Share

#7

Penulis: Sung Rae Ri
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-24 21:13:45

Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.

“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.

Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.

Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut senang.

Ketika bu Sinta menolehkan kepalanya kembali ke arah depan, bu Sinta sempat melihat suaminya sedang melirik ke arah spion tengah untuk melihat ekspresi bahagia anaknya, dan terlihat senyuman singkat di wajahnya setelah itu. Melihat senyuman yang sudah lama tidak bisa beliau lihat itu membuat bu Sinta merasakan harapan, perasaan bahagia, terharu, namun juga takut.

“Nanti aku tunggu di mobil aja ya,” ucap pak Helmi memecahkan keheningan yang terjadi di dalam mobil.

Belum sempat bu Aliyah menjawab ucapan tersebut, Zahra menyahut, “Ayah nggak mau ikut belanja sama aku?” Zahra mengucapkan kalimat tersebut dengan nada suara khas anak kecil.

Pak Helmi yang sangat menyayangi anak satu-satunya itu tentu langsung panik ketika mendengar pertanyaan tersebut. “Bukan begitu Sayang, Ayah hanya capek, jadi selagi menunggu Zahra sama Bunda belanja, Ayah mau tidur dulu di mobil.” Pak Helmi mencari alasan yang sekiranya dapat diterima oleh anak seusia 4 tahun.

Namun, perkiraan pak Helmi salah besar, karena anaknya itu justru menjawab ucapannya itu dengan berkata, “Emang Bunda nggak capek? Kan Bunda juga capek ngurusin aku, tapi Bunda nggak minta nunggu di mobil seperti Ayah.” Kalimat tersebut langsung membuat perasaan kedua orang di bangku depan menciut dengan sangat drastis, apalagi baik bu Sinta maupun pak Helmi tidak pernah menyangka Zahra dapat berbicara seperti itu.

Pak Helmi langsung menatap bu Sinta dengan tatapan yang sangat tajam seolah-olah bu Sintalah yang membuat Zahra bisa mengatakan ucapan seperti itu. Namun, berbeda dengan pak Helmi yang merespon ucapan Zahra dengan mencoba mencari dalang di balik hal itu, bu Sinta lebih memperhatikan gestur dari anaknya, karena beliau takut selama ini Zahra menyadari tentang hubungan orang tuanya yang sedang tidak akur.

“Bukan begitu, Zahra. Ayah semalam pulang terlalu malam, jadi wajar kalau hari ini Ayah capek. Lagian, nanti di dalam juga banyak orang jadi lebih baik kita berdua saja yang masuk.” Bu Sinta berusaha keras menenangkan pikiran dan perasaan anaknya maupun dirinya sendiri.

“Tidak usah, kalau Zahra ingin Ayah juga ikut masuk, Ayah akan ikut kok.” Raut wajah pak Helmi berubah total ketika menoleh ke arah Zahra, raut wajahnya benar-benar terlihat penuh dengan kasih sayang. Saat ini mobil sedang berhenti karena terjebak antrian lampu merah yang cukup panjang.

Mendengar jawaban dari ayahnya itu, Zahra kembali ceria lagi, lalu Zahra kembali berkata, “Kan gitu enak, aku jadi happy karena bisa menggandeng tangan Bunda sama Ayah.” Ucapan khas anak kecil itu keluar dari mulut Zahra tanpa mengurangi kebahagiaan yang tersirat di wajahnya.

Setelah itu keheningan kembali terjadi di dalam mobil, karena bu Sinta dan pak Helmi sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Keheningan itu terus berlanjut hingga mobil sampai di parkiran supermarket. Selesai memarkir mobilnya dengan benar, pak Helmi keluar dari mobil dan disusul oleh bu Sinta yang langsung membuka pintu belakang mobil untuk membantu Zahra turun dari mobil.

“Hap!” Ujar Zahra begitu kedua kakinya telah mendarat di aspal parkiran supermarket. Setelah turun dari mobil, Zahra langsung menggandeng tangan bundanya dan menariknya dengan sedikit memaksa. Ternyata Zahra berusaha menyeimbangkan langkah kaki ayahnya yang sudah duluan jalan untuk masuk ke supermarket.

Setelah Zahra berhasil menyalip langkah kaki ayahnya, Zahra segera menggandeng tangan ayahnya juga, jadi sekarang mereka bertiga sedang bergandengan. Sudah lama bu Sinta tidak melihat raut wajah bahagia Zahra yang seperti ini, dan ketika mengingat hal itu, membuat perasaan bu Sinta sedih, karena beliau merasa semua itu kesalahannya.

Mereka bertiga masuk masih dengan saling bergandengan. Namun, karena supermarket sedang banyak pengunjung sehingga cukup ramai, jadi bu Sinta mencoba membujuk Zahra supaya mau melepas gandengan tangannya. Tentu hal itu tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk bisa membujuk Zahra. Akhirnya, pak Helmi mengatasi permasalahan tersebut dengan menggendong Zahra sembari menggandeng tangan bu Sinta.

“Kalau begini Zahra mau kan?” Tanya pak Helmi kepada anaknya.

Sejak telapak tangan suaminya mendarat di telapak tangan bu Sinta dan telapak tangan tersebut sekarang sedang menggandengnya, hati dan pikiran bu Sinta tidak karuan. Pasalnya, sudah hampir 3 tahun suaminya itu tidak pernah bersikap seperti itu, dan jika Zahra tidak tiba-tiba bertingkah seperti tadi, kemungkinan besar sikap tidak peduli suaminya itu akan terus berlanjut hingga hari-hari esok.

Setelah Zahra mulai tidak rewel lagi, akhirnya mereka bertiga mulai berbelanja kebutuhan. Dari mulai bahan makanan hingga kebutuhan sehari-hari lainnya sudah terpenuhi. Oleh karena itu, mereka pun segera kembali ke mobil, dan Zahra saat ini sudah tertidur, mungkin karena merasa capek tadi sempat berlari-lari saat di dalam supermarket.

Mobil melaju dengan hening dalam perjalanan pulang. Baik bu Sinta maupun pak Helmi sama-sama tidak berniat untuk membuka pembicaraan. Padahal, sebenarnya bu Sinta merasa ada suatu hal yang menurutnya harus dibicarakan dengan suaminya.

Karena merasa ada suatu hal yang ingin dibicarakan, akhirnya gerak-gerik bu Sinta terlihat sedikit gelisah, dan tak lama kemudian pak Helmi menyadari kegelisahan tersebut.

“Ada yang ingin kamu bicarakan?” Tanyanya dengan nada suara yang tegas.

Menyadari kegelisahannya tertangkap basah, membuat bu Sinta sedikit ragu untuk mengatakan pikirannya.

Namun, setelah berperang dengan pikirannya beliau sendiri, akhirnya bu Sinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Beberapa minggu belakangan ini aku ikut kelas di sebuah sanggar seni, maaf aku nggak memberitahu lebih awal,” bu Sinta sengaja berhenti sejenak untuk mengecek respon dari suaminya itu. Respon pak Helmi sebenarnya cukup terkejut, bahkan beliau langsung mengalihkan tatapannya ke arah bu Sinta. Namun, respon itu masih di luar ekspektasi bu Sinta yang berpikir bahwa suaminya itu akan merespon dengan amarah dan omelan yang menggebu-gebu.

“Terus?” Merasa bu Sinta tidak kunjung melanjutkan ucapannya, akhirnya pak Helmi bertanya dan sedikit menuntut penjelasan lainnya.

“Beberapa hari yang lalu teman-temanku disana mengajak liburan keluarga bersama, aku nggak enak kalau menolak ajakan itu, tapi kalau Ayah nggak mau ikut aku ikut sendiri aja, atau mungkin aku mengajak Zahra.” Bu Sinta terdengar terburu-buru ketika mengucapkan kalimat tersebut.

“Kalau kamu cuma mengajak Zahra, tapi aku nggak ikut, justru itu semakin terlihat aneh, mending kamu nggak usah ikut juga, toh kamu juga baru kenal sama mereka.” Pak Helmi kembali fokus ke jalanan depan karena jalanan memang sedang ramai.

Mendengar jawaban pak Helmi, perasaan bu Sinta antara lega namun juga kecewa. Bu Sinta merasa lega karena suaminya itu tidak mengeluarkan amarah yang biasanya dikeluarkan. Namun di lain sisi bu Sinta juga merasa kecewa karena pak Helmi melarang bu Sinta untuk mengajak Zahra liburan bersama teman-teman barunya.

Ketika mobil sedang berhenti karena terjebak lampu merah yang cukup panjang, pak Helmi kembali mengalihkan perhatiannya ke arah bu Sinta. “Emang kapan?” pertanyaan yang tidak disangka-sangka oleh bu Sinta itu keluar dari mulut suaminya.

“Aku masih belum tahu, karena ini masih pembahasan awal, dan mereka juga sedang menanyakan ke keluarganya masing-masing.” Ucapan bu Sinta terdengar sedikit kikuk.

“Kalau masih belum pasti kayak gini nggak usah dibahas dulu, nanti kalau udah ada kepastian waktunya bicarakan lagi, kalau memang nggak ada kerjaan kita bisa ikut bertiga.” Raut wajah dan nada suara pak Helmi saat ini terlihat dan terdengar sangat asing bagi bu Sinta. Namun meskipun begitu, bu Sinta sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, dan beliau hanya bisa tersenyum lebar.

***

Hari ini bu Niken bangun tidur lebih siang dari biasanya, karena semalam beliau ada kerjaan yang mengharuskannya lembur sampai malam. Ya, meskipun beliau kerja dari rumah, tapi tetap saja deadline yang memburunya membuat beliau harus segera menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Bu Niken keluar dari kamarnya setelah mandi dan berganti baju. Bu Niken segera beranjak ke dapur karena beliau langsung merasa lapar begitu bangun tidur. Bu Niken berjalan ke dapur dengan langkah kaki yang sedikit diseret, karena bu Niken merasa sangat kecapekan setelah begadang tadi malam.

Begitu beliau sampai di ruang makan, yang letaknya berdampingan dengan dapur, bu Niken segera dipertemukan dengan suaminya, yaitu pak Surya. Pak Surya sedang makan roti panggang yang telah dilapisi selai cokelat sembari membaca koran dengan serius. Melihat suaminya sedang makan disana, sempat terbersit di pikirannya untuk mengurungkan niatnya ke dapur. Namun, niat tersebut tidak terkabul karena pak Surya menyadari kehadiran bu Niken.

“Baru bangun? Semalam kamu lembur?” tanya pak Surya ketika melihat bu Niken terlihat kecapekan.

Bu Niken yang sudah terlanjur membalikkan badannya, langsung menoleh ke arah suaminya kembali. “Iya, tadi malam ada kerjaan yang harus selesai.” Bu Niken menjawab pertanyaan suaminya sembari melanjutkan langkah kakinya ke arah dapur.

“Jadi kamu belum makan?” Tanya pak Surya lagi ke istrinya.

Bu Niken hanya bisa tersenyum malu ketika mendengar pertanyaan pak Surya tersebut.

“Ini aku ada roti panggang, barangkali kamu mau, tadi aku lihat di kulkas bahan makanan pada habis, jadi aku buat roti panggang.” Ujar pak Surya sembari menyodorkan sepiring roti panggang yang serupa dengan yang beliau makan.

Mendengar ucapan pak Surya, bu Niken jadi teringat kalau beliau belum belanja bahan makanan lagi. Mengingat hal itu, akhirnya bu Niken menghampiri pak Surya dan menerima tawaran suaminya.

“Ayah sudah sembuh total?” Bu Niken memecah keheningan dengan menanyakan kabar suaminya yang memang sudah selama beberapa hari ini merasa tidak enak badan.

“Iya, besok aku sudah bisa masuk kerja.” Pak Surya menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat.

Karena mendapat jawaban yang singkat dari suaminya, bu Niken berpikir untuk tidak menanyakan banyak hal lagi kepada suaminya. Sebab, bu Niken tidak ingin rasa kecewa menghinggap lagi ke dirinya.

Keheningan sempat lama terjadi, hingga akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh pak Surya. “Akhir pekan ini kamu ada acara nggak?” Tanya pak Surya sambil menatap kedua mata cantik bu Niken dengan sangat dalam.

Mendapat perlakuan manis seperti itu dari orang yang sangat dicintainya, tentu membuat bu Niken salah tingkah, bahkan beliau tidak mampu menjawab langsung pertanyaan suaminya itu.

“Kalau aku tidak ada kelas, mungkin aku tidak ada acara.” Akhirnya bu Niken menjawabnya seperti itu.

“Kelas?” Raut wajah pak Surya benar-benar terlihat seperti baru mendengar kata tersebut.

Melihat raut wajah suaminya itu yang penuh dengan tanda tanya, membuat bu Niken teringat akan suatu hal. Sampai saat ini bu Niken belum pernah bercerita tentang Sanggar Seni Kenangan kepada suaminya, karena sudah selama ini juga mereka berdua jarang berbincang secara empat mata seperti sekarang ini.

Akhirnya bu Niken mulai menceritakan tentang keikutsertaannya di Sanggar Seni Kenangan. Bahkan, bu Niken juga menyebutkan bahwa sejak beliau menghadiri kelas disana, perasaan bu Niken terasa lebih tenang daripada sebelum-sebelumnya.

“Syukurlah kalau begitu,” ucap pak Surya dengan ketulusan yang dapat terlihat secara jelas.

Melihat respon dari suaminya yang selalu bersifat positif seperti itu, bu Niken merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu suaminya tentang ajakan liburan yang diajukan bu Aliyah beberapa hari yang lalu.

“Omong-omong, kalau semisal teman-teman sanggar mengajak liburan keluarga bersama, Ayah bisa ikut nggak?” Masih tersirat nada suara keraguan di dalam diri bu Niken. Maka dari itu, beliau langsung melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Kalau Ayah merasa tidak nyaman, biar aku sendiri saja yang ikut.” Kali ini suara bu Niken terdengar terburu-buru namun penuh dengan keyakinan.

Melihat gestur bu Niken yang gelisah dan panik seperti itu, pak Surya hanya bisa tertawa geli. Lalu beliau berkata, “Kalau kamu sendiri yang ikut, namanya bukan liburan keluarga dong,” pak Surya dengan sengaja mengeluarkan candaannya untuk menetralkan suasana antara beliau dengan istrinya.

Bu Niken semakin merasa malu mendapat respon seperti itu dari suaminya. Beliau hanya bisa mengusap-usap tengkuk lehernya dengan malu.

“Kalau aku nggak ada kerjaan atau janji sama orang, aku bisa menemanimu.” Akhirnya pak Surya menerima ajakan tersebut.

Bu Niken tidak pernah menyangka proses ini akan berjalan selancar ini, padahal beliau sudah berpikir sampai susah tidur tentang bagaimana cara untuk menanyakan hal ini kepada suaminya. Namun, tanpa disangka-sangka ternyata proses itu bisa berjalan dengan lancar seperti sekarang ini, dan bahkan suaminya itu bisa langsung menerima ajakan tersebut tanpa ada paksaan sedikit pun.

Bu Niken tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Karena saat ini kebahagiaannya ada di batas maksimal, jadi bu Niken tidak berhenti memasang senyuman bahagianya di wajah cantiknya. Meskipun beliau sedang memakan roti panggang pemberian suaminya, akan tetapi bibirnya terus terangkat hingga akhir.

***

Bab terkait

  • Four Moons   #8

    Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • Four Moons   #9

    Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Four Moons   #10

    Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Four Moons   #11 Liburan Petaka

    Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Four Moons   #12

    Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09
  • Four Moons   #13

    Sepulang dari sanggar, bu Niken mengendarai mobilnya dengan pikiran yang masih terpaku ke arah sepasang lelaki dan perempuan yang beliau lihat sepulang liburan. Sejujurnya, meskipun bu Niken sempat yakin bahwa lelaki tersebut bukan suaminya, akan tetapi di lain sisi bu Niken juga takut bahwa suaminya pernah mengalami kejadian seperti itu, alias bertemu dengan perempuan lain dalam keadaan yang intens tanpa sepengetahuan beliau.“Tiinnn…” suara klakson mobil yang berkepanjangan terdengar dari belakang mobil bu Niken. Ternyata karena bu Niken sedang melamun dengan santainya, beliau tidak menyadari akan pergantian warna lampu lalu lintas. Menyadari hal itu, bu Niken langsung menancap gas mobilnya.Beberapa menit kemudian, mobil bu Niken telah memasuki area garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Niken mengambil tas jinjingnya yang beliau letakkan di bangku penumpang, lalu beliau keluar dari mobilnya. 

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Four Moons   #14

    Bu Aliyah keluar dari kamarnya dengan langkah yang sempoyongan. Sudah selama beberapa hari ini, beliau merasa tidak enak badan, hingga tidak bisa kemana-mana, bahkan hanya untuk ke minimarket dekat rumahnya saja pun cukup melelahkan.Bu Aliyah berjalan menuju dapur untuk makan siang, karena memang beliau baru saja terbangun dari tidurnya yang baru saja dimulai jam 4 pagi tadi. Dari pagi tadi, bu Aliyah sudah ditinggal sendiri, karena anak-anaknya sekolah dan suaminya pun kerja. Bahkan, tadi pagi pak Rio juga tidak berusaha membangunkan bu Aliyah untuk meminta tolong membuatkan sarapan.Setelah berhasil menggoreng telur dan mengambil nasi yang sepertinya sudah dimaksakkan oleh pak Rio tadi pagi, bu Aliyah langsung memakannya dengan malas-malasan. Sebenarnya, beliau tidak berselera untuk makan, akan tetapi bu Aliyah berpikir, jika beliau tidak makan secara terus-menerus, bagaimana bisa beliau sembuh.“Ting..Tong&hell

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • Four Moons   #15

    Bu Aliyah menunggu kedatangan suaminya dengan perasaan yang gelisah, sehingga bu Aliyah sempat melupakan fakta bahwa beliau sedang tidak enak badan dan butuh waktu istirahat. Bu Aliyah tidak berhenti memandangi jam dinding di kamarnya, beliau menghitungi waktu sampai suaminya tiba di rumah.Bahkan, pada saat anak-anak bu Aliyah sudah pulang dari sekolahnya masing-masing, bu Aliyah hanya menyambutnya dengan setengah hati. Hal ini tentu pemandangan yang sangat asing di keluarga bu Aliyah. Biasanya, bu Aliyah akan menciumi anak-anaknya satu per satu, sampai anak-anaknya sendiri yang risih menerima perlakuan manis dari bundanya yang menurut mereka cukup berlebihan seperti itu.Setelah menyiapkan makan untuk ketiga anaknya, bu Aliyah kembali ke kamarnya sambil mencuri-curi dengar, apakah pintu rumah telah terbuka. Sampai akhirnya, terdengar suara pintu yang terbuka. Mendengar suara tersebut, tentu saja langsung memberikan efek yang luar bjasa kep

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • Four Moons   #49

    Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum

  • Four Moons   #48

    Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant

  • Four Moons   #47

    Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda

  • Four Moons   #46 Cinta yang Salah

    Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali

  • Four Moons   #45

    Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema

  • Four Moons   #44

    Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in

  • Four Moons   #43

    “Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga

  • Four Moons   #42

    Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny

  • Four Moons   #41 Jalan Kehidupan yang Saling Berbeda

    Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status