"Brengsek! Siapa yang mau bermain-main denganku?" Pras menggebrak meja di hadapannya. Wajahnya kembali menggelap. Dadanya naik turun. Ia semakin yakin bahwa yang menghancurkan perusahaannya adalah orang dalam. Seseorang yang tau persis tentang perusahaannya. Namun ia baru menduga satu nama yang ia curigai. Tidak menutup kemungkinan ada nama lainnya juga sebagai tersangka. "Aku harus membuktikan ini sendiri." Pras meraih jas dan kunci mobilnya. Melangkah keluar dari gedung tinggi yang satu lantainya ia sewa untuk perusahaannya. Rumah yang ia tempati tidak begitu jauh dari kantor. Hingga dalam waktu lima belas menit ia sudah tiba di rumahnya. Beberapa ART asal Indonesia bekerja di sana.. "Selamat malam, Tuan Tirta. Saya.siapkan makan malam." Pras hanya mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan berukuran besar berada di dinding kamar. Rutinitas yang ia lakukan setiap membuka kamar itu, jika ia berada di Austin ini. "Sera ... Aku ri
PRANG!! "Awww ...!" Serani menjerit ketika gelas yang berada dalam genggamannya tiba-tiba terlepas. Gelas keramik itu hancur berantakan di lantai dapur. "Pras ...! Ada apa dengan dirimu?" Sera berdiri mematung menatap serpihan pecahan gelas yang tercecer tak jauh dari kakinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ia yang tadi ke dapur hendak minum mendadak teringat dengan Pras. Dadanya terasa sesak, tangannya gemetar hingga gelas di tangannya terlepas. "Maaf, Nyonya. Biar Saya bersihkan." Seorang ART tiba-tiba muncul karena mendengar suara sesuatu yang pecah. ART itu membungkuk melewatinya Sera sambil membawa sapu. "Nyonya mau minum? Biar Saya ambilkan." ART lainnya menghampiri Sera yang masih melamun..Sera tersentak, lalu menolah pada kedua ART nya. "Maaf, tolong antarkan air putih untukku ke kamar!" "Baik, Nyonya." Sera memutar tubuhnya, lalu melangkah menuju kamar. Mungkin sebaiknya ia menenangkan diri dulu. Namun ketika tiba di kamar, wanita berhidung mancung
"Kamu serius mau ke Amerika?" Corri menatap Sera tak percaya. Makan siang mereka sempat terjeda sesaat ketiika tiba-tiba Serani mengatakan ingin menyusul Pras. Sera mengalihkan pandangannya dengan wajah gelisah. Sendok di tangannya ia letakkan di tepian piring. "Sebenarnya Aku nggak tau harus bagaimana. Tapi sudah tiga hari ini Aku nggak bisa mengubungi suamiku sendiri. Aku nggak tau apa dia baik-baik aja." Netra bulat Serani mulai berkabut. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak menangis.."Minum dulu!" Corri menyodorkan segelas jus jambu pada Serani. Ia berharap Serani bisa lebih tenang. Sera menerima dan meneguk sedikit minuman itu. "Kamu udah hubungi keluarganya atau siapa gitu, yang ada di sana?" tanya Corri lagi "Sudah." Suara Sera terdengar parau. Corri menatap sahabatnya itu iba. Sambil menunggu Sera bercerita, wanita berambut kemerahan itu kembali menyuap makanannya. "Aku sudah hubungi Opanya. Tapi ..., sepertinya beliau menutupi sesuatu. Aku tidak diperbolehkan bicara
"Siapa Kamu sebenarnya?" Agung memandang pria berjas coklat muda itu dengan tatapan menyelidik. Pria itu terkekeh. "Sudahlah, Kamu nggak usah takut diculik. Lagian apa istimewanya Kamu kalau diculik?" Agung mendengus kesal. Namun dalam hati ia membenarkan ucapan pria yang tak dikenal itu. "Nanti akan Aku jelaskan di dalam mobil." lanjut pria itu lagi. Agung memandang pria yang mengajaknya itu dengan tatapan menyelidik. Namun demikian Agung memutuskan untuk ikut dengannya. Kesulitan hidup yang ia alami saat ini membuatnya tak punya pilihan lain. "Siapa tau gajinya gede," pikirnya saat melangkah masuk ke dalam mobil SUV berwarna putih. Agung memperhatikan jalanan yang ia lewati. Ternyata menuju arah utara. Pikirannya terbagi pada Yuyun dan anaknya yang belum makan sejak tadi pagi. Entah kenapa ia bisa kembali bersama Yuyun. Seharusnya ia kembali pada Sera. Tapi ia sadar Serani tidak akan pernah mau dengannya. Tirta Prasetya bukanlah tandingannya. Ia tak tega saat Yuyun datang men
"Uang? Ini beneran uang, Mas?" Mata Yuyun membola melihat lembaran merah yang keluar dari dalam amplop coklat itu. "Memang Kamu pikira apa? lemper?" ketus Agung kesal. "Gini, dong! Aku kan bisa beli skincare dan baju bagus," imbuh Yuyun sambil meraup lembaran uang yang tadi sempat berceceran di lantai. "Enak aja, Kamu! Awas, jangan boros-boros! Uang ini buat makan dan bayar kontrakan. Sisihkan untuk keperluan mendesak. Cika masih kecil. Jika tiba-tiba dia sakit, kita harus punya simpanan," jelas Agung dengan mendelikkan matanya pada Yuyun. "Mas Agung nggak berubah. Dari dulu pelit!" umpat Yuyun seraya beranjak ke lemari menyimpan uang di dalam amplop itu. Agung hanya bisa meghempas napas kasar melihat tingkah Yuyun yang selalu membuatnya naik darah. Malam itu Agung memutuskan hanya minum teh dan makan sisa nasi kemarin dengan kerupuk yang ada di meja saja. Sementara Yuyun membeli nasi bungkus untuknya dan Cika. Agung memikirkan bagaimana caranya untuk bisa masuk ke rumah Sera.
"Bagaimana? Atau kalau Kamu ragu, nggak usah aja. Aku permisi ...!" ucap Agung, lalu memutar tubuhnya . Sera melihat jam di pergelangan tangannya sepintas. "Oke, oke, baiklah! Kalau begitu cepat antar Aku!"Agung tersenyum mendengar jawaban Sera. Pria itu menerima kunci mobil dari Sera dan bergegas duduk di kursi kemudi. Sementara Sera memilih untuk duduk di kursi belakang. "Kenapa nyetir sendiri? Supir Kamu mana?" tanya Agung sambil melajukan mobil mewah milik Sera dengan kecepatan tinggi. Ia tau Sera sedang mengejar waktu. "Pak Yono Aku tugaskan untuk antar jemput Giska," sahut Sera singkat tanpa menoleh Ia mengirim pesan pada Corri bahwa mungkin ia sedikit terlambat.. "Kamu harus punya supir pribadi, Sera. Jangan nyetir sendiri. Bahaya kalau kejadian seperti tadi. Apalagi kalau Kamu pulang larut malam. Sera tak menjawab perkataan Agung. Namun dalam hatinya ia membenarkan apa yang dikatakan mantan suaminya itu. Mungkin ia akan pertimbangkan lagi untuk hal ini. "Sudah sampai,
"Bagaimana, apa sudah dapat nomor ponsel pribadi istri Tirta?" Diego berbicara pada seseorang lewat ponselnya. Beberapa jam yang lalu doker kembali bertanya tentang keluarga Pras yang sangat dekat dengan pasien. Namun, Diego masih belum berhasil mendapatkan nomor ponsel istri Tirta, hingga salah satu orang kepercayaanya menghubunginya. "Bagus. Segera kirimkan padaku!" jawab Diego. Pria berperawakan tinggi besar itu segera menyimpan nomor ponsel wanita yang bernama Serani. Ia ingin segera menghubungi wanita itu, tapi ia khawatir Serani tidak percaya padanya. Diego menghampiri Pras yang masih belum sadar. Menurut dokter, luka bagian dalam yang Pras alami sudah mulai membaik. Pras juga sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu pria itu.sadar. Diego meminta izin pada dokter untuk memotret Pras beberapa kali. "Mungkin dengan ini, wanita itu bisa mempercayaiku," gumamnya setelah mengucapkan terima kasih pada dokter. "Tuan, perusahaan sangat membutuhkan Anda saat ini. Satu inve
"Giska kenapa? Siapa yang mau diusir?" Sera menatap heran putrinya yang tiba-tiba berlari masuk ke ruang tamu. "Aku nggak mau lihat dia lagi, Bunda. Aku takut ...!" jerit Giska lagi. Sera baru paham ketika menoleh pada Agung yang berdiri di teras dengan wajah sedih.Sebenarnya Sera tidak tega melihat Giska ketakutan seperti itu. Tapi, bagaimanapun juga ia harus menghentikan trauma yang ada pada putrinya itu.. Perlahan Sera mendekati Giska. "Sayang, itu Ayah. Itu Ayah Giska ..." Kepala Giska menggeleng cepat. "Giska nggak mau punya Ayah jahat..Dia orang jahat, Bun. Awas, Dede Pangeran bawa masuk, Bun. Nanti dijahatin sama orang itu!" Jeritan Giska semakin keras dan terdengar jelas oleh Agung. Tidak mudah menghilangkan trauma yang telah melekat pada diri Giska sejak dua tahun lalu.Sera tidak tega melihat wajah Giska yang mendadak pucat. Setelah meminta semua ART dan babysitter yang mengendong pangeran masuk, Sera memilih kembali keluar menemui Agung. Pria itu berdiri terpaku di
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.