POV Vira
Aneh sekali hari ini kelakuan Mas Duta. Membuatku muak. Sepertinya sikap Mba Nita yang mendiamkannya, mampu mempengaruhi isi otaknya. Menjadi yang kedua sungguh tidak enak. Itu yang kurasa. menyebalkan! Aku harus berpura-pura baik pada mba Nita. Aku harus bersembunyi di balik topeng kebencianku padanya.
Jujur saja, aku sendiri ingin memiliki Mas Duta seutuhnya.
Namun, apalah daya, aku juga tidak mampu berbuat jahat. Walaupun aku mampu menjadi wanita kedua di hati Mas Duta, aku tidak ingin menjadi wanita pelakor yang jahat seperti diacara TV. Begini saja, namanya juga manusia, wajar memiliki rasa tidak suka.
Mba Nita sangat cuek, pendiam dan hampir tidak pernah berbicara.
Kebiasaannya hanya mengurung diri di kamar. Asik bermain handphone bersama Adnan. Melihat mereka sangat kompak, memiliki anak dari Mas Duta.
Adnan anak yang baik, dan mengerti akan kesibukkan Mamanya. Umurnya baru sembilan tahun. Namun, nalarnya mampu berpikir mandiri, memang didikan Mba Nita luar biasa, mampu menumbuhkan buah hati yang jauh dari kata manja.
Kemesraan yang ia tunjukkan pada ibunya membuatku ingin dipanggil mama. Pernah aku mencoba memintanya dengan sopan, tetapi dia menolakku.
"Maaf, Tante, Adnan gak bisa gantiin posisi Mama di hati Adnan." Begitu ucapannya. Rasanya aku sungguh ingin memiliki seorang anak. Aku harus cepat memiliki anak dari Mas Duta.
🖤🖤
"Vira kenapa kamu merenung?"
Suara Mba Nita mengagetkanku.Tumben Mba Nita menyapaku.
"Em ... enggak apa-apa Mbak, tumben Mbak Nita pulang masih sore?" ucapku bertanya. Mbak Nita hanya menyunggingkan senyum. Tidak bisa kupungkiri, senyumnya sungguh manis, memiliki dua lesung Pipit yang begitu dalam. Manis ... sekali. 'Ternyata begini senyum manisnya'
"Vira ... sini duduk di sebelah saya," Aku menghampirinya "Iya, Mbak," jawabku.
"Boleh aku bertanya padamu?" tanya Mbak Nita.
"Boleh Mbak silahkan."
Kulihat wajahnya begitu tenang.
"Kamu kenapa mau menjadi istri kedua?" tanya Mbak Nita.
"Apakah saya harus jujur, Mbak?" ucapku.
"Iya ... katakan yang sejujurnya!" pintanya
"Pertama, jelas karena Mas Duta tampan. Kedua, Mas Duta juga mapan. Ketiga, pesonanya mampu membuat wanita manapun jatuh hati. Keempat, saya mencintainya. Saya tau Mbak, saya salah, tapi saya cinta dengan Mas Duta.
"Jika saya tidak mampu memilikinya, hati saya terasa sakit. Lagi pula dia menikahi saya Mbak, saya tidak diam-diam menjalin hubungan dengannya, menjadi yang kedua memang memalukan untuk saya, tetapi saya ingin membahagiakan hati saya. Tidak peduli cemohan orang di luar sana, nanti juga mulut-mulut berbusa mereka akan berhenti dengan sendirinya."
Mbak Nita masih terdiam dengan jawabanku, aku lihat dia masih tenang dan hanya mengangguk. Setabah itukah hatinya? tidak seperti wanita di film-film yang suka kulihat, hanya menangis dan menangis, meratapi nasib di tinggal suami nikah lagi.
"Dimana kamu mengenal Duta, Vir? tanya Mbak Nita lagi.
"Di kantin kantor Mbak, saat itu Mas Duta mencuri pandang pada saya. Menghampiri saya dan meminta nomor ponsel saya. Saya yang terpana akan ketampanannya, tergoda untuk memberikan nomor ponsel saya, akhirnya kami mulai berkirim pesan, lama-lama semakin dekat, dan semakin mesra, Mas Duta bercerita, dia telah memiliki seorang istri, karena saya sudah menaruh hati,
maka kuterima pinangannya.
"Lagi pula, Mas Duta sangat tampan dan kaya, Jadi saya tidak dapat menolaknya," jawabku.
'Tapi sebelum itu aku menjalin hubungan tanpa menikah terlebih dahulu, aku tida tahu dia telah beristri' ucapku dalam hati.
Sekali lagi Mbak Nita hanya tersenyum. Benar-benar membuatku bergidik.
Terbuat dari apa wanita satu ini.
"Saya masuk kamar dulu, Vir," ucapnya. Sebelum aku menjawab, Mbak Nita sudah berlalu dari pandanganku.
🖤🖤🖤
Mas Duta masih uring-uringan.
Aku coba menghampiri dan menenangkannya. Dia terlihat begitu marah.
"Nita udah pulang, Vir?" tanyanya.
"Sudah, Mas, sedang beristirahat di kamarnya."
Mas Duta bergagas keluar dan membanting pintu kamarku, sepertinya dia menuju kamar Mbak Nita. Sempat kulihat sesaat sebelum berlalu wajahnya merah penuh emosi. Aku pun mengikuti langkahnya keluar. Hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Entah masalah apa yang sedang dipikirannya.
Terlihat Mas Duta mengetuk pintu kamar Mbak Nita. Namun, tak kunjung dibuka.
"Nita ... buka!" triak Mas Duta.
Mbak Nita masih belum membukanya.
"Nita ... buka pintu!" triak Mas Duta lagi sambil terus menggedor.
Mas Duta terlihat semakin marah, akhirnya mencoba mendobrak pintu kamar mbak Nita.
"Papa!" triak Adnan mengagetkanku. Namun, tidak dihiraukan oleh Mas Duta.
"Pap-," Belum sempat Adnan melanjutkan ucapannya, Mbak Nita membuka pintu kamarnya. Adnan pun berlari menghampiri Mamanya dan memeluknya erat.
"Mama … don't sad." Adnan bergelayut manja pada Mbak Nita.
"Mama tidak sedih sayang … lihat ini, Mama tersenyum," ucap mbak Nita sambil tersenyum di depan wajah putranya. Adanan memeluk Mamanya dan berucap, "I love you, Mama." Aku yang melihatnya sedikit terharu. Mas Duta sudah terlihat agak tenang. Namun, Mbak Nita masih mengabaikannya.
"Nita …! aku mau ngomong sama kamu!" ucap Mas Duta.
"Nanti … setelah anak saya beristirahat," tolak Mbak Nita.
Mereka keluar meninggalkan aku dan mas Duta. Terlihat Adnan juga mengabaikan papanya. Kulihat mereka bergagas keluar dengan penuh keceriaan sambil bergandengan tangan. Melihat Pemandangan itu membuat hatiku merasa terharu dan tersentuh. Sepertinya aku bisa merasakan kepedihan mereka.
'Ya Allah ….'
POVNitaMendengar pengakuan Vira, bohong kalau aku tidak terluka.Aku tidak pernah menyangka akan kehilangan suamiku. Aku bingung antara bertahan atau melepaskan.Jika aku bertahan, aku hidup di dalam kebisuan. Jika aku melepaskan, maka Vira akan menang. Dan aku kalah.Ya Allah, bagaimana ini? Aku bingung.
POV DutaKulihat Adnan hendak menuju kamar Mamanya."Adnan! Kemari, Sayang," pintaku."Iya, Pa. Ada apa?" jawab Adnan menghampiriku."Adnan tadi pergi ke mana sama, Mama?"
POV NitaAku merapikan wajah dan rambut yang tak beraturan akibat ulah Mas Duta. Kupoles wajah dengan sedikit riasan tipis.Baru kemudian aku akan menghampiri Adnan keluar.'Duta kamu saja bisa mengingkari janjimu, lantas mengapa tidak denganku. Kalau kau saja mampu berselingkuh di belakangku, kenapa tidak dengan aku. Masih saja kamu bertanya apa maksudku.Tidakkah kamu ingat s
POV ViraMas Duta dan Mba Nita, mereka tidak ada yang pulang ke rumah satu pun. Rasanya menyebalkan aku di rumah sendirian, lama-lama rasa ketidaksukaanku pada Mba Nita semakin bertambah. Kalau dia memang tidak menyukainya, kenapa dia mengijinkan pernikahan itu terjadi. Menyebalkan!"Bi, Nani …!" panggilku sedik
POV DutaAku mengikuti Nita, masuk ke kamar. Nita terduduk lemas penuh kemarahan. Pintu kamar segera kukunci dari dalam. Rasa marah dan emosi meyulut ke dalam hati hingga aku tak mampu lagi untuk mengontrol diri.Banyak pertanyaan aku lontarkan. Aku tidak mau tahu, aku harus mendapat jawaban.
Pov NitaAku beranjak meninggalkan Duta yang masih terdiam di kamarku. Rasanya aku sudah lega meluapkan seluruh emosiku. Tanpa sadar aku mengingatkan kedudukannya, mengungkit masalalunya. Biar, yang terpenting aku merasa lega.Hal yang sangat kubenci darinya adalah, mengabaikanku dan asik berVC yang tak seronok. Menjijikan, d
POV DutaKacau! Kacau! Otakku kacau. Nita tidak sedang menggeretaku. Dia benar-benar melakukannya. Tuhan … aku tidak mau kehilangan istriku. Bagaimana ini? Aku sangat mencintainya. Aku tak mau kehilangan Nita. 'Maafkan aku Nita, aku khilaf.'Pikiranku kalang kabut. Aku menyesal telah menghianatinya. Namun, percuma penyesalanku tidak akan merubah segalanya. Bagaimana ini? aku tidak mau kehilangan Nita. Nita harus tetap menjadi miliku
Nita meninggalkan Duta dalam keadaan terpuruk. Air mata hampir tumpah, tapi dia tahan. Nita kasian melihat Mas Duta, tapi ini memang sudah jadi pilihan terbaik.Nita resmi meninggalkannya. Dia sudah resmi terlepas dari suaminya. Walaupun hari terasa sakit. Namun, dia tidak mampu menerima madunya. Seberapa pun kuat dia berusaha, tapi tetap tak bisa.Dari pada menambah banyak dosa karena hubungan rumah tangga yang tak sehat, lebih baik Nita melepaskannya."Adnan maafin, Mama ya?" ucap Nita sambil mengusap wajah putranya."Jangan sedih, Ma." Adnan memeluknya erat. Mengusap air matanya yang terjatuh.'Ya Allah anakku, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Duta. Aku bersyukur karena memiliki Adnan. Tanpa ada Mas Duta, tidak mungkin terlahir seorang Adnan,' batinnya."Ma, kita mau kemana?"
Beberapa tahun kemudian.Allhamdullillah aku kini sedang mengandung anak keduaku dengan suamiku tercinta, Brata Atmaja. Kini aku sudah menjadi Ibu dari tiga orang anak walaupun yang satu masih dalam kandungan. Kehidupanku sangat bahagia.Bang Adnan sekarang sedang kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika. Semakin dewasa Adnan semakin tampan dan sangat mirip dengan Papanya dan berlesung Pipit seperti Ibunya. Sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk berlibur. Hati ini rasanya sangat rindu dan tidak sabar menyambut kedatangannya. Putraku kini sudah besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya.Gama dan Nanda kini mereka sudah menikah. Nanda sendiri sedang mengandung anak pertamanya. Nanda ikut Gama tinggal di Bali mengurus hotelku di sana. Hotel itu
POV NitaAkhirnya aku bisa menikah dengan orang yang benar-benar luar biasa. Baik dan penyayang. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dihindari dari yang namanya godaan wanita. Walau bagaimanapun aku pernah gagal, aku tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Rasa trauma bekas penghianatan kemaren jujur masih terngiang dan menjadi ketakutan tersendiri. Memang tidak semua laki-laki sama. Namun, tetap saja masih ada rasa trauma. Terauma jika suamiku akan diambil perempuan lain."Ma … kasian, Papa," ucap anakku."Kenapa, Sayang?" Brata melirik kearahku."Papa sekarang tinggal di tempat Nenek. Tadi Adnan nelpon Papa, terus Papa bilang kalau
POV Vira"Mas kamu bener-bener Kelewatan," ucapku pada Mas Damar tapi dengan tawa jahat.Aku dan dia berjalan- jalan menggunakan mobil baru. Masih belum terfikir kami mau kabur ke mana, sebab kalau bandara pasti di jaga polisi. Secara Mas Duta pasti sudah melapor polisi."Biar si bodoh itu tau rasa!" Beraninya dia menyia-nyiakan kamu!" ucapnya."Tadinya aku kira kamu tidak akan mengajaku pergi. Kamu tidak pernah datang ke rumah Duta, semenjak dia menikah denganku," lirihku."Iya aku gak bisa dong liat kamu dengan orang lain! Jika kamu bahagia dengan mereka mungkin aku akan mengikhlaskan kamu. Nyatanya mereka seenaknya sendiri memperlakukan kamu." Entah ben
Dita kembali menelponku dia bilang ada kekacauan di kantor. Aku langsung bergagas ke sana. Kunyalakan mesin mobil dan kupacu secepat mungkin. Kalau untuk mengebut aku memang ahlinya bahkan aku mampu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hanya dalam waktu 15 menit.Aku melihat terjadi kericuhan di sana. Para karyawan berdemo meminta gajih bulanan mereka yang belum dibayarkan. Padahal masalah gajih sudah kuserahkan semua pada Damar. Dengan kesal aku mencari keberadaan Damar. Namun, tak kusangka Dita bilang Damar telah pergi."Brengsek Damar!""Dita kamu tenangkan dulu karyawan yang lain. Bilang saya akan membayar gajih mereka.""Siap, Pak"Aku bergegas ke ruangan Damar mencari apa pun yang dapat kutemukan. Namun, nihil, tidak ada yang kudapatkan. Akan tetapi ada sepucuk surat yang diletakan di meja. Dengan cepat aku membuka amp
"Sudah rapi?" tanyaku pada Vira. Dia terus memegangi perutnya."Serius ini mau di bawa pulang?" tanya Damar."Dokter bilang bisa dirawat di rumah, Mar. Lo tau sendiri keuangan gue lagi gimana sekarang."Makanya cari istri jangan yang malah nyusahin, sial kan kamu nikah sama pelakor ini," cetus Ibu. Entah kapan Ibu datang tidak ada kabar berita kedatangannya tiba-tiba saja Ibu muncul sepagi ini."Sudah, Bu Nengsih, ini rumah sakit tidak enak ribut-ribut," ucap Damar."Halah ini kan ruang VIP, tidak ada yang dengar," sanggah Ibu. "Udah si, cerain aja istri begini bikin sial aja."Damar hanya menggeleng kepala. Pusing juga dengar Ibu ngomong cerai tiap hari."Bagus lah, Bu. Kalau Mas Duta mau cerain saya, suatu keberuntungan untuk saya," sahut Vira kesal.
Setelah beberapa menit kami sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruangan Vira. Sedangkan Damar mampir ke kantin untuk membeli makanan. Sesampainya di depan pintu aku mendengar anakku menangis kencang. Langsung saja aku masuk. Kok tidak ada orang? Di mana Ibu? Mungkin Ibu sedang membeli makanan. Lalu, kenapa anakku berada di kasur Ibunya bukan di tempat bayi? "Cup … cup … cup, Sayang …" Aku langsung menggendong dan mendiamkannya. Sepertinya dia pup, jadi dia menangis. "Vir … !" panggilku. "Iya, Mas. Syukur Alhamdulillah Mas Duta sudah kembali," jawabnya terseok-seok keluar dari kamar mandi dan memegangi perutnya. "Masih sakit?" "Sedikit, Mas ... mungki efek triak-triak kemaren." "Ibu kemana?"
POV DutaPagi ini adalah pagi yang akan menentukan nasibku nanti. Mungkinkah aku dapat melawan Nita? Nita sangat mengerti tentang pariwisata dan perhotelan. Bakat marketingnya tidak bisa dipungkiri. Saat dia membantuku menjalani bisnis itu, dengan sekejap hotelku mengalami kemajuan, bahkan hingga menjadi target investor untuk ikut menanam modalnya. Sehingga aku tidak perlu lagi bekerja dengan mertuaku. Mungkinkah Nita akan merebut segalanya?"Gimana, Mar? Siap?" tanyaku pada Damar."Siap. Lo yakin akan menangin kerja sama ini?" Ada raut panik diwajah Damar."Y
Pov NitaMa … bangun ada tamu." Adnan beberapa kali mengetuk pintu kamarku. Kulihat waktu sudah pukul 21.00.Aku mengikat rambut, dengan riasan sisa tadi siang masih menempel di wajah."Iya, Mama keluar." Aku membuka pintu kulihat Adnan sudah tidak ada, mungkin di ruang tamu.Ada lima orang sedang berkumpul di sana. Satu wanita yang wajahnya tak asing sedang hangat berbicara dengan Papa dan Adnan. Aku menghampiri mereka."Nanda, hai akhirnya kamu ke sini juga. Maaf ya, aku baru bangun tidur," ucapku lalu duduk di sebelahnya."Dengan siapa?" tanyaku."Calon suamiku," jawabnya dengan menunjuk seseorang yang duduk di depannya. Pan
POV Vira Baru sehari aku ditinggal dengan mertuaku ampun deh! Bawel banget. Bisa-bisa aku gila kalau seperti ini. Mbak Nita kuat banget punya mertua kayak begini. Rasanya ingin kukasih racun tikus mertua gila ini. Ya Tuhan … seharian ini kerjanya ceramah terus, sampai kupingku terasa budeg. Ingin melawan tapi percuma, tenagaku sedang lemah, luka bekas jahitan juga belum terlalu kering. Sebegitu hinanya ternyata istri kedua dimata orang, bahkan dimata mertuaku. Mas Duta kenapa tidak menyuruh suster aja untuk membantuku, kenapa harus memanggil Ibunya yang kaya macan ini? Tidak pernah terbayang dalam hidupku aku akan berhubungan dengan mertua sadis. Sepertinya kalau terus seperti ini aku tidak akan kuat dengan Mas Duta. Kesung