"Kenapa Pras tidak bisa dihubungi?" gumam Sera kesal. Entah berapa kali Sera mencoba menghubungi Pras kembali. Namun ponsel pria itu tidak aktif. Sera meletakkan ponselnya diatas nakas. Ia membawa Pangeran tidur di kamarnya. Putranya itu masih saja rewel. Hingga tengah malam Sera tidak bisa terlelap. Pangeran terus terjaga dan meminta ASI. Saat malam tiba, Sera merasa lapar dan haus. Ia tidak tega membangunkan para baby sitter putranya. Sementara ia tidak mungkin meninggalkan Pangeran sendirian di kamar.Akhirnya ia memutuskan untuk ke dapur sambil menggendong Pangeran. "Pras, andai Kamu ada di sini. Aku pasti nggak sendirian. Aku pasti ditemani sama Kamu," bathin Sera dengan rasa sesak yang semakin menghimpitnya. Pras pasti akan membuatkan susu untuknya. Pras juga akan menyuapinya makan. Bulir-bulir bening itu kembali lolos tanpa ia sadari. Sejak Pangeran lahir, Pras selalu telaten merawatnya. Pria itu sangat memperhatikan kesehatannya. "Pras ... Aku rindu ...," lirih wanita ya
"Brengsek! Siapa yang mau bermain-main denganku?" Pras menggebrak meja di hadapannya. Wajahnya kembali menggelap. Dadanya naik turun. Ia semakin yakin bahwa yang menghancurkan perusahaannya adalah orang dalam. Seseorang yang tau persis tentang perusahaannya. Namun ia baru menduga satu nama yang ia curigai. Tidak menutup kemungkinan ada nama lainnya juga sebagai tersangka. "Aku harus membuktikan ini sendiri." Pras meraih jas dan kunci mobilnya. Melangkah keluar dari gedung tinggi yang satu lantainya ia sewa untuk perusahaannya. Rumah yang ia tempati tidak begitu jauh dari kantor. Hingga dalam waktu lima belas menit ia sudah tiba di rumahnya. Beberapa ART asal Indonesia bekerja di sana.. "Selamat malam, Tuan Tirta. Saya.siapkan makan malam." Pras hanya mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan berukuran besar berada di dinding kamar. Rutinitas yang ia lakukan setiap membuka kamar itu, jika ia berada di Austin ini. "Sera ... Aku ri
PRANG!! "Awww ...!" Serani menjerit ketika gelas yang berada dalam genggamannya tiba-tiba terlepas. Gelas keramik itu hancur berantakan di lantai dapur. "Pras ...! Ada apa dengan dirimu?" Sera berdiri mematung menatap serpihan pecahan gelas yang tercecer tak jauh dari kakinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ia yang tadi ke dapur hendak minum mendadak teringat dengan Pras. Dadanya terasa sesak, tangannya gemetar hingga gelas di tangannya terlepas. "Maaf, Nyonya. Biar Saya bersihkan." Seorang ART tiba-tiba muncul karena mendengar suara sesuatu yang pecah. ART itu membungkuk melewatinya Sera sambil membawa sapu. "Nyonya mau minum? Biar Saya ambilkan." ART lainnya menghampiri Sera yang masih melamun..Sera tersentak, lalu menolah pada kedua ART nya. "Maaf, tolong antarkan air putih untukku ke kamar!" "Baik, Nyonya." Sera memutar tubuhnya, lalu melangkah menuju kamar. Mungkin sebaiknya ia menenangkan diri dulu. Namun ketika tiba di kamar, wanita berhidung mancung
"Kamu serius mau ke Amerika?" Corri menatap Sera tak percaya. Makan siang mereka sempat terjeda sesaat ketiika tiba-tiba Serani mengatakan ingin menyusul Pras. Sera mengalihkan pandangannya dengan wajah gelisah. Sendok di tangannya ia letakkan di tepian piring. "Sebenarnya Aku nggak tau harus bagaimana. Tapi sudah tiga hari ini Aku nggak bisa mengubungi suamiku sendiri. Aku nggak tau apa dia baik-baik aja." Netra bulat Serani mulai berkabut. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak menangis.."Minum dulu!" Corri menyodorkan segelas jus jambu pada Serani. Ia berharap Serani bisa lebih tenang. Sera menerima dan meneguk sedikit minuman itu. "Kamu udah hubungi keluarganya atau siapa gitu, yang ada di sana?" tanya Corri lagi "Sudah." Suara Sera terdengar parau. Corri menatap sahabatnya itu iba. Sambil menunggu Sera bercerita, wanita berambut kemerahan itu kembali menyuap makanannya. "Aku sudah hubungi Opanya. Tapi ..., sepertinya beliau menutupi sesuatu. Aku tidak diperbolehkan bicara
"Siapa Kamu sebenarnya?" Agung memandang pria berjas coklat muda itu dengan tatapan menyelidik. Pria itu terkekeh. "Sudahlah, Kamu nggak usah takut diculik. Lagian apa istimewanya Kamu kalau diculik?" Agung mendengus kesal. Namun dalam hati ia membenarkan ucapan pria yang tak dikenal itu. "Nanti akan Aku jelaskan di dalam mobil." lanjut pria itu lagi. Agung memandang pria yang mengajaknya itu dengan tatapan menyelidik. Namun demikian Agung memutuskan untuk ikut dengannya. Kesulitan hidup yang ia alami saat ini membuatnya tak punya pilihan lain. "Siapa tau gajinya gede," pikirnya saat melangkah masuk ke dalam mobil SUV berwarna putih. Agung memperhatikan jalanan yang ia lewati. Ternyata menuju arah utara. Pikirannya terbagi pada Yuyun dan anaknya yang belum makan sejak tadi pagi. Entah kenapa ia bisa kembali bersama Yuyun. Seharusnya ia kembali pada Sera. Tapi ia sadar Serani tidak akan pernah mau dengannya. Tirta Prasetya bukanlah tandingannya. Ia tak tega saat Yuyun datang men
"Uang? Ini beneran uang, Mas?" Mata Yuyun membola melihat lembaran merah yang keluar dari dalam amplop coklat itu. "Memang Kamu pikira apa? lemper?" ketus Agung kesal. "Gini, dong! Aku kan bisa beli skincare dan baju bagus," imbuh Yuyun sambil meraup lembaran uang yang tadi sempat berceceran di lantai. "Enak aja, Kamu! Awas, jangan boros-boros! Uang ini buat makan dan bayar kontrakan. Sisihkan untuk keperluan mendesak. Cika masih kecil. Jika tiba-tiba dia sakit, kita harus punya simpanan," jelas Agung dengan mendelikkan matanya pada Yuyun. "Mas Agung nggak berubah. Dari dulu pelit!" umpat Yuyun seraya beranjak ke lemari menyimpan uang di dalam amplop itu. Agung hanya bisa meghempas napas kasar melihat tingkah Yuyun yang selalu membuatnya naik darah. Malam itu Agung memutuskan hanya minum teh dan makan sisa nasi kemarin dengan kerupuk yang ada di meja saja. Sementara Yuyun membeli nasi bungkus untuknya dan Cika. Agung memikirkan bagaimana caranya untuk bisa masuk ke rumah Sera.
"Bagaimana? Atau kalau Kamu ragu, nggak usah aja. Aku permisi ...!" ucap Agung, lalu memutar tubuhnya . Sera melihat jam di pergelangan tangannya sepintas. "Oke, oke, baiklah! Kalau begitu cepat antar Aku!"Agung tersenyum mendengar jawaban Sera. Pria itu menerima kunci mobil dari Sera dan bergegas duduk di kursi kemudi. Sementara Sera memilih untuk duduk di kursi belakang. "Kenapa nyetir sendiri? Supir Kamu mana?" tanya Agung sambil melajukan mobil mewah milik Sera dengan kecepatan tinggi. Ia tau Sera sedang mengejar waktu. "Pak Yono Aku tugaskan untuk antar jemput Giska," sahut Sera singkat tanpa menoleh Ia mengirim pesan pada Corri bahwa mungkin ia sedikit terlambat.. "Kamu harus punya supir pribadi, Sera. Jangan nyetir sendiri. Bahaya kalau kejadian seperti tadi. Apalagi kalau Kamu pulang larut malam. Sera tak menjawab perkataan Agung. Namun dalam hatinya ia membenarkan apa yang dikatakan mantan suaminya itu. Mungkin ia akan pertimbangkan lagi untuk hal ini. "Sudah sampai,
"Bagaimana, apa sudah dapat nomor ponsel pribadi istri Tirta?" Diego berbicara pada seseorang lewat ponselnya. Beberapa jam yang lalu doker kembali bertanya tentang keluarga Pras yang sangat dekat dengan pasien. Namun, Diego masih belum berhasil mendapatkan nomor ponsel istri Tirta, hingga salah satu orang kepercayaanya menghubunginya. "Bagus. Segera kirimkan padaku!" jawab Diego. Pria berperawakan tinggi besar itu segera menyimpan nomor ponsel wanita yang bernama Serani. Ia ingin segera menghubungi wanita itu, tapi ia khawatir Serani tidak percaya padanya. Diego menghampiri Pras yang masih belum sadar. Menurut dokter, luka bagian dalam yang Pras alami sudah mulai membaik. Pras juga sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu pria itu.sadar. Diego meminta izin pada dokter untuk memotret Pras beberapa kali. "Mungkin dengan ini, wanita itu bisa mempercayaiku," gumamnya setelah mengucapkan terima kasih pada dokter. "Tuan, perusahaan sangat membutuhkan Anda saat ini. Satu inve