Mobil yang di kemudikan Oleh Xandro berhenti tepat di depan restauran jepang yang berada di negara itu-irlandia. Lahan parkir yang mulai tak tersisa itu, ia memakirkan mobilnya dengan baik. Xandro yang duduk di kursi pengemudi, tangannya bergerak membuka sabuk pengaman yang membentang di tubuhnya.
Begitu juga dengan Venna yang duduk di kursi penumpang depan mengikuti pergerakan Xandro. Melepaskan juga sabuk pengaman dirinya dan membuka pintu mobil. Kaki jenjangnya menuruni mobil tersebut.
Xandro yang telah lebih dulu berada di depan Venna, mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. Saat ia hendak keluar dari mobil.
"Hmmm...." Xandro mengangguk pelan di sertai senyuman melengkung di wajah tampannya. Dengan tangan yang di ulurkan ke depan gadis itu. "Sini, aku bantu!"
"Ah..Iya." Tentu saja Venna mengerti apa maksud Xandro. Dengan senang hati, Venna meraih tangan sang kekasih. Sentuhan tangan Xandro begitu saja menyejukan suasana hati Venna. Secara tidak langsung melalui sentuhan tangan itu seolah mengalir begitu saja aliran yang menyengat. Menggetarkan jiwa yang tengah di mabuk asmara. Lelaki itu memang sudah berniat membawa kekasihnya makan malam di luar. Setelah ia selesai dengan tugasnya di kantor.
"Apa kau sudah merencanakan ini sebelumnya?" tebak Venna melalui pertanyaannya itu.
Xandro tergelak kecil. Mendengar Venna menginterogasinya. " Kau benar. Ini semua hanya untuk mu!" Xandro mencium punggung tangan Venna.
"Ah.. benarkah? hmm..mh." Venna semakin mereratkan genggamannya. Dan menempelkan kepalanya di bahu Xandro.
Kebetulan jadwal yang ia miliki bersama sang pimpinan tidak terlalu padat. Hingga kini ia menggandeng tangan kekasihnya itu memasuki restauran. Seolah menunjukan pada mata yang menatap kearah mereka, jika mereka adalah sepasang kekasih. Mengayun langkah beriringan hingga mereka memilih meja yang tengah kosong-Dekat kaca yang tembus pandang.
"Duduklah, sayang." Xandro yang begitu romantis di mata Venna malam ini. Menduduki kursi yang baru saja ditarik oleh Xandro. Mempersilahkan gadis itu untuk menduduki kursi tersebut.
Ia pun segera duduk di kursi yang berhadapan dengan Venna. Setelah memastikan bahwa kekasihnya itu telah duduk dengan baik. Xandro mengedarkan pandangannya. Saat dua jari tangannya di jentikan ke udara.
Tentu saja seorang pramusaji pria menghampiri meja mereka. Setelah ia menangkap sinyal dengan ke dua matanya. Sepasang kekasih duduk yang terlihat dari pandangannya.
Dengan langkah lebar namun terkesan santai, ia pun telah sampai di meja Xandro dan Venna. Seragam yang di kenakan olehnya cukup rapi. Paramusaji itu membungkukan kepalanya, kemudian mengangkatnya kembali. Mendengarkan serta tangan yang bergerak dengan sebuah tinta di atas kertas putih mencatat apa yang di ucapkan oleh Xandro atas pesanan yang di pinta. Setelah selesai, ia pun pergi dari sana.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini, sayang? apa semua berjalan dengan baik? Hemm.." Venna menyangga dagu dengan kedua tangannya. "Nampaknya kau begitu bahagia hari ini."
"Ah...tidak. Maksud ku, semua berjalan semestinya sayang. Tidak ada yang membuat ku sulit hari ini." Xandro menarik tubuhnya mendekati meja. Tangannya mengulur menarik hidung kekasihnya itu. "Termasuk merencanakan ini semua, membawa mu kesini."
"Oh..iya?!" Venna terkekeh."Aku mencintai mu, Xandro"
"Aku juga mencintai mu."
Venna mendesah berat. Menjatuhkan kedua tangan yang ia gunakan untuk penyangga dagunya tadi. Ucapan Xandro membuatnya teringat satu hal yang belum pasti. Seakan ucapan lelaki itu hanya pemanis semata. Sorot matanya menangkap manik mata Xandro. Mencari celah di balik pencahayaan mata bermanik ke cokelatan itu." Jika apa yang kau ucapkan itu benar, lalu apa yang membuat mu selalu menunda untuk melamar ku? Hmmm.."
"Aku butuh kepastian," tambahnya.
Sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari manik lelaki itu. Venna mencoba mendapat jawaban yang akan merubah statusnya. Lantas juga dengan hidupnya-Menjadi Nyonya Xandro.
Xandro terdiam. Seakan ada hal yang menghambat aliran ludahnya untuk menelan. Ia pun tau, jika kekasihnya itu sudah beberapa kali menanayakan hal ini padanya.
"Aku akan segera melamar mu secepatnya. Tapi...tidak sekarang. Aku harap kau mengerti." Xandro mengusap lembuta tangan Venna yang berada di genggamannya.
"Mmh..." Venna memejamkan matanya sejenak sambil tarikan napas yang ia ambil, memberi sensasi pada bahu yang juga ikut melorot saat napas yang ia hembuskan perlahan." Aku akan menunggu kepastian dari mu, Xandro. Tapi... Aku harap tidak menunggu lama lagi."
"Aku jan--"
Ucapan Xandro terhenti, sebab Venna menyela dengan cepat." Aku tidak butuh sekedar ucapan. Aku butuh bukti dengan kau bertindak melamar ku, Xandro.
"Dan kau tahu...Aku bahkan sampai bermimpi menaiki pelaminan dengan gaun indah membaluti tubuh ku. Andaikan itu kenyataan!"
Xandro terdiam. Setiap ucapan Venna begitu jelas ia dengar. Manik mata Venna yang indah, membuat Xandro tidak mampu menatap terlalu lama. Menunduk, tapi entah tersentuh atau tidak hatinya, yang pasti Venna sekarang mengambil alih menyuarakan kembali.
"Hai...." Venna menarik hidung Xandro membuat lelaki itu tersentak dari lamunannya." Kau tenang saja, aku akan menunggu mu. Asalkan kau tetap setia disisi ku, ok."
Xandro tersenyum getir." Aku hanya untuk mu, Venna."
Venna mengangguk, seulas senyum menghiasi raut wajahnya." Aku percaya!"
Perhatian mereka teralihkan saat pramusaji membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka. Menaruhkan satu persatu piring yang berisi makanan itu. Serta minuman yang mereka pesan.
***
Sesampainya Venna di apartemen milikinya, ia merebahkan tubuh di atas kasur berukuran besar tersebut. Menatap keatas dengan tangan di biarkan membentang. Namun deringan gawai miliknya memecah kesunyian malam di dalam sana.
Venna menegakan tubuhnya kembali. Berjalan mendekati sofa. Tas yang ia bawa tadi berada di sana. Dengan ponsel yang terus berbunyi di dalam sana.
"Hallo..." Venna menempelkan benda pipih itu ditelinganya." Ada apa kau menghubungi ku?"
"Hai... Aku di depan apartemen mu, kau cepat keluar." Tutur Gina yang tengah berdiri di luar.
Tanpa ucapan, Venna mematikan gawainya. Melangkah menuju pintu. Tangannya meraih gagang pintu dan menampakan sahabatnya dibalik pintu itu." Kenapa kau datang malam sekali."
Tanpa di suruh, Gina menerobos masuk menarik koper miliknya. " Aku sudah lama berada di luar sana. Menunggu kau pulang. Apa tidak ingat, kau juga baru pulang? Hmmm...menyebalkan."
Venna menutup kembali pintu. Mengekori sahabatnya itu dari belakang. Langkah mereka sama-sama terhenti dekat sofa. Gina dan Venna mendarat menduduki sofa itu.
"Bagaimana kencanmu hari ini?" Gina menyandarkan tubuhnya yang lelah itu pada sandaran sofa.
"Biasa-biasa saja. Apa yang istimewa emangnya? " Venna menatap Gina dengan sudut matanya.
"Ve..ve.." Gina menyunggingkan senyumannya ke gadis itu yang tengah memasang muka masam terhadapnya. "Aku kira kau mendapatkan kabar baik-Dia melamar mu."
"Semua butuh persiapan, Gina. Termaksud mental. Menikah itu bukan perkara hal yang mudah. Kau tau itu!"
Gina mengangguk. Bola matanya memutar lemas. " Kau tahu Ve.. Dia cukup mapan untuk melangkah ke pelaminan. Posisinya aku rasa cukup baik. Mungkin kau benar... Dia butuh persiapan mental."
"Jangan sampai dia menggantungkan hubungan kalian. Aku harap, kau mengerti!" Gina beranjak dari duduknya meninggalkan Venna yang tengah membisu.
Venna hanya bisa menghela napas. Ucapan Gina sebagai sahabat, mungkin bisa ia masukan sebagai nasehat untuk dirinya. Namun, kembali lagi kepada dia yang menjalin hubungan dengan lelaki itu. Selama ini mereka cukup baik dalam menjalankan hubungan. Tanpa ada hadirnya orang ketiga atau perihal yang lainnya.
Venna beranjak dari duduknya, melangkah menuju balkon tempat ia melihat semua bintang dan bulan beriringan menyinari germerlapnya malam.
'Aku mencintai mu Xandro, sangat menyayangi mu. Aku harap kau bisa membuktikan pada dunia jika kau layak berada di sisi ku. Tanpa ada yang meragukan hubungan kita.' Batin Venna yang iku hanyut dalam kesunyian malam.
Bersambung..
Jangan lupa like dan rate ya kakak untuk cerita ini..🤗🤗🙏🙏
Pagi hari, fajar menyising kembali pada malam yang mulai memudar. Hingga langit malam telah berganti terangnya di pagi hari dengan sang surya mulai merangkak naik. Ke dua gadis yang berada di atas tempat tidur masih meringkuk di dalam selimut yang menutupi tubuh mereka. Hingga suara dengkuran Gina menusuk gendang telinga Venna yang berada di dekatnya.Gadis itu memang di minta oleh Venna itu tinggal di Appatemen miliknya siang kemaren dan malamnya di telah berada di apartemennya. Rasanya Venna membutuhkan seorang teman untuk berganti cerita. Tinggal sendirian di sana, membuat gadis itu merasa bosan. Dan perdebatan semalam membuat Venna semakin melelahkan jiwa yang tengah di landa ke gelisahan.Namun tidak menutup kenyataan, hingga saat ini dia masih menyandang status pacaran, kekasih dari lelaki itu. Semakin Venna menyenyakan tidurnya, namun semakin dengkuran Gina menggusar kenyamanan lelapnya.Alis yang
Di sebuah ruangan, tampak beberapa orang saling bertukar jabatan tangan dan melempar senyuman. Pertemuan yang telah di rencanakan itu, membuahi hasil. Mereka terikat dalam sebuah proyek yang akan saling menguntungkan ke dua belah pihak.Namun, kali ini beda. Proyek yang akan di jalani, bukanlah proyek biasa dari perusahaan yang tengah di incar oleh perusahaan yang lain. Dan tidak mudah bagi perusahaan lain untuk mendapatkan kontrak kerja sama dengan perusahaan tersebut.Dan lihat, bagaimana seorang wanita bernama Gresya Zivanka berumur 24 tahun terbilang muda itu dengan mudah, ia mendapatkan kerja sama tersebut. Wanita yang mempunyai lekuk tubuh mempesona itu, mampu menghinoptis dua lelaki di hadapannya."Semoga kerja sama kita berjalan dengan lancar," tutur lelaki yang berbadan tegap bernama Kenan. Manik matanya begitu lihai menelusuri setiap inci tubuh Gresya yang tengah menyambut jabatan tangannya.
Xandro kembali ke ruangannya. Meninggalkan Gresya yang masih terpaku di dalam ruangan pertemuan tadi. Meletakan berkas yang sedari tadi ia pegang diatas meja kerjanya tersebut.Entah mengapa, raut wajah kekesalan Gresya atas pengakuannya,malah membuat dia menahan senyum di hadapan wanita itu. Dan Xandro menumpahkan senyuman yang di tahan sedari tadi, tepat saat ia mendarat duduk di kursi kerjanya. Seperti orang gila, tersenyum-senyum sendiri.Seketika ia tersadar dari senyuman itu. Tangannya memeriksa jadwal yang mungkin saja akan melibatkan dia dan Gresya bertemu kembali. Dan sekali lagi ia merasa senang. Terlihat dari lengkungan bibir membentuk senyuman. Untuk hari ini ia rasa cukup berdebat dengan wanita itu.Kalau boleh memilih, Xandro lebih senang berkerja dengan Tuan William. Dari pada bersama Gresya. Apa boleh buat, semua di putuskan oleh Tuan William. Dia menempatkan Xandro kepada perusahaan yang di kelola Gresya. Wanita yan
Saat hendak mengantarkan Alex, Xandro menghentikan mobilnya di dekat pedagang kaki lima. Pedagang dengan gerobak bertulisan nasi goreng. Membaca tulisan "nasi goreng" tentunya membuat Xandro teringat akan makanan kesukaan dari seorang wanita.Siapa lagi, wanita itu ialah Venna. Dia sangat menyukai menu makanan tersebut. Apalagi pedagang itu telah menjadi langganan Venna."Xan...kau mau ngapain? kenapa kita berhenti disini?" tanya Alex."Kau tidak lihat, tulisan itu?" jawab Xandro."Ah..aku tau, kau mau traktir aku makan?" Alex mendorong gagang pintu mobil."Ayo...kebetulan aku lapar.""Terserah kau saja!"Mereka pun keluar dari mobil. Mendekati pedagang kaki lima itu. Xandro dan Alex memesan makanan mereka. Tidak lama menunggu, pesanan telah di sajikan kehadapan mereka."Xan...kenapa lo mau sih, makan disini?" tanya Alex. Ucapannya sedikit di pelankan. Al
Hari demi haripun berlalu begitu cepat. Semenjak kedatangan Pak Zainal di apartemen Venna. Semenjak itu Venna tidak lagi menutup komunikasi antara dia dan sang Papa. Ia sadar, tidak harus menjauhi Papanya. Jika jarak dia dan papanya semakin renggang akan lebih mudah bagi Sellin Karlina-mama sambung, memperngaruhi pikiran sang Papa. Bisa jadi harta menjadi incaran Sellin. Jadi, Venna memutuskan untuk membuang sedikit egoisnya. Demi menyelamatkan Papa dari cengkreman wanita itu.Dia membiarkan Papanya menyadari siapa wanita yang di sampingnya suatu saat ini. Yang terpenting, hubungan dia dan sang Papa baik-baik saja.Hari ini Venna telah mempunyai janji dengan sang Papa. Pak Zainal mengajak Venna untuk makan siang di luar tidak jauh dari kantornya. Sekarang Venna telah menuju ke sana. Meninggalkan Cafe yang di kendalikan oleh Gina.Sinar sang surya begitu terik menyinari alam semesta. Terjebak di kemacetan suatu hal yang s
Siang itu, Xandro dan Gresya menghadiri meeting. Semenjak meeting itu di mulai, Xandro mencoba menjelaskan kepada kliennya, atas produk yang akan mereka luncurkan.Sepanjang penjelasan, klien mereka sangat mempusatkan perhatiannya pada materi yang di sampaikan oleh Xandro. Seolah semua yang di sampaikan lelaki itu dengan bahasa yang di gunakan Xandro juga tidak berbelit-belit. Memudahkan kliennya mengerti apa maksud dan tujuannya.Gresya yang berada tidak jauh dari Xandro, perhatiannya sedari tadi tersita oleh lelaki itu. Bukan dengan apa yang telah di sampaikan oleh lelaki itu, tetapi manik matanya sama sekali tidak beralih pada wajah tampan Xandro. Matanya berbinar-binar, lelaki yang di hadapannya itu, seorang sekretaris yang sangat handal. Di mata Gresya dia sangat berwibawa.Pantas saja Tuan William-Sang Papa, terus memuji dia sebagai sekretaris terbaik di perusahaan mereka. Berkat Xandro juga, perusahaan Tuan William berkembang
Sebuah mobil sedan melesat di jalanan yang sepi kendaraan. Dengan kecepatan diatas rata-rata. Hingga meninggalkan deruman mesin yang membekas di pendengarnya.Sorotan mata tajam bak elang menyambar ke jalanan yang lurus. Ia tidak memikirkan apa yang akan terjadi padanya, jika tetap dalam kecepatan tinggi tersebut. Tidak terpikir olehnya, bahwa nyawa dia dalam bahaya. Dia sama sekali tidak memikirkan hal itu.Dia hanya memikirkan bagaimana rasa sakit yang menghujamnya sedari tadi bisa terurai. Jika dengan cara mengendarai dengan kecepatan tinggi bisa menghilang rasa yang tersulut sakit itu, kenapa tidak? Begitu-lah pikiran yang tidak lagi dapat disadarkan.Namun, seseorang yang melintasi jalanan itu, membuat wanita di dalam mobil tersebut terperanjak. Kedua bahunya ikut terangkat kemudian terhuyun seiring rasa terkejutnya dari lamunan itu tersadar.Tetapi karena ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mem
Sepasang kaki melangkah lebar kearah ruang Direktur Utama. Membawa beberapa lembar berkas yang hendak di tanda tangani. Kaki jenjang yang di tutupi oleh celana bahan, tampak pas di kenakan olehnya.Dengan langkah tegap, sorotan mata terkesan dingin berhenti di depan pintu ruangan tersebut. Tangannya bergerak mengetuk pintu ruangan itu. Hingga terdengar dari dalam sahutan menyuruh masuk.Tangan lelaki itu, yang tak lain Xandro bergerak mendorong gagang pintu. Hingga terdengar suara decitan dari pintu itu. Tampak seorang wanita duduk dengan nyaman di kursi kerjanya. Membelakangi Xandro yang kita telah di dekat meja kerjanya itu."Selamat pagi, Nona. Ada beberapa berkas yang harus anda tanda tangani. Dan satu jam lagi ada meeting penting dengan klien kita dari Australia." Kata Xandro.Manik matanya kepada sang Direktur belum juga lepas. Sebab, sang Direktur masih membelakangi Xandro. Dia masih bergeming. Hingga p
Dalam hati yang begitu hancur, tangan Venna menggusar rambutnya. Membenamkan wajah pada kedua lututnya. Hati yang remuk redam membuat Venna tidak dalam pikiran jernih lagi. Selang infus yang tersemat di tangan, Venna mencabut dengan paksa. Kakinya bergegas turun dari tangga. Langkah yang terseok-seok, ia mencoba untuk keluar dari ruang rawat itu. Setelah berada diluar, Venna mencoba menelisik sekitar sana. Melihat keadaan sepi tanpa seorangpun yang lalu lalang, ia bergegas menjauh dari ruang rawatnya tersebut. Sangat berhati-hati, akhirnya Venna dapat juga keluar dari rumah sakit. Tidak tahu arah dan kemana tujuan Venna, ia hanya terus berlari di pinggir trotoar. Tubuh gemetar yang di rasakan Venna, membuat ia berhenti sejenak. Ia yang berada ditengah masyarakat tengah lalu lalang, Venna tidak memperdulikan tatapan penuh tanya dari orang lain yang tertuju untuknya. "Aku harus menemui Xandro. Aku yakin dia pasti masih sangat mencintaiku."
Suara pendeteksi detak jantung dengan konstan berbunyi di ruangan sunyi, senyap. Dari bunyian mesin, menandakan jika di ruangan itu terdapat makhluk hidup sedang bernapas, berdetak. namun, matanya terpejam rapat. Ya, dia adalah Venna Marlinda.Venna belum sadarkan diri. Setelah dia ditemukan semalam, tergeletak di jalanan. Gina yang belum melihat tanda-tanda Venna pulang, ia mencemaskan sahabatnya itu. Ketika ia menghubungi Venna, namun teleponnya tidak ada jawaban. Begitu pula dengan nomer ponsel Xandro. Gina pun mencari keluar menggunakan taksi.Tidak jauh dari apartemennya, Gina melihat seorang wanita tergeletak di jalanan. Dari pakaian yang terlihat oleh Gina, tentu saja ia tahu kalau itu adalah sahabatnya.Gina membawa Venna langsung dengan taksi yang ia tumpangi tadi menuju rumah sakit terdekat.Gina terbangun saat bunyi pintu terbuka. Di balik pintu itu menampakan Papa Zainal. Sebelumnya, ia menghubungi Papa Zainal. Mengabari keadaan wanita i
Tidak dalam sepenuhnya sadar dari rasa kantuk semenjak tadi menggelayut manja di mata Venna, ia mencoba membalikkan badan. Nanar matanya, menangkap manik mata Xandro. Lelaki itu masih sama terdiam semenjak ucapannya mengudara.Udara yang mulai terasa dingin pada malam hari yang di taburi bintang di atas sana, sangat bercahaya terang. Sesuai dengan apa yang di rasakan oleh Venna. Perasaan yang sempat di buat bahagia oleh Xandro dan bagaikan di atas awan. Seketika terhenyak, jatuh serta remuk menahan sakit.Venna berharap dan meminta apa yang di dengar olehnya, tidak sebuah kenyataan. Mungkin saja ia salah, bisa jadi juga efek dari rasa kantuk yang ia rasa. Ingin sekali ia meminta tuli saat ini juga. Tapi, ia lebih baik memastikan dulu ucapan itu benar atau tidaknya."Boleh aku mendengarnya sekali lagi? Ah, tadi aku kurang menangkap ucapanmu sayang. Takutnya aku salah dengar." Tidak, ucapan Xandro tentu jelas terngiang di telinga Venna. Ia hanya beralasan se
Mobil yang di jalankan Xandro membelah jalanan. Ada hal yang berbeda dari suasana di mobil kali ini. Xandro lebih banyak diam. Menampakan garis-garis halus di sela-sela alis yang di kerutkan itu. Tatapannya lurus ke depan. Namun, penuh sendu. Seperti banyak beban yang ia pikul.Venna sungguh di buat heran atas sikap kekasihnya itu. Baru seminggu ini dia tidak bertemu, sudah membuat Venna tidak mengenali sifat Xandro yang ia lihat hari ini."Sayang, kau kenapa?" Venna tidak bisa berdiam diri menanyakan keadaan lelaki itu.Tetapi seruan Venna, tidak membuat Xandro tersadar dari diamnya. Venna memegoyangkan bahu Xandro."Sayang ..."Xandro terjingkrak dari lamunannya. Hingga membuat bahunya ikut terangkat. Lalu menoleh pada Venna yang tengah menatapnya penuh rasa kekhawatiran.Xandro menggeleng samar. Ia mencoba menerbitkan senyuman di balik rasa gelagapan."Ti-tidak, A-aku tidak apa.""Kau yakin tidak apa?!" selidik Venna. Merasa kurang pe
Genap sudah satu minggu Xandro di rumah. Sekarang ia telah masuk kembali ke kantor, tanpa pengetahuan Gresya. Wanita itu tengah berada di luar kota. Semenjak kedatangannya ke rumah Xandro beberapa hari lalu.Sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing membuat hubungan Xandro dan Venna hanya komunikasi lewat pesan singkat. Selama itu juga Venna tidak mengetahui Xandro tidak bekerja.Drrrt...drrrt...Getaran ponsel terdengar riuh di atas meja kerja Xandro. Ia menoleh pada benda pipih yang menyala itu."Hallo," seru Xandro datar."Hay, sayang, maaf ya aku baru bisa menghubungimu. Aku rindu!" ucap Venna. Bibir yang cemberut dan wajah yang tiba-tiba sendu menggambarkan isi hatinya yang tengah memendam kerinduan mendalam pada sang kekasih."Kau tidak sibukkan hari ini? Gimana kalau kita jalan? Aku kebetulan lagi gak banyak pengunjung."Xandro mendengar, tapi raut wajahnya tidak menanggapi wanita itu. Sorotan matanya kosong memandang ke dep
Hari demi hari terus berganti. Dan hari ini, sudah hari ketiga Xandro tidak masuk kerja. Menghabiskan waktu di rumah. Berdiam diri seraya mempulihkan kembali kesehatan. Istrirahatkan diri dari pekerjaan sementara waktu. Ya, itu yang di harapkan oleh Xandro. Tapi sayang, tubuhnya semakin terasa lelah. Darah yang mengalir di hidungnya masih saja keluar.Bahkan, kini berpengaruh pada nafsu makannya. Seharian ini, hanya tiga suap yang bisa ia telan. Bersyukur Pak Tio bisa masak. Dia yang membuat bubur untuk Xandro.Sudah tiga hari ini juga, Venna hanya bisa mengirimkan pesan pada Xandro. Dewi Fortuna tengah berpihak padanya. Cafe-Venna, sedang di padati pengunjung. Sehingga dia ikut langsung turun tangan melayani pengunjung.Tetapi, semua itu malah di syukuri oleh Xandro. Setidaknya ia tidak perlu berbohong pada Venna. Dia hanya istirahat yang cukup, serta minum obat yang di berikan Dokter Jino. Lelaki itu sebagai Dokter langganannya, meradang amarah. Ia sudah
Pulang dari kantor, Xandro melajukan mobilnya menuju cafe Venna. Ia telah berjanji membawa wanita itu untuk nonton di sebuah bioskop.Sesampainya di cafe, wanita itu melempar senyuman pada Xandro. Kaki jenjang Venna mulai mengayun mendekati mobil lelaki itu."Maaf, lama membuatmu menunggu!" titah Xandro."Tidak apa! ayo kita berangkat, sayang!"Mobil pun kembali di lajukan oleh Xandro pada jalan beraspal itu. Sepanjang perjalanan, Venna mengikuti alunan lagu yang di putar. Sekali-kali ia melirik Venna dari kaca spion. Xandro ikut menerbitkan senyuman di raut wajahnya.Senyuman begitu mekar, perlahan menyurut. Perasaan gundah itu kembali menyentak dalam ingatan Xandro. Ia bahagia, bahagia melihat wanita yang dia cintai itu begitu nyaman di dekatnya.Apa bisa dia akan membuat kekasihnya selalu bahagia? Mengingat... Ah, rasanya tidak sanggup untuk membayangkan semua ini. Setidaknya, dia sebisa mungkin tidak akan melukai hati wanita
Siang hari di kantor, Gresya melangkah lebar masuk dari parkiran menuju kantor. Setelah selesai meeting dengan klien di sebuah restauran. Melewati setiap karyawan yang ia lalui.Ia mengetahui bahwa Xandro masuk kerja hari ini. Setelah kemaren kesehatannya terganggu sampai harus di bawa kerumah sakit. Seharusnya lelaki itu di rumah, sampai ia benar-benar sehat. Dan itu membuat Gresya tidak menyangka, bahwa Xandro memaksakan diri untuk kembali bekerja.Rambut yang diikat ekor kuda itu, berayun mengikuti gerak tubuhnya. Berjalan bak model. High Heels yang ia kenakan saling berbenturan di lantai marmer.Setiap mata yang melihat wanita itu, menunduk seraya memberi hormat pada atasan. Begitu juga dengan Alex. Namun, pria itu tidak mengalihkan pandangannya. Dia terus mematri pergerakan wanita itu. Hingga hilang di balik pintu ruang Xandro yang di buka olehnya.Sesampainya Gresya di dalam ruangan Xandro, raut wajah lelaki itu tampak tegang
Alex telah sampai di rumah sakit yang di sebutkan oleh Gresya lewat pesan itu. Memakirkan mobil di basement. Langkah lebar Alex kini memasuki rumah sakit. Ia langsung menuju meja resepsionis. Untuk menanyakan ruang dimana lelaki itu dirawat. Wanita itu tidak memberitahu di ruang mana lelaki itu berada."Permisi! Maaf, Nona, pasien atas nama Xandro julius diruang berapa, ya?" tanya Xandro kepada seorang wanita di meja resepsionis. Dengan seragam khas rumah sakit itu."Tunggu, sebentar!" wanita itu langsung mengecek daftar nama pasien yang masuk hari ini.Alex mengangguk tegas. Matanya masih mematri wanita cantik itu. Dengan wajah oval, mata bulat, hidung tinggi minimalis. Ah...dia benar-benar cantik."Tuan, pasien berada di lantai sembilan no 28," ucap wanita itu. Dahinya di buat mengerut melihat lelaki dihadapannya tidak berhenti tersenyum."Tuan..." Wanita dengan seragam rumah sakit itu melambaikan tangan di wajah Alex."Tuan, apa Anda baik-b