Pagi hari, fajar menyising kembali pada malam yang mulai memudar. Hingga langit malam telah berganti terangnya di pagi hari dengan sang surya mulai merangkak naik. Ke dua gadis yang berada di atas tempat tidur masih meringkuk di dalam selimut yang menutupi tubuh mereka. Hingga suara dengkuran Gina menusuk gendang telinga Venna yang berada di dekatnya.
Gadis itu memang di minta oleh Venna itu tinggal di Appatemen miliknya siang kemaren dan malamnya di telah berada di apartemennya. Rasanya Venna membutuhkan seorang teman untuk berganti cerita. Tinggal sendirian di sana, membuat gadis itu merasa bosan. Dan perdebatan semalam membuat Venna semakin melelahkan jiwa yang tengah di landa ke gelisahan.
Namun tidak menutup kenyataan, hingga saat ini dia masih menyandang status pacaran, kekasih dari lelaki itu. Semakin Venna menyenyakan tidurnya, namun semakin dengkuran Gina menggusar kenyamanan lelapnya.
Alis yang sengaja menyeringit itu, hingga menampakan kerutan halus dan mata yang mulai perlahan mengerjap membuat pandangan Venna sedikit buram menatap Gina."Salama aku menjadi sahabatnya, baru kali ini aku tahu tidurnya mendengur. Mengganggu saja!"
"Gina...bangun! dasar, cantik-cantik tidur mendengkur!" cetus Venna. Mendudukan tubuhnya dari tidur yang cukup nyaman di atas sana.
"Mmmm..."Gina meregangkan ototnya. "Kenapa kau membangunkan aku. Aku masih ngantuk."
"Ini sudah pagi. Ayo..bangun." sahut Venna. Ia pun beranjak dari tempat tidur. Melangkah menuju kamar mandi.
***
"Kau sudah siap, ayo kita berangkat." Ujar Venna. Meraih tasnya yang di sofa menyandangkan tas tersebut pada bahunya. Lalu melenggang menuju pintu. Di ikuti oleh Gina dari belakang yang telah bersiap juga untuk pergi.
Saat Venna hendak mengunci pintu, "tunggu." Venna merogoh tasnya, mencari kunci mobil di dalam sana.
"Jangan bilang kau melupakan sesuatu. Teledor bangat sih, jadi orang." Sembur Gina.
"Kau tunggu aku di mobil." Tidak peduli apa yang di ucapkan oleh Gina, ia pun kembali masuk ke dalam Apartemen. Gina menuruti perintah Venna. Ia pun berlalu dari sana.
"Belum tua, sudah pikun." Umpat Gina.
Venna sungguh lupa dimana Ia meletakkan benda tersebut. Setelah semalam kunci itu di berikan ke tangannya oleh Gina. Karena Venna menyuruh Gina untuk pulang dan mengemaskan barangnya dari tempat kosnya dia. Pagi ini, dia melupakan benda tersebut. Itu suatu kesalahan yang ia sesali saat ini. Membuat dia mengulur waktu pergi ke cafe.
Entah di mana mengumpatnya benda itu, hingga desahan kekesalan keluar dari kerongkongannya. Melihat sekitar kamarnya berantakan akibat di geledah olehnya sendiri." Astaga.. Dimana kunci itu aku letakan."
Venna memijit pelipisnya lalu berlanjut pada rambut yang di gusar oleh tangannya. Ia mencoba mengingat hingga langkahnya mengikuti pergerakan malam kemaren yang terlintas di pikirannya. Mana tau, ia bisa menemukan kunci tersebut.
Namun langkahnya terhenti saat ia keluar dari kamar. Tatapan yang tadinya menunduk kebawah, Venna perlahan mengangkat wajahnya ketika kedua manik matanya melihat sepasang sepatu pentofel berwarna hitam legam berada di hadapannya. Celana hitam bahan menutupi kaki jenjang dan kemeja hitam melekat rapi pada tubuh pria paruh baya bernama Zainal Abdulah.
"Papa?!" Satu kata itu menyentakan dia dari kegusaran, melupakan sejenak dari benda yang ia cari." Ngapain Papa kesini?" tanyanya dengan nada ketus.
Bukannya marah dengan ucapan Venna, lelaki itu hanya tersenyum lebar. Menampakan gigi sedikit kuning itu. Kerutan dari wajahnya menampakan umurnya memang sudah tidak lagi muda. Tentu saja begitu, sebab anaknya saja yang di hadapannya saat ini telah tumbuh dewasa. Jika saja ia ingin menikahkan Venna, tentunya dia akan memiliki cucu setelah itu. Lelaki itu sengaja menyambangi penginapan putrinya itu. Yang di anggap sebagai tempat gadis itu menetap. Sebelum ia benar-benar pergi ke kantor.
Manik mata lelaki tua itu menelusuri seluruh dalam apartemen milik Venna. Hingga matanya berhenti pada satu bingkai yang menghiasi dinding. Menampakan gambar Venna dengan wanita paruh baya yang tidak lain adalah almarhum istrinya sendiri- Dilora jennifer.
Lelaki itu tersenyum getir melihat gambaran tersebut." Kau sangat mirip dengan-nya, Venna. Sama-sama keras kepala, namun mandiri."
"Tentu..." Venna menatap sinis kepada lelaki itu."Tentu saja begitu. Aku anaknya darah dagingnya. Tidak seperti wanita papa yang sok baik itu."
Lelaki itu mentolehkan kepalanya, dari gambar yang ia tatap sedari tadi. Senyum yang tadi mengembang sempurna perlahan tersamarkan. Perhatiannya teralihkan saat ucapannya Venna mengudara begitu saja." Venna...kau hanya di butakan oleh kebencian. Sehingga kau tak melihat kebaikannya."
Venna menyunggingkan senyumannya." Seharusnya Papa yang sadar. Dia hanya baik ketika di hadapan papa. Dan semua itu membuat aku muak."
"Jika papa memang tidak mau mendengar ucapan Venna. Lebih baik papa pergi dari sini." Ucapan Venna penuh dengan nada penekanan.
"Venna...biar bagaimana pun, papa ini adalah ayah mu. Aku berhak mengatur mu. Selama kau masih belum bersuami, kau masih dalam tanggung jawab ku." Papa Zainal melangkah mendekati Venna."Aku ke sini hanya melihat keadaan mu. Karena kau putri ku, aku menyayangi mu."
'Tanpa aku sadari, kau telah beranjak dewasa, Venna. Rasanya baru kemaren aku menimang mu berbalut kain bedongan, sekarang kau telah tumbuh dewasa.' Batin Papa Zainal.
Venna sama sekali bergeming. Jiwanya terpaku dalam hidup yang tak lagi sama seperti dulu lagi. Tidak sebahagia dirinya yang memiliki keluarga lengkap. Dan memiliki hak penuh atas papanya.
Lihat, bagaimana lelaki itu hendak keluar dari apartemen anaknya sendiri. Walau sudah memiliki keluarga baru, namun perhatiannya tidak luntur dari gadis itu. Keras hati Venna yang ingin tetap berada di bangunan yang menjulang tinggi tersebut, membuat lelaki itu mencemaskannya. Bukan tanpa alasan. Ia ingin membuka kembali mata hati sang papa. Melihat kebenaran yang nyata. Tetapi, Venna belum bisa memperlihatkan wujud asli sang mama sambungnya itu.
"Papa gak perlu mencemaskan aku." Venna memelankan suaranya. Ada hal yang membuat hatinya tersentuh. Dan menyadari satu hal, jika lelaki paruh baya itu adalah "Papanya". Venna melirik wajah sang papa." Aku baik-baik saja di sini."
Papa Zainal menghelus lembut puncak kepala Venna. Sentuhan itu sungguh di rindukan oleh Venna sebagai anak yang jauh dari ayah."Hubungi aku, kalau kau membutuhkan sesuatu. Hemmm... Akan lebih baik juga, kau mengangkat telepon papa mu ini nak."
Wajah sendu Venna begitu saja terangkat. Ada yang tercekat di tenggorokannya. Air ludahnya tidak teralir dengan baik. Ia juga mengerti jika tindakannya itu salah. Mengabaikan panggilan telepon papanya.
"Ya sudah...Papa pergi dulu." Papa Zainal mencium pucuk dahi Putrinya itu.
Venna mengangguk pelan. Tanpa menjawab namun sorotan matanya tidak memberikan respon untuk bergedip. Tidak ingin kehilangan bayangan lelaki itu, hingga senyuman Papa Zainal hadir menyapa sebelum menghilang di balik pintu.
Venna terhenyak di atas sofa. Hari ini membuatnya begitu tidak bersemangat. "Pa, maafkan Venna!"
Mata yang tengah tertunduk lesu itu, tidak sengaja melirik benda yang sedari tadi ia cari, kelopak mata yang di hiasi bulu mata yang lentik mengedip memberi respon. Venna berdiri dari sofa, kakinya berjalan tiga langkah ke depan. Kemudian menekuk lututnya dengan tangan terulur mengambil benda tersebut.
"Kau di sini rupanya. Aku mencari mu dari tadi. Sampai menggeledah semuanya. Lihat, semuanya jadi berantakan." Setelah bermonolog dengan dirinya sendiri, Venna segera berdiri menyusul sahabat yang telah menunggunya di parkiran.
***
Sesampainya di parkiran."Kenapa kau lama sekali?"
"Sorry, membuat mu menunggu lama. Ayo, kita berangkat." Venna membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Begitu juga dengan Gina yang menduduki kursi penumpang depan.
"Kau menemukannya di mana?" Gina menoleh ke arah Venna yang sedang menyetir.
"Di bawah, dekat sofa." Venna bersuara." Mungkin jatuh saat aku hendak melangkah menuju balkon."
"Kalau hanya sekedar kunci yang kau cari, kenapa raut wajah mu begitu membosankan?" Karena Gina melihat perubahan raut wajah Venna.
Venna gelagapan." Ah tidak, hanya perasaan kau saja."
Gina hanya termanggut mendengar penuturan Venna.
Bersambung.
Di sebuah ruangan, tampak beberapa orang saling bertukar jabatan tangan dan melempar senyuman. Pertemuan yang telah di rencanakan itu, membuahi hasil. Mereka terikat dalam sebuah proyek yang akan saling menguntungkan ke dua belah pihak.Namun, kali ini beda. Proyek yang akan di jalani, bukanlah proyek biasa dari perusahaan yang tengah di incar oleh perusahaan yang lain. Dan tidak mudah bagi perusahaan lain untuk mendapatkan kontrak kerja sama dengan perusahaan tersebut.Dan lihat, bagaimana seorang wanita bernama Gresya Zivanka berumur 24 tahun terbilang muda itu dengan mudah, ia mendapatkan kerja sama tersebut. Wanita yang mempunyai lekuk tubuh mempesona itu, mampu menghinoptis dua lelaki di hadapannya."Semoga kerja sama kita berjalan dengan lancar," tutur lelaki yang berbadan tegap bernama Kenan. Manik matanya begitu lihai menelusuri setiap inci tubuh Gresya yang tengah menyambut jabatan tangannya.
Xandro kembali ke ruangannya. Meninggalkan Gresya yang masih terpaku di dalam ruangan pertemuan tadi. Meletakan berkas yang sedari tadi ia pegang diatas meja kerjanya tersebut.Entah mengapa, raut wajah kekesalan Gresya atas pengakuannya,malah membuat dia menahan senyum di hadapan wanita itu. Dan Xandro menumpahkan senyuman yang di tahan sedari tadi, tepat saat ia mendarat duduk di kursi kerjanya. Seperti orang gila, tersenyum-senyum sendiri.Seketika ia tersadar dari senyuman itu. Tangannya memeriksa jadwal yang mungkin saja akan melibatkan dia dan Gresya bertemu kembali. Dan sekali lagi ia merasa senang. Terlihat dari lengkungan bibir membentuk senyuman. Untuk hari ini ia rasa cukup berdebat dengan wanita itu.Kalau boleh memilih, Xandro lebih senang berkerja dengan Tuan William. Dari pada bersama Gresya. Apa boleh buat, semua di putuskan oleh Tuan William. Dia menempatkan Xandro kepada perusahaan yang di kelola Gresya. Wanita yan
Saat hendak mengantarkan Alex, Xandro menghentikan mobilnya di dekat pedagang kaki lima. Pedagang dengan gerobak bertulisan nasi goreng. Membaca tulisan "nasi goreng" tentunya membuat Xandro teringat akan makanan kesukaan dari seorang wanita.Siapa lagi, wanita itu ialah Venna. Dia sangat menyukai menu makanan tersebut. Apalagi pedagang itu telah menjadi langganan Venna."Xan...kau mau ngapain? kenapa kita berhenti disini?" tanya Alex."Kau tidak lihat, tulisan itu?" jawab Xandro."Ah..aku tau, kau mau traktir aku makan?" Alex mendorong gagang pintu mobil."Ayo...kebetulan aku lapar.""Terserah kau saja!"Mereka pun keluar dari mobil. Mendekati pedagang kaki lima itu. Xandro dan Alex memesan makanan mereka. Tidak lama menunggu, pesanan telah di sajikan kehadapan mereka."Xan...kenapa lo mau sih, makan disini?" tanya Alex. Ucapannya sedikit di pelankan. Al
Hari demi haripun berlalu begitu cepat. Semenjak kedatangan Pak Zainal di apartemen Venna. Semenjak itu Venna tidak lagi menutup komunikasi antara dia dan sang Papa. Ia sadar, tidak harus menjauhi Papanya. Jika jarak dia dan papanya semakin renggang akan lebih mudah bagi Sellin Karlina-mama sambung, memperngaruhi pikiran sang Papa. Bisa jadi harta menjadi incaran Sellin. Jadi, Venna memutuskan untuk membuang sedikit egoisnya. Demi menyelamatkan Papa dari cengkreman wanita itu.Dia membiarkan Papanya menyadari siapa wanita yang di sampingnya suatu saat ini. Yang terpenting, hubungan dia dan sang Papa baik-baik saja.Hari ini Venna telah mempunyai janji dengan sang Papa. Pak Zainal mengajak Venna untuk makan siang di luar tidak jauh dari kantornya. Sekarang Venna telah menuju ke sana. Meninggalkan Cafe yang di kendalikan oleh Gina.Sinar sang surya begitu terik menyinari alam semesta. Terjebak di kemacetan suatu hal yang s
Siang itu, Xandro dan Gresya menghadiri meeting. Semenjak meeting itu di mulai, Xandro mencoba menjelaskan kepada kliennya, atas produk yang akan mereka luncurkan.Sepanjang penjelasan, klien mereka sangat mempusatkan perhatiannya pada materi yang di sampaikan oleh Xandro. Seolah semua yang di sampaikan lelaki itu dengan bahasa yang di gunakan Xandro juga tidak berbelit-belit. Memudahkan kliennya mengerti apa maksud dan tujuannya.Gresya yang berada tidak jauh dari Xandro, perhatiannya sedari tadi tersita oleh lelaki itu. Bukan dengan apa yang telah di sampaikan oleh lelaki itu, tetapi manik matanya sama sekali tidak beralih pada wajah tampan Xandro. Matanya berbinar-binar, lelaki yang di hadapannya itu, seorang sekretaris yang sangat handal. Di mata Gresya dia sangat berwibawa.Pantas saja Tuan William-Sang Papa, terus memuji dia sebagai sekretaris terbaik di perusahaan mereka. Berkat Xandro juga, perusahaan Tuan William berkembang
Sebuah mobil sedan melesat di jalanan yang sepi kendaraan. Dengan kecepatan diatas rata-rata. Hingga meninggalkan deruman mesin yang membekas di pendengarnya.Sorotan mata tajam bak elang menyambar ke jalanan yang lurus. Ia tidak memikirkan apa yang akan terjadi padanya, jika tetap dalam kecepatan tinggi tersebut. Tidak terpikir olehnya, bahwa nyawa dia dalam bahaya. Dia sama sekali tidak memikirkan hal itu.Dia hanya memikirkan bagaimana rasa sakit yang menghujamnya sedari tadi bisa terurai. Jika dengan cara mengendarai dengan kecepatan tinggi bisa menghilang rasa yang tersulut sakit itu, kenapa tidak? Begitu-lah pikiran yang tidak lagi dapat disadarkan.Namun, seseorang yang melintasi jalanan itu, membuat wanita di dalam mobil tersebut terperanjak. Kedua bahunya ikut terangkat kemudian terhuyun seiring rasa terkejutnya dari lamunan itu tersadar.Tetapi karena ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mem
Sepasang kaki melangkah lebar kearah ruang Direktur Utama. Membawa beberapa lembar berkas yang hendak di tanda tangani. Kaki jenjang yang di tutupi oleh celana bahan, tampak pas di kenakan olehnya.Dengan langkah tegap, sorotan mata terkesan dingin berhenti di depan pintu ruangan tersebut. Tangannya bergerak mengetuk pintu ruangan itu. Hingga terdengar dari dalam sahutan menyuruh masuk.Tangan lelaki itu, yang tak lain Xandro bergerak mendorong gagang pintu. Hingga terdengar suara decitan dari pintu itu. Tampak seorang wanita duduk dengan nyaman di kursi kerjanya. Membelakangi Xandro yang kita telah di dekat meja kerjanya itu."Selamat pagi, Nona. Ada beberapa berkas yang harus anda tanda tangani. Dan satu jam lagi ada meeting penting dengan klien kita dari Australia." Kata Xandro.Manik matanya kepada sang Direktur belum juga lepas. Sebab, sang Direktur masih membelakangi Xandro. Dia masih bergeming. Hingga p
"Apa kau melihat, Xandro?" tanya Gresya kepada Alex. Setelah mereka sama-sama kembali ke kantor. Lelaki itu tidak menampakan lagi wujudnya. Sampai jam kantor telah usai.Sesaat membuat Alex mencerna pertanyaan Gresya. Raut wajahnya seperti orang menaruh kecurigaan terdalam kepada wanita itu."Hai, apa kau tidak mendengarkan ucapanku, ha?" hardik Gresya.Membuat Alex terkejut, kedua bahunya sontak terjingkrak. "Eh..hum, aku tidak melihatnya.""Mungkin--"Ucapan Alex terhenti. Saat Gresya meninggalkan dia tengah melanjutkan ucapannya. Wanita itu pergi hingga tubuhnya menghilang di balik lift yang ia masuki. Lift itu bergerak turun. Namun, Alex tidak mengetahui pasti, di lantai berapa yang menjadi tujuannya."Ah...benar-benar tidak sopan! hanya Xandro yang di tanya. Tanyaan aku sekali-kali, gitu!" Alex berdecit. Ia berkacak pinggang dengan netra berputar. Lalu melangkah pergi dari sana
Dalam hati yang begitu hancur, tangan Venna menggusar rambutnya. Membenamkan wajah pada kedua lututnya. Hati yang remuk redam membuat Venna tidak dalam pikiran jernih lagi. Selang infus yang tersemat di tangan, Venna mencabut dengan paksa. Kakinya bergegas turun dari tangga. Langkah yang terseok-seok, ia mencoba untuk keluar dari ruang rawat itu. Setelah berada diluar, Venna mencoba menelisik sekitar sana. Melihat keadaan sepi tanpa seorangpun yang lalu lalang, ia bergegas menjauh dari ruang rawatnya tersebut. Sangat berhati-hati, akhirnya Venna dapat juga keluar dari rumah sakit. Tidak tahu arah dan kemana tujuan Venna, ia hanya terus berlari di pinggir trotoar. Tubuh gemetar yang di rasakan Venna, membuat ia berhenti sejenak. Ia yang berada ditengah masyarakat tengah lalu lalang, Venna tidak memperdulikan tatapan penuh tanya dari orang lain yang tertuju untuknya. "Aku harus menemui Xandro. Aku yakin dia pasti masih sangat mencintaiku."
Suara pendeteksi detak jantung dengan konstan berbunyi di ruangan sunyi, senyap. Dari bunyian mesin, menandakan jika di ruangan itu terdapat makhluk hidup sedang bernapas, berdetak. namun, matanya terpejam rapat. Ya, dia adalah Venna Marlinda.Venna belum sadarkan diri. Setelah dia ditemukan semalam, tergeletak di jalanan. Gina yang belum melihat tanda-tanda Venna pulang, ia mencemaskan sahabatnya itu. Ketika ia menghubungi Venna, namun teleponnya tidak ada jawaban. Begitu pula dengan nomer ponsel Xandro. Gina pun mencari keluar menggunakan taksi.Tidak jauh dari apartemennya, Gina melihat seorang wanita tergeletak di jalanan. Dari pakaian yang terlihat oleh Gina, tentu saja ia tahu kalau itu adalah sahabatnya.Gina membawa Venna langsung dengan taksi yang ia tumpangi tadi menuju rumah sakit terdekat.Gina terbangun saat bunyi pintu terbuka. Di balik pintu itu menampakan Papa Zainal. Sebelumnya, ia menghubungi Papa Zainal. Mengabari keadaan wanita i
Tidak dalam sepenuhnya sadar dari rasa kantuk semenjak tadi menggelayut manja di mata Venna, ia mencoba membalikkan badan. Nanar matanya, menangkap manik mata Xandro. Lelaki itu masih sama terdiam semenjak ucapannya mengudara.Udara yang mulai terasa dingin pada malam hari yang di taburi bintang di atas sana, sangat bercahaya terang. Sesuai dengan apa yang di rasakan oleh Venna. Perasaan yang sempat di buat bahagia oleh Xandro dan bagaikan di atas awan. Seketika terhenyak, jatuh serta remuk menahan sakit.Venna berharap dan meminta apa yang di dengar olehnya, tidak sebuah kenyataan. Mungkin saja ia salah, bisa jadi juga efek dari rasa kantuk yang ia rasa. Ingin sekali ia meminta tuli saat ini juga. Tapi, ia lebih baik memastikan dulu ucapan itu benar atau tidaknya."Boleh aku mendengarnya sekali lagi? Ah, tadi aku kurang menangkap ucapanmu sayang. Takutnya aku salah dengar." Tidak, ucapan Xandro tentu jelas terngiang di telinga Venna. Ia hanya beralasan se
Mobil yang di jalankan Xandro membelah jalanan. Ada hal yang berbeda dari suasana di mobil kali ini. Xandro lebih banyak diam. Menampakan garis-garis halus di sela-sela alis yang di kerutkan itu. Tatapannya lurus ke depan. Namun, penuh sendu. Seperti banyak beban yang ia pikul.Venna sungguh di buat heran atas sikap kekasihnya itu. Baru seminggu ini dia tidak bertemu, sudah membuat Venna tidak mengenali sifat Xandro yang ia lihat hari ini."Sayang, kau kenapa?" Venna tidak bisa berdiam diri menanyakan keadaan lelaki itu.Tetapi seruan Venna, tidak membuat Xandro tersadar dari diamnya. Venna memegoyangkan bahu Xandro."Sayang ..."Xandro terjingkrak dari lamunannya. Hingga membuat bahunya ikut terangkat. Lalu menoleh pada Venna yang tengah menatapnya penuh rasa kekhawatiran.Xandro menggeleng samar. Ia mencoba menerbitkan senyuman di balik rasa gelagapan."Ti-tidak, A-aku tidak apa.""Kau yakin tidak apa?!" selidik Venna. Merasa kurang pe
Genap sudah satu minggu Xandro di rumah. Sekarang ia telah masuk kembali ke kantor, tanpa pengetahuan Gresya. Wanita itu tengah berada di luar kota. Semenjak kedatangannya ke rumah Xandro beberapa hari lalu.Sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing membuat hubungan Xandro dan Venna hanya komunikasi lewat pesan singkat. Selama itu juga Venna tidak mengetahui Xandro tidak bekerja.Drrrt...drrrt...Getaran ponsel terdengar riuh di atas meja kerja Xandro. Ia menoleh pada benda pipih yang menyala itu."Hallo," seru Xandro datar."Hay, sayang, maaf ya aku baru bisa menghubungimu. Aku rindu!" ucap Venna. Bibir yang cemberut dan wajah yang tiba-tiba sendu menggambarkan isi hatinya yang tengah memendam kerinduan mendalam pada sang kekasih."Kau tidak sibukkan hari ini? Gimana kalau kita jalan? Aku kebetulan lagi gak banyak pengunjung."Xandro mendengar, tapi raut wajahnya tidak menanggapi wanita itu. Sorotan matanya kosong memandang ke dep
Hari demi hari terus berganti. Dan hari ini, sudah hari ketiga Xandro tidak masuk kerja. Menghabiskan waktu di rumah. Berdiam diri seraya mempulihkan kembali kesehatan. Istrirahatkan diri dari pekerjaan sementara waktu. Ya, itu yang di harapkan oleh Xandro. Tapi sayang, tubuhnya semakin terasa lelah. Darah yang mengalir di hidungnya masih saja keluar.Bahkan, kini berpengaruh pada nafsu makannya. Seharian ini, hanya tiga suap yang bisa ia telan. Bersyukur Pak Tio bisa masak. Dia yang membuat bubur untuk Xandro.Sudah tiga hari ini juga, Venna hanya bisa mengirimkan pesan pada Xandro. Dewi Fortuna tengah berpihak padanya. Cafe-Venna, sedang di padati pengunjung. Sehingga dia ikut langsung turun tangan melayani pengunjung.Tetapi, semua itu malah di syukuri oleh Xandro. Setidaknya ia tidak perlu berbohong pada Venna. Dia hanya istirahat yang cukup, serta minum obat yang di berikan Dokter Jino. Lelaki itu sebagai Dokter langganannya, meradang amarah. Ia sudah
Pulang dari kantor, Xandro melajukan mobilnya menuju cafe Venna. Ia telah berjanji membawa wanita itu untuk nonton di sebuah bioskop.Sesampainya di cafe, wanita itu melempar senyuman pada Xandro. Kaki jenjang Venna mulai mengayun mendekati mobil lelaki itu."Maaf, lama membuatmu menunggu!" titah Xandro."Tidak apa! ayo kita berangkat, sayang!"Mobil pun kembali di lajukan oleh Xandro pada jalan beraspal itu. Sepanjang perjalanan, Venna mengikuti alunan lagu yang di putar. Sekali-kali ia melirik Venna dari kaca spion. Xandro ikut menerbitkan senyuman di raut wajahnya.Senyuman begitu mekar, perlahan menyurut. Perasaan gundah itu kembali menyentak dalam ingatan Xandro. Ia bahagia, bahagia melihat wanita yang dia cintai itu begitu nyaman di dekatnya.Apa bisa dia akan membuat kekasihnya selalu bahagia? Mengingat... Ah, rasanya tidak sanggup untuk membayangkan semua ini. Setidaknya, dia sebisa mungkin tidak akan melukai hati wanita
Siang hari di kantor, Gresya melangkah lebar masuk dari parkiran menuju kantor. Setelah selesai meeting dengan klien di sebuah restauran. Melewati setiap karyawan yang ia lalui.Ia mengetahui bahwa Xandro masuk kerja hari ini. Setelah kemaren kesehatannya terganggu sampai harus di bawa kerumah sakit. Seharusnya lelaki itu di rumah, sampai ia benar-benar sehat. Dan itu membuat Gresya tidak menyangka, bahwa Xandro memaksakan diri untuk kembali bekerja.Rambut yang diikat ekor kuda itu, berayun mengikuti gerak tubuhnya. Berjalan bak model. High Heels yang ia kenakan saling berbenturan di lantai marmer.Setiap mata yang melihat wanita itu, menunduk seraya memberi hormat pada atasan. Begitu juga dengan Alex. Namun, pria itu tidak mengalihkan pandangannya. Dia terus mematri pergerakan wanita itu. Hingga hilang di balik pintu ruang Xandro yang di buka olehnya.Sesampainya Gresya di dalam ruangan Xandro, raut wajah lelaki itu tampak tegang
Alex telah sampai di rumah sakit yang di sebutkan oleh Gresya lewat pesan itu. Memakirkan mobil di basement. Langkah lebar Alex kini memasuki rumah sakit. Ia langsung menuju meja resepsionis. Untuk menanyakan ruang dimana lelaki itu dirawat. Wanita itu tidak memberitahu di ruang mana lelaki itu berada."Permisi! Maaf, Nona, pasien atas nama Xandro julius diruang berapa, ya?" tanya Xandro kepada seorang wanita di meja resepsionis. Dengan seragam khas rumah sakit itu."Tunggu, sebentar!" wanita itu langsung mengecek daftar nama pasien yang masuk hari ini.Alex mengangguk tegas. Matanya masih mematri wanita cantik itu. Dengan wajah oval, mata bulat, hidung tinggi minimalis. Ah...dia benar-benar cantik."Tuan, pasien berada di lantai sembilan no 28," ucap wanita itu. Dahinya di buat mengerut melihat lelaki dihadapannya tidak berhenti tersenyum."Tuan..." Wanita dengan seragam rumah sakit itu melambaikan tangan di wajah Alex."Tuan, apa Anda baik-b