Mas Rafi terlihat masih enggan untuk memberitahukan semuanya kepadaku. Haruskah aku memaksanya, atau kuhormati saja keputusannya itu untuk merahasiakan dan menyimpan rapat rahasia Mas Ilham? Bagaimanapun juga, aku tidak boleh bersikap egois. Mas Rafi dan Mas Ilham sudah berteman sejak lama, bahkan sebelum aku mengenal Mas Ilham. Akupun tak lagi mengajukan pertanyaan yang pastinya akan membuat Mas Rafi bingung harus bersikap bagaimana. "Kalau Mas Rafi keberatan, Nay juga tidak akan memaksa kok," ucapku lirih. Mas Rafi tampak merasa tidak enak. Aku tak lagi melanjutkan makanku, merasa kenyang. Atau lebih tepatnya tak lagi berselera karena hasratku ingin mengetahui tentang Mas Ilham lebih jauh, tak kesampaian.Kulihat Ratna juga sudah selesai. Aku bergegas mengajaknya keluar dan membayar semua pesanan di kasir depan. Tak lama Mas Rafi menyusul dari belakang."Kok dibayar duluan, Nay? Tadinya kan Mas yang ingin bayar," ujarnya merasa tidak enak. "Tidak apa-apa, Mas. Hanya sesekali aja
Keesokan harinya, kami mulai mempersiapkan pembukaan toko. Dimulai dengan berdoa bersama anak-anak yatim yang kami undang dari panti asuhan yang tidak jauh dari sini.Setelah selesai, kami membagi-bagikan beberapa potong kue kepada tetangga-tetangga yang juga sama memiliki usaha di sepanjang ruko yang berderet. Akhirnya semua acara selesai. Aku dan Ratna terduduk lemas dan merasa puas. Bapak dan Ibu masih berdiri di depan, memandangi plang nama "Naya Cake" yang terpasang di atas dan dengan tiang yang tinggi menjulang.Ada rasa haru di wajah mereka. Kemudian masuk dan bergabung dengan kami. Tak lama terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Bapak dan Ibu menoleh. Orang itu langsung masuk dan menyapa kami. "Acaranya sudah selesai, ya? Maaf ya, baru bisa hadir," ujarnya saat hari sudah sore. Aku bangkit dari kursi dan menyambutnya."Tidak apa-apa, Mas Rafi," sahutku mempersilahkannya duduk. Bapak dan Ibu memandang ke arahku. Kemudian kuperkenalkan Mas Rafi kepada mereka, menceritak
Namun anehnya Mas Rafi juga masih menyembunyikan tentang rahasia hutang Mas Ilham. Sebenarnya Mas Rafi ini berada di pihak siapa, sih? .Akhirnya sidang pertama berjalan lancar. Pengacara yang dikenalkan oleh Mas Rafi sangat banyak membantuku. Baik dalam menangani kasus ataupun menenangkanku. Pria yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi banyak uban tersebut membuatku merasa optimis akan memenangkan gugatan ini.Terlebih lagi saat ini Mas Ilham tidak hadir di persidangan. Dia beralasan kalau tidak bisa hadir karena banyaknya urusan kantor yang harus dia selesaikan, mengingat beberapa hari yang lalu dia tidak masuk karena Alta sakit kemarin. Tapi kalau seperti yang dia inginkan untuk mengajakku kembali bersama, tentu dia tidak akan mungkin melewatkan kesempatan sidang ini untuk kembali membujukku. Apa semua ini ada campur tangan dari Mas Rafi, agar Mas Ilham tidak dapat menghadiri sidang? Ah, kenapa aku jadi berpikiran negatif tentang Mas Rafi? Lagipula, Mas Rafi juga tidak punya kuasa
Begitulah hari-hari yang telah kami lalui selama beberapa minggu ini. Sidang demi sidang telah kulalui, meski tak satupun yang dihadiri oleh Mas Ilham. Aku juga tidak mengerti. Yang jelas, Mas Ilham tampak kesal dengan kebijakan kantor, yang akan segera memecatnya jika dia berani bolos kerja walau dengan alasan menghadiri sidang. Sefatal itukah posisi Mas Ilham, sehingga dia tak bisa lagi berkutik dengan ultimatum dari kantor? Mas Rafi bahkan diam saja tak berniat menjawab saat aku mulai untuk mengorek informasi. "Sudahlah, Nay. Ini semua demi kebahagiaan kamu. Kamu juga akan tahu sendiri bila nanti sudah tiba saatnya."Lagi-lagi Mas Rafi seperti itu. Kenapa semua rahasia yang dia sembunyikan demi aku? Lalu apa hubungannya semua ini dengan perpisahanku dengan Mas Ilham?Tapi saat ini posisiku benar-benar sudah bebas. Aku benar-benar sudah sah bercerai dari Mas Ilham. Baik secara agama, ataupun sah secara hukum. Tentu saja Mas Ilham tidak terima begitu saja. Berulang kali dia memoh
Sudah sebulan berlalu usai perceraianku. Selama itu pula hampir setiap hari Mas Ilham menanyakan keberadaanku. Dia terlihat sangat menyesal dan frustrasi karena kini hidupnya berantakan. Dari kabar yang kudengar dari Mas Rafi, Mas Ilham tak dapat lagi bertingkah sesuka hati di kantor. Melakukan kesalahan sedikit saja, maka perusahaan akan langsung memecatnya. Namun lagi-lagi hanya sebatas itu saja yang diceritakan oleh Mas Rafi. Terkadang aku juga merasa kesal dengan sikap Mas Rafi yang penuh dengan tanda tanya. Banyak hal yang belum ku ketahui mengenai dirinya. Bahkan dari kabar yang kudengar, Viona masih setiap hari mendatangi rumah lama kami dengan alasan mengurus Alta. Lantas hubungan apa yang mereka jalani saat ini? Kumpul kebo? Aku juga sangat merasa kesal karena sampai detik ini, Mas Rafi belum juga memberi tahuku siapa pemilik rumah itu sekarang. Atau seandainyapun dia belum menjualnya, bukankah dia juga punya hak untuk mengusir mereka? Kenapa dia masih diam saja melihat
"Kamu sudah tidur, Nay?" ucapnya berbasa-basi. Dia pasti tahu betul kalau saat ini kami baru saja menutup toko. "Belum, Mas. Nay masih bersantai.""Oh, syukurlah. Mas hanya takut mengganggu saja.""Tidak, kok. Ada apa, Mas?""Begini Nay, Ilham sudah ada memberi kabar sama kamu?""Kabar apa, Mas?""Ilham bilang dia akan menikahi Viona minggu depan.""Benarkah itu, Mas?"Entah kenapa tiba-tiba saja perasaan ini tersentak seperti tersambar petir. Baru saja sebulan kami berpisah secara sah, dan dia sudah mau langsung menikah? Benar-benar tidak punya malu. Aku sama sekali tidak tahu perasaan apa yang membuatku marah untuk saat ini. Apakah karena tidak rela melihat mereka berbahagia, ataukah karena perasaanku dulu belum terhapus seluruhnya? Ah entahlah. Sulit sekali mengerti dengan perasaanku sendiri. Kuakui memang selama ini aku tak pernah lagi memikirkan tentang Mas Ilham. Namun kenapa mendengar dia akan menikah, hatiku terasa perih?Apa karena selama ini aku merasa dibohongi, karena
Bibirku terasa kelu saat hendak bertanya apa alasannya. Entah kenapa. Mungkin aku hanya takut kecewa mendengar jawabannya yang sangat jauh berbeda dengan apa yang ingin aku dengar. Diapun sama saja, hanya meminta tanpa memberi alasan. Tidakkah kami sama-sama terjebak dengan perasaan sendiri? Ah sudahlah. Biarlah kali ini aku mengalah. "Terima kasih ya, Nay. Mas merasa lega mendengarnya.""Iya, Mas. Tanpa Mas minta pun sebenarnya Nay juga akan melakukan hal yang sama. Toh Mas Ilham juga akan segera menikah. Nay tidak mau menjadi wanita seperti Viona, mengganggu laki-laki yang sudah punya istri.""Oh, begitu ya. Ya sudah, apapun alasannya Mas sudah merasa senang karena akhirnya kamu bisa moveon dari Ilham.""Iya, Mas. Terima kasih ya atas perhatiannya. Sudah dulu ya, Mas. Sudah malam, Nay mau mandi dulu," ucapku mengakhiri panggilan.Diapun setuju setelah mengucapkan selamat malam kepadaku. Aku meletakkan gawai secara asal di tempat tidur. Kembali memikirkan tentang pernikahan Mas Ilh
"Jadi, kamu pengasuh barunya Alta?" sindirku. "Kesini naik apa? Naik angkot?" aku tertawa getir. Wajahnya kian memerah menahan malu. Malu karena apa yang dulu dia ucapkan sekarang berbalik kepadanya. "Heh, enak saja kamu mengataiku pengasuh. Aku ini calon istrinya Mas Ilham. Jadi kamu jangan mencari-cari alasan untuk menarik perhatian Ilham melalui anaknya. Mas Ilham tidak akan lagi tertarik sama kamu."Aku kembali tertawa. Merasa lucu dengan semua ocehannya. Seandainya kutunjukkan semua isi chat Mas Ilham yang seperti pengemis menghiba dan memohon agar aku kembali padanya, mungkin dia tidak akan punya muka lagi untuk berhadapan langsung denganku.Tapi biarlah, aku masih mengingat pesan Mas Rafi kemarin. "Biarkan mereka menikah, Mas janji akan menuruti permintaan kamu untuk segera membuat mereka angkat kaki dari rumah itu."Baiklah, kalau Mas Rafi sudah berjanji seperti itu. Kita lihat saja nanti, sesombong apa kalian nanti saat tak lagi memiliki rumah. Haruskah kalian tidur di mo