"Bagaimana, apa sudah dapat nomor ponsel pribadi istri Tirta?" Diego berbicara pada seseorang lewat ponselnya. Beberapa jam yang lalu doker kembali bertanya tentang keluarga Pras yang sangat dekat dengan pasien. Namun, Diego masih belum berhasil mendapatkan nomor ponsel istri Tirta, hingga salah satu orang kepercayaanya menghubunginya. "Bagus. Segera kirimkan padaku!" jawab Diego. Pria berperawakan tinggi besar itu segera menyimpan nomor ponsel wanita yang bernama Serani. Ia ingin segera menghubungi wanita itu, tapi ia khawatir Serani tidak percaya padanya. Diego menghampiri Pras yang masih belum sadar. Menurut dokter, luka bagian dalam yang Pras alami sudah mulai membaik. Pras juga sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu pria itu.sadar. Diego meminta izin pada dokter untuk memotret Pras beberapa kali. "Mungkin dengan ini, wanita itu bisa mempercayaiku," gumamnya setelah mengucapkan terima kasih pada dokter. "Tuan, perusahaan sangat membutuhkan Anda saat ini. Satu inve
"Giska kenapa? Siapa yang mau diusir?" Sera menatap heran putrinya yang tiba-tiba berlari masuk ke ruang tamu. "Aku nggak mau lihat dia lagi, Bunda. Aku takut ...!" jerit Giska lagi. Sera baru paham ketika menoleh pada Agung yang berdiri di teras dengan wajah sedih.Sebenarnya Sera tidak tega melihat Giska ketakutan seperti itu. Tapi, bagaimanapun juga ia harus menghentikan trauma yang ada pada putrinya itu.. Perlahan Sera mendekati Giska. "Sayang, itu Ayah. Itu Ayah Giska ..." Kepala Giska menggeleng cepat. "Giska nggak mau punya Ayah jahat..Dia orang jahat, Bun. Awas, Dede Pangeran bawa masuk, Bun. Nanti dijahatin sama orang itu!" Jeritan Giska semakin keras dan terdengar jelas oleh Agung. Tidak mudah menghilangkan trauma yang telah melekat pada diri Giska sejak dua tahun lalu.Sera tidak tega melihat wajah Giska yang mendadak pucat. Setelah meminta semua ART dan babysitter yang mengendong pangeran masuk, Sera memilih kembali keluar menemui Agung. Pria itu berdiri terpaku di
"Hilang bagaimana? Sudah dicari, belum?" Sera spontan berdiri. Wajahnya seketika panik. "Sudah, Nyonya. Gurunya bilang, Giska keluar seperti biasa saat kelas berakhir bersama teman-temannya." Suara Loly terdengar tak kalah panik. "Apa Pak Yono telat menjemput? Mana Pak Yono?" Napas Sera mulai naik turun. "Tidak. Pak Yono tidak telat, Nyonya. Sekarang Pak Yono masih cari Giska. Pihak sekolah juga sedang menelusuri area sekitar sekolah." Loly menjelaskan dengan hati-hati. Sera berjalan mondar mandir di dalam ruangannya. Ia sempat membuka pintu ruangan dengan wajah bingung. "Loly, kerahkan siapa saja untuk mencari Giska. Saya akan mencari bantuan!" "Baik, Nyonya." "Ada apa, Sera? Aku dengar Kamu sangat panik." Corri tiba-tiba masuk, mendengar suara Sera cukup keras saat ia lewat di depan ruangannya.. "Giska, Cor. Giska hilang. Tolong Aku, Cor!" Tangis Sera pecah sudah. Melihat itu Corri langsung meraih sahabatnya itu dan memeluknya. "Kamu harus tenang agar bisa berpikir jernih.
"Yuyun, buka pintunya, cepat!" teriak Agung yang mulai kewalahan dengan Giska yang ada di tangannya. Putrinya itu sudah mulai mengerjapkan matanya. "Sebentar lagi pengaruh obat bius itu akan hilang," gumam Agung pada dirinya sendiri. "Mas ... ini Giska? Ya ampun sudah besar, cantik pula. Pasti mahal tebusannya kalau begini." Agung tidak menghiraukan ucapan Yuyun. Ia masuk melewati Yuyun yang masih berdiri di dekat pintu. Ia merebahkan tubuh Giska yang masih berpakaian seragam sekolah itu di atas kasur busanya. "Sini, Aku mau bicara!" Agung menarik tangan Yuyun agak menjauh dari putrinya, dan membiarkan Cika duduk di dekat Giska. Bocah dua tahun itu terheran melihat kehadiran Giska di rumah itu. Mungkin ia juga heran melihat penampilan Giska yang bersih dan rapi, berbeda dengan anak-anak yang ia temui di sekitar kontrakannya. "Apaan, sih, Mas? Sakit, tau!" Yuyun menarik kasar tangannya, lalu mengusap bekas cengkraman tangan Agung. "Aku nggak mau dengar lagi Kamu bicara soal uang t
Pikiran Sera saat ini terbagi-bagi. Tidak hanya memikirkan Giska, ia juga menunggu kabar dari Diego tentang Pras yang dikabarkan memberi respon saat Diego sedang menghubunginya semalam. Namun, hingga siang ini Diego belum juga memberinya kabar. Tentang Giska pun polisi belum ada informasi. "Untuk sementara biar Aku yang tangani pekerjaan di kantor. Kamu fokus saja pada Giska." Ucapan Corri tadi pagi sedikit mengurangi bebannya. Sahabat sekaligus orang kepercayaannya di kantor itu semalaman tidak tidur menemaninya. Setelah sarapan, Corri pamit pulang karena hendak bersiap-siap ke kantor. "Nyonya Sera, ada polisi datang." Loly tergopoh-gopoh menghampiri Sera di kamar. "Apa? Polisi? Ya. Saya segera ke sana." Sera bergegas mengenakan hijabnya. Langkah kakinya mengiringi detak jantungnya yang berdegub lebih cepat saat mendengar ada polisi yang datang. Wanita itu sangat takut jika berita yang akan disampaikan polisi itu bukanlah yang ia harapkan. Berkali-kali Sera menghela napas panj
"Penculiknya ada hubungannya dengan Pras? Kamu jangan ngaco, Mas!" bantah Sera sedikit kesal. "M-maaf, maksud Aku bukan gitu. Sepertinya yang namanya Ronald itu suruhan musuhnya Suami Kamu." Sera terdiam Musuh Pras pasti banyak. Belum lama ini suaminya hampir saja dihabisi oleh musuhnya. "Sera, maaf, Aku boleh tanya sesuatu?" "Apa?" Sera berhenti persis di samping mobilnya. Ia meminta Giska untuk masuk lebih dulu. Ia tidak mau Giska mendengar pembicaraannya dengan Agung. ""Apakah pernikahanmu dengan Tirta baik-baik saja?" Sera sontak menoleh menatap Agung dengan tatapan nanar. "Mas nggak berhak nanya itu padaku!" ketus Sera tidak suka. "M-maaf Sera. Sekali lagi Aku minta maaf. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku hanya khawatir jika Tirta menyakitimu." Agung bicara hati-hati. "Cukup, Mas! Jangan mentang-mentang Mas Agung sudah membantuku menemukan Giska, bukan berarti Mas bisa seenaknya ikut campur dengan rumah tanggaku. Permisi!" "Astaga, Sera ... Aku nggak bermaksud ..." A
"Kamu baru saja sadar, Tirta. Apa tidak sebaiknya jangan terlalu banyak berpikir dulu? Utamakan kesehatanmu dulu!" Diego mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku ingin semua cepat beres. Aku ingin segera pulang." Pras bicara dengan napas berat. "Baiklah. Nanti sepulang dari sini, Aku akan cek laptopmu. Oh ya, Apa kamu nggak mau bicara dengan Serani?" Hembusan napas Pras terdengar panjang dan dalam. Tenggorokannya tercekat setiap mengingat Sera dan anak-anaknya. "Apa ... istriku tau dengan kondisiku?"tanya Pras cemas. Diego mengangguk ragu. "Maafkan Aku, karena Kamu tak kunjung sadar, Aku terpaksa mengabari Sera" Pras tersenyum getir. Ia membayangkan Sera pasti sangat mencemaskan dirinya. "Bagaimana keadaan mereka?" Diego tidak mengatakan tentang penculikan Giska. Sampai hari ini ia juga belum mendapat kabar berikutnya dari Serani. "Baik. Mereka baik," jawab Diego gugup. "Tolong hubungi istriku. Aku mau bicara." Diego mengangguk. Lalu meraih ponselnya dari saku jas. Pria itu
"Rasanya Aku tidak ingin percaya dengan kenyataan ini. Bagaimana mungkin orang yang aku hormati sejak kecil, tiba-tiba saja menusukku dari belakang? Lagipula perusahaan itu adalah milik keluarga. Opa Vincent juga sebagai pemilik di sana." Setelah menghela napas panjang, Pras bicara dengan pandangan menerawang ke langit-langit. "Andai saja orang itu bukan Opa Vincent, Aku pasti akan beri pelajaran. Tapi ini ... akhh ...!"Pras seakan frustasi, ia meremas rambutnya sendiri. "Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Diego yang mulai membereskan laptop. Ia tak mau sampai ada orang lain yang melihat data-data itu. "Entahlah. Aku akan pikirkan dulu. Yang pasti Aku tidak akan diam saja. Ini namanya kecurangan, dan tetntunya tidak bisa dibenarkan dalam bisnis." Rasa geram Pras pada Opanya semakin menjadi. Namun ia tidak mungkin menyelesaikan hal ini lewat jalur hukum. Diego menyimak semua ucapan Pras. Dia pun bukan siapa-siapa. Hanyalah seorang sahabat sekaligus orang kepercayaan Pras."A