"Astaga, Pras!" Mata Serani membelalak melihat Pras sedang memeluk seorang wanita yang ia kenal. Keduanya berdiri tak jauh dari ranjang hotel yang berukuran.besar. Namun Sera melihat ranjang itu masih sangat rapi. Pakaian Pras pun masih lengkap. "Seraaa ...!" Wajah Pras nampak panik. Ia segera melepaskan tubuh wanita berpakaian terbuka yang ternyata adalah Grace. Namun anak Tante Sarah itu justru bergelayut semakin erat pada tubuh Tirta Prasetya. Melihat hal itu, Sera merasakan nyeri yang begitu menusuk dadanya. "Pras ..., Grace ...! K-kalian ada di sini?" Sera sebisa mungkin berusaha menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat bodoh di depan Grace. Ia tau Grace akan senang jika ia terlihat tersakiti. "Perempuan itu pasti telah menjebakku," pikir Sera. Walau ia merasa terkejut dan kecewa, Sera berusaha untuk tidak menampakkan hal itu di depan Grace. Ia berusaha mengatur napas dan tetap memasang wajah tenang. "Grace, lepas!' bentak Pras mulai emosi, namun tak dihiraukan oleh sepupuny
"Sera, bukannya tadi kamu pulang lebih awal? kenapa baru sampai rumah?" Sera nyaris terlonjak mendengar Celline menegurnya saat pintu terbuka. "M-mama? Mama sudah pulang?" tanya Sera heran. Dia pikir Celline dan Sandy akan pulang lebih malam. "Kamu pulang dengan siapa? Kenapa Pak Yono malah sampai rumah lebih dulu?" selidik Celline dengan kening berkerut. "Aku ... Aku pulang dengan Pras," sahut Sera setenang mungkin. Namun diam-diam ia sedang mengawasi gerak-gerik sang ibu mertua. "Loh, kok bisa dengan Tirta? Bukannya dia ... eh." Celline tiba-tiba menutup mulutnya. "Memangnya Mama tau sesuatu tentang Tirta?" Sera perlahan mendekat dan memandang curiga pada ibu mertuanya itu. "Ah, nggak. M-maksud Mama. Bukankah dia tidak diundang dalam acara tadi?" Celline tampak sedikit gugup. "Oh, diundang, Kok. Aku yang undang. Hanya saja Pras datang terlambat tadi. Jadi, dia langsung membawaku pulang. Ah, ya. Kenapa tadi Aku pulang lebih lama, itu karena kami mampir dulu ke sesuatu tempat
"Pembunuh Kamu, Tirta!" Roy memandang Pras dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Napas pria paruh baya itu naik turun. Pras yang baru saja tiba di depan ruang UGD terhenyak melihat Roy dan keluarganya menangis histeris. Napasnya seakan tertahan melihat tatapan penuh amarah dari suami Tante Sarah itu. "Om ... Aku tidak ..." "Kamu tega membiarkannya menyetir sendirian dalam keadaan mabuk. Kamu sudah gila, Pras ...!" Roy mencengkeram kerah kemeja Pras dan menghempaskan tubuh tinggi besar itu ke dinding. "Mas, tahan! Grace sedang koma. Sebaiknya kita berdoa agar dia segera sadar!" Levin menghampiri Roy yang begitu geram dengan Pras. "Astaga! Grace koma?" lirih Pras dengan wajah memucat. Jantungnya berdetak cepat. Terlintas rasa menyesal. Seharusnya ia tak meninggalkan Grace sendirian. Wanita itu tadi sedang mabuk berat Pras hanya memikirkan Sera. Setelah tunangannya itu keluar dari kamar hotel, Pras panik. Namun Grace tak mau melepaskan dirinya. Akhirnya dengan terpaksa Pras men
Serani mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Wedding organizer yang mengurus pernikahannya dua minggu lagi. [ Selamat pagi, Bu Serani. Apakah Ibu bisa datang ke tempat kami hari ini untuk fitting baju setelah makan siang hari ini?] "Kenapa Pras tidak mengabariku? Apa dia tidak tau?" gumam Sera yang masih bersiap-siap hendak ke kantor. Sejak kejadian di hotel Corla beberapa hari yang lalu, Pras belum datang menemuinya. Sera pun masih kesal dan enggan menghubungi calon suaminya itu. Namun ada perasaan yang tak biasa yang ia rasakan saat ini. Pras seperti menjauh dalam beberapa hari ini.Tidak ada pesan yang setiap saat pria itu kirimkan padanya. Pras tidak datang menjemputnya setiap pagi. "Ada apa dengannya?" bathin Sera. "Sudah mau berangkat, Sera? Biar diantar Sandy saja!" Mama Celline menyapanya saat Sera baru saja keluar dari kamarnya. "Tidak usah, Ma. Aku harus bawa mobil. Siang ini mau fitting baju di tempat WO." "Kamu ke sana dengan Pak Yono?" Sera mengangguk s
"Sebagai laki-laki, Kamu harus bertanggung jawab atas kelalaianmu. Kami bisa saja mempermasalahkan ini ke meja hijau. Kamu sengaja meninggalkan Grace sendirian, kan? Kamu memang senang kalau Grace celaka, kan?" Emosi Roy semakin menuncak. Ia sampai menggebrak meja. Amarahnya kian meledak karena penolakan Pras. Pras hanya bisa diam. Namun beberapa detik kemudian ia memberanikan diri untuk bicara. "Tapi Aku mencintai Serani, Om. Sementara Grace ... sudah Aku anggap sebagai adikku sendiri. Jadi, bagaimana mungkin Aku menikahinya, Om." Pras bicara dengan sangat hati-hati. Ia masih melihat kilatan amarah pada netra Omnya itu. "Tapi ini situasinya berbeda, Tirta. Kamu hanya perlu membahagiakannya. Beri dia semangat untuk sembuh! Dokter bilang, Grace sudah putus asa. Ia tidak ada semangat untuk hidup. Tolonglah, Tirta." Kali ini Sarah yang memohon. Wajah Pras mulai gusar. Seketika pikirannya beralih pada Sera. Rasa rindu yang membuncah pada wanita itu seakan menguasai hatinya saat ini
"Kenapa diam, Pras?" Sera menoleh pada pria disampingnya. Ia menatap calon suaminya itu dengan tatapan tajam. Pras berusaha tersenyum. "Aku memang tidak ke kantor. Hanya ada sedikit masalah di perusahaanku yang lain. Tapi semua sudah teratasi. Maafkan Aku jarang menghubungimu beberapa hari ini. Aku hanya ingin semua masalah selesai sebelum hari pernikahan kita..Aku ingin membawa kalian ke sesuatu tempat untuk berlibur setelah kita menikah nanti. Kita akan berbulan madu dengan tenang, karena anak-anak aman berada diantara kita," jelas Pras panjang lebar. Ia bernapas lega melihat Sera tersenyum. Walau.hatinya masih belum tenang karena masih ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Beneran mau bulan madu ajak anak-anak ?" Sera melirik Pras dengan tatapan menggoda. Pras tertawa gemas menerima sikap Sera yang sudah berani menggodanya. "Aku sudah memesan hotel dengan dua kamar tidur. Jadi, Kamu tetap bisa memberi Pangeran ASI kapan saja, walau kita sedang bulan madu nanti. Hanya saja, mungkin
"Tirta ...! Cepat ke kamar rawat Grace! Kamu ditunggu di sana sejak tadi!" Levin menghampiri Pras yang baru saja tiba di lobby rumah sakit. "Kenapa? Ada apa dengan Grace?" Pras nampak panik melihat wajah Levin yang memucat. "Grace mencoba nenyakiti dirinya dengan mencabut selang infus dan alat medis yang melekat pada tubuhnya. Ia terus berteriak memanggil-manggil namamu." Levin bicara dengan napas memburu sambil melangkah cepat di samping Pras. Pria yang biasa dipanggil Tirta itu menghela napas berat. Apa yang ia khawatirkan sejak tadi semakin memenuhi pikirannya. Pria bule itu berkali-kali mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi bayangan wajah Sera melintas di benaknya. "Sera ... apa yang harus aku lakukan? Om Roy dan Tante Sarah pasti akan memintaku menikahi Grace," bathin Pras dalam hati. Wajah Sera terus membayangi Pras setiap langkah melewati lorong rumah sakit. Wajah cantk dan senyum wanita yang sangat ia cintai itu terus menggelayuti kepalanya. Wanita yang telah bertahun-tahu
"Pagi Elara, Apa Pak Tirta ada di kantor?" Entah kenapa pagi ini Sera merasa gelisah. Ponsel Pras tidak aktif sejak subuh tadi. Akhirnya ia menutuskan untuk menghubungi sekretaris Pras setelah jam kantor mulai berjalan. "Pak Tirta semalam mengiirm pesan bahwa tidak ke kantor hari ini karena ada keluarganya yang sedang sakit." "Apa? Saudaranya sakit? Kenapa Pras tidak cerita padaku?" bathin Sera gelisah. "Pagi Bu Sera! Meeting dengan Pak Levin dan Pak Roy pagi ini ditunda. Sekretarisnya bilang, anak Pak Roy kecelakaan." Tiba-tiba Dido masuk ke ruangannya. " A-anak Pak Roy yang mana? Grace?" tanya Sera spontan karena terkejut. "Saya tidak tau." "Dido, tolong cari tau di rumah sakit mana anak Pak Roy di rawat!" "Baik,Bu." Dido bergegas kembali ke ruangannya dan langsung menghubungi sekretaris Roy. Namun ternyata sekretaris Roy pun belum tau dimana anak Roy dirawat. Karena kecelakaannya sudah lebih dari seminggu yang lalu. Sejak itu Roy dan Levin tidak datang ke kantor. Siang ini
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.