"Mas Agung yakin mau melamar kerja di kantor kita dulu? Bukannya kemarin-kemarin sudah ditolak?" Yuyun memberikan kemeja yang baru saja disetrika pada Agung. "Yaa, semoga saja kali ini Sera dan Tirta mau terima Aku. Jadi supir pun nggak apa-apa."Agung selesai berpakaian dan mematut dirinya di depan kaca yang berukuran setengah badan. "Kamu bantu doa, dong! Doa istri untuk suamimya itu manjur, loh." "Iyaaa, asal jangan lupa aja nanti beliin hape kalau sudah gajian." Yuyun mulai merayu Agung dengan melingkarkan kedua tangannya dipinggang suaminya. "Yun, Aku mau cari kerja, loh, ini. Kalau kamu peluk-peluk begini, bisa-bisa Aku nggak jadi pergi." Agung memutar tubuhnya hingga kini posisinya berhadapan dengan Yuyun. "Nanti malam, ya, Mas. Aku mau ...," bisik.Yuyun. Sejak pertengkaran masalah ponsel kemarin, hubungan mereka agak renggang. Aktifitas malam yang hampir tiap malam mereka lakukan, beberapa hari ini libur. Keduanya saling gengsi untuk memulai lebih dulu. "Ya, Aku juga m
"Mas Agung!" Melihat kedatangan suaminya, Yuyun bangkit berdiri. Ia tentunya paham jika Agung tidak suka dengan kedatangan Bowo. "Ini rumah kakakku. Untuk apa Kamu ke sini?" tanpa menghiraukan Yuyun, Agung langsung berbicara sembari menatap Bowo dengan nyalang. "Aku hanya ingin melihat keadaan Cika. Apa dia mendapatkan kehidupan yang layak di sini." Bowo menjawab dengan santainya. Pandangannya mengitari sekeliling rumah kontrakan Lastri yang memang sempit dan penuh sesak oleh barang sejak Agung tinggal di sana. "Apa Kamu bilang? Kehidupan layak? Kenapa baru sekarang Kamu memikirkannya? Kemana saja Kamu sebelum ini?" Agung bicara setengah berteriak. "Maaas, tahan, nanti didengar tetangga!" Yuyun mengusap punggung Agung, mencoba untuk menenangkan. "Apa maksudmu?" Bowo menyahut dengan melotot pada Agung. Yuyun gemetar melihat ketegangan kedua pria itu. Ia segera meraih Cika dan meembawa ke dalam dekapannya. "Kemana Kamu saat Yuyun dan Cika terlantar di jalan? Mereka kelaparan. Y
"Kita mendapatkan investor yang sepadan dengan Tuan Vincent." Diego menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang ada di hadapan Pras. "Oh, ya? Siapa? Apa Aku kenal investor itu?" Wajah Pras seketika berbinar. Pria dengan jambang lebat itu penasaran dengan investor yang disebutkan Diego. Menurutnya, tidak akan mungkin ada orang yang menanamkan sahamnya begitu besar jika tidak ada kepercayaan pada perusahaannya. Ia menduga investor itu pasti seseorang yang telah mengenal baik tentang Tirta Group. "Pemilik PT. Callista. Mereka sudah lama tau tentang keberhasilan Tirra Group sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yakin untuk menjadi investor di Tirta Group." Pras mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Diego. "Kapan Aku bisa bertemu dengan pemilik PT Callista itu? Aku dan Serani harus mengenal lebih dulu." "Secepatnya akan Aku atur. Menurutku, dengan masuknya investor ini Tirta group akan kembali normal. Penggabungan dengan PT.Gunawan corp tidak memberikan pengaruh yang berarti." Diego bic
"Yun, bangun! Siapin sarapan dan pakaian Aku!" Agung bergegas meraih handuk hendak menuju kamar mandi. "Pagi banget, sih, Maaas. Ini masih jam lima, loh!" Yuyun masih bermalas-malasan di kasur busa tipisnya. "Kamu ini gimana, sih? Aku ini mau kerja antar Giska sekolah. Giska itu masuknya jam setengah tujuh. Ayo, cepat buatkan Aku kopi!" Setelah melihat istrinya mulai bangkit, Agung segera keluar menuju kamar mandi yang hanya ada satu di rumah kontrakan itu. Sementara tiga anak Lastri juga sebentar lagi akan bangun untuk bersiap-siap ke sekolah. "Heh, tumben Kamu mandi pagi-pagi! Awas, jangan lama-lama! Anak-anakku juga mau mandi!" ketus Lastri yang sedang membuat sarapan di dapur. "Mbak Lastri masak apa? Sekalian dong buat Mas Agung!" Yuyun menghampiri Lastri sembari melihat ke sekliing dapur yang sudah berantakan. "Memangnya Agung mau kemana pagi-pagi?" tanya Lastri penasaran yang tadi belum sempat dijawab oleh Agung. Ia baru saja selesai memasak nasi goreng. "Hari ini Mas Agun
"Jangan lupa, malam ini pertemuan dengan calon investor kita. Aku sudah reservasi di sebuah restoran mewah." Diego memberi tahu Pras lewat ponselnya. "Baik. Kamu dan Corri harus datang sebelum waktunya," tegas Pras sebelum menutup ponselnya. "Sera, nanti malam kita ada dinner dengan calon investor. Kalau Kamu mau ikut, kita pulang lebih awal agar Kamu bisa istirahat dulu. "Sudahlah, Pras. Nggak usah berlebihan, deh! Aku ini nggak apa-apa. Hari ini Aku dan Corri sedang banyak pekerjaan. Dan, nanti malam Aku pasti ikut." "Nggak bisa!' Yang ada dalam perut Kamu itu adalah anakku. Jadi, Kamu harus nurut sama Aku!" Pras meraih pinggang Sera dan memutar tubuh istrinya itu hingga akhirnya mereka saling berhadapan. "Aku ibunya. Aku yang hamil. Aku tau kalau Kami berdua kuat." Wajah cantik.Sera semakin mendekat pada wajah Pras. Konsentrasi Pras seketika buyar saat pandangannya jatuh pada bibir berwarna nude yang bergerak-gerak menggemaskan tak jauh dari wajahnya. Tatapan redupnya membua
"Corri ..., tunggu!" Diego mempercepat langkahnya menyusul Corri. Tinggal sepuluh langkah lagi mereka akan tiba di meja yang mana ada Pras dan Sera di sana. Corri bernapas lega karena tamu mereka belum datang. Corri menoleh saat jemari kokoh Diego menggamit tangan kanannya. "Jangan protes. Kamu nggak mau, kan kita ribut di depan mereka?" bisik Diego dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Corri. Corri tak menjawab, namun diam-diam ia berusaha untuk menarik tangannya dari genggaman pria di sebelahnya. Namun sia-sia, Pras dan Sera sudah menoleh ke arah mereka. "Nah, gitu, dong! Sekali-sekali akur di luar jam kerja, kan, bisa?" Sera tersenyum dengan tatapan menggoda pada pasangan yang baru saja tiba. "Akur apanya?" gerutu Corri sembari mendekat pada Sera. "Duduk sini!" Diego menarik sebuah kursi dan meminta Corri untuk duduk di sana. Corri terpaksa menurut demi mencegah perdebatan yang terjadi di depan Tirta Prasetya. Walau Pras adalah suami sahabatnya, tapi ia cukup segan pada p
"Cemburu sama Agung?" Pras tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Kalau bukan cemburu, lalu apa?" Sera semakin kesal. "Entahlah. Aku cuma nggak mau Kamu dan Giska dekat lagi dengan Agung." "Prass, Aku nggak mungkim dekat dengan Agung. Aku tau batasanku sebagai istri Kamu. Sedangkan Giska itu anak kandungnya. Kita berdosa jika menjauhkan mereka. Ingat, Pras, jika Giska menikah kelak, hanya ayah kandungnya yang berhak menikahkan dia." Mendengar kata-,kata Sera barusan. Wajah Pras seketika berubah murung. "Ya. Hal itu tidak pernah terpikirkan olehku selama ini." Suara Pras semakin pelan. Pria itu terduduk di ranjang. "Papaaa ... Bundaaa ..., Giska berangkat dulu ...!"Pras seketika bangkit dan keluar dari kamar untuk menghampiri.Giska. Hal yang sama juga dilakukan Sera. "Ayo, Papa antar ke teras!" Pras menggandeng Giska menuju teras, sementara Sera menyusulnya dari belakang. Agung sudah berdiri disamping mobil hendak membukakan pintu untuk Giska. Pria itu mengangguk sopan pada P
"Agung sudah mulai betingkah. Apa Aku pecat saja dia? Ponsel di tangan Pras baru saja memutuskan panggilan. "Kamu kenapa marah-marah Pras? Ada apa dengan Agung? Apa Giska baik-baik aja?" Sera yang baru saja masuk ke ruangannya langsung panik melihat wajah suaminya merah padam. "Loly tadi menghubungiku. Info dari grup sekolah Giska, hari ini sekolah sudah dibubarkan sejak pukul sebelas. Seharusnya Giska sudah pulang sejak tadi. Loly mencoba menghubungi Agung tapi tidak diangkat.". "Astaga! Lalu sekarang Giskanya dimana?" Sera semakin panik, hingga ia merasa sulit untuk bernapas. "Ternyata Agung membawa Giska ke rumahnya. Aku sempat bicara dengan Giska." "Ah, syukurlah! Ya sudah biarkan saja, Pras. Mungkin Giska kangen sama Cika. Anaknya Yuyun." Pras malah semakin geram melihat Sera berubah tenang. Bahkan istrinya itu nampak mulai fokus pada laptopnya "Seharusnya Agung itu izin dulu sama Kita kalau mau bawa Giska. Aku tidak terima kalau dia melewati batas." Sera menoleh. Waja
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.