Tirta prasetya Belum pernah seorang wanitapun yang mengabaikanku selama ini. Justru para wanita cantik berlomba-lomba mencari perhatianku. Ketika namaku sedang naik daun di kalangan para artis, tak sedikit para wanita mengejarku. Bahkan mendatangiku ke rumah dan ke kantor. Luar biasa wanita jaman sekarang. Mereka tak segan-segan apalagai malu untuk menyatakan perasaannya padaku. Secara terang-terangan mereka mengungkapkan rasa sukanya padaku. Namun dari semua wanita itu, tak satupun yang menarik perhatianku. Padahal mereka juga dari kalangan artis, model dan keluarga pejabat. Bahkan paras dan penampilan mereka tidak diragukan lagi. Hanya satu wanita yang bisa menggetarkan hati ini. Wanita yang terhormat bukan karena harta yang dimilikinya. Tapi justru caranya menjaga sikap dan menjaga kehormatan dirinya. Wanita yang justru membuat penasaran setiap pria. Hanya wanita ini satu-satunya yang selalu berusaha menjaga jarak denganku. Serani Gunawan, Anak dari om Gunawan sahabat papa. G
Seperti saran Arief, pagi ini aku tidak ke kantor dulu. Menurut dokter aku harus istirahat beberapa waktu untuk pemulihan. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk berdua saja dengan Giska. Rindu sekali melihat kelincahan anak gadisku itu. Seikat bunga cantik di atas meja menarik perhatianku sejak tadi. "Bik Sum, bunga dari mana ini?" tanyaku seraya menghampiri meja. Bunga yang ternyata bunga Azalea itu nampak sangat cantik dengan variasi warna magenta, pink muda dan putih. Setahu aku, bunga azalea ini biasa di berikan seorang pria yang akan melamar wanitanya. "Oh, itu saya temukan di dekat teras, Bu. Sepertinya terjatuh oleh orang yang mencari Bu Sera siang kemarin," sahut Bik Sum. "Orang yang mencari saya? Siang kemarin? Siapa Bik?" tanyaku heran. Sementara Giska mengajakku untuk duduk di sofa menemaninya menonton film kesayangannya. Anakku ini sangat manja. Mungkin ia juga merindukanku. "Kemarin siang seorang laki-laki bule datang mencari Bu Sera. Ketika saya bilang ibu ke kan
Arief Bahagia yang tak terkira kurasakan hari ini. Setelah mengucapkan ijab kabul tadi pagi, Serani Gunawan telah sah menjadi istriku. Akhirnya perjuangan cintaku berbuah manis. Rani cinta pertamaku yang mengharuskanku jatuh bangun untuk meraihnya. "Apa sih liatin aku terus? Malu tau di liatin tamu-tamu," bisiknya. "Kamu cantik banget, aku nggak rela kamu banyak yang ngeliatin dari tadi," sahutku berbisik seraya mendekatkan wajahku. "Namanya juga pengantin. Ya pasti pada ngeliatin. Aneh deh kamu," sahutnya seraya tersenyum menahan tawa. Betapa indahnya ciptaanmu Ya Allah. "Rani, kamu tau nggak bedanya Jerman sama kamu?" "Aapaaa?" "Jerman pinter bikin mobil, kalau kamu pinter banget bikin aku kangen." Rani membekap mulutnya menahan tawa. "Rani..., nanti aku hanya ingin hidup cukup denganmu. Cukup liatin senyummu tiap hari..." "ARIEF... hahaha ..!!" Kali ini kami berdua tertawa lepas, tanpa peduli tamu-tamu semua memandang pada kami. Ya Allah, semoga aku bisa terus membuatny
Setahun kemudian Tirta Prasetya Setelah setahun tinggal di New York, semalam aku kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku ini. Pertemuan besar dari beberapa mitra perusahaan akan diadakan pagi ini. Syukurlah semua masalah yang sebelummya terjadi bisa diatasi. Arief memang bisa diandalkan. Tidak salah Sera memilihnya sebagai suaminya. Tiba-tiba terlintas di kepalaku wajah cantik itu. Yang selalu menggemaskan di saat ia sedang marah. Bagaimana kabarnya dia kini? Pertemuan kali ini diadakan di kantorku. Beruntung aku bisa berangkat lebih pagi agar tidak terjebak macet. Tidak sampai satu jam akhirnya aku tiba di kantor. Ketika sampai di lobby, beberapa asisten menyambutku. Kemudian kami melangkah menuju ruanganku. Sementara para pria yang bertugas menjadi asisten dan bodiguard berjalan mengikutiku. "Selamat pagi, Pak Tirta." "Selamat datang kembali, Pak Tirta." "Apa kabar Pak Tirta." Beberapa petinggi perusahaan menyapaku. Para staf dan karyawan mengangguk hormat ketika
Bagaikan magnet kedua mata kami saling menatap cukup lama. Betapa Aku tak sanggup untuk menahan rindu ini. Tanpa sadar aku langsung meraih tubuhnya, lalu mendekapnya erat. Jantungku berdegub kencang. Rasa hangat mengalir di setiap aliran darahku. Rasanya pelukan ini tak akan pernah kulepaskan. "Tirta ..!" Aku tersentak mendengar seseorang memanggilku. Buru-buru kami saling melepaskan diri. "M-maaf, maaf .... Tentunya kalian saling merindukan," ujar Arief tersenyum. Namun senyum yang dipaksakan. Kemudian suami Sera itu berbalik badan dan mendudukkan tubuhnya di atas sofa dengan menyandarkan kepalanya pada sisi atas sofa. "Silakan duduk, Pras!" Wanita cantik di hadapanku terlihat canggung. Masih kurasakan aroma parfumnya yang khas. Wangi yang kurindukan setiap saat. "Mana Giska? Aku rindu gadis itu." "Giska sekolah. Sebentar lagi juga pulang," sahut Sera. Wanita itu kemudian masuk ke dalam. Aku kembali memperhatikan Arief. Kenapa aku melihatnya semakin pucat? Pria itu kembali m
Tirta Prasetya Sera masih tampak terpukul sejak pulang dari pemakaman tadi. Aku bersyukur Giska terlihat lebih kuat dan tabah. "Sera ..., istirahatlah. Ingat kandunganmu. Jangan terus dipikrkan. Arief sudah tenang sekarang. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi." Wajah wanitaku itu tampak sembab dan pucat. Matanya sayu. Kesedihan teramat dalam tersirat dari sorot matanya. Dia hanya mengangguk. Tatapannya kosong. Betapa hancur perasaanku melihatnya begini. Begitu besarkah cintanya pada Arief? Sera tertidur di sofa panjang ruang keluarga lantai dua ini. Aku terus menemaninya dan enggan untuk pergi. Sepertinya aku pun sempat terpejam tadi, demi mengurangi rasa letih yang mulai mendera. Namun aku tetap harus kuat. Aku harus bisa menjadi sandaran bagi Sera dan Giska saat ini.Wajah putihnya yang begitu cantik berkali-kali kupandangi. Wajah yang selalu kurindukan setiap malam. Saat ini aku bisa memandangmu sepuasnya Sera. Tapi hatiku begitu perih melihat wajah teduh itu menyimpan kese
Tirta Prasetya "Apaa? Melahirkan? Baik saya akan segera ke sana." Sebuah panggilan masuk dari salah satu security di rumah Sera mengabarkan bahwa wanita itu sudah dibawa ke rumah sakit dan akan melahirkan. Aku segera meminta sekretarisku untuk menutup rapat kali ini. Kemudian dengan setengah berlari menuju mobil yang sudah disiapkan oleh para pengawalku. "Hallo, Pak Yono. Segera jemput Giska ke sekolah dan langsung ke rumah sakit!" "Baik, Tuan!" sahut Pak Yono di seberang sana. Aku segera menutup ponselku. Rasanya ingin terbang saja agar segera tiba menemui bidadariku yang sedang berjuang melahirkan anak keduanya. Tirta prasetya, laki-laki yang belum pernah menikah, namun cinta mati pada janda beranak dua. Aku tersenyum sendiri. Cinta memang unik. Aku akan berjanji dalam hati. Akan membuat Sera dan anak-anaknya bahagia bersamaku. Aku berjalan dengan langkah cepat dari lobby menuju kamar bersalin. Mungkin orang-orang di sekitar melihatku aneh. Rasanya begitu jauh hingga sam
"Om bule, mana adek bayi Aku?" Giska merengek kembali tak sabar ingin melihat adiknya. Wajahnya cemberut namun tampak sangat menggemaskan. Ia semakin mengerucutkan mulutnya melihat aku terkekeh. "Suster, apa bayinya bisa dibawa ke sini?"Aku meminta pada perawat saat kami baru saja tiba di ruang VVIP ini. Sera hanya tersenyum menggelengkan kepalanya melihat Giska yang tak sabaran. "Ya, Pak. Sebentar lagi bayi Bu Serani akan kami antar ke sini agar segera diberi Asi." "A-apa? A-asi? Oh iy-iyaa suster,"jawabku gugup. Astaga kenapa pikiranku jadi kemana-mana mendengar ucapan suster ini? Tak berselang lama, seorang suster masuk dengan membawa box dorong bayi. Giska melompat kegirangan dan langsung menghampiri adiknya. Wajahnya nampak sangat bahagia. Mata bulat itu langsung berbinar. "Adik aku tampan. Mirip Papa Arief, Bundaaa ..." pekik Giska tertahan karena gemas. Perawat itu meraih bayi lucu itu dan memberikannya padaku. "Ini bayinya tolong segera disusui istrinya ya, Pak!" Aku
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.