Hari Sabtu yang cerah akhirnya tiba juga, hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh bu Aliyah, bukan karena apa, hanya saja beliau sudah tidak sabar menyalurkan hobinya bersama teman-temannya.
Bu Aliyah berjalan menuju ruang keluarga sembari memegang nampan yang di atasnya terletak gelas yang berisikan kopi hitam. Sesampai di ruang keluarga, bu Aliyah meletakkan gelas itu ke meja yang berada di depan suaminya.
“Hari ini bunda ke sanggar lagi?” tanya suami bu Aliyah tanpa melihat ke arah bu Aliyah, beliau tetap memfokuskan kedua matanya ke arah koran yang sedang dibacanya.
Bu Aliyah duduk di samping suaminya. “Iya, kan aku udah lama nggak kesana, ini mumpung semua bisa datang, biasanya pasti ada aja yang nggak bisa karena kesibukannya masing-masing.” Bu Aliyah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
Suami bu Aliyah meletakkan koran yang tadi dibacanya ke meja depannya, lalu beliau meraih gelas yang berisi kopi tadi, dan segera meminumnya dengan perlahan karena kopi masih mengeluarkan uap panas.
“Nanti jam 3 aku mau ketemu sama temanku di daerah Thamrin.” Ucap suami bu Aliyah setelah meminum kopinya.
Bu Aliyah sempat memandangi suaminya dengan penuh selidik, meskipun nanti dirinya juga akan pergi dan melakukan kegiatannya sendiri, tapi bu Aliyah juga sedikit merasa cemburu karena beliau tidak bisa menghabiskan waktunya bersama suaminya di hari libur. Namun, setelah menyadari sikapnya itu terlalu kekanakan di usianya yang sudah kepala 4, bu Aliyah menghilangkan kecemburuan itu dari perasaannya.
“Jangan pulang malam-malam, nanti malam kan waktunya ayah tidur bersama Dania.” Bu Aliyah mengingatkan suaminya akan tugasnya. Sejak memiliki anak pertama, bu Aliyah dan suaminya memang membuat peraturan sendiri di dalam rumah tangga mereka, yaitu pada Sabtu malam atau malam Minggu, suaminya itu harus punya waktu untuk tidur bersama anak-anaknya yang masih berumur balita. Tidak ada maksud lain dari peraturan itu, hanya saja bu Aliyah ingin anak-anaknya bisa mendapatkan waktu yang lama bersama ayahnya yang selalu sibuk pada hari kerja, dan suami bu Aliyah pun juga sudah menyetujui aturan itu.
Suami bu Aliyah terlihat seperti baru mengingat akan hal itu, tapi beliau berusaha keras menutupinya dari istrinya. “Oh tentu saja, sekarang Dania dimana?” suami bu Aliyah mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keberadaan anak ketiganya.
Bu Aliyah menoleh ke arah kamar anak ketiganya, lalu beliau berkata, “Dari tadi dia nggak mau keluar kamar, nggak tahu kenapa, katanya mau main game aja di kamar.” Kata bu Aliyah merujuk ke permainan game yang ada di ponselnya yang sedang dipegang oleh Dania.
“Kenapa nggak bunda larang, itu kan bisa bikin matanya sakit,” suami bu Aliyah terlihat tidak suka, beliau langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kamar Dania. Suami bu Aliyah langsung masuk begitu saja kesana tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Di lain tempat, bu Aliyah hanya bisa menatap punggung suaminya dengan tatapan yang susah diartikan.
***
Hari ini, bu Aliyah bertemu dengan murid baru di Sanggar Kenangan, dan sepertinya beliau juga sudah ber-rumah tangga, jadi menurut dugaan bu Aliyah, beliau sepertinya akan cocok dengan dirinya, dan teman-temannya. Calon teman baru bu Aliyah yang tadi memperkenalkan diri sebagai bu Sinta itu terlihat sangat kalem dan elegan, paras cantiknya juga terpapar jelas dengan rambut yang sengaja diurainya.
Bu Sinta tidak singgah di sanggar dengan lama, beliau berkata jika anaknya sedang menunggunya di rumah, jadi beliau tidak bisa menghabiskan waktu yang lama disini, dan kami semua juga memakluminya. Setelah melihat bu Sinta dan bu Larni berjalan menuju luar sanggar, bu Aliyah kembali menolehkan kepalanya ke arah bu Tia dan bu Niken.
“Nanti langsung masukin bu Sinta ke grup ya, biar beliau bisa tahu kapan kita bakal ambil kelas lagi,” perintah bu Aliyah, tanpa merajuk ke satu nama, karena bu Tia maupun bu Niken sama-sama bisa memasukkan orang luar ke grup.
Untuk menanggapi ucapan bu Aliyah, bu Niken menganggukkan kepalanya, sedangkan bu Tia hanya tersenyum kecil.
Tidak lama kemudian, sosok bu Larni kembali terlihat dalam pandangan bu Aliyah, bu Larni kembali berjalan menuju posisi kelas merajut. Namun, pada saat bu Larni sudah memfokuskan arah jalannya, di tengah jalan bu Larni dihentikan oleh salah satu murid yang sepertinya masih berumur 20-an, anak itu terlihat berbincang serius dengan bu Larni, dan entah kenapa bu Aliyah tidak bisa memalingkan pandangannya dari hal itu.
Bu Aliyah bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju bu Larni. Bu Aliyah menepuk bahu bu Larni perlahan, dan bu Larni segera menoleh, pada saat melihat ternyata bu Aliyahlah yang menepuk bahunya, bu Larni memberikan kode pada bu Aliyah untuk menunggunya sebentar. Karena menurutnya bu Larni akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbincang dengan salah satu muridnya itu, bu Aliyah pun memilih menunggu bu Larni di ruangannya.
Bu Aliyah menunggu bu Larni sembari memainkan ponselnya di ruangan bu Larni. Sepertinya bu Larni membutuhkan waktu lebih lama dari dugaan bu Aliyah, karena beliau tidak kunjung datang ke ruangannya, namun itu tidak membuat bu Aliyah menyerah untuk menunggunya. Dan benar saja, tidak lama kemudian, sosok bu Larni memasuki ruangannya.
“Maaf, tadi aku ngomong ke bu Niken sama bu Tia dulu, buat menjaga bu Sinta dengan baik pada saat pertemuan selanjutnya.” Ucap bu Larni kepada bu Aliyah.
“Emang dia siapamu kok seperti ada ikatan batin di antara kalian berdua, dari tadi aku ingin menanyakan akan hal itu.” Bu Aliyah mengeluarkan rasa ingin tahunya yang sedari tadi bersarang di pikirannya.
Bu Larni tertawa mendengar ucapan temannya itu, lalu beliau berjalan menuju kursinya dan duduk disana menghadap bu Aliyah yang duduk di depannya. “Aku hanya merasa seperti melihat diriku sendiri pada saat di usia yang sama seperti bu Sinta saat ini. Kecanggungannya, kegelisahannya, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan jika dirinya tidak lemah seperti dugaan orang lain.” Ujar bu Larni.
Mendengar ucapan bu Larni, membuat bu Aliyah tertawa, karena beliau juga menyetujui perkataan bu Larni. “Benar juga, makanya sedari tadi aku merasa seperti pernah bertemu dengannya.” Kata bu Aliyah.
Bu Larni terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu, namun bu Aliyah tidak tahu apa yang sedang dicarinya. “Lagi nyariin apaan?” tanya bu Aliyah kemudian, karena beliau melihat bu Larni tidak kunjung mendapatkan apa yang sedang dicarinya.
“Nggak, nggak terlalu penting sih, cuma kata suamiku tadi sepertinya ada barangnya yang ketinggalan disini, jadi nanti aku disuruh membawanya pulang.” Jawab bu Larni.
Sesaat setelah bu Larni menjawab pertanyaan bu Aliyah, terdengar bunyi ketukan dari pintu ruangan bu Larni. Bu Larni pun mempersilahkan seseorang di luar pintu tersebut untuk masuk. Setelah pintu ruangan terbuka, sosok Hani terlihat dengan memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.
“Maaf Bu mengganggu, saya tidak sengaja memecahkan gelas kaca yang ada di dekat pintu kamar mandi pada saat saya kesana tadi.” Hani berbicara dengan memancarkan sinar kecemasan dalam kedua matanya. “Tapi tadi pecahan itu sudah saya bersihkan, saya hanya memberitahu Ibu, barangkali saya harus menggantinya, saya siap menggantinya Bu,” lanjut Hani.
Bu Larni menghampiri Hani yang masih berdiri di dekat pintu dan tidak beranjak masuk. Sedangkan bu Aliyah juga tetap setia duduk di posisinya yang sama seperti tadi. Tatapan mata bu Larni tidak beralih sedikit pun dari sosok Hani. Namun, tatapan mata tersebut tidak berfokus pada wajah Hani, tetapi tatapan mata bu Larni lebih melihat ke arah telapak tangan Hani.
“Lalu ini kenapa? Apa kamu terluka pada saat membersihkan gelas itu?” Ucap bu Larni dengan nada suara yang penuh kekhawatiran. Bu Larni menggenggam pergelangan tangan Hani dan menyuruh remaja tersebut masuk ke ruangannya. “Luka seperti ini harus langsung diobati, kalau tidak itu malah akan menjadi sebuah infeksi,” lanjut bu Larni setelah berhasil membawa Hani ke dalam ruangannya.
Bu Aliyah yang sedari tadi hanya duduk dan memperhatikan mereka berdua, kali ini beliau beranjak dan mempersilakan Hani untuk duduk di kursi yang tadi beliau duduki. “Sini, Nak.” Bu Aliyah tersenyum dengan penuh keramahan ke arah Hani.
Hani memang terlihat masih seperti anak kecil, meski usia sebenarnya adalah 18 tahun. Namun, karena Hani memiliki gestur yang canggung dengan badan yang kecil, Hani jadi tidak terlihat seperti usia sebenarnya. Maka dari itu, orang-orang di sanggar yang mengenal Hani, selalu menganggap dan memperlakukan Hani seperti anak kecil.
Bu Larni selesai mencari kotak P3K yang beliau simpan dengan baik di rak bukunya. Setelah itu, beliau langsung mengobati luka Hani dengan cekatan. Selesai luka Hani diobati, bu Larni menyuruh Hani untuk langsung pulang saja, karena luka yang didapatkan Hani dari membersihkan pecahan gelas tadi cukup dalam, sehingga lebih baik Hani langsung istirahat saja.
Sepeninggal Hani, bu Aliyah yang masih berada di ruangan bu Larni berkata, “Dari dulu aku selalu berpikir dia cantik sekali, bahkan sejak awal bertemu aku berharap ketika Dania besar nanti akan memiliki paras cantik seperti dia.” Bu Aliyah mengucapkan keinginannya tersebut tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu ruangan bu Larni.
Mendengar ucapan bu Aliyah, bu Larni tertawa kecil. “Jangan pernah membanding-bandingkan atau pun berharap untuk anakmu bisa menjadi seperti orang lain.” bu Larni mengucapkan nasihat tersebut dengan sangat halus supaya bu Aliyah tidak merasa tersinggung. “Toh, aku rasa Dania sudah sangat cantik, padahal dia masih di umur segitu,” lanjut bu Larni tanpa menghilangkan senyum ramahnya dari wajahnya.
Bu Aliyah mengangguk-angguk ringan, lalu beliau berkata, “Yah, semua orang pasti memiliki impiannya masing-masing untuk anaknya, dan ketika aku melihat Hani, aku merasa dia sangat cantik dan berhati baik serta sopan, jadi tidak heran jika aku berharap Dania bisa tumbuh seperti dia.” Kali ini bu Aliyah beranjak dari tempatnya, namun raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sifat tersinggung.
Bu Larni yang merasa sudah tidak bisa membalas ucapan bu Aliyah, karena beliau takut ucapannya malah menjadi batu sandungan dalam hubungan mereka, hanya bisa menggangguk dan mempersilakan bu Aliyah untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
***
Pada saat bu Aliyah berangkat untuk menghadiri kelas selanjutnya, suaminya menawarkan diri untuk mengantarnya ke Sanggar Seni Kenangan. “Hari ini Bunda ada kelas kan?” kata suami bu Aliyah pada saat keluarga kecilnya sedang sarapan bersama di ruang makan.
Bu Aliyah yang berpikir suaminya itu hanya menanyakan hal tersebut untuk sekedar basa-basi saja pun menjawab. “Iya Yah.” Sudah, bu Aliyah hanya menjawabnya dengan sangat singkat.
“Aku mau ke arah sana juga, nanti kuantar aja.” suami bu Aliyah yang bernama pak Rio itu mulai menawarkan diri untuk mengantar bu Aliyah ke Sanggar Seni Kenangan.
Bu Aliyah yang masih belum terbiasa dengan sikap ramah dari suaminya tersebut hanya bisa menganga dan tidak menjawab ucapan suaminya dengan kata-kata namun dengan anggukan kepala saja.
Selesai sarapan dan kebutuhan serta urusan anak-anak sudah selesai semua, bu Aliyah dan pak Rio mulai masuk ke mobil untuk berangkat. Sepanjang perjalanan, pak Rio tidak banyak bicara, beliau hanya menjawab ocehan istrinya dengan sekedarnya. Namun, karena suasana hati bu Aliyah sedang baik, karena akhirnya suaminya mau mengantar dirinya ke Sanggar, jadi bu Aliyah tidak terlalu memperhatikan ekspresi suaminya. Bu Aliyah tidak berhenti cerita sampai bangunan Sanggar Seni Kenangan mulai terlihat di depan mata.
Mobil yang dikendarai pak Rio mulai memasuki perkarangan sanggar. Pak Rio mencari tempat parkir yang tepat supaya nanti beliau dapat langsung menuju ke acaranya sendiri. Namun, sesaat pak Rio memarkir mobilnya, tepat di depannya ada bu Larni yang sedang membuka pintu sanggar sembari membawa sapu lidi.
Bu Larni yang melihat sosok pak Rio di dalam mobil, langsung tersenyum bahagia seperti baru saja bertemu kawan lama yang sudah tidak pernah bertemu selama sekian lama. Bu Larni memberikan isyarat untuk pak Rio supaya turun dari mobil. Bu Aliyah yang melihat isyarat dari bu Larni tersebut, tentu tidak kalah bahagia.
Bu Aliyah dan pak Rio mulai mendekat ke arah bu Larni, dan ketika bu Larni sudah berada di dekatnya, bu Aliyah berkata, “Yang lain sudah datang belum?” Tanya bu Aliyah.
Bu Larni menggelengkan kepalanya. “Tumben-tumbenan kamu jam segini udah datang, sama Rio lagi.” Bu Larni dengan sengaja menggoda kedua temannya tersebut.
Pak Rio yang mendengar candaaan bu Larni tersebut hanya bisa tertawa canggung. “Saya lagi ada urusan di dekat sini, jadi saya menawarkan diri untuk mengantarnya kemari, lumayan jadi bisa hemat bensin,” canda pak Rio. Ya, meskipun pak Rio sudah mengenal bu Larni sejak dulu, akan tetapi beliau masih menggunakan bahasa formal ketika bertemu bu Larni.
Sesaat candaan dari pak Rio itu disambut tawa dari bu Larni dan bu Aliyah, ada taksi yang masuk ke perkarangan sanggar. Kemudian, sesaat taksi tersebut berhenti, sosok Hani keluar. Melihat ada 2 seniornya sedang mengobrol di depannya, Hani pun tersenyum ramah sambil menganggukkan kepalanya ringan.
Setelah Hani menutup pintu taksi, Hani mulai mendekat ke arah bu Larni, bu Aliyah, dan satu orang lagi lainnya yang masih belum dikenal oleh Hani.
“Gimana, lukamu sudah sembuh?” mengingat hari ini adalah hari pertama bu Larni bertemu dengan Hani setelah kejadian gelas yang pecah kemarin, tentu yang ditanyakan bu Larni pertama kali adalah mengenai hal tersebut.
Namun, belum sempat Hani menjawab pertanyaan dari bu Larni, sosok bu Sinta menyapa mereka berempat yang sedang ada disana. Dengan kemunculan bu Sinta ini, membuat para wanita yang ada disana mulai mengobrol ringan seperti yang berkaitan dengan anak, suami, dan bahkan cuaca hari ini.
Ketika merasa pak Rio mulai dikucilkan, para wanita tersebut pun mulai berhenti bercerita. Kemudian bu Larni menyuruh Hani dan bu Sinta untuk masuk terlebih dahulu, karena beliau mau menemani bu Aliyah untuk mengantar kepergian pak Rio. Setelah itu Hani dan bu Sinta pun langsung masuk.
Di situasi saat ini, mungkin banyak orang akan mengira tidak ada suatu hal besar yang terjadi. Kendati demikian, tatapan mata pak Rio tidak beralih sama sekali dari sosok kedua wanita yang baru saja meninggalkan mereka bertiga tersebut. Bu Aliyah menyadari tatapan tajam suaminya tersebut dan bertanya, “Ayah kenal mereka, atau salah satunya?” bu Aliyah bertanya tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun.
Dan jawaban dari suaminya adalah hanya gelengan kepala tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang akan menaruh kecurigaan ketika suaminya bersikap seperti itu kepada wanita lain, namun bu Aliyah tidak melakukan hal ini sama sekali, karena beliau sudah ditutupi oleh rasa bahagia yang sejak pagi ini beliau rasakan.
***
Sinar matahari telah menembus tirai kamar bu Tia dan suaminya, sehingga bu Tia segera terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sesaat bu Tia membuka kedua matanya dan mengakhiri mimpi indahnya, sosok suaminya yang masih tertidur pulas langsung muncul di hadapannya. Sejak awal mereka menikah, hingga masuk ke tahun 4 sekarang ini, bu Tia tidak pernah bosan untuk memandangi wajah tampan suaminya tersebut.Meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi, dan hal ini berarti bu Tia telah memandangi suaminya itu selama setengah jam, bu Tia masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Setiap bu Tia memandangi wajah suaminya secara diam-diam seperti ini, bu Tia selalu bernostalgia ke momen dimana mereka pertama kali bertemu.Bu Tia pertama kali bertemu dengan suaminya pada saat bu Tia sedang mengerjakan kerjaannya di sebuah kafe terpencil di daerah kampung halamannya, Bandung. Awalnya, bu Tia tidak memperhatikan kehadiran laki-laki tampan ters
Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya. “Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini. Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.” Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken. “Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun
“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap. “Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul. “Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias. Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak. “Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Ap
Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut sen
Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m
Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya
Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Malam dari pertemuan yang sangat menegangkan itu, pak Rio mencoba menghubungi bu Sinta. Namun, bu Sinta secara tidak sengaja tidak mengangkat telepon dari pria yang sedang dicintainya itu. Tentu hal ini membuat perasaan pak Rio gelisah.“Tadi ponselmu bunyi, kurasa ada yang meneleponmu.” Tanpa menyadari bahwa sosok yang tadi menelepon istrinya adalah pak Rio, pak Helmi memberitahu bu Sinta akan hal itu.Tanpa menjawab ucapan pak Helmi, bu Sinta langsung melihat siapa sosok yang sudah meneleponnya itu. Dan begitu beliau melihat nama pak Rio yang disamarkan menjadi “Bu Aliyah New” di layar ponselnya, bu Sinta langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar kamarnya.Bu Sinta mencoba menelepon kembali nomor pak Rio, tapi pak Rio cukup lama mengangkatnya. Meski begitu, bu Sinta dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya, pak Rio mengangkat telepon dari bu Sinta tersebut.“Halo,” ucap pak Rio di seberang sana. Sesudah pak Rio mengucapkan kata itu, sempat terdengar suara anak-anak kecil yang seda
Bu Sinta, bu Aliyah, pak Helmi, dan pak Rio saling duduk berhadapan menunggu pesanan datang. Tersirat raut wajah yang tegang dari bu Sinta, dan pak Rio pun tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tadinya, pak Rio sudah mengajak istrinya untuk pergi ke restoran lain dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tentu saja alasan itu langsung ditolak oleh bu Aliyah, sehingga sekarang mereka berempat bersama di posisi yang sama.“Baru kali ini saya melihat kalian berdua sama-sama lagi setelah liburan dulu,” bu Aliyah memecah keheningan di antara mereka.Pak Helmi tersenyum, lalu beliau berkata, “Iya Bu, dulu saya tidak punya waktu untuk keluarga, tapi setelah saya pikir-pikir ternyata keluarga adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan saya.” Jawab pak Helmi.Di sela-sela mereka berdua berbicara, bu Sinta dan pak Rio hanya bisa saling mencuri-curi pandang sampai tiba salah satu pesanan yang datang ke meja mereka. Setelah pelayan yang mengantar pesanan tersebut sudah kembali pergi, bu Ali
Malam harinya, bu Sinta dan pak Helmi sudah berpakaian rapi, sedangkan Zahra sudah siap untuk main ke rumah Ibrahim, teman barunya yang baru saja pindah ke sebelah rumah. Beberapa hari yang lalu, Zahra bercerita bahwa dirinya mendapatkan teman baru yang tampan, dan dia ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti. Tentu mendengar ucapan polos dari putri semata wayangnya itu, membuat bu Sinta tertawa geli, bagaimana bisa putrinya yang masih sangat kecil itu memikirkan tentang kehidupan pernikahan? Begitu batin bu Sinta.Setelah menitipkan Zahra ke rumah Ibrahim, bu Sinta dan pak Helmi mulai berangkat. Sampai saat ini, bu Sinta masih belum tahu hendak diajak kemana oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suami itu.“Kita mau kemana?” tanya bu Sinta kemudian.Sambil kedua tangannya masih memegang setir mobil, pak Helmi menoleh ke arah bu Sinta. “Sebenarnya aku juga masih belum tahu mau mengajakmu kema
Hari demi hari terus berjalan dengan semestinya, dan bu Sinta sudah lama tidak ikut kelas di Sanggar Seni Kenangan, karena beliau harus kembali ke rumahnya untuk merawat Zahra sampai kondisinya benar-benar sudah pulih. Selama bu Sinta pulang ke rumahnya yang dulu, rumah pak Helmi, suaminya itu tidak pernah berhenti bersikap baik kepada bu Sinta. Tentu perubahan sikap pak Helmi ini membuaf bu Sinta bingung, malas, dan enggan untuk menanggapinya. “Hari ini kamu ada keperluan ke luarkah?” tanya pak Helmi ketika sedang makan bersama dengan bu Sinta dan Zahra di ruang makan. Bu Sinta yang sedang menyuapi putri semata wayangnya itu, menoleh ke arah pak Helmi, lalu beliau bertanya, “Memangnya kenapa?” tanya bu Sinta. Pak Helmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku lupa mengabarimu sebelumnya,” sikap yang tidak pernah diberikan pak Helmi selama masa menikah dengan bu Sinta in
“Halo,” bu Sinta mengangkat telepon tersebut dengan suaranya yang terdengar lirih, beliau masih terbawa perasaan ucapan suaminya tadi dan beliau juga masih tidak tahu bagaimana bisa suaminya itu tahu tentang hubungannya dengan pak Rio. “Tidak ada masalah kan? Kamu dimana?” suara pak Rio terdengar penuh kekhawatiran yang menggebu-gebu. “Aku di rumah sakit,” jawab bu Sinta dengan singkat, dan masih dengan suaranya yang lirih. “Ada apa? Dia memukulmu? Apa aku kesana sekarang?” suara pak Rio semakin menggebu-gebu, beliau benar-benar merasa khawatir pak Helmi berani main tangan dengan wanita yang sedang dicintainya itu. “Bukan, Zahra sakit, makanya tadi dia menjemputku langsung,” bu Sinta sempat terdengar seperti ragu untuk melanjutkan omongannya lagi, dan pak Rio menyadari akan hal itu, sehingga beliau dengan sengaja memberikan waktu kepada bu Sinta untuk mengolah pikirannya terlebih dahulu denga
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat