Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.
“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.
Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.
“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.
Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya
Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel
Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan
Sepulang dari sanggar, bu Niken mengendarai mobilnya dengan pikiran yang masih terpaku ke arah sepasang lelaki dan perempuan yang beliau lihat sepulang liburan. Sejujurnya, meskipun bu Niken sempat yakin bahwa lelaki tersebut bukan suaminya, akan tetapi di lain sisi bu Niken juga takut bahwa suaminya pernah mengalami kejadian seperti itu, alias bertemu dengan perempuan lain dalam keadaan yang intens tanpa sepengetahuan beliau.“Tiinnn…” suara klakson mobil yang berkepanjangan terdengar dari belakang mobil bu Niken. Ternyata karena bu Niken sedang melamun dengan santainya, beliau tidak menyadari akan pergantian warna lampu lalu lintas. Menyadari hal itu, bu Niken langsung menancap gas mobilnya.Beberapa menit kemudian, mobil bu Niken telah memasuki area garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Niken mengambil tas jinjingnya yang beliau letakkan di bangku penumpang, lalu beliau keluar dari mobilnya. 
Bu Aliyah keluar dari kamarnya dengan langkah yang sempoyongan. Sudah selama beberapa hari ini, beliau merasa tidak enak badan, hingga tidak bisa kemana-mana, bahkan hanya untuk ke minimarket dekat rumahnya saja pun cukup melelahkan.Bu Aliyah berjalan menuju dapur untuk makan siang, karena memang beliau baru saja terbangun dari tidurnya yang baru saja dimulai jam 4 pagi tadi. Dari pagi tadi, bu Aliyah sudah ditinggal sendiri, karena anak-anaknya sekolah dan suaminya pun kerja. Bahkan, tadi pagi pak Rio juga tidak berusaha membangunkan bu Aliyah untuk meminta tolong membuatkan sarapan.Setelah berhasil menggoreng telur dan mengambil nasi yang sepertinya sudah dimaksakkan oleh pak Rio tadi pagi, bu Aliyah langsung memakannya dengan malas-malasan. Sebenarnya, beliau tidak berselera untuk makan, akan tetapi bu Aliyah berpikir, jika beliau tidak makan secara terus-menerus, bagaimana bisa beliau sembuh.“Ting..Tong&hell
Bu Aliyah menunggu kedatangan suaminya dengan perasaan yang gelisah, sehingga bu Aliyah sempat melupakan fakta bahwa beliau sedang tidak enak badan dan butuh waktu istirahat. Bu Aliyah tidak berhenti memandangi jam dinding di kamarnya, beliau menghitungi waktu sampai suaminya tiba di rumah.Bahkan, pada saat anak-anak bu Aliyah sudah pulang dari sekolahnya masing-masing, bu Aliyah hanya menyambutnya dengan setengah hati. Hal ini tentu pemandangan yang sangat asing di keluarga bu Aliyah. Biasanya, bu Aliyah akan menciumi anak-anaknya satu per satu, sampai anak-anaknya sendiri yang risih menerima perlakuan manis dari bundanya yang menurut mereka cukup berlebihan seperti itu.Setelah menyiapkan makan untuk ketiga anaknya, bu Aliyah kembali ke kamarnya sambil mencuri-curi dengar, apakah pintu rumah telah terbuka. Sampai akhirnya, terdengar suara pintu yang terbuka. Mendengar suara tersebut, tentu saja langsung memberikan efek yang luar bjasa kep
Semenjak hari petaka itu terjadi, bu Aliyah tidak pernah menyapa pak Rio, bahkan pada saat pak Rio hendak meminta maaf kepada istrinya itu, bu Aliyah tidak pernah menggubrisnya. Bu Aliyah masih belum bisa melupakan betapa pahitnya hari itu, mengingat beliau sedang sakit dan menerima perlakuan seperti itu dari suaminya. “Bunda ada kelas hari ini?” Pak Rio tidak pernah berhenti berusaha untuk berbaikan dengan istrinya. Bu Aliyah yang sedang mengambilkan makanan untuk anak-anaknya, hanya menggelengkan kepalanya secara singkat. “Terus Bunda ada janji sama siapa?” Pak Rio masih berusaha mencari jawaban dari istrinya, karena beliau melihat bu Aliyah sedang memakai baju yang rapi dan dandanan yang cantik. “Bunda ada janji sama teman,” jawab bu Aliyah kemudian. Lalu beliau menghampiri pak Rio dan berkata, “Lagipula, entah itu Bunda ada janji atau tidak, itu sudah bukan urusan Ayah lagi, bukankah Bund
Semenjak bu Niken mencoba memancing kecurigaan di antara rekan-rekan sanggarnya, hubungan antara bu Sinta, bu Aliyah, dan bu Tia sedikit berubah menjadi canggung, hal ini berarti umpan yang dilontarkan oleh bu Niken berhasil dimakan oleh ketiga orang tersebut. Sejak kejadian itu pula, bu Aliyah semakin menjauhi suaminya meski di lain sisi beliau juga tidak pernah berhenti mengamati suaminya dari jauh. Segala gerak-gerik pak Rio selalu diperhatikan oleh bu Aliyah, selagi suaminya itu berada di rumah. “Hari ini Ayah pulang jam berapa?” tanya bu Aliyah ketika sedang sarapan bersama keluarganya. Pak Rio terlihat sedikit tidak yakin untuk menjawab. “Aku masih belum tahu, soalnya nanti ada rapat lanjutan sama klien baru,” ujar pak Rio sambil menggaruk ringan ujung hidungnya. Bu Aliyah memperhatikan gelagat pak Rio tersebut. Lalu tidak lama kemudian, pak Rio mengalihkan perhatian istrinya dengan ber
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda
Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali
Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema
Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in
“Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat