"Hilang bagaimana? Sudah dicari, belum?" Sera spontan berdiri. Wajahnya seketika panik. "Sudah, Nyonya. Gurunya bilang, Giska keluar seperti biasa saat kelas berakhir bersama teman-temannya." Suara Loly terdengar tak kalah panik. "Apa Pak Yono telat menjemput? Mana Pak Yono?" Napas Sera mulai naik turun. "Tidak. Pak Yono tidak telat, Nyonya. Sekarang Pak Yono masih cari Giska. Pihak sekolah juga sedang menelusuri area sekitar sekolah." Loly menjelaskan dengan hati-hati. Sera berjalan mondar mandir di dalam ruangannya. Ia sempat membuka pintu ruangan dengan wajah bingung. "Loly, kerahkan siapa saja untuk mencari Giska. Saya akan mencari bantuan!" "Baik, Nyonya." "Ada apa, Sera? Aku dengar Kamu sangat panik." Corri tiba-tiba masuk, mendengar suara Sera cukup keras saat ia lewat di depan ruangannya.. "Giska, Cor. Giska hilang. Tolong Aku, Cor!" Tangis Sera pecah sudah. Melihat itu Corri langsung meraih sahabatnya itu dan memeluknya. "Kamu harus tenang agar bisa berpikir jernih.
"Yuyun, buka pintunya, cepat!" teriak Agung yang mulai kewalahan dengan Giska yang ada di tangannya. Putrinya itu sudah mulai mengerjapkan matanya. "Sebentar lagi pengaruh obat bius itu akan hilang," gumam Agung pada dirinya sendiri. "Mas ... ini Giska? Ya ampun sudah besar, cantik pula. Pasti mahal tebusannya kalau begini." Agung tidak menghiraukan ucapan Yuyun. Ia masuk melewati Yuyun yang masih berdiri di dekat pintu. Ia merebahkan tubuh Giska yang masih berpakaian seragam sekolah itu di atas kasur busanya. "Sini, Aku mau bicara!" Agung menarik tangan Yuyun agak menjauh dari putrinya, dan membiarkan Cika duduk di dekat Giska. Bocah dua tahun itu terheran melihat kehadiran Giska di rumah itu. Mungkin ia juga heran melihat penampilan Giska yang bersih dan rapi, berbeda dengan anak-anak yang ia temui di sekitar kontrakannya. "Apaan, sih, Mas? Sakit, tau!" Yuyun menarik kasar tangannya, lalu mengusap bekas cengkraman tangan Agung. "Aku nggak mau dengar lagi Kamu bicara soal uang t
Pikiran Sera saat ini terbagi-bagi. Tidak hanya memikirkan Giska, ia juga menunggu kabar dari Diego tentang Pras yang dikabarkan memberi respon saat Diego sedang menghubunginya semalam. Namun, hingga siang ini Diego belum juga memberinya kabar. Tentang Giska pun polisi belum ada informasi. "Untuk sementara biar Aku yang tangani pekerjaan di kantor. Kamu fokus saja pada Giska." Ucapan Corri tadi pagi sedikit mengurangi bebannya. Sahabat sekaligus orang kepercayaannya di kantor itu semalaman tidak tidur menemaninya. Setelah sarapan, Corri pamit pulang karena hendak bersiap-siap ke kantor. "Nyonya Sera, ada polisi datang." Loly tergopoh-gopoh menghampiri Sera di kamar. "Apa? Polisi? Ya. Saya segera ke sana." Sera bergegas mengenakan hijabnya. Langkah kakinya mengiringi detak jantungnya yang berdegub lebih cepat saat mendengar ada polisi yang datang. Wanita itu sangat takut jika berita yang akan disampaikan polisi itu bukanlah yang ia harapkan. Berkali-kali Sera menghela napas panj
"Penculiknya ada hubungannya dengan Pras? Kamu jangan ngaco, Mas!" bantah Sera sedikit kesal. "M-maaf, maksud Aku bukan gitu. Sepertinya yang namanya Ronald itu suruhan musuhnya Suami Kamu." Sera terdiam Musuh Pras pasti banyak. Belum lama ini suaminya hampir saja dihabisi oleh musuhnya. "Sera, maaf, Aku boleh tanya sesuatu?" "Apa?" Sera berhenti persis di samping mobilnya. Ia meminta Giska untuk masuk lebih dulu. Ia tidak mau Giska mendengar pembicaraannya dengan Agung. ""Apakah pernikahanmu dengan Tirta baik-baik saja?" Sera sontak menoleh menatap Agung dengan tatapan nanar. "Mas nggak berhak nanya itu padaku!" ketus Sera tidak suka. "M-maaf Sera. Sekali lagi Aku minta maaf. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku hanya khawatir jika Tirta menyakitimu." Agung bicara hati-hati. "Cukup, Mas! Jangan mentang-mentang Mas Agung sudah membantuku menemukan Giska, bukan berarti Mas bisa seenaknya ikut campur dengan rumah tanggaku. Permisi!" "Astaga, Sera ... Aku nggak bermaksud ..." A
"Kamu baru saja sadar, Tirta. Apa tidak sebaiknya jangan terlalu banyak berpikir dulu? Utamakan kesehatanmu dulu!" Diego mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku ingin semua cepat beres. Aku ingin segera pulang." Pras bicara dengan napas berat. "Baiklah. Nanti sepulang dari sini, Aku akan cek laptopmu. Oh ya, Apa kamu nggak mau bicara dengan Serani?" Hembusan napas Pras terdengar panjang dan dalam. Tenggorokannya tercekat setiap mengingat Sera dan anak-anaknya. "Apa ... istriku tau dengan kondisiku?"tanya Pras cemas. Diego mengangguk ragu. "Maafkan Aku, karena Kamu tak kunjung sadar, Aku terpaksa mengabari Sera" Pras tersenyum getir. Ia membayangkan Sera pasti sangat mencemaskan dirinya. "Bagaimana keadaan mereka?" Diego tidak mengatakan tentang penculikan Giska. Sampai hari ini ia juga belum mendapat kabar berikutnya dari Serani. "Baik. Mereka baik," jawab Diego gugup. "Tolong hubungi istriku. Aku mau bicara." Diego mengangguk. Lalu meraih ponselnya dari saku jas. Pria itu
"Rasanya Aku tidak ingin percaya dengan kenyataan ini. Bagaimana mungkin orang yang aku hormati sejak kecil, tiba-tiba saja menusukku dari belakang? Lagipula perusahaan itu adalah milik keluarga. Opa Vincent juga sebagai pemilik di sana." Setelah menghela napas panjang, Pras bicara dengan pandangan menerawang ke langit-langit. "Andai saja orang itu bukan Opa Vincent, Aku pasti akan beri pelajaran. Tapi ini ... akhh ...!"Pras seakan frustasi, ia meremas rambutnya sendiri. "Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Diego yang mulai membereskan laptop. Ia tak mau sampai ada orang lain yang melihat data-data itu. "Entahlah. Aku akan pikirkan dulu. Yang pasti Aku tidak akan diam saja. Ini namanya kecurangan, dan tetntunya tidak bisa dibenarkan dalam bisnis." Rasa geram Pras pada Opanya semakin menjadi. Namun ia tidak mungkin menyelesaikan hal ini lewat jalur hukum. Diego menyimak semua ucapan Pras. Dia pun bukan siapa-siapa. Hanyalah seorang sahabat sekaligus orang kepercayaan Pras."A
"Yun, Jawab, dong! Beneran si Serani yang itu?" Lastri kembali masuk ke kamar Yuyun dengan wajah penasaran. "Iya, Mbaak! Serani mantan adik ipar Mbak itu." Wajah Lastri seketika berbinar. Memangnya dia baik ya sekarang sama Kalian? Kok Agung berani-beraninya main ke rumahnya?" tanya Lastri lagi tak sabar. Yuyun menatap malas pada kakak iparnya itu sambil mengangguk. "Wah, kalau gitu, Aku ikut!" Lastri bergegas berlari menuju kamarnya. "Tungguiiin ...!" teriaknya dari luar kamar Yuyun. "Bikin ribet aja, mau ikut segala!" gerutu Yuyun. Kemudian ia pun bergegas bersiap-siap. Agung dan Yuyun sudah rapi. Dengan Cika yang digendong Agung, mereka bergegas keluar dari kamar. "Yuk, berangkat sekarang!" Lastri yang sudah bersiap sejak tadi bangkit dari kursi yang ada di ruang tamu. "Loh, Mbak Lastri mau kemana?" tanya Agung bingung. "Ya mau ikut, lah. Mumpung anak-anak lagi di rumahnya ayahnya. Aku sudah sepakat sama Mas Joko, sekali seminggu anak-anak nginep di rumahnya. Biar istri
"Selamat sore, Tirta! Maaf, Aku dan keluargaku hanya datang berkunjung. Sekaligus mau bertemu Giska." Tiba-tiba Agung berdiri dan mengangguk sopan "Menemui Giska?" Seketika Pras menoleh pada Sera. Istrinya itu mengangguk. "Sepertinya banyak yang terjadi selama Aku pergi, hum? bisik Pras persis di telinga istrinya. "Nanti pasti Aku jelaskan semua, Pras!" balas Sera pelan. "Ya sudah, Aku dan Diego ke ruang kerja dulu!" Pras mengecup kening Sera singkat sebelum meninggalkan para tamu. Diego menyusul dari belakang. 'Seraaa, artis itu ... beneran suami Kamu?" Lastri yang sejak tadi terpukau melihat Pras akhirnya memberanikan diri bicara. "Ya, Mbak. Dia suamiku," tegas Sera. Wanita itu kembali duduk. Sebenarnya ia sangat rindu pada Pras. Banyak yang ingin ia tanyakan. Ia juga ingin menceritakan banyak hal, termasuk kehamilannya. Akan tetapi, situasinya belum memungkinkan. Apalagi Pras datang bersama Diego. "Wah, hebat Kamu, Sera. Bagaimana rasanya nikah sama artis? Seru nggak? Suami
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.