Share

#5

Author: Sung Rae Ri
last update Last Updated: 2021-08-20 15:53:48

Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya.

“Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini.

Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.”

Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken.

“Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun merasa bahwa ucapannya tersebut sangatlah menyakitkan bagi orang lain. Ya, meskipun pada situasi saat ini tokoh utama yang sedang dibicarakan tidak ada di sekitarnya, akan tetapi tetap saja ucapan itu merupakan ucapan terlarang.

Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat amarah bu Larni timbul. “Aku udah sering bilang kan, kamu tuh terlalu ikut campur urusan orang lain. Meskipun mungkin kamu merasa sudah mengenal bu Niken cukup lama, tetap saja ada batasan-batasan khusus yang tidak boleh kamu lewati.” Suara bu Larni terdengar sangat tegas. Meskipun bu Aliyah adalah temannya sendiri yang sudah menjalin pertemanan dalam waktu yang cukup panjang, bu Larni tetap tidak pernah suka dengan sikap dan prilaku bu Aliyah yang seperti itu.

Melihat raut wajah bu Larni yang mengeras dan dilengkapi dengan nada suara yang sangat tegas namun tidak mengurangi sifat wibawanya, bu Aliyah langsung menciut. Beliau tidak berhenti meminta maaf, meski permintaan maaf tersebut seharusnya tidak ditujukan ke bu Larni.

“Bu Niken memang belum mempunyai anak, tapi beliau juga pasti memiliki kepentingan sendiri yang tentunya kita sebagai orang luar tidak perlu tahu.” Bu Larni dengan sengaja menekankan suaranya di kata ‘belum’.

“Iya, maaf, aku cuma ingin tahu saja, soalnya dari luar bu Niken terlihat seperti orang yang santai, jadi aku kira orang seperti dia tidak pernah memiliki masalah besar dalam hidupnya.” Kali ini, di balik permintaan maaf bu Aliyah terdapat pembelaan diri yang diselipkannya dengan baik.

“Entah itu masalah besar maupun kecil, jika bu Niken sendiri tidak menceritakan masalah tersebut ke kita, kita tidak berhak mencari tahunya sendiri, toh dengan mengetahui permasalahan tersebut kita tidak ada untungnya,” ucap bu Larni dengan bijak. Lalu beliau melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Lagian kalau memang beliau membutuhkan bantuan dari kita, pasti beliau cerita kok, paling tidak beliau bisa cerita ke aku,” lanjutnya.

Bu Aliyah yang merasa sedikit tersinggung, hanya bisa diam tak berkutik mendengar nasihat baik dari bu Larni tersebut.

Melihat temannya itu hanya bisa termenung mendengarkan nasihatnya, bu Larni kembali berkata, “Aku mengajakmu ikut kelas ini supaya kamu bisa mengisi waktu luangmu dengan kegiatan yang positif, jadi kalau kamu masih punya kebiasaan seperti ini, berarti misi yang kita kejar masih gagal.” Bu Larni mengucapkan perkataan tersebut dengan cara sehalus mungkin.

Kali ini bu Aliyah menyetujui ucapan temannya itu, karena memang sejak beliau memutuskan untuk mengikuti kelas ini, bu Aliyah dan bu Larni sama-sama menyadari apa yang menjadi tujuan mereka, jadi ketika hal ini kembali terjadi, bu Aliyah merasa wajar jika bu Larni merasa kecewa.

“Ya udah sana kembali lagi, jangan istirahat lama-lama disini, nanti dikira yang lainnya aku menganak emaskan dirimu,” canda bu Larni dengan tertawa ringan.

Mendengar candaan yang dilontarkan bu Larni, bu Aliyah ikut tertawa lembut. “Bukankah aku memang anak emasmu?” Bu Aliyah balik melontarkan candaan ke teman baiknya.

Tanpa menunggu jawaban dari bu Larni, bu Aliyah beranjak dari tempatnya dan kembali ke kelas merajutnya.

***

Keesokan harinya -karena di pertemuan berikutnya bu Niken kembali tidak bisa masuk, jadi beliau berniat mengikuti kelas yang hari ini- bu Niken mengikuti kelas tanpa kehadiran teman-teman yang lain. Bu Niken berangkat ke sanggar sendiri, tanpa diantar oleh siapa pun.

Sesampai di sanggar, bu Niken dengan sengaja langsung menuju ke ruangan bu Larni, tapi tanpa diduga sang pemilik ruangan tersebut tidak ada di ruangannya. Melihat bu Larni tidak ada di ruangannya, bu Niken sempat ragu, apakah harus menunggu di dalam atau di luar, karena beliau merasa jika dirinya menunggu di dalam namun pemilik ruangan belum mengizinkannya untuk masuk, bu Niken merasa itu tindakan yang kurang sopan.

Pada saat pikirannya sedang berdebat mengenai hal itu, tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar di telinganya. “Bu Niken?” Suara tersebut memanggil bu Niken dengan nada bertanya-tanya.

Bu Niken yang mendengar namanya dipanggil pun menoleh, dan beliau segera dipertemukan dengan sosok bu Sinta yang juga sepertinya sedang menunggu kehadiran bu Larni.

“Oh, bu Sinta,” panggil bu Niken. Meskipun mungkin terdengarnya bu Niken sangat menyambut kehadiran bu Sinta, akan tetapi kenyataannya di dalam lubuk hatinya ada perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

“Bu Niken juga ikut kelas hari ini?” Bu Sinta semakin mendekat ke arah bu Niken.

“Iya Bu, saya hari Jum’at tidak bisa ikut kelas lagi, jadi saya memilih ikut kelas hari ini, toh saya hari ini juga lagi nganggur.” Dengan sengaja bu Niken menyelipkan candaan ringannya.

“Oh, sama kalau begitu Bu, saya juga hari Jum’at tidak bisa ikut kelas, jadi saya pikir ikut kelas hari ini saja,” ujar bu Sinta tanpa menghilangkan senyuman ramah dari wajahnya.

Belum sempat bu Niken hendak melanjutkan basa-basinya dengan bu Sinta, terdengar suara seorang lelaki di belakang mereka. “Maaf, apa Ibu sedang menunggu atau mencari bu Larni?” pertanyaan tersebut yang terdengar oleh bu Sinta dan bu Niken.

Secara serentak bu Sinta dan bu Niken menengok ke arah asal suara tersebut. Dan ternyata, suara tersebut milik suami bu Larni. Bu Sinta memang tidak mengenali lelaki tersebut awalnya, tapi setelah mendengar alur pembicaraan antara lelaki itu dengan bu Niken, bu Sinta mulai menyadari bahwa beliau suami dari bu Larni.

“Oh iya Pak, apa bu Larni sedang sibuk?” tanya bu Niken.

“Hari ini beliau sedang tidak enak badan, jadi bu Larni menyuruh saya yang menjaga kelas-kelas hari ini,” jawab suami bu Larni. Lalu beliau kembali melontarkan pertanyaan kepada bu Sinta dan bu Niken. “Ada yang bisa saya bantu? Nanti akan saya sampaikan ke bu Larni.”

“Tidak usah Pak, bukan masalah besar, saya cuma mau minta maaf karena kemarin tidak bisa masuk kelas.” Ya, memang kalimat yang diucapkan bu Niken ini tidak sepenuhnya salah, karena memang salah satu rencana bu Niken ke ruangan bu Larni adalah untuk meminta maaf.

Mendengar jawaban dari bu Niken, suami bu Larni mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum ramah. Lalu beliau menoleh ke arah bu Sinta tanpa menanyakan pertanyaan yang sama seperti tadi.

“Tidak, Pak, saya juga tidak ada urusan penting dengan bu Larni, saya hanya ingin menyapa beliau.” Bu Sinta menjawabnya dengan sesopan mungkin.

“Kalau begitu kami pamit dulu ya Pak,” kata bu Niken sembari menggandeng lengan bu Sinta.

Suami bu Larni kembali menggangguk-anggukan kepalanya dengan ramah.

Sesampai di kursi kelas merajut, bu Niken berkata, “Ibu ada perlu apa ke ruangan bu Larni?” Bu Niken menanyakan hal ini lagi, karena beliau merasa bu Sinta juga seperti dirinya yang tidak mengatakan sejujurnya kepada suami bu Larni tadi.

Bu Sinta tersenyum malu, karena beliau merasa seperti sedang tertangkap basah telah berbohong.

“Saya mendengar rumor yang mengatakan bahwa bu Larni siap mendengarkan keluh kesan kita dengan sabar. Selain itu juga menurut bu Tia, saran dan kritik yang diberikan oleh bu Larni selalu tepat, jadi saya ingin mencobanya.” Meskipun sebagian besar nada suara bu Sinta terdengar seperti candaan, tapi ada nada keseriusan yang tersirat di dalamnya.

“Oh, bu Sinta sudah mendengar kabar itu?” kali ini nada suara bu Niken terdengar excited.

“Iya Bu, kebetulan saya lagi ada masalah yang membuat saya membutuhkan sosok pendengar yang baik, jadi mumpung hari ini yang awalnya saya kira hanya saya yang masuk kelas hari ini, saya mau cerita ke bu Larni.” Suara bu Sinta menyiratkan rasa malu sedikit.

Mendengar jawaban bu Sinta, bu Niken hanya bisa tersenyum penuh arti.

“Ibu sudah pernah mengalaminya sendiri?” Bu Sinta menanyakan hal itu dengan penuh hati-hati, karena beliau tidak mau membuat bu Niken merasa tersinggung atau berpikir kalau bu Sinta suka ikut campur urusan orang lain.

Tanpa disangka-sangka, bu Niken justru tertawa saat mendengar ucapan bu Sinta tersebut. “Sering Bu, setiap saya ada masalah saya pasti lari ke bu Larni, makanya hari ini pun saya berniat untuk sharing dengan bu Larni.” Bu Niken mengucapkan kalimat tersebut tanpa merasa malu sedikit pun, seolah-olah hal seperti ini merupakan hal yang wajar di Sanggar Seni Kenangan.

***

Related chapters

  • Four Moons   #6 Liburan yang Tak Diinginkan

    “Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap. “Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul. “Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias. Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak. “Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Ap

    Last Updated : 2021-08-22
  • Four Moons   #7

    Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut sen

    Last Updated : 2021-08-24
  • Four Moons   #8

    Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m

    Last Updated : 2021-08-26
  • Four Moons   #9

    Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d

    Last Updated : 2021-09-02
  • Four Moons   #10

    Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya

    Last Updated : 2021-09-05
  • Four Moons   #11 Liburan Petaka

    Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel

    Last Updated : 2021-09-07
  • Four Moons   #12

    Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan

    Last Updated : 2021-09-09
  • Four Moons   #13

    Sepulang dari sanggar, bu Niken mengendarai mobilnya dengan pikiran yang masih terpaku ke arah sepasang lelaki dan perempuan yang beliau lihat sepulang liburan. Sejujurnya, meskipun bu Niken sempat yakin bahwa lelaki tersebut bukan suaminya, akan tetapi di lain sisi bu Niken juga takut bahwa suaminya pernah mengalami kejadian seperti itu, alias bertemu dengan perempuan lain dalam keadaan yang intens tanpa sepengetahuan beliau.“Tiinnn…” suara klakson mobil yang berkepanjangan terdengar dari belakang mobil bu Niken. Ternyata karena bu Niken sedang melamun dengan santainya, beliau tidak menyadari akan pergantian warna lampu lalu lintas. Menyadari hal itu, bu Niken langsung menancap gas mobilnya.Beberapa menit kemudian, mobil bu Niken telah memasuki area garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Niken mengambil tas jinjingnya yang beliau letakkan di bangku penumpang, lalu beliau keluar dari mobilnya. 

    Last Updated : 2021-09-11

Latest chapter

  • Four Moons   #49

    Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum

  • Four Moons   #48

    Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant

  • Four Moons   #47

    Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda

  • Four Moons   #46 Cinta yang Salah

    Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali

  • Four Moons   #45

    Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema

  • Four Moons   #44

    Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in

  • Four Moons   #43

    “Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga

  • Four Moons   #42

    Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny

  • Four Moons   #41 Jalan Kehidupan yang Saling Berbeda

    Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status