"Yun, Jawab, dong! Beneran si Serani yang itu?" Lastri kembali masuk ke kamar Yuyun dengan wajah penasaran. "Iya, Mbaak! Serani mantan adik ipar Mbak itu." Wajah Lastri seketika berbinar. Memangnya dia baik ya sekarang sama Kalian? Kok Agung berani-beraninya main ke rumahnya?" tanya Lastri lagi tak sabar. Yuyun menatap malas pada kakak iparnya itu sambil mengangguk. "Wah, kalau gitu, Aku ikut!" Lastri bergegas berlari menuju kamarnya. "Tungguiiin ...!" teriaknya dari luar kamar Yuyun. "Bikin ribet aja, mau ikut segala!" gerutu Yuyun. Kemudian ia pun bergegas bersiap-siap. Agung dan Yuyun sudah rapi. Dengan Cika yang digendong Agung, mereka bergegas keluar dari kamar. "Yuk, berangkat sekarang!" Lastri yang sudah bersiap sejak tadi bangkit dari kursi yang ada di ruang tamu. "Loh, Mbak Lastri mau kemana?" tanya Agung bingung. "Ya mau ikut, lah. Mumpung anak-anak lagi di rumahnya ayahnya. Aku sudah sepakat sama Mas Joko, sekali seminggu anak-anak nginep di rumahnya. Biar istri
"Selamat sore, Tirta! Maaf, Aku dan keluargaku hanya datang berkunjung. Sekaligus mau bertemu Giska." Tiba-tiba Agung berdiri dan mengangguk sopan "Menemui Giska?" Seketika Pras menoleh pada Sera. Istrinya itu mengangguk. "Sepertinya banyak yang terjadi selama Aku pergi, hum? bisik Pras persis di telinga istrinya. "Nanti pasti Aku jelaskan semua, Pras!" balas Sera pelan. "Ya sudah, Aku dan Diego ke ruang kerja dulu!" Pras mengecup kening Sera singkat sebelum meninggalkan para tamu. Diego menyusul dari belakang. 'Seraaa, artis itu ... beneran suami Kamu?" Lastri yang sejak tadi terpukau melihat Pras akhirnya memberanikan diri bicara. "Ya, Mbak. Dia suamiku," tegas Sera. Wanita itu kembali duduk. Sebenarnya ia sangat rindu pada Pras. Banyak yang ingin ia tanyakan. Ia juga ingin menceritakan banyak hal, termasuk kehamilannya. Akan tetapi, situasinya belum memungkinkan. Apalagi Pras datang bersama Diego. "Wah, hebat Kamu, Sera. Bagaimana rasanya nikah sama artis? Seru nggak? Suami
"Terimakasih, Sayang! Terimakasih!" Ciuman bertubi-tubi diberikan Pras di wajah cantik Serani. Pria itu terlalu bahagia. Setelah mendengar ucapan Serani tentang kehamilannya, Pras seakan ingin melompat saking senangnya. Malam itu , mereka melakukannya hanya sekali. Pras tak mau terjadi sesuatu pada kehamilan Sera. "Sekarang, Kamu sudah bisa jelaskan padaku, apa yang terjadi selama Aku pergi. Pras duduk menyandar pada headboard ranjangnya. Sementara Sera bersandar pada dada bidang milik Pras yang selalu membuat wanita itu candu dan rindu. Sera mulai menceritakan tentang Giska yang diculik dengan.detail. Ia juga mengatakan tentang Agung yang menolong Giska. "Bagaimana Agung bisa menyelamatkan Giska? Aku jadi curiga pada pria itu " Sera hanya mengangkat kedus bahunya tak mengerti. Yang terpenting baginya, Giska sudah selamat. "Maafkan Aku. Paati saat itu sangat berat untukmu." Pras menatap Sera dengan perasaan bersalah. Satu tangannya membelai rambut panjang sera yang tergerai menye
"Kamu dari mana sih, Gung? Tuh, anaknya si Yuyun muntah-muntah. Bikin kotor rumah aja!" Lastri bierkacak pinggang di depan pintu ketika Agung baru saja menapakkan kakinya di teras. "Apa? Cika muntah? Cikaaa ...Cikaaa ...!" Tanpa menghiraukan lagi ucapan Lastri, Agung berlari masuk ke dalam. "Huh, anak orang kok disayang-sayang sampai segitunya. Keponakan sendiri nggak pernah diurusin. Dasar Agung udah kena pelet sama si Yuyun!" gerutu Lastri sambil geleng-geleng kepala. Dari kejauhan ia melihat Yuyun berjalan lenggak lenggok dari arah warung sambil senyum-senyum sendiri. "Kamu udah gila, ya? Ketawa sendirian. Tuh, anak Kamu muntah-muntah! Sekeliling rumah kotor. Buruan sana bersihin!" "Apa, Mbak? Siapa yang muntah?" tanya Yuyun masih dengan santainya. "Astaga, Yuyun ...! Cikaaa , Cika anak Kamu yang muntah. Dengar, nggak?" jerit Lastri kesal. "Hah, Cika?" Mendengar itu Yuyun bergegas masuk ke dalam rumah. Agung sedang menggantikan pakaian Cika dan membalurkan tubuh kurus bocah i
Tubuh Agung mundur hingga bersentuhan dengan dinding ruang tunggu yang terasa dingin. Pembicaraan Yuyun dengan pria di seberang sana masih berlangsung. Agung mengepal erat jemarinya. Harusnya ia melarang Yuyun untuk meminta uang pada pria itu. Apalagi saat ini ia adalah ayah sambung Cika. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk.rumah sakit ini? Sampai saat ini ia belum.mendapatkan uang lima juta itu. Ia pun ragu jika Sera mau meminjamkan uang untuknya. "Memangnya Mas Bowo nggak sayang sama Cika? Cika itu anak kandung Mas, loh!"Yuyun tampak frustasi. "Haaah? Apa? Tega banget Kamu, Mas. Terserah, Mas, deh! Pokoknya kalau Mas Bowo nggak mau bayarin Cika berobat, Aku akan langsung minta uangnya ke istri Mas.!" Yuyun mengakhiri panggilannya. Wajahnya nampak menahan emosi. Ia melihat ke kanan kiri. Lalu kembali menyembunyikan ponselnya di dalam tas selempangnya. "Sepertinya Aku hindari dulu keributan dengan Yuyun. Aku harus mengesampingkan egoku dan mengutamakan kesembuhan Cika." Agung
"Coba cek lagi, Pak! Apa benar sudah lunas? Mungkin Bapak salah?" Agung menautkan alisnya. "Benar, Pak. Setengah jam yang lalu sudah ada yang melunasi." "Siapa, Pak?" Agung memandang petugas administrasi itu dengan bingung. "Di sini tertera atas nama Pak Sukmawibowo." Rasa gemuruh di dada kembali dirasakan oleh Agung saat petugas itu membacakan nama orang yang melunasi biaya pengobatan Cika. "Baik, Pak. Terimakasih." Suara Agung pelan saat menjawab. Tubuhnya lemas, merasa sebagai suami.dan Ayah yang tidak berguna. Namun di sisi lain ia lega karena Cika sudah boleh pulang. Langkah gontainya pelan menuju ruang UGD. Setidaknya ia akan berusaha mengurus.Cika dengan baik. Namun kembali dadanya merasa nyeri melihat Cika berada dalam pangkuan seorang pria berpakaian kantoran. Pria berusia sekitar empat puluhan itu membelai lembut kepala Cika. Senyum lebar pun terukir dari wajah Yuyun. terlihat sekali kalau wanita itu sedang bahagia. "Bowo. Kenapa baru sekarang Kamu peduli dengan Yuyu
" Kembalikan ponsel itu, kalau tidak, silakan Kamu pergi dari sini!" Yuyun terhenyak mendengar ancaman yang berupa ultimatum dari suaminya. "M-mas, tapi Aku butuh ponsel ini untuk ..." "Untuk apa? Untuk menghubungi pria yang bukan suami Kamu?" Mendengar itu Yuyun sontak celingukan ke segala arah. Ia takut jika Lastri atau anak-anaknya mendengar. "Mas, apaan, sih? Nanti kalau di dengar orang, kan, malu." sanggah Yuyun melotot. "Jadi Kamu masih ada rasa malu, hah? Minta-minta pulsa pada laki-laki lain Kamu nggak malu? Kamu menghubungi pria lain di tempat umum, itu nggak malu?" Agung semakin emosi. Pria itu menghela napas panjang demi meredam amarah yang kian memuncak. "Sekarang kembalikan ponsel itu!" lanjut Agung pelan. Yuyun masih cemberut. "Yun ...? Kamu dengar Aku, nggak?" Suara Agung yang tadi sudah sedikit melunak, kini kembali keras. "Iy-iyaaa.Tapi Mas Agung akan beliin Aku hape, kan?" Agung mengeluarkan ponsel di saku celananya "Ini, pakai saja jika Aku sedang di ruma
"Mas Agung yakin mau melamar kerja di kantor kita dulu? Bukannya kemarin-kemarin sudah ditolak?" Yuyun memberikan kemeja yang baru saja disetrika pada Agung. "Yaa, semoga saja kali ini Sera dan Tirta mau terima Aku. Jadi supir pun nggak apa-apa."Agung selesai berpakaian dan mematut dirinya di depan kaca yang berukuran setengah badan. "Kamu bantu doa, dong! Doa istri untuk suamimya itu manjur, loh." "Iyaaa, asal jangan lupa aja nanti beliin hape kalau sudah gajian." Yuyun mulai merayu Agung dengan melingkarkan kedua tangannya dipinggang suaminya. "Yun, Aku mau cari kerja, loh, ini. Kalau kamu peluk-peluk begini, bisa-bisa Aku nggak jadi pergi." Agung memutar tubuhnya hingga kini posisinya berhadapan dengan Yuyun. "Nanti malam, ya, Mas. Aku mau ...," bisik.Yuyun. Sejak pertengkaran masalah ponsel kemarin, hubungan mereka agak renggang. Aktifitas malam yang hampir tiap malam mereka lakukan, beberapa hari ini libur. Keduanya saling gengsi untuk memulai lebih dulu. "Ya, Aku juga m
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.