Hari demi haripun berlalu begitu cepat. Semenjak kedatangan Pak Zainal di apartemen Venna. Semenjak itu Venna tidak lagi menutup komunikasi antara dia dan sang Papa. Ia sadar, tidak harus menjauhi Papanya. Jika jarak dia dan papanya semakin renggang akan lebih mudah bagi Sellin Karlina-mama sambung, memperngaruhi pikiran sang Papa. Bisa jadi harta menjadi incaran Sellin. Jadi, Venna memutuskan untuk membuang sedikit egoisnya. Demi menyelamatkan Papa dari cengkreman wanita itu.
Dia membiarkan Papanya menyadari siapa wanita yang di sampingnya suatu saat ini. Yang terpenting, hubungan dia dan sang Papa baik-baik saja.
Hari ini Venna telah mempunyai janji dengan sang Papa. Pak Zainal mengajak Venna untuk makan siang di luar tidak jauh dari kantornya. Sekarang Venna telah menuju ke sana. Meninggalkan Cafe yang di kendalikan oleh Gina.
Sinar sang surya begitu terik menyinari alam semesta. Terjebak di kemacetan suatu hal yang sangat di benci oleh pengendara. Di bawah sinar matahari, seolah kulit merasa terbakar. Bersyukur Venna berada di dalam mobil. Setidaknya ia terlindungi dari paparan surya.
Venna melirik jam mewah yang melingkar pergelangan tangan. Jam itu pemberian dari Xandro. Sebagai hadiah ulang tahunnya, di tahun kemaren.
Dalam ingatan Venna, masih tersemat jelas bagaimana kebahagiaan mereka semasa hidup Nyonya Dilora Jennifer, mamanya. Namun, hanya sekelabat bayangan yang selalu terlintas di pikiran wanita itu semenjak ke pergian sang mama.
Satu jam kemudian, Venna sampai di restauran tersebut. Melangkah masuk ke restauran. Bola matanya menelusuri seluruh dalam Cafe. Hingga lambaian tangan dari lelaki paruh baya, di tangkap oleh ke dua mata Venna.
Venna menarik senyum dari sudut bibirnya."Pa..."Venna mencium ke dua pipi Pak Zainal.
"Maaf, Pa, lama menunggu." Venna mendarat duduk di kursi berhadapan dengan Pak Zainal.
"Tidak apa, sayang!" Pak Zainal berucap."Bagaimana keadaanmu, sehat?"
"Seperti yang Papa lihat. Aku sehat dan terlihat cantik!" Venna terkekeh mendengar ucapannya sendiri.
"Kau memang cantik! melebihi mama mu," masih terpatri jelas di ingatan Pak Zainal, wajah Nyonya Dilora.
"Kau mau makan apa, sayang?"
"Apa Papa masih ingat makanan ke sukaan ku?" tanya Venna menyelidiki.
"Hemmm...baiklah, Papa pesankan untuk mu!" Pak Zainal mengangkat tangannya membentuk sebuah panggilan kepada pelayan.
Hingga salah satu dari mereka menghampiri meja Pak Zainal dan Venna. Beliau menyebutkan makanan apa yang dia pesan dan sang putri. Pelayan itu mencatat dengan baik pesanan mereka.
Setelah selesai pelayan itu mencatat semua pesanan. Dia pamit undur untuk mengambil pesanan mereka.
"Kenapa kau dari kecil sampai dewasa belum juga berubah? makanan favoritmu masih sama. Apa kau tidak bosan?" tanya Pak Zainal.
Venna menggeleng."Aku rasa belum...enggak tau deh, suatu saat nanti."
"Apa dia tahu kita bertemu di sini,Pa?" Maksud Venna sang Mama sambung.
Pak Zainal tertawa kecil, ia tidak menyangka putrinya menanyakan hal itu."Tidak!! Papa dari kantor langsung menuju sini. Apa kau ingin dia ada di sini?" timpal Pak Zainal kembali.
Venna menggeleng cepat. Dengan muka masam ke arah sang Papa."Jika dia disini, aku yang akan pergi!"
Tawa Pak Zainal berderai." Kenapa kau sangat membenci dia?" Seolah pertanyaan itu belum ada habis-habisnya.
"Sudahlah, Pa! aku udah sering bangat menjelaskan pada, Papa. Hanya saja papa tidak mau mendengarkan ku," keluh Venna. Mukanya berubah cemberut.
"Aku tidak suka dia! perasaan ku mengatakan dia tidak baik untuk papa!" ulasnya.
Pak Zainal terpaku. Dia tidak habis pikir, bagaimana putrinya itu sama sekali tidak menyukai Sellin-mama sambung Venna.
Apa iya, Sellin seperti yang di katakan Venna? Tapi, selama yang terlihat di matanya, Sellin bersikap baik kepada Venna. Ia juga hanya di rumah saja. Menunggu Pak Zainal pulang. Apa benar juga, dia baik hanya di depan dia saja?!"
Semua oertanyaan itu berkelana di pikiran lelaki paruh baya. Lamunannya membuyar, saat Venna menyeru namanya. Dan tangan menggoyang bahu pak Zainal.
"Pa...papa baik-baik sajakan, pa?"
Pak Zainal terjingkrak. Kedua bahu pak Zainal ikut melorot dari rasa terkejutnya itu."Eh..Mmm...ya, Papa baik-baik saja!"
"Apa ucapaan aku nyakitin, papa?" tanya Venna lirih. Wajahnya berubah sendu.
"Tidak...tidak!" Pak Zainal memaksakan senyum dari raut wajahnya. Ia berusaha menyimpan segudang pertanyaan itu dalam pikirannya." Kata siapa papa sedih."
Pembincangan mereka terhenti. Saat pelayan datang dengan nampan di tangan. Dua buah makanan di atas piring lebar telah siapa ia sajikan. Meletakan satu persatu piring tersebut diatas meja.
Suapan demi suapan mengisi mulut anak dan Bapak itu. Menikmati setiap gigitan dari makanan. Rasa yang lezat begitu terasa di lidah. Mengecap dengan baik.
"Bagaimana dengan hubunganmu, dengan Xandro?" tanya pak Zainal di sela-sela makanannya.
Venna seketika tertegun. Biar bagaimanapun, ia sedikit malu jika sang papa menanyakan soal percintaannya. Mata Venna membuang ke sembarangan arah." Semuanya berjalan seperti biasa, pa!"
Pak Zainal tidak pernah melarang Venna bergaul dengan siapapun. Bukan berarti dia tidak mamantau pergaulan sang putri. Tanpa sepengatahuan Venna ia terus di pantau lewat orang suruhan Pak Zainal. Seandainya Venna tau, tentunya gadis itu akan berang terhadapnya. Tapi untungnya Venna tidak termasuk anak yang melalaikan kepercayaan orang tua.
Tentang hubungan Venna dan Xandro, tentu saja lelaki paruh baya itu tahu. Enam tahun lamanya hubungan mereka, diam-diam pak Zainal menginginkan hubungan mereka di teruskan untuk ke jenjang selanjutnya.
Dia menaruh harap terhadap Xandro. Semoga lelaki itu selalu mencintai Venna, menyayangi dia dan menjaganya selalu. Semoga Xandro memang lelaki yang baik dipilih oleh Venna.
Pak Zainal tidak terlalu menilai soal derajat. Berkasta apa lelaki itu, apa pangkatanya? dari keluarga mana ia berada? harta tidak jadi pembanding baginya.
Pak Zainal hanya memerlukan lelaki yang mampu mengembani tanggung jawab penuh atas hidup Venna dan anaknya nanti. Sebagai ayah, tidak ada yang lebih bahagia dari kebahagian putrinya.
Dia memberikan Venna kebebasan dalam memilih pasangan hidup. Jika memang dia tahu lelaki itu tidak benar untuk Venna. Dia akan menentangnya. Tapi selama dalam penglihatannya terhadap lelaki itu, cukup baik. Dia juga tidak pernah menjodohkan Venna dengan anak rekan bisnisnya. Pak Zainal tidak ingin membuat Venna terikat pernikahan berdalang bisnis.
"Hemm...apa kalian tidak mau melanjutkan hubungan kalian ke jenjang selanjutnya.?" tanya Pak Zainal to the poin. Ia bertanya tanpa menaikan kepalanya melihat Venna.
Venna yang tadinya hanya menunduk kepala, ia mengangkat tatapannya melihat pak Zainal. Ia masih bergeming, melumat sisa-sia makanan di dalam mulutnya. Lalu mengambil segelas air untuk memaksa makanan itu agar turun cepat ke dalam lambung.
"Papa do'a kan saja, pa! Jika dia memang baik untuk hidupku, baik untuk masa depanku nanti, kami pasti akan mengikat hubungan ini lebih erat lagi," tutur Venna.
Dia tidak ingin memberi harapan kepada papanya. Dengan mengucap kata bahwa Xandro akan melamarnya segera mungkin. Itu akan lebih buruk baginya jika memang mereka tidak berjodoh kelak.
"Tidak berjodoh,"ah...rasanya sungguh berat mengiklaskan semua ini. Hubungan enam tahun harus kandas. Lebih baik mati saja!
Pikiran Venna berkelana buruk. Hingga membuat dia memejamkan matanya disertai gelengan kepala. Bersyukur sang papa tidak melihat itu.
Sedetik kemudian pak Zainal mengangakat kepalanya menatap Venna. Tangannya meraih segelas air, lalu meminumnya. Dan melap bibir dengan sehelai tisu bekas minuman air yang ia teguk.
"Tapi, ingat! kau harus tetap menjaga diri. Agar tidak terpengaruh pergaulan bebas. Dan jalani hubungan yang sehat!" ujar pak Zainal. Menasehati sang putri satu-satunya.
Venna mengangguk dengan senyuman mengembang. Mendengar nasehat sang Papa.
Bersambung...
Siang itu, Xandro dan Gresya menghadiri meeting. Semenjak meeting itu di mulai, Xandro mencoba menjelaskan kepada kliennya, atas produk yang akan mereka luncurkan.Sepanjang penjelasan, klien mereka sangat mempusatkan perhatiannya pada materi yang di sampaikan oleh Xandro. Seolah semua yang di sampaikan lelaki itu dengan bahasa yang di gunakan Xandro juga tidak berbelit-belit. Memudahkan kliennya mengerti apa maksud dan tujuannya.Gresya yang berada tidak jauh dari Xandro, perhatiannya sedari tadi tersita oleh lelaki itu. Bukan dengan apa yang telah di sampaikan oleh lelaki itu, tetapi manik matanya sama sekali tidak beralih pada wajah tampan Xandro. Matanya berbinar-binar, lelaki yang di hadapannya itu, seorang sekretaris yang sangat handal. Di mata Gresya dia sangat berwibawa.Pantas saja Tuan William-Sang Papa, terus memuji dia sebagai sekretaris terbaik di perusahaan mereka. Berkat Xandro juga, perusahaan Tuan William berkembang
Sebuah mobil sedan melesat di jalanan yang sepi kendaraan. Dengan kecepatan diatas rata-rata. Hingga meninggalkan deruman mesin yang membekas di pendengarnya.Sorotan mata tajam bak elang menyambar ke jalanan yang lurus. Ia tidak memikirkan apa yang akan terjadi padanya, jika tetap dalam kecepatan tinggi tersebut. Tidak terpikir olehnya, bahwa nyawa dia dalam bahaya. Dia sama sekali tidak memikirkan hal itu.Dia hanya memikirkan bagaimana rasa sakit yang menghujamnya sedari tadi bisa terurai. Jika dengan cara mengendarai dengan kecepatan tinggi bisa menghilang rasa yang tersulut sakit itu, kenapa tidak? Begitu-lah pikiran yang tidak lagi dapat disadarkan.Namun, seseorang yang melintasi jalanan itu, membuat wanita di dalam mobil tersebut terperanjak. Kedua bahunya ikut terangkat kemudian terhuyun seiring rasa terkejutnya dari lamunan itu tersadar.Tetapi karena ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mem
Sepasang kaki melangkah lebar kearah ruang Direktur Utama. Membawa beberapa lembar berkas yang hendak di tanda tangani. Kaki jenjang yang di tutupi oleh celana bahan, tampak pas di kenakan olehnya.Dengan langkah tegap, sorotan mata terkesan dingin berhenti di depan pintu ruangan tersebut. Tangannya bergerak mengetuk pintu ruangan itu. Hingga terdengar dari dalam sahutan menyuruh masuk.Tangan lelaki itu, yang tak lain Xandro bergerak mendorong gagang pintu. Hingga terdengar suara decitan dari pintu itu. Tampak seorang wanita duduk dengan nyaman di kursi kerjanya. Membelakangi Xandro yang kita telah di dekat meja kerjanya itu."Selamat pagi, Nona. Ada beberapa berkas yang harus anda tanda tangani. Dan satu jam lagi ada meeting penting dengan klien kita dari Australia." Kata Xandro.Manik matanya kepada sang Direktur belum juga lepas. Sebab, sang Direktur masih membelakangi Xandro. Dia masih bergeming. Hingga p
"Apa kau melihat, Xandro?" tanya Gresya kepada Alex. Setelah mereka sama-sama kembali ke kantor. Lelaki itu tidak menampakan lagi wujudnya. Sampai jam kantor telah usai.Sesaat membuat Alex mencerna pertanyaan Gresya. Raut wajahnya seperti orang menaruh kecurigaan terdalam kepada wanita itu."Hai, apa kau tidak mendengarkan ucapanku, ha?" hardik Gresya.Membuat Alex terkejut, kedua bahunya sontak terjingkrak. "Eh..hum, aku tidak melihatnya.""Mungkin--"Ucapan Alex terhenti. Saat Gresya meninggalkan dia tengah melanjutkan ucapannya. Wanita itu pergi hingga tubuhnya menghilang di balik lift yang ia masuki. Lift itu bergerak turun. Namun, Alex tidak mengetahui pasti, di lantai berapa yang menjadi tujuannya."Ah...benar-benar tidak sopan! hanya Xandro yang di tanya. Tanyaan aku sekali-kali, gitu!" Alex berdecit. Ia berkacak pinggang dengan netra berputar. Lalu melangkah pergi dari sana
Setelah ke pergian Gresya, Venna melangkah pergi dari supermarket itu. Menuju mobilnya yang ada di seberang jalan. Dengan barang belanjaan di tangan sedari tadi ia pegang.Venna masuk ke mobil. Ia kembali melajukan mobilnya pada jalan yang kini ada genangan air. "Cantik juga ya, Atasan Xandro. Apa mungkin ia tidak bakalan suka? setiap hari mereka selalu bertemu dan dalam pekerjaan selalu terlibat. Tidak mungkin seorang lelaki, tidak akan jatuh cinta terhadap dia. Lelaki mana coba, yang tidak menyukai Nona Gresya. Secara...dia anak orang kaya, cantik, wanita karir." Gumam Venna."Iiiisshh..."Venna menepuk-nepuk pelan kepalanya dengan telapak tangan. Seakan ia tidak ingin berpikiran buruk terhadap Xandro. Lelaki itu cukup setia selama ini dan dia tahu itu."Mikir apa aku ini!!"***"Semuanya sudah beres 'kan? jangan sampai kita kelupaan sesuatu, Ve. Kau sudah mengunci pintunya?" tanya Gina. Wanita itu selalu cerewet ter
Sesampainya di apartemen, Venna menaruh cake itu di dapur. Mengeluarkan cake itu dari kotak lalu, memotong kue itu dan menaruh di atas piring.Dia sengaja membiarkan kue itu di atas meja makan. Mungkin saja, Gina merasakan lapar dan melahap kue itu untuk mengganjal perut.Sebab, wanita itu tengah duduk di balkon. Menatap sang langit ikut tak bercahaya di malam ini. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu, yang pasti Venna tidak ingin mengganggu.Sepanjang perjalanan menuju apartemen, dia tidak sama sekali bersuara. Hanya tatapan sinis yang di dapati oleh Venna. Ketika ia memutar lagu pop itu.Dengan entengnya, Venna tak menghiraukan tatapan yang menghunus padanya. Tapi, Venna yakin, bahwa Gina masih terbelenggu atas kehadiran Fando.Venna melangkah ke kamar, tubuh yang berasa lengket oleh keringat, membuat dia tidak betah lagi untuk segera membersihkan. Mengayunkan kaki memasuki kamar mandi setelah mengambil handuk yang tergantung.Se
Pagi ini, Xandro terburu-buru memberi laporan pada Gresya. Sebelum jadwal kemudian ada peninjauan proyek di suatu daerah. Langkah kaki Xandro terhenti tepat diruang wanita itu."Tok...tok..tok""Masuk!" ujar Gresya. Saat ia tengah membalikkan berkas-berkas di tangan.Ceklek..."Selamat pagi, Nona! ada berkas yang harus anda tanda tangani." Xandro memberikan berkas itu pada Gresya."Kau tidak perlu formal begitu, Xan! Khusus untukmu, panggil aku Gresya saja," tangan Gresya memberi ukiran di atas kertas tersebut. Namun, pandangannya masih tertunduk."Tidak!" bantah Xandro."Selama dikantor kau atasanku. Dan akan aku panggil nama mu saat berada diluar jam kerja.""Sepertinya, Anda terlalu nyaman berbicara dengan kekasih saya." Sambungnya.Mengingat ia sempat menghampiri Venna di cafe. Setelah mengambil mobil yang telah di perbaiki itu. Dan wanita itu mengatakan, bahwa dia bertemu dengan Gresya dipusat perbelanjaan. 
Alex telah sampai di rumah sakit yang di sebutkan oleh Gresya lewat pesan itu. Memakirkan mobil di basement. Langkah lebar Alex kini memasuki rumah sakit. Ia langsung menuju meja resepsionis. Untuk menanyakan ruang dimana lelaki itu dirawat. Wanita itu tidak memberitahu di ruang mana lelaki itu berada."Permisi! Maaf, Nona, pasien atas nama Xandro julius diruang berapa, ya?" tanya Xandro kepada seorang wanita di meja resepsionis. Dengan seragam khas rumah sakit itu."Tunggu, sebentar!" wanita itu langsung mengecek daftar nama pasien yang masuk hari ini.Alex mengangguk tegas. Matanya masih mematri wanita cantik itu. Dengan wajah oval, mata bulat, hidung tinggi minimalis. Ah...dia benar-benar cantik."Tuan, pasien berada di lantai sembilan no 28," ucap wanita itu. Dahinya di buat mengerut melihat lelaki dihadapannya tidak berhenti tersenyum."Tuan..." Wanita dengan seragam rumah sakit itu melambaikan tangan di wajah Alex."Tuan, apa Anda baik-b
Dalam hati yang begitu hancur, tangan Venna menggusar rambutnya. Membenamkan wajah pada kedua lututnya. Hati yang remuk redam membuat Venna tidak dalam pikiran jernih lagi. Selang infus yang tersemat di tangan, Venna mencabut dengan paksa. Kakinya bergegas turun dari tangga. Langkah yang terseok-seok, ia mencoba untuk keluar dari ruang rawat itu. Setelah berada diluar, Venna mencoba menelisik sekitar sana. Melihat keadaan sepi tanpa seorangpun yang lalu lalang, ia bergegas menjauh dari ruang rawatnya tersebut. Sangat berhati-hati, akhirnya Venna dapat juga keluar dari rumah sakit. Tidak tahu arah dan kemana tujuan Venna, ia hanya terus berlari di pinggir trotoar. Tubuh gemetar yang di rasakan Venna, membuat ia berhenti sejenak. Ia yang berada ditengah masyarakat tengah lalu lalang, Venna tidak memperdulikan tatapan penuh tanya dari orang lain yang tertuju untuknya. "Aku harus menemui Xandro. Aku yakin dia pasti masih sangat mencintaiku."
Suara pendeteksi detak jantung dengan konstan berbunyi di ruangan sunyi, senyap. Dari bunyian mesin, menandakan jika di ruangan itu terdapat makhluk hidup sedang bernapas, berdetak. namun, matanya terpejam rapat. Ya, dia adalah Venna Marlinda.Venna belum sadarkan diri. Setelah dia ditemukan semalam, tergeletak di jalanan. Gina yang belum melihat tanda-tanda Venna pulang, ia mencemaskan sahabatnya itu. Ketika ia menghubungi Venna, namun teleponnya tidak ada jawaban. Begitu pula dengan nomer ponsel Xandro. Gina pun mencari keluar menggunakan taksi.Tidak jauh dari apartemennya, Gina melihat seorang wanita tergeletak di jalanan. Dari pakaian yang terlihat oleh Gina, tentu saja ia tahu kalau itu adalah sahabatnya.Gina membawa Venna langsung dengan taksi yang ia tumpangi tadi menuju rumah sakit terdekat.Gina terbangun saat bunyi pintu terbuka. Di balik pintu itu menampakan Papa Zainal. Sebelumnya, ia menghubungi Papa Zainal. Mengabari keadaan wanita i
Tidak dalam sepenuhnya sadar dari rasa kantuk semenjak tadi menggelayut manja di mata Venna, ia mencoba membalikkan badan. Nanar matanya, menangkap manik mata Xandro. Lelaki itu masih sama terdiam semenjak ucapannya mengudara.Udara yang mulai terasa dingin pada malam hari yang di taburi bintang di atas sana, sangat bercahaya terang. Sesuai dengan apa yang di rasakan oleh Venna. Perasaan yang sempat di buat bahagia oleh Xandro dan bagaikan di atas awan. Seketika terhenyak, jatuh serta remuk menahan sakit.Venna berharap dan meminta apa yang di dengar olehnya, tidak sebuah kenyataan. Mungkin saja ia salah, bisa jadi juga efek dari rasa kantuk yang ia rasa. Ingin sekali ia meminta tuli saat ini juga. Tapi, ia lebih baik memastikan dulu ucapan itu benar atau tidaknya."Boleh aku mendengarnya sekali lagi? Ah, tadi aku kurang menangkap ucapanmu sayang. Takutnya aku salah dengar." Tidak, ucapan Xandro tentu jelas terngiang di telinga Venna. Ia hanya beralasan se
Mobil yang di jalankan Xandro membelah jalanan. Ada hal yang berbeda dari suasana di mobil kali ini. Xandro lebih banyak diam. Menampakan garis-garis halus di sela-sela alis yang di kerutkan itu. Tatapannya lurus ke depan. Namun, penuh sendu. Seperti banyak beban yang ia pikul.Venna sungguh di buat heran atas sikap kekasihnya itu. Baru seminggu ini dia tidak bertemu, sudah membuat Venna tidak mengenali sifat Xandro yang ia lihat hari ini."Sayang, kau kenapa?" Venna tidak bisa berdiam diri menanyakan keadaan lelaki itu.Tetapi seruan Venna, tidak membuat Xandro tersadar dari diamnya. Venna memegoyangkan bahu Xandro."Sayang ..."Xandro terjingkrak dari lamunannya. Hingga membuat bahunya ikut terangkat. Lalu menoleh pada Venna yang tengah menatapnya penuh rasa kekhawatiran.Xandro menggeleng samar. Ia mencoba menerbitkan senyuman di balik rasa gelagapan."Ti-tidak, A-aku tidak apa.""Kau yakin tidak apa?!" selidik Venna. Merasa kurang pe
Genap sudah satu minggu Xandro di rumah. Sekarang ia telah masuk kembali ke kantor, tanpa pengetahuan Gresya. Wanita itu tengah berada di luar kota. Semenjak kedatangannya ke rumah Xandro beberapa hari lalu.Sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing membuat hubungan Xandro dan Venna hanya komunikasi lewat pesan singkat. Selama itu juga Venna tidak mengetahui Xandro tidak bekerja.Drrrt...drrrt...Getaran ponsel terdengar riuh di atas meja kerja Xandro. Ia menoleh pada benda pipih yang menyala itu."Hallo," seru Xandro datar."Hay, sayang, maaf ya aku baru bisa menghubungimu. Aku rindu!" ucap Venna. Bibir yang cemberut dan wajah yang tiba-tiba sendu menggambarkan isi hatinya yang tengah memendam kerinduan mendalam pada sang kekasih."Kau tidak sibukkan hari ini? Gimana kalau kita jalan? Aku kebetulan lagi gak banyak pengunjung."Xandro mendengar, tapi raut wajahnya tidak menanggapi wanita itu. Sorotan matanya kosong memandang ke dep
Hari demi hari terus berganti. Dan hari ini, sudah hari ketiga Xandro tidak masuk kerja. Menghabiskan waktu di rumah. Berdiam diri seraya mempulihkan kembali kesehatan. Istrirahatkan diri dari pekerjaan sementara waktu. Ya, itu yang di harapkan oleh Xandro. Tapi sayang, tubuhnya semakin terasa lelah. Darah yang mengalir di hidungnya masih saja keluar.Bahkan, kini berpengaruh pada nafsu makannya. Seharian ini, hanya tiga suap yang bisa ia telan. Bersyukur Pak Tio bisa masak. Dia yang membuat bubur untuk Xandro.Sudah tiga hari ini juga, Venna hanya bisa mengirimkan pesan pada Xandro. Dewi Fortuna tengah berpihak padanya. Cafe-Venna, sedang di padati pengunjung. Sehingga dia ikut langsung turun tangan melayani pengunjung.Tetapi, semua itu malah di syukuri oleh Xandro. Setidaknya ia tidak perlu berbohong pada Venna. Dia hanya istirahat yang cukup, serta minum obat yang di berikan Dokter Jino. Lelaki itu sebagai Dokter langganannya, meradang amarah. Ia sudah
Pulang dari kantor, Xandro melajukan mobilnya menuju cafe Venna. Ia telah berjanji membawa wanita itu untuk nonton di sebuah bioskop.Sesampainya di cafe, wanita itu melempar senyuman pada Xandro. Kaki jenjang Venna mulai mengayun mendekati mobil lelaki itu."Maaf, lama membuatmu menunggu!" titah Xandro."Tidak apa! ayo kita berangkat, sayang!"Mobil pun kembali di lajukan oleh Xandro pada jalan beraspal itu. Sepanjang perjalanan, Venna mengikuti alunan lagu yang di putar. Sekali-kali ia melirik Venna dari kaca spion. Xandro ikut menerbitkan senyuman di raut wajahnya.Senyuman begitu mekar, perlahan menyurut. Perasaan gundah itu kembali menyentak dalam ingatan Xandro. Ia bahagia, bahagia melihat wanita yang dia cintai itu begitu nyaman di dekatnya.Apa bisa dia akan membuat kekasihnya selalu bahagia? Mengingat... Ah, rasanya tidak sanggup untuk membayangkan semua ini. Setidaknya, dia sebisa mungkin tidak akan melukai hati wanita
Siang hari di kantor, Gresya melangkah lebar masuk dari parkiran menuju kantor. Setelah selesai meeting dengan klien di sebuah restauran. Melewati setiap karyawan yang ia lalui.Ia mengetahui bahwa Xandro masuk kerja hari ini. Setelah kemaren kesehatannya terganggu sampai harus di bawa kerumah sakit. Seharusnya lelaki itu di rumah, sampai ia benar-benar sehat. Dan itu membuat Gresya tidak menyangka, bahwa Xandro memaksakan diri untuk kembali bekerja.Rambut yang diikat ekor kuda itu, berayun mengikuti gerak tubuhnya. Berjalan bak model. High Heels yang ia kenakan saling berbenturan di lantai marmer.Setiap mata yang melihat wanita itu, menunduk seraya memberi hormat pada atasan. Begitu juga dengan Alex. Namun, pria itu tidak mengalihkan pandangannya. Dia terus mematri pergerakan wanita itu. Hingga hilang di balik pintu ruang Xandro yang di buka olehnya.Sesampainya Gresya di dalam ruangan Xandro, raut wajah lelaki itu tampak tegang
Alex telah sampai di rumah sakit yang di sebutkan oleh Gresya lewat pesan itu. Memakirkan mobil di basement. Langkah lebar Alex kini memasuki rumah sakit. Ia langsung menuju meja resepsionis. Untuk menanyakan ruang dimana lelaki itu dirawat. Wanita itu tidak memberitahu di ruang mana lelaki itu berada."Permisi! Maaf, Nona, pasien atas nama Xandro julius diruang berapa, ya?" tanya Xandro kepada seorang wanita di meja resepsionis. Dengan seragam khas rumah sakit itu."Tunggu, sebentar!" wanita itu langsung mengecek daftar nama pasien yang masuk hari ini.Alex mengangguk tegas. Matanya masih mematri wanita cantik itu. Dengan wajah oval, mata bulat, hidung tinggi minimalis. Ah...dia benar-benar cantik."Tuan, pasien berada di lantai sembilan no 28," ucap wanita itu. Dahinya di buat mengerut melihat lelaki dihadapannya tidak berhenti tersenyum."Tuan..." Wanita dengan seragam rumah sakit itu melambaikan tangan di wajah Alex."Tuan, apa Anda baik-b