"Kamu dari mana sih, Gung? Tuh, anaknya si Yuyun muntah-muntah. Bikin kotor rumah aja!" Lastri bierkacak pinggang di depan pintu ketika Agung baru saja menapakkan kakinya di teras. "Apa? Cika muntah? Cikaaa ...Cikaaa ...!" Tanpa menghiraukan lagi ucapan Lastri, Agung berlari masuk ke dalam. "Huh, anak orang kok disayang-sayang sampai segitunya. Keponakan sendiri nggak pernah diurusin. Dasar Agung udah kena pelet sama si Yuyun!" gerutu Lastri sambil geleng-geleng kepala. Dari kejauhan ia melihat Yuyun berjalan lenggak lenggok dari arah warung sambil senyum-senyum sendiri. "Kamu udah gila, ya? Ketawa sendirian. Tuh, anak Kamu muntah-muntah! Sekeliling rumah kotor. Buruan sana bersihin!" "Apa, Mbak? Siapa yang muntah?" tanya Yuyun masih dengan santainya. "Astaga, Yuyun ...! Cikaaa , Cika anak Kamu yang muntah. Dengar, nggak?" jerit Lastri kesal. "Hah, Cika?" Mendengar itu Yuyun bergegas masuk ke dalam rumah. Agung sedang menggantikan pakaian Cika dan membalurkan tubuh kurus bocah i
Tubuh Agung mundur hingga bersentuhan dengan dinding ruang tunggu yang terasa dingin. Pembicaraan Yuyun dengan pria di seberang sana masih berlangsung. Agung mengepal erat jemarinya. Harusnya ia melarang Yuyun untuk meminta uang pada pria itu. Apalagi saat ini ia adalah ayah sambung Cika. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk.rumah sakit ini? Sampai saat ini ia belum.mendapatkan uang lima juta itu. Ia pun ragu jika Sera mau meminjamkan uang untuknya. "Memangnya Mas Bowo nggak sayang sama Cika? Cika itu anak kandung Mas, loh!"Yuyun tampak frustasi. "Haaah? Apa? Tega banget Kamu, Mas. Terserah, Mas, deh! Pokoknya kalau Mas Bowo nggak mau bayarin Cika berobat, Aku akan langsung minta uangnya ke istri Mas.!" Yuyun mengakhiri panggilannya. Wajahnya nampak menahan emosi. Ia melihat ke kanan kiri. Lalu kembali menyembunyikan ponselnya di dalam tas selempangnya. "Sepertinya Aku hindari dulu keributan dengan Yuyun. Aku harus mengesampingkan egoku dan mengutamakan kesembuhan Cika." Agung
"Coba cek lagi, Pak! Apa benar sudah lunas? Mungkin Bapak salah?" Agung menautkan alisnya. "Benar, Pak. Setengah jam yang lalu sudah ada yang melunasi." "Siapa, Pak?" Agung memandang petugas administrasi itu dengan bingung. "Di sini tertera atas nama Pak Sukmawibowo." Rasa gemuruh di dada kembali dirasakan oleh Agung saat petugas itu membacakan nama orang yang melunasi biaya pengobatan Cika. "Baik, Pak. Terimakasih." Suara Agung pelan saat menjawab. Tubuhnya lemas, merasa sebagai suami.dan Ayah yang tidak berguna. Namun di sisi lain ia lega karena Cika sudah boleh pulang. Langkah gontainya pelan menuju ruang UGD. Setidaknya ia akan berusaha mengurus.Cika dengan baik. Namun kembali dadanya merasa nyeri melihat Cika berada dalam pangkuan seorang pria berpakaian kantoran. Pria berusia sekitar empat puluhan itu membelai lembut kepala Cika. Senyum lebar pun terukir dari wajah Yuyun. terlihat sekali kalau wanita itu sedang bahagia. "Bowo. Kenapa baru sekarang Kamu peduli dengan Yuyu
" Kembalikan ponsel itu, kalau tidak, silakan Kamu pergi dari sini!" Yuyun terhenyak mendengar ancaman yang berupa ultimatum dari suaminya. "M-mas, tapi Aku butuh ponsel ini untuk ..." "Untuk apa? Untuk menghubungi pria yang bukan suami Kamu?" Mendengar itu Yuyun sontak celingukan ke segala arah. Ia takut jika Lastri atau anak-anaknya mendengar. "Mas, apaan, sih? Nanti kalau di dengar orang, kan, malu." sanggah Yuyun melotot. "Jadi Kamu masih ada rasa malu, hah? Minta-minta pulsa pada laki-laki lain Kamu nggak malu? Kamu menghubungi pria lain di tempat umum, itu nggak malu?" Agung semakin emosi. Pria itu menghela napas panjang demi meredam amarah yang kian memuncak. "Sekarang kembalikan ponsel itu!" lanjut Agung pelan. Yuyun masih cemberut. "Yun ...? Kamu dengar Aku, nggak?" Suara Agung yang tadi sudah sedikit melunak, kini kembali keras. "Iy-iyaaa.Tapi Mas Agung akan beliin Aku hape, kan?" Agung mengeluarkan ponsel di saku celananya "Ini, pakai saja jika Aku sedang di ruma
"Mas Agung yakin mau melamar kerja di kantor kita dulu? Bukannya kemarin-kemarin sudah ditolak?" Yuyun memberikan kemeja yang baru saja disetrika pada Agung. "Yaa, semoga saja kali ini Sera dan Tirta mau terima Aku. Jadi supir pun nggak apa-apa."Agung selesai berpakaian dan mematut dirinya di depan kaca yang berukuran setengah badan. "Kamu bantu doa, dong! Doa istri untuk suamimya itu manjur, loh." "Iyaaa, asal jangan lupa aja nanti beliin hape kalau sudah gajian." Yuyun mulai merayu Agung dengan melingkarkan kedua tangannya dipinggang suaminya. "Yun, Aku mau cari kerja, loh, ini. Kalau kamu peluk-peluk begini, bisa-bisa Aku nggak jadi pergi." Agung memutar tubuhnya hingga kini posisinya berhadapan dengan Yuyun. "Nanti malam, ya, Mas. Aku mau ...," bisik.Yuyun. Sejak pertengkaran masalah ponsel kemarin, hubungan mereka agak renggang. Aktifitas malam yang hampir tiap malam mereka lakukan, beberapa hari ini libur. Keduanya saling gengsi untuk memulai lebih dulu. "Ya, Aku juga m
"Mas Agung!" Melihat kedatangan suaminya, Yuyun bangkit berdiri. Ia tentunya paham jika Agung tidak suka dengan kedatangan Bowo. "Ini rumah kakakku. Untuk apa Kamu ke sini?" tanpa menghiraukan Yuyun, Agung langsung berbicara sembari menatap Bowo dengan nyalang. "Aku hanya ingin melihat keadaan Cika. Apa dia mendapatkan kehidupan yang layak di sini." Bowo menjawab dengan santainya. Pandangannya mengitari sekeliling rumah kontrakan Lastri yang memang sempit dan penuh sesak oleh barang sejak Agung tinggal di sana. "Apa Kamu bilang? Kehidupan layak? Kenapa baru sekarang Kamu memikirkannya? Kemana saja Kamu sebelum ini?" Agung bicara setengah berteriak. "Maaas, tahan, nanti didengar tetangga!" Yuyun mengusap punggung Agung, mencoba untuk menenangkan. "Apa maksudmu?" Bowo menyahut dengan melotot pada Agung. Yuyun gemetar melihat ketegangan kedua pria itu. Ia segera meraih Cika dan meembawa ke dalam dekapannya. "Kemana Kamu saat Yuyun dan Cika terlantar di jalan? Mereka kelaparan. Y
"Kita mendapatkan investor yang sepadan dengan Tuan Vincent." Diego menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang ada di hadapan Pras. "Oh, ya? Siapa? Apa Aku kenal investor itu?" Wajah Pras seketika berbinar. Pria dengan jambang lebat itu penasaran dengan investor yang disebutkan Diego. Menurutnya, tidak akan mungkin ada orang yang menanamkan sahamnya begitu besar jika tidak ada kepercayaan pada perusahaannya. Ia menduga investor itu pasti seseorang yang telah mengenal baik tentang Tirta Group. "Pemilik PT. Callista. Mereka sudah lama tau tentang keberhasilan Tirra Group sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yakin untuk menjadi investor di Tirta Group." Pras mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Diego. "Kapan Aku bisa bertemu dengan pemilik PT Callista itu? Aku dan Serani harus mengenal lebih dulu." "Secepatnya akan Aku atur. Menurutku, dengan masuknya investor ini Tirta group akan kembali normal. Penggabungan dengan PT.Gunawan corp tidak memberikan pengaruh yang berarti." Diego bic
"Yun, bangun! Siapin sarapan dan pakaian Aku!" Agung bergegas meraih handuk hendak menuju kamar mandi. "Pagi banget, sih, Maaas. Ini masih jam lima, loh!" Yuyun masih bermalas-malasan di kasur busa tipisnya. "Kamu ini gimana, sih? Aku ini mau kerja antar Giska sekolah. Giska itu masuknya jam setengah tujuh. Ayo, cepat buatkan Aku kopi!" Setelah melihat istrinya mulai bangkit, Agung segera keluar menuju kamar mandi yang hanya ada satu di rumah kontrakan itu. Sementara tiga anak Lastri juga sebentar lagi akan bangun untuk bersiap-siap ke sekolah. "Heh, tumben Kamu mandi pagi-pagi! Awas, jangan lama-lama! Anak-anakku juga mau mandi!" ketus Lastri yang sedang membuat sarapan di dapur. "Mbak Lastri masak apa? Sekalian dong buat Mas Agung!" Yuyun menghampiri Lastri sembari melihat ke sekliing dapur yang sudah berantakan. "Memangnya Agung mau kemana pagi-pagi?" tanya Lastri penasaran yang tadi belum sempat dijawab oleh Agung. Ia baru saja selesai memasak nasi goreng. "Hari ini Mas Agun