Sambil nunggu Bab Baru, Baca dulu : KAYA SETELAH DIUSIR MERTUA ( tamat )
"JANGAN SENTUH AKUU ...!!" Corri berteriak cukup kencang. Wanita dengan rambut kemerahan itu sontak menjauh dan menutup wajahnya. Betapa terkejutnya Diego. Ia tidak pernah menduga Corri akan menolaknya dengan cara seperti itu. "Corri, kenapa? Aku suamimu sekarang. Kita sudah sah." Perlahan Diego bicara. Corri masih menutup wajahnya. "Pergi kamu! Pergiii ...!" Corri menggeleng-gelengkan kepalanya. ."Oke, oke ...! Aku keluar dari kamar ini. Tolong buka wajahmu!" Corri terdiam beberapa saat. Kemudian ia membuka wajahnya. Diego cemas melihat wajah Corri sangat pucat. Wanita itu gemetar.. "Sayang ... kamu ... sakit?" Perlahan Diego kembali melangkah ke arah Corri. "Jangaaan, please ...! Toloong ..!" Suara Corri berubah serak. Ia menangis. Seketika Diego terhenyak. Kalimat memohon itu mengingatkan dirinya dengan kejadian sebelas tahun yang lalu. Saat itu ia tidak menghiraukan teriakan memohon yang memilukan dari Corri. Yang ada di pikrannya saat itu hanya ingin menguasai tubuh wa
"Corri ..." Bagai terhipnotis, Corri terus menatap Diego tak berkedip. Tatapan keduanya seakan terkunci.Debaran-debaran hangat itu mulai menciptakan suara-suara indah di dada mereka. Diego mulai terpancing. Jemarinya mulai bergerak perlahan menyentuh lengan Corri. Napas wanita cantik itu mulai naik turun. "Diego ... " "Nikmati saja, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu." Diego berbisik. Telapak tangan lebarnya mulai merengkuh tengkuk Corri dan berlama-lama di sana. Corri masih diam tanpa memindahkan tatapannya. Ia merasakan tangan kokoh Diego mulai bergerak dibawah sana. jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa cemas mulai menguasai hatinya. Mungkin dengan memejamkan mata, rasa cemas itu perlahan akan hilang. Namun kenyataannya, Corri justru semakin teringat dengan kejadian tragis itu. Rasa takut itu mulai bergejolak. Sentuhan demi sentuhan Diego tak bisa ia nikmati seperti yang dikatakan suaminya tadi. Napas Corri semakin memburu, hingga ia menutuskan untuk membuka mata.. "PERGI
"Gila kamu ...!" Mendengar kalimat yang dikatakan Arnold, spontan Elena berdiri. "Maaf, Bu. Tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan Bapak." Wajah Elena tampak frustasi. Ia kembali duduk di samping Arnold. Berpikir beberapa detik. Hingga ia kembali mendengar Arnold berbicara "Bagaimana, Bu?"Arnold memberanikan diri menoleh pada wanita cantik di sebelahnya. Dadanya berdebar melihat wajah Elena yang polos tanpa riasan. Wajah itu terlihat jauh lebih muda. "Entahlah. saya bingung." Elena terdiam sejenak setelah berkali-kali menghela napas berat. Yang ia khawatirkan, bagaimana jika suatu saat Arnold dan ayahnya mengetahui kondisi dia yang sebenarnya. Setelah berpikir beberapa lama, akhirmya ia mengambil keputusan. "Baiklah , kita menikah, ... dengan tujuan untuk membahagiakan Ayah saya. Silakan kamu atur semuanya!" Elena pasrah menatap langit-langit rumah sakit. Yang terpenting baginya sekarang adalah kesehatan sang ayah. Ia berharap setelah ia menikah nanti ayahmya akan se
"Apaaa? Perjanjian pernikahan???" Arnold terkejut saat membaca tulisan paling atas pada surat itu. "Sudah, nggak usah drama! Tanda tangani aja! "pinta Elena tenang sambil melepas riasan yang ada di kepalanya satu persatu. Ia tidak peduli pada wajah Arnold yang seketika berubah merah padam. "Tidak! Saya tidak mau tanda tangani surat ini." Arnold melemparkan surat itu ke meja. Elena melihat ada perubahan pada sikap Arnold sejak mereka sah menjadi suami istri beberapa menit yang lalu. Wajah pria itu juga berubah menjadi lebih tegas dan berwibawa. "Hei! Kamu pikir aku mau menjalani pernikahan ini? Kalau bukan karena ayah, aku sudah menolaknya mentah-mentah!" Elena memang benar-benar menganggapnya rendah. Wanita itu sama sekali tidak menghargainya. Itu yang dirasakan Arnold saat ini. Pria itu mencoba menahan rasa kecewa setelah mendengar perkataan Elena. Teringat kembali apa yang dikatakan Hartawan padanya sebelum akad nikah tadi. Bahwa ia harus menjadi suami yang tegas pada Elena
"Elena, Arnold, Ayah ingin kalian tidak menunda untuk memberikan ayah cucu!" Mendengar itu, tubuh Elena tiba-tiba saja gemetar. Ia merasa lemas dan tak berdaya. . Arnold yang berada di sisinya langsung menoleh. Satu tangannya meraih pinggang Elena dan menahan tubuh istrinya itu agar tidak jatuh. "Kamu kenapa? Pusing?" Arnold berbisik di telinga Elena. Wanita itu jadi bertambah pusing karena sikap Arnold yang begitu intim. Tubuhnya mendadak limbung. Saat ini posisi Arnold sangat dekat dengannya. Hembusan napas pria itu menyapu hangat pipinya. "Elena masih sakit?" tanya Hartawan. Ia memandang Elena dengan raut wajah khawatir. "Nggak, Yah. Aku sudah boleh pulang siang ini." Elena berusaha menjawab, walau dadanya masih berdebar tak karuan. Apalagi ia sempat merasakan remasan tangan Arnold di pinggangnya. Perlakuan Arnold itu benar-benar membuat jantungnya tidak baik-baik saja. "Syukurlah. Kalau begitu, malam ini kalian.di rumah saja. Arnold, tolong jaga Elena dengan baik. Biarkan dia
"Elena ...! Kamu ngapain di poli kandungan?" tanya Arnold setelah mengeja kembali nama poli di pintu ruang pemeriksaan. "Arnold ...?" Elena mematung melihat suaminya telah berdiri tak jauh dari ruang tunggu. Namun ia segera bisa menguasai diri. "Ini bukan urusanmu!" Elena bicara ketus agar Arnold tak lagi banyak bertanya. "Siapa bilang bukan urusanku!" Arnold meraih tangan Elena dan menggemggamnya. "Ih, apaan, sih? Nggak usah pegang-pegang!" Elena menarik paksa tangannya. Hati Arnold mencelos, Elena seperti jijik disentuh olehnya di depan umum. Beberapa pasien di ruang tunggu itu ikut memperhatikan mereka. Arnold tersadar, Elena sudah tidak ada di depannya. Ternyata istrimya itu telah jalan lebih dulu meninggalkannya."Elenaaa ...!" geramnya sembari melangkah lebar mengikuti arah perginya Elena. Saat tiba di VVIP, Arnold tidak langsung masuk ke kamar rawat Elena. Ia berhenti sebentar di ruang perawat. "Permisi, Suster. Saya suami pasien bernama Elena.". "Oh ya Pak Arnold. Ad
"Siapa yang bilang mamakku mau datang? Jangan bicara sembarangan kau, Da!" Arnold ikut panik. Ia tidak sampai hati melihat wajah Elena yang memucat. "Bang Binsar yang bilang, Bang. Dia telpon aku semalam. Katanya Bapak dan Mamak Abang besok mau ke Jakarta." "Apaa? Besok?" Elena dan Arnold bicara serentak dengan mata melebar. "Hei, biasa aja kali, Bang. Hampir keluar itu biji matamu!" protes Ida menahan tawa. "Elena, ayo kita ke atas. Aku mau bicara." "Ke atas mana? Ke kamarmu? Nggak mau! Di sini saja." Elena menolak. "Elenaa ... ." Arnold memberi kode dengan mengerlingkan matanya pada Ida. ia tidak mungkin bicara sementara ada Ida dan beberapa orang di rumah itu yang lalu lalang. Arnol memang memperkejakan beberapa saudaranya dari medan, di rumah itu. "Ya sudah, ayo!" jawab Elena malas-malasan. Arnol meraih tangan Elena dan membawanya berjalan. Elena mencoba protes dan menarik tangannya. Namun Arnold tak peduli, ia terus menggenggam tangan Elena sambil terus melangkah. "Lep
Mata Elena mengerjap. Ia baru saja terjaga. Tengkuknya terasa hangat. Netranya melihat sekeliling ruangan. Seketika ia tersadar bahwa saat ini ia berada di kamar Arnold. Saat ingin bangkit, gerakannya tiba-tiba tertahan. Ia terkesiap saat menyadari sebuah tangan kokoh dan berisi, sedang melingkar di perutnya. Ia merasakan tubuh seseorang sangat dekat bahkan tak berjarak di belakangnya. Sesuatu yang hangat ditengkuknya seiring dengan hembusan napas yang pelan dan teratur Tubuh Elena tak mampu bergerak. Tubuhnya tiba-tiba saja lemas tak berdaya. Sekali lagi ia melirik ke perutnya, ia sangat mengenali tangan kokoh itu. Tangan yang belakangan ini menjadi penjaganya. Elena baru pertama kali merasakan posisi intim seperti ini. Ingin rasanya melompat dan marah. Namun di sisi lain tubuhnya merasakan kenyamanan yang baru. Arnold saat ini sedang memeluknya dari belakang dengan posisi seluruh bagian depan tubuh pria itu bersentuhan dengan bagian belakang tubuhnya. Elena merasakan debaran yan
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.