POV Nita
Mendengar pengakuan Vira, bohong kalau aku tidak terluka.
Aku tidak pernah menyangka akan kehilangan suamiku. Aku bingung antara bertahan atau melepaskan.
Jika aku bertahan, aku hidup di dalam kebisuan. Jika aku melepaskan, maka Vira akan menang. Dan aku kalah.
Ya Allah, bagaimana ini? Aku bingung.
Jika aku bilang tidak terluka, maka aku telah berdusta. Sejatinya, aku wanita biasa, yang pasti memiliki rasa sakit. Bohong kalau aku tidak mencintai Mas Duta.
Bohong kalau aku tidak terluka oleh perlakuannya. Namun, cinta ini sudah berubah menjadi kebencian dan rasa sakit yang luar biasa.
Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku harus kuat. Aku tidak ingin ditertawakan oleh maduku.
🖤🖤🖤
"Aku ke kamar dulu Vir," ucapku.
"Iya, Mbak," jawabnya.
Aku berjalan santai ke kamar, membuka pintu membaringkan tubuh di ranjang, tak lupa pintu kamar kututup kembali, aku menertawakan diriku sendiri.
Tak menyangka, aku betul-betul memiliki madu. Nikmat sekali rasanya. "Hahaha." Aku tertawa dalam hati. Menertawakan nasibku yang di madu.
Untung saja pembawaanku tenang. Tidak terlihat rasa cemburu sedikit pun. Cemburu? Sepertinya tidak, bukan cemburu, mungkin perasaan tidak suka. Namun, aku tidak bisa menyimpulkan kalau itu cemburu. Entahlah, yang pasti aku benci, sakit, dan ingin menangis.
Aku yang lelah, mencoba untuk memejamkan mata.
Pekerjaan di kantor sangat banyak. Namun, aku sangat menikmatinya. Terlebih lagi rekan di sana sangat asik.
Jiwa mudaku seperti tumbuh. Banyak teman lelaki mencuri pandang. Jika teman wanita gemas dengan lesung Pipitku, maka teman lelaki, mereka bilang gemas dengan semuanya. Ada satu pria yang dapat memikat hatiku, hanya saja aku mengaguminya secara diam. Begitulah aku, selalu menghargai pasangan. Namum entah untuk sekarang.
Setelah mengingat teman kantor, rasanya senyumku kembali mengembang dan lelahku sedikit berkurang.
Nita … ! Buka pintu! Nita ...!" Mas Duta terus berteriak, membuat gendang telingaku terasa pekak.
Aku tidak menjawab. Malas rasanya.
Mas Duta masih terus menggedor dan aku masih mengabaikannya. Untuk melangkahkan kaki pun rasanya sangat malas.
"Papa!"
Aku mendengar anakku berteriak memanggil Papanya. Namun, diabaikan oleh Mas Duta.
Masih kudiamkan.
"Pa …." Sebelum Adnan melanjutkan ucapannya, kuputuskan membuka pintu. Adnan menghampiri dan memelukku,
"Don't sad Mama." Membelai lembut wajahku.
"Mama enggak sedih, Sayang," ucapku mencium lembut keningnya. Mas Duta hanya terdiam.
"Nita aku ingin berbicara denganmu!" ucap Mas Duta.
"Nanti, setelah anakku beristirahat." Aku menggandeng tangan putrakku.
Bergagas keluar mengajaknya bermain.
Terlihat pancaran keceriaan dari wajahnya.
"Kita berjalan-jalan Ma...," ucapnya, kubalas dengan anggukan kepala.
🖤🖤🖤
"Nita! seseorang memanggil.
Aku menoleh, "Brata ... kau di sini?" ucapku sedikit terkejut.
"Hay jagoan, " sapa Brata dengan lembut.
"Hay, Om," jawab Adnan semangat.
"Iya ni, aku lagi muter-muter sekitar komplek, lari sore, eh liat kamu." jawabannya sedikit malu.
"Iya, aku lagi bawa Adnan jalan sore, suntuk di rumah," ungkapku sambil senyum.
"Jangan senyum, Nita, aku gak kuat melihatnya," cetusnya membuatku kaget.
"Kamu ngomong apa?" tanyaku penasaran.
"Oh ... aku bilang bareng aja kalau gitu," iya 'kan anak tampan?" jawabnya mengalihkan pembicaraan dengan Adnan.
Brata adalah teman SMK-ku dulu. Dia yang membantuku untuk masuk kerja di perusahaannya. Orangnya tampan, putih, tinggi, dengan hidung mancung mirip artis Korea. Umurnya, sekitar 32 tahun. Tetapi, belum menikah, katanya masih mau sendiri. Menunggu seseorang. Aku tidak pernah mencari tau tentang dirinya. Lagi pula aku sudah bersuami.
Kami jalan bertiga, Brata dan Adnan asik bergurau. Au merasa aneh, ketika dengan Papanya dia tidak seagresif ini, dengan Brata comelnya bikin kepalaku hampir pecah.
Aku tersenyum menyaksikannya. Rasa kesalku terhadap Mas Duta sedikit terlupakan.
Aku bukan tipe wanita yang suka curhat tentang hubungan rumah tangga kepada temanku. Pahit manis kutelan sendiri, mengapa? karena bagiku, menikah itu pilihan. Kita harus siap konsekuensinya, baik, buruk pasangan, itu resiko kita.
"Om duduk yu, aku cape Om, lihat ni wajah tampan aku memerah."
Brata tertawa mendengar kelucuan Adnan.
"Ayo, tampannya,Om," jawab Brata. Mereka pun duduk di kursi taman. Aku lihat keduanya sangat haus, keringat bercucuran dari kening mereka.
Aku melangkah berniat membeli air minum.
"Mama mau kemana?" tanya anakku.
"Mama beli minum dulu sayang, diam di situ dengan Om ya!"
"Oke Ma."
Aku berjalan ke warung sebrang taman. Tak lama berjalan, aku sampai di warung Bu Wati.
"Bu ... beli air mineral dua ya."
"Iya Mba Nita ambil saja!"
Aku mengambil dua air mineral dingin, menyerahkan pecahan uang sepuluh ribu rupiah.
"Ini uangnya Bu."
"Iya Mba Nita, trima kasih, ini kembaliannya."
Bu Wati memberi uang pecahan dua ribu, aku menolaknya. Memang aku lupa membawa dompet, hanya ada uang sepuluh ribu dikantongku.
"Ambil aja kembaliannya, Bu," aku tertawa sedikit malu.
"Makasih ya Mba. Oh iya, itu wanita baru yang masih muda seperti Mba Nita, pembantu baru? kok dekat sekali dengan Pak Duta ya Mba?
penampilannya juga tidak seperti pembantu," celetuk Bu Wati membuatku sedikit deg-degan.
"Oh itu, istri kedua suamiku Bu, cantik ya," jawabku santai seperti tidak ada masalah.
"Masih cantik Mba Nita, aku saja yang perempuan, begitu mengagumi, bagaimana dengan laki-laki Mba, Masya Allah, Mba Nita ini mahluk Tuhan yang indah," pujinya.
Aku merasa biasa saja dengan pujiannya, Mungkin ratusan orang bilang aku cantik, meski aku sendiri justru merasa biasa saja. Kalau aku cantik, tidak mungkin suamiku mendua.
"Sudah dulu ya Bu ... aku sudah di tunggu," ucapku meninggalkan Bu Wati.
🖤🖤🖤
"Kamu tampan, seperti Mama kamu yang sangat cantik," ucap Brata yang tak sadar akan kehadiranku.
"Iya aku memang tampan, Om. Di sekolah aku jadi favorit guru-guru. Mereka bilang, Adnan tampan," jawab anakku dengan PD-nya.
"Ehem ...," dehemanku mengagetkan Brata.
"Mama lama! aku haus, Ma," ucap Adnan. Brata mengusap lembut rambut putraku. Hatiku merasa terenyuh.
"Ini, sayang minumnya." Aku membuka satu untuk Adnan dan satu untuk Brata.
Mereka minum seperti galon bocor. Aku hanya tertawa, lucu sekali melihatnya. Ampun, aku sungguh terhibur.
Kami berbincang penuh canda dan tawa. Brata meminta nomor ponselku, dan kuberikan saja. Masa bodo dengan hati Duta. Toh aku menganggapnya hanya untuk berteman. Lagi pula, aku memang butuh seorang teman.
🖤🖤🖤
"Udah sore ni, mau maghrib. Ayo pulang," ajak Brata. Sebenarnya aku malas pulang, tapi anakku, tidak mungkin berada di luaran terus.
"Ayo," jawabku dengan malas.
Kami bertiga bangun dari tempat duduk dan beranjak pulang. Brata mengantar kami sampai di depan rumah.
"Dadah, Om! lain kali kita jalan bersama lagi ya, Om," pinta anakku dan disetujui oleh Brata.
"Kami masuk dulu, bye.' Aku melambaikan tangan. "Masuk ke rumah neraka lagi," gumamku.
Terlihat, Brata sudah menjauh dari pandangan.
🖤🖤🖤
Adnan membuka pintu, terlihat Mas Duta dan Vira sedang menonton televisi di ruang tengah.
Mas Duta menatapku tajam, tapi aku mengabaikannya.
"Sayang, kamu lapar gak?" tanyaku pada Adnan.
"Lapar, Ma, makan di luar yuk, Ma," rajuknya manja. Anak cerdas ... aku tersenyum lega.
"Ya udah kamu mandi, jangan lupa shalat maghrib dulu. Mama juga mau mandi, kalau Adnan sudah siap, ketuk pintu kamar Mama."
"Oke, Ma." Adnan meninggalkanku ke kamarnya, dan aku ke kamarku, seperti biasa, melewati kedua manusia tanpa dosa.
Mas Duta melirikku. Aku bersikap masa bodoh. Pintu kamar segera kututup. Muak sekali melihat mereka
POV DutaKulihat Adnan hendak menuju kamar Mamanya."Adnan! Kemari, Sayang," pintaku."Iya, Pa. Ada apa?" jawab Adnan menghampiriku."Adnan tadi pergi ke mana sama, Mama?"
POV NitaAku merapikan wajah dan rambut yang tak beraturan akibat ulah Mas Duta. Kupoles wajah dengan sedikit riasan tipis.Baru kemudian aku akan menghampiri Adnan keluar.'Duta kamu saja bisa mengingkari janjimu, lantas mengapa tidak denganku. Kalau kau saja mampu berselingkuh di belakangku, kenapa tidak dengan aku. Masih saja kamu bertanya apa maksudku.Tidakkah kamu ingat s
POV ViraMas Duta dan Mba Nita, mereka tidak ada yang pulang ke rumah satu pun. Rasanya menyebalkan aku di rumah sendirian, lama-lama rasa ketidaksukaanku pada Mba Nita semakin bertambah. Kalau dia memang tidak menyukainya, kenapa dia mengijinkan pernikahan itu terjadi. Menyebalkan!"Bi, Nani …!" panggilku sedik
POV DutaAku mengikuti Nita, masuk ke kamar. Nita terduduk lemas penuh kemarahan. Pintu kamar segera kukunci dari dalam. Rasa marah dan emosi meyulut ke dalam hati hingga aku tak mampu lagi untuk mengontrol diri.Banyak pertanyaan aku lontarkan. Aku tidak mau tahu, aku harus mendapat jawaban.
Pov NitaAku beranjak meninggalkan Duta yang masih terdiam di kamarku. Rasanya aku sudah lega meluapkan seluruh emosiku. Tanpa sadar aku mengingatkan kedudukannya, mengungkit masalalunya. Biar, yang terpenting aku merasa lega.Hal yang sangat kubenci darinya adalah, mengabaikanku dan asik berVC yang tak seronok. Menjijikan, d
POV DutaKacau! Kacau! Otakku kacau. Nita tidak sedang menggeretaku. Dia benar-benar melakukannya. Tuhan … aku tidak mau kehilangan istriku. Bagaimana ini? Aku sangat mencintainya. Aku tak mau kehilangan Nita. 'Maafkan aku Nita, aku khilaf.'Pikiranku kalang kabut. Aku menyesal telah menghianatinya. Namun, percuma penyesalanku tidak akan merubah segalanya. Bagaimana ini? aku tidak mau kehilangan Nita. Nita harus tetap menjadi miliku
Nita meninggalkan Duta dalam keadaan terpuruk. Air mata hampir tumpah, tapi dia tahan. Nita kasian melihat Mas Duta, tapi ini memang sudah jadi pilihan terbaik.Nita resmi meninggalkannya. Dia sudah resmi terlepas dari suaminya. Walaupun hari terasa sakit. Namun, dia tidak mampu menerima madunya. Seberapa pun kuat dia berusaha, tapi tetap tak bisa.Dari pada menambah banyak dosa karena hubungan rumah tangga yang tak sehat, lebih baik Nita melepaskannya."Adnan maafin, Mama ya?" ucap Nita sambil mengusap wajah putranya."Jangan sedih, Ma." Adnan memeluknya erat. Mengusap air matanya yang terjatuh.'Ya Allah anakku, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Duta. Aku bersyukur karena memiliki Adnan. Tanpa ada Mas Duta, tidak mungkin terlahir seorang Adnan,' batinnya."Ma, kita mau kemana?"
Pov ViraMbak Nita pergi dari rumah, tidak membawa sedikit pun hartanya. Hanya membawa anak tiriku saja. Baguslah aku juga tidak menginginkannya. Lebih baik mengurus anak kandung sendiri. Siapa yang gak seneng, sebagai wanita kedua namun mampu memiliki suami seutuhnya, ditambah Mbak Nita tidak menuntut harta apa pun. Otomatis aku yang menguasainya, memang takdir baik ada pada diriku.Belakangan ini, Mas Duta hanya mengurung diri di kamar Mbak Nita, membuatku muak atas sikapnya. Dia seperti tidak menganggap aku ada. Isi otaknya hanya Nita, Nita, dan Nita. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Walau bagaimanapun, aku ini juga istrinya, seharusnya dia memikirkan perasaanku juga, jangan hanya sibuk dengan mantan istrinya. Menyebalkan sekali, ingin rasanya menunjukkan sikap ketidaksukaan, tapi aku tahu diri, tidak mungkin menunjukkannya sekarang. Jenuh juga melihat sikap Mas Duta yang seperti itu.Aku mencoba mengetuk kamar Mba Nit
Beberapa tahun kemudian.Allhamdullillah aku kini sedang mengandung anak keduaku dengan suamiku tercinta, Brata Atmaja. Kini aku sudah menjadi Ibu dari tiga orang anak walaupun yang satu masih dalam kandungan. Kehidupanku sangat bahagia.Bang Adnan sekarang sedang kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika. Semakin dewasa Adnan semakin tampan dan sangat mirip dengan Papanya dan berlesung Pipit seperti Ibunya. Sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk berlibur. Hati ini rasanya sangat rindu dan tidak sabar menyambut kedatangannya. Putraku kini sudah besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya.Gama dan Nanda kini mereka sudah menikah. Nanda sendiri sedang mengandung anak pertamanya. Nanda ikut Gama tinggal di Bali mengurus hotelku di sana. Hotel itu
POV NitaAkhirnya aku bisa menikah dengan orang yang benar-benar luar biasa. Baik dan penyayang. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dihindari dari yang namanya godaan wanita. Walau bagaimanapun aku pernah gagal, aku tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Rasa trauma bekas penghianatan kemaren jujur masih terngiang dan menjadi ketakutan tersendiri. Memang tidak semua laki-laki sama. Namun, tetap saja masih ada rasa trauma. Terauma jika suamiku akan diambil perempuan lain."Ma … kasian, Papa," ucap anakku."Kenapa, Sayang?" Brata melirik kearahku."Papa sekarang tinggal di tempat Nenek. Tadi Adnan nelpon Papa, terus Papa bilang kalau
POV Vira"Mas kamu bener-bener Kelewatan," ucapku pada Mas Damar tapi dengan tawa jahat.Aku dan dia berjalan- jalan menggunakan mobil baru. Masih belum terfikir kami mau kabur ke mana, sebab kalau bandara pasti di jaga polisi. Secara Mas Duta pasti sudah melapor polisi."Biar si bodoh itu tau rasa!" Beraninya dia menyia-nyiakan kamu!" ucapnya."Tadinya aku kira kamu tidak akan mengajaku pergi. Kamu tidak pernah datang ke rumah Duta, semenjak dia menikah denganku," lirihku."Iya aku gak bisa dong liat kamu dengan orang lain! Jika kamu bahagia dengan mereka mungkin aku akan mengikhlaskan kamu. Nyatanya mereka seenaknya sendiri memperlakukan kamu." Entah ben
Dita kembali menelponku dia bilang ada kekacauan di kantor. Aku langsung bergagas ke sana. Kunyalakan mesin mobil dan kupacu secepat mungkin. Kalau untuk mengebut aku memang ahlinya bahkan aku mampu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hanya dalam waktu 15 menit.Aku melihat terjadi kericuhan di sana. Para karyawan berdemo meminta gajih bulanan mereka yang belum dibayarkan. Padahal masalah gajih sudah kuserahkan semua pada Damar. Dengan kesal aku mencari keberadaan Damar. Namun, tak kusangka Dita bilang Damar telah pergi."Brengsek Damar!""Dita kamu tenangkan dulu karyawan yang lain. Bilang saya akan membayar gajih mereka.""Siap, Pak"Aku bergegas ke ruangan Damar mencari apa pun yang dapat kutemukan. Namun, nihil, tidak ada yang kudapatkan. Akan tetapi ada sepucuk surat yang diletakan di meja. Dengan cepat aku membuka amp
"Sudah rapi?" tanyaku pada Vira. Dia terus memegangi perutnya."Serius ini mau di bawa pulang?" tanya Damar."Dokter bilang bisa dirawat di rumah, Mar. Lo tau sendiri keuangan gue lagi gimana sekarang."Makanya cari istri jangan yang malah nyusahin, sial kan kamu nikah sama pelakor ini," cetus Ibu. Entah kapan Ibu datang tidak ada kabar berita kedatangannya tiba-tiba saja Ibu muncul sepagi ini."Sudah, Bu Nengsih, ini rumah sakit tidak enak ribut-ribut," ucap Damar."Halah ini kan ruang VIP, tidak ada yang dengar," sanggah Ibu. "Udah si, cerain aja istri begini bikin sial aja."Damar hanya menggeleng kepala. Pusing juga dengar Ibu ngomong cerai tiap hari."Bagus lah, Bu. Kalau Mas Duta mau cerain saya, suatu keberuntungan untuk saya," sahut Vira kesal.
Setelah beberapa menit kami sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruangan Vira. Sedangkan Damar mampir ke kantin untuk membeli makanan. Sesampainya di depan pintu aku mendengar anakku menangis kencang. Langsung saja aku masuk. Kok tidak ada orang? Di mana Ibu? Mungkin Ibu sedang membeli makanan. Lalu, kenapa anakku berada di kasur Ibunya bukan di tempat bayi? "Cup … cup … cup, Sayang …" Aku langsung menggendong dan mendiamkannya. Sepertinya dia pup, jadi dia menangis. "Vir … !" panggilku. "Iya, Mas. Syukur Alhamdulillah Mas Duta sudah kembali," jawabnya terseok-seok keluar dari kamar mandi dan memegangi perutnya. "Masih sakit?" "Sedikit, Mas ... mungki efek triak-triak kemaren." "Ibu kemana?"
POV DutaPagi ini adalah pagi yang akan menentukan nasibku nanti. Mungkinkah aku dapat melawan Nita? Nita sangat mengerti tentang pariwisata dan perhotelan. Bakat marketingnya tidak bisa dipungkiri. Saat dia membantuku menjalani bisnis itu, dengan sekejap hotelku mengalami kemajuan, bahkan hingga menjadi target investor untuk ikut menanam modalnya. Sehingga aku tidak perlu lagi bekerja dengan mertuaku. Mungkinkah Nita akan merebut segalanya?"Gimana, Mar? Siap?" tanyaku pada Damar."Siap. Lo yakin akan menangin kerja sama ini?" Ada raut panik diwajah Damar."Y
Pov NitaMa … bangun ada tamu." Adnan beberapa kali mengetuk pintu kamarku. Kulihat waktu sudah pukul 21.00.Aku mengikat rambut, dengan riasan sisa tadi siang masih menempel di wajah."Iya, Mama keluar." Aku membuka pintu kulihat Adnan sudah tidak ada, mungkin di ruang tamu.Ada lima orang sedang berkumpul di sana. Satu wanita yang wajahnya tak asing sedang hangat berbicara dengan Papa dan Adnan. Aku menghampiri mereka."Nanda, hai akhirnya kamu ke sini juga. Maaf ya, aku baru bangun tidur," ucapku lalu duduk di sebelahnya."Dengan siapa?" tanyaku."Calon suamiku," jawabnya dengan menunjuk seseorang yang duduk di depannya. Pan
POV Vira Baru sehari aku ditinggal dengan mertuaku ampun deh! Bawel banget. Bisa-bisa aku gila kalau seperti ini. Mbak Nita kuat banget punya mertua kayak begini. Rasanya ingin kukasih racun tikus mertua gila ini. Ya Tuhan … seharian ini kerjanya ceramah terus, sampai kupingku terasa budeg. Ingin melawan tapi percuma, tenagaku sedang lemah, luka bekas jahitan juga belum terlalu kering. Sebegitu hinanya ternyata istri kedua dimata orang, bahkan dimata mertuaku. Mas Duta kenapa tidak menyuruh suster aja untuk membantuku, kenapa harus memanggil Ibunya yang kaya macan ini? Tidak pernah terbayang dalam hidupku aku akan berhubungan dengan mertua sadis. Sepertinya kalau terus seperti ini aku tidak akan kuat dengan Mas Duta. Kesung