut di telinga bu Sinta.
Bu Sinta sedikit terkesiap begitu mendengar suara yang baginya mendadak datang itu, tapi beliau tidak membutuhkan waktu lama untuk mengatasi sikapnya itu. “Saya sudah mendengar tentang sanggar seni ini dari jauh-jauh hari, saya juga sudah berkeinginan untuk melihatnya langsung dari jauh-jauh hari, dan akhirnya hari ini tiba.” Ucap bu Sinta tidak dengan menatap ke arah lawan bicaranya langsung, bu Sinta masih terkesima dengan pemandangan di depannya. “Saya tidak menyangka ternyata disini benar-benar ada berbagai macam pilihan untuk mengasah bakat seni kita,” lanjut bu Sinta dengan nada suara penuh kekaguman.
Ibu-ibu di samping bu Sinta itu tersenyum penuh arti setelah mendengar ucapan bu Sinta, lalu beliau berkata, “Dan akhirnya pilihan Anda jatuh kemana?” ujar beliau.
Bu Sinta mengalihkan pandangannya ke arah ibu-ibu di sampingnya, dan menatapnya heran, bu Sinta membatin, Bagaimana bisa wanita di depannya ini mengetahui kalau dirikulah yang akan mendaftar di sanggar ini, dan bukanlah orang lain?
“Saya sudah sering mendapat tatapan seperti itu dari banyak orang, mereka semua sama seperti Anda,” canda ibu-ibu itu. Lalu tidak lama kemudian, beliau kembali berkata, “Saya ibu Larni, pemilik sanggar ini.” Ibu itu memperkenalkan dirinya.
Bu Sinta kembali dikejutkan dengan fakta lainnya, beliau langsung membungkuk untuk menyapa ulang ibu Larni, karena awalnya bu Sinta pikir wanita yang ada di sampingnya itu hanyalah murid-murid di sanggar ini seperti dirinya, tapi ternyata beliau adalah pemilik sanggarnya.
“Maaf Bu, saya tidak mengira kalau pemiliknya sendiri yang akan menyambut saya.” Ucap bu Sinta jujur.
Bu Larni masih belum menghilangkan senyumannya dari wajahnya. “Jadi Anda ingin mendaftar ke kegiatan apa?” ucapnya dengan nada suara yang masih sama ramahnya seperti tadi.
“Saya masih belum bisa memilihnya dengan pasti, karena saya kemari tanpa rencana yang matang, apalagi sesampai disini saya dikejutkan dengan pemandangan yang sangat beragam seperti ini, saya hanya ingin menggunakan waktu luang saya di tempat yang tepat.” Bu Sinta tersenyum kepada bu Larni.
Bu Larni masih tersenyum ramah kepada bu Sinta, lalu beliau berkata, “Kalau begitu, Anda bisa ke ruangan saya terlebih dulu untuk melihat brosur dari sanggar ini, dan semoga itu bisa mempermudah Ibu untuk memilih.” Bu Larni mengarahkan salah satu tangannya ke arah sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari posisi mereka berdua saat ini. Setelah melihat respon bu Sinta seperti menyetujui ucapannya, tanpa menunggu jawaban langsung dari bu Sinta, bu Larni berjalan menuju ruangannya terlebih dulu, melihat bu Larni mulai berjalan menuju ruangannya membuat bu Sinta mau nggak mau mengikutinya.
Di sela-sela bu Sinta dan bu Larni berjalan menuju ruangan bu Larni, pemilik sanggar itu bertanya, “Oh iya, kalau saya boleh tahu, Ibu namanya siapa?” nada suaranya terdengar sangat ramah saat menanyakannya.
Bu Sinta menatap ke arah bu Larni dan berkata, “Saya bu Sinta, Bu.” Jawab bu Sinta.
Bu Larni mengangguk-anggukan kepalanya dan mengingat-ingat nama bu Sinta dengan menggumam-gumamkan di bibirnya.
Sesampai di depan pintu ruangan yang berwarna putih, bu Larni langsung membukanya, dan bu Sinta langsung dipertemukan dengan pemandangan ruangan yang terlihat sangat damai dan tenang, ruangan itu ditutupi cat putih yang bersih, terdapat rak-rak yang berisi buku-buku dan beberapa penghargaan, disana juga terdapat banyak kerajinan yang memiliki keunikan masing-masing, ruangan yang dilihat bu Sinta itu benar-benar tidak terlihat seperti ruangan kerja dari seseorang.
“Duduk Bu,” ucapan bu Larni itu mengejutkan bu Sinta yang lagi-lagi terperangah dengan suasana di sekitarnya. Bu Sinta mengakhiri lamunannya, dan segera duduk di sebuah kursi yang berada di depan meja bu Larni.
“Penghargaan yang ada disini rata-rata bukan milik saya sendiri, ada beberapa murid yang sengaja meninggalkan penghargaan-perhargaannya disini karena mereka beranggapan bahwa seharusnya sayalah yang mendapat penghargaan itu,” ucap bu Larni setelah bu Sinta duduk di depannya. Sambil masih menatap ke arah penghargaan-penghargaan yang tertata rapi di sebuah rak yang tinggi, bu Larni kembali berkata, “Meskipun saya sudah berusaha meyakinkan mereka, tapi mereka tetap memaksa supaya penghargaan-penghargaannya ditaruh disini.” Ujarnya dengan tersenyum bangga.
Bu Sinta menatap ke arah penghargaan-penghargaan itu berada dengan penuh kekaguman, sepertinya Sanggar Seni Kenangan ini bukan hanya mengajarkan tentang seni, tapi juga memberikan pengalaman yang sangat berarti yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi individu masing-masing.
“Ini brosur yang saya maksud, Ibu bisa membacanya terlebih dulu dan datang lagi kemari jika sudah bisa memutuskannya, kebetulan masih ada banyak tempat yang kosong di setiap kelas dalam semua bidang, jadi Ibu tidak perlu berpikiran jika Anda tidak bisa masuk ke kelompok yang akan Ibu pilih.” Kata bu Larni sembari menyodorkan sebuah brosur yang memiliki beberapa halaman ke arah bu Sinta.
Bu Sinta menerima brosur itu dan langsung melihat-lihat isi dari brosur. Brosur dikemas dengan sangat apik dan kreatif sehingga akan selalu menimbulkan rasa penasaran dan ketertarikan begitu melihat brosur itu, lagi-lagi bu Sinta diperlihatkan dengan sesuatu yang membuatnya terkagum-kagum.
“Kalau begitu saya pulang terlebih dulu ya Bu, mungkin lusa saya akan kembali kesini dengan sudah membawa keputusan yang bagus.” Ujar bu Sinta sambil memasukkan brosur ke tasnya.
Bu Larni menganggukkan kepalanya dengan tidak mengurangi senyumannya. “Yang penting keputusan yang Ibu buat bisa memberikan kebahagiaan dan ketenangan bagi kehidupan Ibu,” ujarnya kemudian.
Bu Sinta tersenyum mendengar ucapan bu Larni, entah kenapa tatapan yang diberikan bu Larni kepada bu Sinta menyiratkan jika beliau mengetahui sesuatu tentang apa yang sedang dialami oleh bu Sinta saat ini.
Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya bu Sinta berpamitan dengan berkata jika beliau sudah waktunya menjemput anaknya dari sekolah, dan bu Larni pun langsung mengijinkan bu Sinta untuk pulang, beliau mengantar bu Sinta hingga ke depan.
“Mungkin tempat ini bukan tempat yang bisa meringankan beban kehidupan orang-orang yang mendaftar disini, tapi sebagian banyak orang-orang disini akan melupakan masalahnya masing-masing begitu kemari, karena bagi sebagian orang-orang tempat ini adalah tempat persembunyian mereka dari kenyataannya.” Ucap bu Larni begitu tiba di dekat mobil bu Sinta.
Bu Sinta mengerti arti dari tatapan mata bu Larni, bu Sinta tersenyum kecil sambil menundukkan kepalanya sejenak. Setelah itu bu Sinta kembali berpamitan pada bu Larni, dan kali ini bu Sinta benar-benar meninggalkan pekarangan Sanggar Seni Kenangan.
***
Hari demi hari berjalan dengan semestinya, dan hari ini adalah waktu dimana bu Sinta berniat untuk kembali ke Sanggar Seni Kenangan, beberapa hari yang lalu bu Sinta sempat tidak bisa kembali kesana karena beliau diberi tugas oleh suaminya untuk menemaninya ke acara salah satu rekan kerjanya.
“Bunda mau kemana?” saat bu Sinta sudah melangkahkan kedua kakinya menuju pintu depan rumahnya, beliau mendengar suara manis anak semata wayangnya dari arah belakang. Bu Sinta menoleh untuk mencari asal suara tersebut, lalu beliau langsung bisa melihat sosok anaknya yang bernama Zahra sedang memeluk boneka kesayangannya dan berdiri di anak tangga yang paling bawah dengan tangan kecilnya memegang pegangan tangga.
Tatapan mata bu Sinta melembut begitu melihat sosok manis di depannya, beliau berjalan menghampiri Zahra, lalu beliau berkata, “Hari ini bunda ada acara, Zahra di rumah dulu sebentar sama bibi ya,” kata bu Sinta begitu beliau sudah sampai di depan Zahra, bu Sinta mengelus-elus pipi Zahra dengan lembut. Setelah itu bu Sinta menggandeng telapak tangan Zahra dan mengajaknya ke ruang makan untuk menghampiri bibi Sari, pembantu rumah tangga bu Sinta.
“Kenapa bunda tidak mengajakku juga seperti biasanya?” ucap Zahra dengan mendongakkan kepalanya untuk menatap bundanya.
Bu Sinta sempat bingung untuk menjawab pertanyaan anaknya. Setelah lama berpikir namun juga tidak kunjung mendapatkan jawaban yang sekiranya bisa dijadikan alasan untuk anaknya, bu Sinta akhirnya memilih berkata, “Bunda pergi cuma sebentar kok,” bu Sinta memilih menenangkan anaknya dibanding memberikan alasan yang tidak benar adanya.
“Tapi bunda nggak bakal ninggalin Zahra sendiri kan?” ucapan yang muncul dari mulut kecil Zahra itu mampu membuat jantung bu Sinta mencelos, beliau tidak menduga anaknya akan bertanya seperti itu padanya.
Bu Sinta menghentikan langkah kakinya, lalu beliau mensejajarkan tubuhnya dengan Zahra, beliau kembali mengusap-usap pipi Zahra dengan lembut. “Kenapa Zahra bisa berpikiran seperti itu? Bunda nggak akan meninggalkan Zahra sendirian, kemanapun bunda pergi, bunda pasti akan mengajak Zahra, karena bunda juga tidak akan bisa hidup tanpa Zahra.” Ujar bu Sinta dengan menatap kedua mata indah anaknya.
“Lalu kenapa sekarang bunda ingin pergi tanpaku?” Zahra masih tidak bisa memercayai bundanya. Sebelum bu Sinta sempat menjawab pertanyaan Zahra, Zahra kembali berkata, “Aku juga mendengar bunda dan ayah bertengkar tadi malam,” kali ini suara Zahra memelan seperti takut jika bundanya marah.
Bu Sinta kembali tertegun sejenak, beliau kembali tidak menyangka akan fakta yang baru saja didengarnya. “Jadi Zahra mau ikut dengan bunda?” meskipun bu Sinta merajuk hanya pada masa kini, tapi entah kenapa jika dipikir-pikir kembali, nada suaranya seperti sedang membahas masa depan.
Zahra mengangguk dengan yakin. Melihat respon dari anaknya, membuat bu Sinta luluh, namun belum sempat bu Sinta mengajak Zahra untuk kembali ke kamarnya untuk berganti baju, Zahra kembali berkata, “Tapi hari ini aku mengijinkan bunda untuk pergi tanpa aku,” ucapnya dengan logat anak-anak yang melekat padanya. “Tapi bunda harus janji, sepulang bunda dari sana, bunda harus kembali ceria.” Lanjutnya.
Bu Sinta menaikkan kedua alisnya, bagaimana bisa anaknya itu menyadari suasana hatinya, apakah selama ini Zahra menyadarinya tapi ia tidak menunjukkannya? Memang Zahra bisa dibilang lebih pintar dari anak-anak seumurannya, mungkin ia belum menunjukkan kepintarannya di bidang akademi, tapi sejak kecil bu Sinta sudah menyadari kelebihan Zahra jika menyangkut kepekaan ataupun perasaan hati.
Setelah berkata seperti itu, Zahra langsung melepas gandengan tangannya dengan bundanya lalu berjalan menuju bibi Sari yang sedang memasak sesuatu di dapur yang dekat dengan ruang makan. Bu Sinta berdiri dengan perlahan sambil terus menatap ke arah anaknya. Zahra sudah berada di dekat bibi Sari, dan sekarang ia sedang menggandeng tangan bibi Sari. Bu Sinta masih bisa melihat sosok Zahra karena jaraknya yang masih dekat. Saat bu Sinta masih tertegun dan tidak tahu harus bagaimana, Zahra kembali menatap ke arah bu Sinta dan meyakinkan bundanya dengan tatapan matanya dan senyumannya. Bu Sinta yang memahami maksud dari anaknya itu, membalas senyuman anaknya dengan tersenyum lebar, lalu beliau mulai membelakangi Zahra dan berjalan menuju pintu depan kembali.
***
Setelah perjalanan yang memakan waktu lama karena kemacetan yang selalu hadir di Jakarta, akhirnya bu Sinta sampai di tempat tujuan, yaitu Sanggar Seni Kenangan. Bu Sinta mematikan mesin mobilnya begitu mobil sudah terparkir dengan baik di tempat yang benar.
Bu Sinta berjalan menuju Sanggar dengan membawa tas tangannya. Bu Sinta membuka pintu sanggar dengan hati karena beliau takut akan menganggu konsentrasi orang-orang yang sedang berada disana. Sesampai di dalam, bu Sinta tidak langsung berjalan lebih ke dalam lagi, beliau melihat ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan bu Larni. Setelah cukup lama bu Sinta mencari-cari keberadaan bu Larni, akhirnya bu Sinta bisa menemukan bu Larni, beliau sedang berbincang dengan muridnya yang sepertinya usianya lebih muda dari bu Sinta.
“Bu,” sapa bu Sinta dari belakang punggung bu Larni.
Bu Larni menghentikan pembicaraannya dengan muridnya, lalu beliau menoleh ke belakang untuk mencari pemilik suara tersebut. Begitu melihat bu Sintalah pemilik suara itu, raut wajah bu Larni langsung berbinar-binar dan seakan-akan sudah menunggu kehadiran bu Sinta dari jauh-jauh hari, mungkin karena bu Sinta telah mengingkari ucapannya sendiri yang akan kembali kesini 2 hari setelah hari pertama beliau kemari.
“Oh bu Sinta, silahkan Bu,” ucapnya penuh dengan keramahan. Setelah balik menyapa bu Sinta, bu Larni menoleh kembali kepada muridnya itu untuk berkata, “Tunggu sebentar ya, Ibu kedatangan tamu.” Pamitnya kepada muridnya, dan murid itu membalas ucapan bu Larni dengan anggukkan kepala dan senyuman. Kemudian bu Larni mengarahkan bu Sinta ke ruangannya seperti saat pertama kali bu Sinta kemari.
Setelah mempersilahkan bu Sinta masuk ke ruangannya dan duduk di kursi yang berada di depan mejanya, bu Larni duduk dengan kedua tangannya ia silangkan di atas meja kerjanya.
“Bagaimana bu, apakah sudah tahu tujuan ibu ke kegiatan apa?” suara bu Larni seperti biasanya penuh dengan keramahan dan perhatian.
Bu Sinta sedikit malu untuk menatap bu Larni, karena beliau merasa tidak bisa menepati ucapannya sendiri. “Sudah bu, maaf kemarin-kemarin saya tidak sempat kesini karena ada keperluan di rumah.” Bu Sinta meminta maaf pada bu Larni.
Kedua tangan yang sebelumnya beliau silangkan langsung beliau goyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri untuk menolak permintaan maaf dari bu Sinta, karena memang bagi bu Larni hal seperti itu bukanlah masalah besar hingga diharuskan meminta maaf. “Bukan seperti itu Bu, saya tidak mempermasalahkan akan hal itu sama sekali.” Ucapnya tulus.
Bu Sinta tersenyum tidak kalah ramah pada bu Larni. Lalu setelah diam sejenak, bu Sinta kembali berkata, “Saya memutuskan untuk ikut kegiatan merajut Bu, apakah masih ada tempat buat saya bergabung?” tanya bu Sinta dengan sopan.
Raut wajah bu Larni langsung sumringah. “Tentu saja masih ada Bu,” ujar bu Larni kemudian.
Bu Sinta merasa bersyukur dan lega karena bu Larni masih menyambutnya dengan baik dan senang, karena selama beberapa hari ini beliau sempat cemas pandangan bu Larni kepadanya akan berubah karena sikapnya sendiri, tapi sepertinya itu hanyalah kecemasan yang tak berarti.
“Kalau Ibu ada waktu, hari ini Ibu juga bisa langsung ikut kelas, apalagi kebetulan hari ini banyak ibu-ibu lainnya yang datang, mengingat sistem kelas kami sangat bebas dan tidak terpaku pada waktu tertentu, jadi tidak menentu kapan mereka akan datang bersamaan seperti hari ini.” Nada suara bu Larni terdengar cukup menggebu-gebu seolah-olah beliau begitu bersemangat untuk menyambut kehadiran bu Sinta ke sanggarnya.
Bu Sinta sempat berpikir sebelum menjawab tawaran bu Larni, karena beliau memikirkan putri semata wayangnya yang sedang menunggu kepulangannya di rumah dengan harap-harap cemas ia akan ditinggalkan. Setelah berpikir dengan sangat matang, akhirnya bu Sinta memutuskan untuk memulai kelasnya besok, karena bu Sinta sudah berjanji pada putrinya untuk pulang cepat dan tidak meninggalkannya lama-lama, bu Sinta tidak ingin putrinya akan menganggapnya telah membohonginya.
“Maaf Bu, sepertinya hari ini saya masih belum bisa ikut kelas karena anak saya menunggu saya di rumah, saya tadi sudah berjanji padanya kalau saya tidak akan lama-lama.” Ucap bu Sinta penuh penyesalan.
“Oh tidak apa-apa, tentu saja anak harus menjadi prioritas utama. Kalau begitu biar saya perkenalkan Ibu dulu saja ke ibu-ibu yang sedang ada kelas hari ini.” Ujar bu Larni. Kemudian bu Larni terlihat seperti sedang mencari sesuatu di rak mejanya, dan tidak lama setelah itu beliau kembali memperlihatkan dirinya di depan bu Sinta dengan memegang selembar kertas berisi tulisan yang cukup panjang beserta sebuah pena. “Ini perjanjian yang ada di sanggar kami Bu, mohon Ibu baca dulu baik-baik, baru setelah itu Ibu menandatanganinya.” Lanjut bu Larni.
Bu Sinta menerima uluran kertas dari bu Larni, lalu beliau membacanya dengan teliti supaya tidak ada yang terlewatkan. Setelah memastikan tidak ada masalah dalam perjanjian itu, bu Sinta meraih pena yang berada di dekatnya dan menandatangani perjanjian tersebut. Perjanjian sudah ditandatangani, bu Sinta pun mengembalikan perjanjian tersebut kepada bu Larni.
Setelah proses pendaftaran yang tidak terlalu susah selesai, bu Larni mengajak bu Sinta kembali keluar dan menemui orang-orang yang akan menjadi teman-temannya kelak itu. Bu Sinta berjalan di belakang bu Larni dengan menundukkan kepalanya menghindari tatapan mata orang-orang yang sedang melihat ke arahnya.
Bu Larni menghentikan langkah kakinya, lalu beliau menyapa orang-orang yang berada disana terlebih dulu sebelum akhirnya mengenalkan sosok bu Sinta kepada orang-orang disana. Selepas mengenalkan bu Sinta kepada ibu-ibu lainnya, sekarang saatnya bu Larni mengenalkan ibu-ibu itu kepada bu Sinta.
“Yang ada di ujung sana bu Niken,” ujar bu Larni sembari menunjuk ke arah ibu-ibu yang sepertinya berusia lebih tua daripada bu Sinta yang sedang duduk di pojokan sembari memegang sebuah syal berwarna merah. “Kalo yang ini bu Aliyah, teman saya sendiri.” Bu Larni memegang bahu ibu-ibu yang sedang duduk di dekatnya sambil tersenyum lebar. “Kalau yang sebelahnya bu Niken, bu Tia.” Bu Larni mengakhiri perkenalannya. Bu Sinta tersenyum ramah ke mereka semua.
Setelah merasa cukup berbasa-basinya, bu Sinta meminta ijin kembali kepada bu Larni dan ibu-ibu disana untuk pulang terlebih dulu dan pembicaraan dilanjut keesokan harinya karena dalam pikiran bu Sinta saat ini sangat penuh dengan sosok Zahra.
“Oh iya maaf Bu, baiklah kita lanjut besok saja,” bu Larni terlihat sedikit salah tingkah. “Ibu-ibu tukar nomor telepon dulu saja, supaya bisa saling menghubungi,” lanjut bu Larni.
Dengan sedikit tegesa-gesa, bu Sinta memberikan nomor teleponnya kepada bu Aliyah yang posisinya paling dekat dengannya. Setelah merasa kewajibannya sudah terpenuhi, bu Sinta lagi-lagi berpamitan dengan mereka semua.
Bu Sinta berlari-lari kecil menuju mobilnya yang diparkir di depan sanggar, sambil merogoh saku jaketnya untuk mengambil kunci mobilnya. Setelah bu Sinta berada di dalam mobil dan duduk manis di bangku pengemudi, beliau mulai menyalakan mesin mobilnya, dan melajukannya dengan kecepatan cukup tinggi.
***
Mobil sedan berwarna putih yang dikemudikan bu Sinta mulai memasuki garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Sinta langsung menghambur keluar tanpa mengambil tasnya terlebih dulu, karena pikirannya akan Zahra sudah kemana-mana, apalagi tadi pagi, suami bu Sinta sempat berkata kalau beliau akan pulang lebih cepat dari biasanya, dan bu Sinta takut sekarang suaminya sudah sampai di rumah dan sedang mencari-cari keberadaannya.
Bu Sinta mencari-cari keberadaan Zahra, dari mulai ruang tamu hingga kamarnya, namun hasilnya nihil, kecemasan bu Sinta semakin meningkat. Dengan berusaha mengesampingkan kecemasannya yang terus memuncak, akhirnya bu Sinta memilih mencari Zahra ke ruangan terakhir yang belum beliau periksa, bu Sinta menuju ke taman belakang. Dan benar saja, sosok Zahra sedang berada disana sembari memeluk boneka kesayangannya, namun ia tidak sendirian, Zahra sedang duduk di pangkuan ayahnya, Zahra terlihat sedang tertawa lepas bersama ayahnya. Setelah cukup lama Zahra tidak menyadari kedatangan bundanya, akhirnya ia mulai menyadarinya, Zahra langsung berlari dengan cepat ke arah bundanya. Bu Sinta membalas pelukan anaknya dengan menggendongnya.
Suami bu Sinta juga mengikuti anaknya, beliau menghampiri bu Sinta dengan langkah yang tegas dan raut wajah yang kaku. “Dari mana saja kamu?” nada suaranya seperti biasa, terdengar cukup mencekam bagi yang mendengarkannya.
Bu Sinta menurunkan Zahra dari gendongannya, lalu beliau mensejajarkan tubuhnya dengan anaknya itu. “Zahra ke kamar dulu ya, nanti bunda nyusul.” Bu Sinta berusaha bersuara selembut mungkin kepada anaknya.
Zahra berlari menuju kamarnya dengan tidak lupa membawa bonekanya. Setelah memastikan Zahra sudah tidak bisa mendengar pembicaraan orang tuanya, bu Sinta kembali fokus pada suaminya dan menjawab pertanyaannya tadi.
“Tadi aku ada keperluan sebentar,” bu Sinta menjawab sekenanya.
Suami bu Sinta masih menatap istrinya penuh kecurigaan, beliau terlihat seperti menunggu bu Sinta melanjutkan perkataannya, namun bu Sinta sepertinya tidak berniat sama sekali untuk melanjutkan perkataannya.
“Dan kamu meninggalkan Zahra begitu saja,” raut wajah suami bu Sinta masih terlihat garang.
“Aku bukan meninggalkannya begitu saja, aku sudah pamit ke Zahra, dan dia mengijinkanku untuk memenuhi keperluanku, di rumah juga ada bibi Sari, jadi aku tidak benar-benar meninggalkannya begitu saja.” Bu Sinta membela diri.
Raut wajah suami bu Sinta semakin menegang, beliau terlihat kesal dengan pembelaan diri bu Sinta. “Apa kamu kira itu bisa dijadikan alasan? Saat aku pulang tadi, kamu tahu nggak Zahra sedang ada dimana dan dengan siapa? Dia sedang sendirian di kamarnya bermain dengan bonekanya, dan bibi Sari sedang siap-siap untuk pulang karena jam kerjanya sudah habis, tanpa memikirkan nasib anak kita.” Katanya. Kemudian dengan semakin mendekat ke arah bu Sinta, suami bu Sinta kembali berkata, “Jadi jangan harap aku bisa menerima alasanmu tadi.” Ucapnya tegas. “Lagian kamu juga nyari pembantu kok yang nggak berpengalaman dan seenaknya saja gitu. Aku dari awal kan sudah bilang kalau dia nggak akan bisa kerja dengan baik, tapi kamu bilang kamu sudah kenal dia lama, karena dia anaknya teman ibumu, makanya aku menerima dia, tapi lihat kan apa yang telah dia perbuat.” Lanjutnya lagi.
Bu Sinta menundukkan kepalanya, beliau menghindari tatapan tajam dari suaminya yang sedang menghujaninya. Merasa bu Sinta tidak berniat membalas perkataannya, suami bu Sinta meninggalkan istrinya begitu saja dan berjalan menuju kamarnya.
Sepeninggal suaminya, bu Sinta menjatuhkan tubuhnya dan berjongkok sembari menutupi wajahnya. Bu Sinta sama sekali tidak menyangka bibi Sari yang sudah ia percayai selama ini, malah memberikannya masalah di waktu yang tidak tepat. Bu Sinta tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena sudah meninggalkan anaknya di tangan yang tidak bertanggung jawab.
Setelah menenangkan pikiran dan perasaannya, bu Sinta mulai melangkahkan kedua kakinya menuju kamar Zahra, beliau memilih menenangkan pikiran dan perasaannya terlebih dulu karena bu Sinta tidak ingin Zahra melihatnya dengan kondisi seperti itu, apalagi tadi beliau sudah berjanji pada Zahra, sepulang dari sanggar harus kembali ceria seperti dulu lagi. Dalam perjalanan menuju kamar Zahra, bu Sinta juga berpikir berarti beliau hanya bisa ke sanggar pada saat putrinya itu sekolah, dan itu berarti beliau hanya bisa pagi hari untuk ke sanggar. Bu Sinta tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, karena putrinya tetap menjadi prioritas utamanya sampai saat ini.
Bu Sinta membuka pintu kamar putrinya dengan hati-hati, dan sesuai dugaan bu Sinta, beliau melihat Zahra sudah tidur nyenyak disana. Bu Sinta menghampiri putri satu-satunya itu dan duduk di sampingnya sembari mengelus-elus dahi anaknya.
“Maafkan bunda, Nak, karena bunda belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu, tapi tolong beri bunda kesempatan supaya bunda bisa memperbaikinya, bunda akan selalu berada di sampingmu dan menemanimu apapun yang terjadi.” Tanpa sadar air mata bu Sinta keluar begitu saja, tapi dengan cepat bu Sinta menghapusnya sebelum Zahra terbangun dan melihatnya menangis.
Setelah mematikan lampu kamar Zahra dan menyalakan lampu tidur yang berada di meja samping kasur putrinya, bu Sinta beranjak dari kamar Zahra. Bu Sinta berjalan menuju kamarnya sendiri dengan langkah yang lemah, beliau masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Bu Sinta membuka pintu kamarnya, dan mendapati kamar yang dipenuhi warna coklat, tidak ada seorang pun disana selain dirinya sendiri.
Ya, benar, bu Sinta sudah pisah kamar dengan suaminya semenjak 3 bulan yang lalu, suaminyalah yang memutuskannya tanpa menanyai pendapat bu Sinta terlebih dulu.
***
Karena hari ini adalah hari Sabtu, bu Niken pulang kerja pada jam 12 siang. Bu Niken tidak langsung pulang ke rumahnya begitu saja, beliau pergi ke sanggar seni kenangan seperti hari Sabtu sebelum-sebelumnya. Dalam perjalanannya menuju ke sanggar, bu Niken tadi sempat menghubungi bu Aliyah, apakah beliau juga akan pergi ke sanggar dan memintanya menanyai bu Tia juga, dan ternyata jawabannya adalah mereka berdua juga sedang dalam perjalanan menuju sanggar. Setelah mematikan teleponnya, bu Niken memasukkan kembali ponselnya ke tas selempangnya, lalu beliau mulai memanaskan kembali mesin mobilnya yang tadi sempat ia hentikan di pinggir jalan untuk menelpon bu Aliyah. Sesampai di sanggar, bu Niken mendapati bu Aliyah dan bu Tia sudah berada disana dan sedang berbincang dengan pemilik sanggar, bu Larni. Bu Niken menghampiri mereka bertiga, lalu menyapanya begitu sampai di dekat mereka. “Jalanan macet ya?” tanya bu Aliyah pada bu Niken.
Hari Sabtu yang cerah akhirnya tiba juga, hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh bu Aliyah, bukan karena apa, hanya saja beliau sudah tidak sabar menyalurkan hobinya bersama teman-temannya.Bu Aliyah berjalan menuju ruang keluarga sembari memegang nampan yang di atasnya terletak gelas yang berisikan kopi hitam. Sesampai di ruang keluarga, bu Aliyah meletakkan gelas itu ke meja yang berada di depan suaminya.“Hari ini bunda ke sanggar lagi?” tanya suami bu Aliyah tanpa melihat ke arah bu Aliyah, beliau tetap memfokuskan kedua matanya ke arah koran yang sedang dibacanya.Bu Aliyah duduk di samping suaminya. “Iya, kan aku udah lama nggak kesana, ini mumpung semua bisa datang, biasanya pasti ada aja yang nggak bisa karena kesibukannya masing-masing.” Bu Aliyah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.Suami bu Aliyah meletakkan koran yang tadi dibacanya ke meja depannya, lalu belia
Sinar matahari telah menembus tirai kamar bu Tia dan suaminya, sehingga bu Tia segera terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sesaat bu Tia membuka kedua matanya dan mengakhiri mimpi indahnya, sosok suaminya yang masih tertidur pulas langsung muncul di hadapannya. Sejak awal mereka menikah, hingga masuk ke tahun 4 sekarang ini, bu Tia tidak pernah bosan untuk memandangi wajah tampan suaminya tersebut.Meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi, dan hal ini berarti bu Tia telah memandangi suaminya itu selama setengah jam, bu Tia masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Setiap bu Tia memandangi wajah suaminya secara diam-diam seperti ini, bu Tia selalu bernostalgia ke momen dimana mereka pertama kali bertemu.Bu Tia pertama kali bertemu dengan suaminya pada saat bu Tia sedang mengerjakan kerjaannya di sebuah kafe terpencil di daerah kampung halamannya, Bandung. Awalnya, bu Tia tidak memperhatikan kehadiran laki-laki tampan ters
Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya. “Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini. Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.” Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken. “Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun
“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap. “Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul. “Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias. Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak. “Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Ap
Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut sen
Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m
Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda
Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali
Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema
Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in
“Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat