Sinar matahari telah menembus tirai kamar bu Tia dan suaminya, sehingga bu Tia segera terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sesaat bu Tia membuka kedua matanya dan mengakhiri mimpi indahnya, sosok suaminya yang masih tertidur pulas langsung muncul di hadapannya. Sejak awal mereka menikah, hingga masuk ke tahun 4 sekarang ini, bu Tia tidak pernah bosan untuk memandangi wajah tampan suaminya tersebut.
Meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi, dan hal ini berarti bu Tia telah memandangi suaminya itu selama setengah jam, bu Tia masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Setiap bu Tia memandangi wajah suaminya secara diam-diam seperti ini, bu Tia selalu bernostalgia ke momen dimana mereka pertama kali bertemu.
Bu Tia pertama kali bertemu dengan suaminya pada saat bu Tia sedang mengerjakan kerjaannya di sebuah kafe terpencil di daerah kampung halamannya, Bandung. Awalnya, bu Tia tidak memperhatikan kehadiran laki-laki tampan tersebut, sampai terjadi kejadian yang cukup memalukan bagi dirinya.
“Maaf,” ujar seorang laki-laki yang secara tidak sengaja menumpahkan kopinya ke kerah baju bu Tia 5 tahun yang lalu. Laki-laki tersebut berjalan dengan membawa kopinya dengan tidak hati-hati, sehingga ketika melewati kursi dimana bu Tia sedang duduk, secara tidak sengaja laki-laki tersebut menumpahkan kopinya dalam jumlah yang lumayan.
Awalnya, bu Tia tidak menyadari kalau bajunya telah ternodai kopi yang dibawa laki-laki sembrono tersebut. Bu Tia hanya menyadari bahwa ada seorang laki-laki yang sedang meminta maaf kepadanya. Alasan mengapa bu Tia sampai tidak fokus seperti itu adalah karena bu Tia memang sedang sangat fokus ke pekerjaannya.
“Maaf, saya tidak sengaja menumpahkan kopi saya ke baju Anda.” Laki-laki tersebut kembali meminta maaf kepada bu Tia sembari menunjuk kerah baju bu Tia yang sudah basah karena kopi, bahkan noda kopi yang tumpah ke kerah baju bu Tia tersebut juga mengalir ke arah baju bagian dadanya.
Meskipun laki-laki yang tak dikenalnya tersebut telah mengucapkan permintaan maaf sebanyak 2 kali, bu Tia masih tidak bergeming. Melihat respon bu Tia yang hanya diam seperti itu, laki-laki tersebut semakin mengira bahwa bu Tia terlalu marah sehingga tidak mampu menjawab permintaan maafnya.
Namun, tidak disangka-sangka bu Tia justru menyelutuk, “Boleh minta nomor telepon?” celetukan bu Tia tersebut sebenarnya hanya gumaman kecil saja, bu Tia pun tidak pernah menyangka gumaman kecil tersebut akan keluar dari mulutnya dan didengar oleh kedua telinga laki-laki tersebut.
Mendengar jawaban dari bu Tia itu, tentu laki-laki yang memiliki paras tampan tersebut langsung bingung dan bahkan ia juga memundurkan badannya.
Tidak mau laki-laki yang baru dikenalnya itu menganggap dirinya sebagai perempuan tidak tahu etika, tentu bu Tia langsung berkata, “Bukan begitu, maksud saya, saya mau meminta tanggung jawab Anda supaya Anda membayar uang laundry untuk baju saya ini.” Sesaat bu Tia mendengar jawabannya sendiri yang diucapkannya dengan tergagap itu, bu Tia langsung bisa merasakan wajahnya memerah.
Siapa yang tidak malu ketika seseorang bertemu dengan laki-laki tampan di depannya namun dirinya malah mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal? Tentu hampir semua orang pasti akan merasa sangat malu ketika dihadapkan dalam situasi seperti itu.
Namun, tak seperti bayangan bu Tia, respon dari laki-laki tersebut di luar dugaannya. “Nama saya Andrian, boleh minta kertasnya?” ucap laki-laki tersebut sambil menunjuk ke arah buku catatan bu Tia yang berada di samping laptopnya.
Dengan wajah yang masih memerah, bu Tia menyobek 1 lembar halaman dari buku catatannya dan memberikannya ke arah laki-laki tersebut. Setelah menerima kertas dari bu Tia, laki-laki jangkung itu langsung menuliskan nomor teleponnya disana.
“Ini nomor saya, sekarang saya sedang ada keperluan yang mendesak, jadi kalau memang saya benar-benar harus bertanggung jawab atas kecerobohan saya ini, Anda bisa menghubungi saya melalui nomor saya ini,” ucap laki-laki tersebut dengan sangat lancar, seolah-olah dirinya sudah sering dihadapkan dengan situasi seperti ini.
Mendapat respon yang tidak disangka-sangka seperti itu, membuat bu Tia semakin merasa malu. “Maaf.” Akhirnya bu Tia hanya bisa meminta maaf kepada laki-laki yang menyebutkan diri bernama Andrian tersebut.
Mendengar ucapan maaf dari bu Tia tersebut, pak Andrian hanya menggelengkan kepala dengan ramah tanpa menghilangkan senyuman manisnya dari wajahnya. Setelah itu pak Andrian langsung meninggalkan bu Tia yang masih mematung di tempatnya.
Kembali ke masa sekarang, bu Tia masih belum beranjak dari posisinya, sampai akhirnya suaminya itu mengerjapkan kedua matanya dan terbangun dari tidurnya.
“Ada apa di wajahku?” tanya pak Andrian saat melihat istrinya itu tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wajahnya.
Bu Tia hanya menjawab pertanyaan dari suaminya itu dengan gelengan kepala ringan. “Love You.” Ya, salah satu dari mereka berdua selalu mengucapkan ucapan cinta ketika bangun dari tidur. Hal ini sudah dibahas oleh mereka berdua sejak sebelum menikah.
Kali ini pak Andrian hanya menjawab perkataan cinta dari istrinya itu dengan kecupan manis yang mendarat di kening bu Tia. “Hari ini kamu ada kelas di sanggar?” tanya pak Andrian setelah itu.
Bu Tia menggangguk. “Papa hari ini ada jadwal nggak?” Ya, bu Tia dan pak Andrian sudah menjadi orang tua dari Bita, anak perempuan yang masih berumur 2,5 tahun.
Kali ini pak Andrianlah yang menggelengkan kepalanya. “Hari ini biar aku yang menjaga Bita, kamu bersenang-senanglah di sanggar, keluarkan semua pikiran kalutmu yang selama ini ada di pikiranmu.” Pak Andrian mengucapkan perkataan tersebut sambil menatap kedua mata bu Tia dengan sangat dalam.
Setelah mendengar jawaban dari suaminya itu, bu Tia langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke Sanggar Seni Kenangan.
***
Meskipun awalnya bu Tia berencana untuk berangkat ke Sanggar Seni Kenangan sendiri saja, tanpa diantar oleh suaminya, namun pak Andrian memaksanya untuk mengantar istrinya itu sampai ke tempat tujuan.
“Bagaimana kabar bu Larni?” Pak Andrian menanyakan kabar bu Larni karena sudah lama beliau tidak bertemu dengan pemilik sanggar yang dikunjunginya itu.
“Baik, di kelas sebelumnya aku nggak lama ketemunya, jadi aku nggak ngobrol sama beliau.” Bu Tia memberitahu suaminya.
Pak Andrian menggangguk-anggukan kepalanya. Lalu beliau bertanya, “Terus yang teman barumu itu gimana?”
“Dia seperti sedang ada masalah, tapi karena aku tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga keluarga lain, jadi aku tidak menanyakan banyak hal kepadanya,” jawab bu Tia. “Lagian kita juga baru ketemu berapa kali, jadi makin salah kalau aku menanyakan mengenai hal itu.” Bu Tia melanjutkan perkataannya sembari mencoba mengambil minum yang ada di kursi belakang.
Mobil yang ditumpangi bu Tia dan pak Andrian berhenti karena sedang berada di lampu merah. Karena tangan pak Andrian sedang menganggur, pak Andrian pun meraih telapak tangan istrinya untuk digenggamnya.
“Sudah lama kita tidak jalan berdua gini ya,” ujar pak Andrian sembari menatap kedua mata istrinya dengan tatapan yang sangat manis. “Biasanya selalu ada Bita di antara kita, aku rindu dengan suasana ini.” Pak Andrian melanjutkan ucapannya dengan malu-malu, karena memang biasanya bu Tialah yang bersikap manja seperti itu.
Tidak ingin momen langka ini segera berakhir, bu Tia menggoda suaminya tersebut. “Jadi selama ini kamu ingin berduaan sama aku?” Bu Tia sangat bertekad untuk menggoda pak Andrian, bahkan beliau juga memanggil suaminya itu dengan kata ‘kamu’ dan bukan dengan panggilan ‘Papa’ yang sudah selama 2.5 tahun ini beliau jadikan panggilan untuk suami tercintanya itu.
Pak Andrian semakin mendekatkan wajahnya ke muka istrinya yang memang juga sedang menatapnya dengan intens. “Apa salah seorang suami ingin berduaan dengan istrinya?” Ujar pak Andrian dengan nada yang terdengar iseng di telinga bu Tia.
Melihat wajah suaminya yang sangat dekat dengannya, bu Tia langsung ingin mencium bibir suaminya itu, dan keinginannya tersebut langsung beliau kabulkan. Setelah mencium suaminya, bu Tia langsung memberikan isyarat bahwa lampu di depannya sudah menunjukkan warna hijau, yang berarti mobil harus segera melanjutkan perjalanannya.
“Bukankah kita sudah sering berduaan di kamar?” Meskipun mobil sudah melaju kembali, niat bu Tia untuk menggoda suaminya itu tidak juga reda.
Dengan masih menggenggam telapak tangan bu Tia, pak Andrian menjawab, “Tentu saja berbeda, kalau sampai di kamar kita juga tidak pernah berduaan, aku pasti tidak akan betah.” Meskipun mungkin ucapan ini terdengar seperti candaan bagi sebagian besar orang, akan tetapi kenyataannya pak Andrian benar-benar mengatakannya dengan tulus.
***
Hampir setengah jam sudah terlewat, dan akhirnya bu Tia dan suaminya pun sudah sampai di Sanggar Seni Kenangan. Bu Tia dengan sengaja tidak memperbolehkan suaminya untuk turun dari mobil, supaya beliau bisa langsung pulang untuk menemani Bita yang sedang di rumah dengan bibi Arum – Babysitter Bita –
Selepas pak Andrian mencium kening bu Tia, bu Tia segera keluar dari mobil dan masuk ke Sanggar Seni Kenangan. Sesampai disana, ternyata semua sudah ada di tempatnya masing-masing, yaitu bu Sinta, bu Aliyah, dan bu Niken.
“Maaf bu, saya telat ya, tadi jalanan agak macet, jadi saya telat deh.” Bu Tia mengucapkan permintaan maaf tersebut sambil menggantungkan tas jinjingnya ke lengan kursinya.
“Tidak apa-apa bu Tia, saya tadi juga macet, cuma memang saya tadi berangkat lebih pagi karena diantar sama suami saya.” Entah kenapa, bu Tia merasa ucapan yang dilontarkan bu Aliyah tersebut bukan untuk menenangkan dirinya namun justru untuk memamerkan kehidupan pribadinya. Kendati demikian, bu Tia merasa itu hanyalah prasangka buruknya sendiri.
Setelah obrolan singkat tersebut, kelas pun mulai berlangsung. Disela-sela kelas berlangsung, mereka berempat tidak berhenti saling menceritakan kehidupan rumah tangganya masing-masing. Jika bu Aliyah sangat mengebu-gebu ketika menceritakan tentang kehidupan rumah tangganya, bu Sinta lebih banyak diam, entah itu karena beliau belum merasa cocok dengan teman-teman barunya itu, atau karena alasan yang lainnya.
***
Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya. “Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini. Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.” Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken. “Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun
“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap. “Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul. “Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias. Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak. “Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Ap
Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut sen
Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m
Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya
Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel
Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda
Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali
Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema
Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in
“Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat