Nita meninggalkan Duta dalam keadaan terpuruk. Air mata hampir tumpah, tapi dia tahan. Nita kasian melihat Mas Duta, tapi ini memang sudah jadi pilihan terbaik.
Nita resmi meninggalkannya. Dia sudah resmi terlepas dari suaminya. Walaupun hari terasa sakit. Namun, dia tidak mampu menerima madunya. Seberapa pun kuat dia berusaha, tapi tetap tak bisa.
Dari pada menambah banyak dosa karena hubungan rumah tangga yang tak sehat, lebih baik Nita melepaskannya.
"Adnan maafin, Mama ya?" ucap Nita sambil mengusap wajah putranya.
"Jangan sedih, Ma." Adnan memeluknya erat. Mengusap air matanya yang terjatuh.
'Ya Allah anakku, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Duta. Aku bersyukur karena memiliki Adnan. Tanpa ada Mas Duta, tidak mungkin terlahir seorang Adnan,' batinnya.
"Ma, kita mau kemana?" tanya Adnan lirih.
"Kita tinggal di apartemen saja ya, sayang," ucap Nita pada anaknya.
"Kenapa gak kembali ke rumah kakek, Ma?" ujarnya.
"Jangan, Sayang. Mama tidak ingin merepotkan kakek. Kan kita masih punya apartemen," ucap Nita.
"Ok, Ma." Adnan kembali memeluknya dengan erat, seakan dia mengerti akan kesedihan Mamanya.
"Mama, kenapa gak telpon, Om Brata?" ujarnya lagi.
"Enggak, Kita naik taksi aja ya?" lirihnya.
Baru kali ini air mata tumpah di depan anaknya.
"Iya, Ma." jawabnya kemudian menggandeng tangan mamanya.
"Taksi!" triak Adnan.
"Ayok, Ma?" ucapnya menggandeng tangan Nita untuk menaiki taksi. Nita Menurut.
"Jangan sedih, Ma." ucap Adnan ketika mereka suda berada di dalam taksi. Nita hanya mengangguk dan memeluk erat putranya. Hanya dia yang di miliki untuk saat ini. Pada akhirnya seorang Nita tidak mampu lagi menahan air mata. Rasanya perpisahan ini sangat menyakitkan. Hanya Adnan yang dia pikirkan.
"Sayang, maafkan Mama, bukan Mama egois, Nak. Mama terpaksa melakukan ini," ucap Nita merasa bersalah. Adnan hanya terdiam dipelukan Mamanya.
"Seandainya kamu bisa menjaga kepercayaanku, Mas," lirihnya menahan sakit.
Teringat akan permohonan ampun Mas Duta, ingin rasanya Nita memaafkan. Namun ketika dia mengingat wajahnya sedang bersama Vira, seketika hatinya menolak dan jijik. Nita tidak Sudi untuk berbagi. Dia belum mampu membagi suami untuk wanita lain.
"Pak, kita ke apartemen mension," triak Adnan.
"Baik, Dek," ucap pak sopir. Nita masih terdiam, dia menangis, Adnan tidak banyak berbicara, hanya saja sesekali dia mengusap air matanya. Terlihat ada rona merah dari bola matanya yang indah, seakan ada sesuatu yang tumpah. Namun, ketika akan terjatuh, seketika dia mengalihkan pandangan. Membuat hati Nita semakin sedih di buatnya.
🖤🖤🖤
Sedang Adnan sendiri masih larut di dalam lamunan.
'Mama dan papa, tidak bersama lagi, hatiku sangat hancur. Namun, aku tidak mau terlihat sedih di mata mama. Mama rapuh, pertahananya runtuh, Adnan bingung apa yang harus Adnan lakukan. Adnan sayang papa, tapi Adnan juga sayang mama. Mama meninggalkan semua kenangan bersama papa, sekarang papa hanya berdua Tante Vira,' batinnya.
'Mama terus menangis, papa juga rapuh, saat Adnan pergi, Adnan melihat papa menangis, Adnan ingin memeluk papa, tapi Adnan takut sama mama. Kenapa keluarga Adnan jadi seperti ini? Adnan sedih. Adnan kira, keluarga Adnan sangat sempurna, dengan kekayaan papa, dan mama, ternyata tidak. Adnan harus ikut salah satu dari mereka. Kalau Adnan ikut papa, mama sendirian, lebih baik Adnan ikut Mama, di tempat papa masih ada Tante Vira dan ketiga Bibi Adnan.' Dia terus bergulat di pikirannya, karena menyaksikan mamanya terus menangis.
"Mama … Mama …." Nita hanya diam. 'Apa yang harus Adnan lakukan? Baru kali ini Adnan lihat mama nangis, Adnan jadi sedih. Adnan bingung. Ya sudah aku peluk mama ajh.'
Kemudian anak Yang sangat menyayangi mamanya itu pun memeluk erat tubuh sang mama, sambil mengusap derasnya rintik air mata.
🖤🖤🖤
"Bu, sudah sampai," ucap pak sopir. Ucapannya mengagetkan Nita dan Adnan yang sedang termenung. Lalu, Nita dan Adnan turun dari taksi, membayar dengan pecahan uang seratus ribu.
"Kembaliannya, Bu!" triak pak sopir.
"Ambil aja, Pak," ucap Nita, seraya meninggalkan supir taksi itu dan bergagas menuju apartemen.
Apartemen itu dia beli tanpa untuk investasi tanpa sepengetahuan Mas Duta, kebetulan letaknya di lantai 6 jadi tidak terlalu tinggi. Luas apartemen tidak berbeda jauh dengan rumah yang ditempatinya dengan Duta. Rumah itu hasil kerja keras Duta, ketika bekerja di kantor papanya Nita. Sampai akhirnya, dia mampu mendirikan perusahaan sendiri, berkat bantuan papa Nita.
🖤🖤
Adnan mengucap salam dan langsung masuk, dia membaringkan tubuhnya di ranjang yang empuk.
"Ma, belikan aku HP. Kan untuk menelpon Mama jemput aku pulang sekolah, Mama kan harus kerja," ucapnya mengingatkan.
"Iya, nanti kita beli ya, sekalian, beli baju yang banyak," jawab Nita, di sambut tawa ceria dari Adnan.
"Yeeeee … ok, Ma siap." Adnan kegirangan.
"Ya udah yuk, kita tidur udah malam, Mama lelah. Adnan mau tidur sama mama, apa di kamar sendiri?" tanya Nita.
"Sama, Mama dulu aja, Mama kan lagi sedih," jawab Adnan.
"Ya udah kamu tidur sekarang."
Nita mematikan lampu dan pergi tidur. Walaupun dia tidak tertidur, setidaknya Adnan tidak lagi melihat tangisan mamanya.
Pov ViraMbak Nita pergi dari rumah, tidak membawa sedikit pun hartanya. Hanya membawa anak tiriku saja. Baguslah aku juga tidak menginginkannya. Lebih baik mengurus anak kandung sendiri. Siapa yang gak seneng, sebagai wanita kedua namun mampu memiliki suami seutuhnya, ditambah Mbak Nita tidak menuntut harta apa pun. Otomatis aku yang menguasainya, memang takdir baik ada pada diriku.Belakangan ini, Mas Duta hanya mengurung diri di kamar Mbak Nita, membuatku muak atas sikapnya. Dia seperti tidak menganggap aku ada. Isi otaknya hanya Nita, Nita, dan Nita. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Walau bagaimanapun, aku ini juga istrinya, seharusnya dia memikirkan perasaanku juga, jangan hanya sibuk dengan mantan istrinya. Menyebalkan sekali, ingin rasanya menunjukkan sikap ketidaksukaan, tapi aku tahu diri, tidak mungkin menunjukkannya sekarang. Jenuh juga melihat sikap Mas Duta yang seperti itu.Aku mencoba mengetuk kamar Mba Nit
POV DutaPembalasan yang setimpal dari Nita. Aku yang mengira akan mendapat maaf justru mendapat surat perpisahan. Entah kapan Nita mengurusnya. Pantas saja dia tidak mau kusentuh, ternyata dia telah menggugatku di pengadilan.Tiba-tiba seorang pengacara datang untuk mengantarkan surat perpisahan dari pengadilan. Nita tidak menuntut apa pun, dan memiliki bukti perselingkuhan dari aplikasi whtahsap yang di sadapnya, sehingga sidang tidak terlalu rumit. Ketika Adnan di tanya, dia memilih untuk ikut dengan mamanya.Smart Nita! Diam-mu penuh teka- teki.Tidak ada lagi yang mampu untuk kuucapkan, selain menerima perpisahan ini. Aku akan berusaha menjalani hidup dengan normal, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya pasrah menjalani kehidupan dan berusaha menerima Vira. Semoga kamu bisa bahagia dengan caramu, Nita.Perpisahan ini memang menyakitkan, sakit yang tak bisa di ungkapkan dengan sebuah kata. Namun,
POV BrataTidak mungkin juga aku berjodoh dengan Nita. Ya Allah, rasanya menyakitkan sekali. Aku kira Nita tidak ada kabar, karena telah kembali pada suaminya, ternyata dugaanku salah. Saat itu, saat terakhir bertemu dengannya, baru saja kuungkapkan perasaan cinta yang telah lama tersimpan. Namun, aku sendiri yang mengakhiri cinta itu tanpa menunggu jawaban dari seorang Nita. Aku salah, aku kira Nita kembali pada Duta, bagaimana ini, kenapa cinta serumit ini.Nita di mana kamu? Kenapa menghilang tanpa jejak? Andai kutahu dirimu tidak kembali pada Duta, tidak akan aku menerima dia. Sehari setelah aku mengikuti permainannya, dia hilang tanpa kabar. Seminggu, sebulan, dua bulan, berlalu, membuatku berpikir, mungkin Nita kembali pada Duta.Saat itu datang Nanda, anaknya teman Mama. Mama memperkenalkan dia padaku. Dia bilang, aku sudah sepantasnya menikah, karena usiaku sudah menginjak 30 tahun. Tidak mungkin aku terus mengharapkan
POV AdnanAduh … buku diary Adnan mana ya?Oh … ini dia. Buku ini Mama beli untuk Adnan. Kalau Adnan sedih, ingin curhat bisa di buku ini. Saat Mama sedang tidak bisa mendengar kesedihan Adnan.Sekarang Adnan ikut Mama jauh dari Papa. Masih teringat ketika Mama menangis, minta ampun pada Kakek, karena telah membuatnya malu. Kakek tidak marah, Mama pamit untuk sementara waktu. Rasanya Adnan ingin berkata pada Mama, Adnan ingin bertemu dengan Papa, tapi Adnan tidak berani mengatakannya.Jujur perasaan Adnan sangat terluka, walaupun Adnan masih kecil, tapi Adnan tau apa itu pertengkaran, Adnan tau apa itu perpisahan. Ternyata perpisahan Mama dan Papa benar-benar sangat menyakitkan. Tidak pernah menyangka akan seperti ini.Mama memindahkan Adnan dari sekolah yang lama tanpa sepengetahuan Papa. Setelah itu, Mama mengajak pergi jauh. Adnan tidak tahu nama kotanya, Adnan hanya ikut saja.🖤🖤🖤
POV DUTALongkap cerita ….________________________________Lima tahun genap sudah kepergian Nita dan Adnan. Tidak ada kabar hingga Sekarang. Rasa rindu menjalar begitu dalam. Namun, tidak dapat kuungkapkan. Aku mencoba berkomunikasi dengan papa Sanjaya, berusaha mendapatkan simpatinya. Namun, hingga saat ini aku mencoba, papa tidak memberi tahu apapun. Namun, aku selalu mencoba berhubungan baik dengan papa Sanjaya berharap dia akan luluh dengan usahaku."Mas, kenapa bengong?" ucapan Vira mengagetkanku."Tidak apa, Mas, hanya sedikit pusing banyak urusan kantor." Aku mencoba berkilah darinya. Mungkin Vira tahu aku sedang memikirkan Nita dan Adnan, dia tahu dia tidak bisa menggantikan posisi Nita di hatiku."Mas, aku sedang mengandung, dapatkah kau berikan aku perhatian sedikit?" pintanya dengan wajah sedikit memelas."Maaf, Vir …," hanya itu yang terucap dari mulutku kemudian bergagas meninggalkannya.
"Mas …. " Seseorang menepuk pundaku, saat aku menoleh ke arahnya, aku sedikit terperanjat, dengan wajah lusuh dan pakaian penuh darah serta rambut acak-acakan aku menatapnya. "Nanda," mengapa kamu di sini?" tanyaku penasaran. "Aku sedang mengantar calon mertuaku untuk check up, Mas," ucap Nanda. Dia Nanda sahabatku waktu kuliah dulu. Sudah lama kami tidak bertemu. Aku kira dia telah menikah di usianya yang sudah tidak muda lagi. Ternyata dia Baru mau menikah. Aku mengetahui ketika dia mengucap kata calon mertua. "Bagaimana keadaan istrimu, Mas?" tanyanya. "Dia sedang kritis, Nand. Aku takut terjadi sesuatu padanya," ucapku penuh rasa takut. "Jangan cemas, Mas. Istrimu sedang di tangani oleh dokter. Banyak berdoa saja."
Setelah menunggu beberapa jam suster memanggil namaku."Pak Duta, silahkan jika ingin melihat istri anda," ucap seorang perawat."Baik sus." Aku langsung bergagas menuju ruangan dimana Vira terbaring lemah. Nanda dan Brata sudah kembali ke rumahnya. Tinggal aku dan Damar di sini. Namun, Damar juga harus kembali karena dia harus mengurus urusan kantor. Masalah ini datang bertubi-tubi, ada saja ujiannya.Andai Nita di sini aku tidak akan sepusing ini. Ternyata aku butuh dia. Dengan Vira aku memang merasa dibutuhkan. Berbeda dengan Nita, bahkan aku yang selalu bertanya tentang ide apa pun padanya.Sudah kubuktikan aku bukanlah apa-apa tanpa seorang Nita, ternyata yang di butuhkan dari kehidupan suami istri adalah saling mendukung dan memotivasi. Entah jika tidak a
Setelah beberapa menit aku kembali, kudengar Ibu masih memaki Vira."Bu, sebegitu hinakah aku di mata Ibu?" ucap Vira."Kamu bukan lagi hina! Tapi sangat terhina! Sampai kapanbpun saya malu mengakui kamu sebagai menantu! Haram jadah!" bentak Ibu."Siapa pun tidak akan mau menjadi wanita kedua di rumah tangga orang dan menjadi duri untuk mereka, Bu." Vira masih membela dirinya, walaupun dia masih lemah."Cuih …! Itu kamu sadar! Kenapa kamu mau menikah dengan Duta?! Kamu sadar kamu akan menjadi duri untuk mereka! Dasar perempuan hina menjijikan!" triak Ibu."Lalu apa yang harus saya lakukan, Bu? Ibu pikir selama ini saya hidup enak dengan Mas Duta? Tidak sama sekali, Bu. Mas Duta tidak ada waktu untuk saya! Dia sibuk dengan dirinya sendiri! Sesekali dia menghampiriku jika ingin memberikanku nafkah!" triak Vira
Beberapa tahun kemudian.Allhamdullillah aku kini sedang mengandung anak keduaku dengan suamiku tercinta, Brata Atmaja. Kini aku sudah menjadi Ibu dari tiga orang anak walaupun yang satu masih dalam kandungan. Kehidupanku sangat bahagia.Bang Adnan sekarang sedang kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika. Semakin dewasa Adnan semakin tampan dan sangat mirip dengan Papanya dan berlesung Pipit seperti Ibunya. Sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk berlibur. Hati ini rasanya sangat rindu dan tidak sabar menyambut kedatangannya. Putraku kini sudah besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya.Gama dan Nanda kini mereka sudah menikah. Nanda sendiri sedang mengandung anak pertamanya. Nanda ikut Gama tinggal di Bali mengurus hotelku di sana. Hotel itu
POV NitaAkhirnya aku bisa menikah dengan orang yang benar-benar luar biasa. Baik dan penyayang. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dihindari dari yang namanya godaan wanita. Walau bagaimanapun aku pernah gagal, aku tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Rasa trauma bekas penghianatan kemaren jujur masih terngiang dan menjadi ketakutan tersendiri. Memang tidak semua laki-laki sama. Namun, tetap saja masih ada rasa trauma. Terauma jika suamiku akan diambil perempuan lain."Ma … kasian, Papa," ucap anakku."Kenapa, Sayang?" Brata melirik kearahku."Papa sekarang tinggal di tempat Nenek. Tadi Adnan nelpon Papa, terus Papa bilang kalau
POV Vira"Mas kamu bener-bener Kelewatan," ucapku pada Mas Damar tapi dengan tawa jahat.Aku dan dia berjalan- jalan menggunakan mobil baru. Masih belum terfikir kami mau kabur ke mana, sebab kalau bandara pasti di jaga polisi. Secara Mas Duta pasti sudah melapor polisi."Biar si bodoh itu tau rasa!" Beraninya dia menyia-nyiakan kamu!" ucapnya."Tadinya aku kira kamu tidak akan mengajaku pergi. Kamu tidak pernah datang ke rumah Duta, semenjak dia menikah denganku," lirihku."Iya aku gak bisa dong liat kamu dengan orang lain! Jika kamu bahagia dengan mereka mungkin aku akan mengikhlaskan kamu. Nyatanya mereka seenaknya sendiri memperlakukan kamu." Entah ben
Dita kembali menelponku dia bilang ada kekacauan di kantor. Aku langsung bergagas ke sana. Kunyalakan mesin mobil dan kupacu secepat mungkin. Kalau untuk mengebut aku memang ahlinya bahkan aku mampu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hanya dalam waktu 15 menit.Aku melihat terjadi kericuhan di sana. Para karyawan berdemo meminta gajih bulanan mereka yang belum dibayarkan. Padahal masalah gajih sudah kuserahkan semua pada Damar. Dengan kesal aku mencari keberadaan Damar. Namun, tak kusangka Dita bilang Damar telah pergi."Brengsek Damar!""Dita kamu tenangkan dulu karyawan yang lain. Bilang saya akan membayar gajih mereka.""Siap, Pak"Aku bergegas ke ruangan Damar mencari apa pun yang dapat kutemukan. Namun, nihil, tidak ada yang kudapatkan. Akan tetapi ada sepucuk surat yang diletakan di meja. Dengan cepat aku membuka amp
"Sudah rapi?" tanyaku pada Vira. Dia terus memegangi perutnya."Serius ini mau di bawa pulang?" tanya Damar."Dokter bilang bisa dirawat di rumah, Mar. Lo tau sendiri keuangan gue lagi gimana sekarang."Makanya cari istri jangan yang malah nyusahin, sial kan kamu nikah sama pelakor ini," cetus Ibu. Entah kapan Ibu datang tidak ada kabar berita kedatangannya tiba-tiba saja Ibu muncul sepagi ini."Sudah, Bu Nengsih, ini rumah sakit tidak enak ribut-ribut," ucap Damar."Halah ini kan ruang VIP, tidak ada yang dengar," sanggah Ibu. "Udah si, cerain aja istri begini bikin sial aja."Damar hanya menggeleng kepala. Pusing juga dengar Ibu ngomong cerai tiap hari."Bagus lah, Bu. Kalau Mas Duta mau cerain saya, suatu keberuntungan untuk saya," sahut Vira kesal.
Setelah beberapa menit kami sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruangan Vira. Sedangkan Damar mampir ke kantin untuk membeli makanan. Sesampainya di depan pintu aku mendengar anakku menangis kencang. Langsung saja aku masuk. Kok tidak ada orang? Di mana Ibu? Mungkin Ibu sedang membeli makanan. Lalu, kenapa anakku berada di kasur Ibunya bukan di tempat bayi? "Cup … cup … cup, Sayang …" Aku langsung menggendong dan mendiamkannya. Sepertinya dia pup, jadi dia menangis. "Vir … !" panggilku. "Iya, Mas. Syukur Alhamdulillah Mas Duta sudah kembali," jawabnya terseok-seok keluar dari kamar mandi dan memegangi perutnya. "Masih sakit?" "Sedikit, Mas ... mungki efek triak-triak kemaren." "Ibu kemana?"
POV DutaPagi ini adalah pagi yang akan menentukan nasibku nanti. Mungkinkah aku dapat melawan Nita? Nita sangat mengerti tentang pariwisata dan perhotelan. Bakat marketingnya tidak bisa dipungkiri. Saat dia membantuku menjalani bisnis itu, dengan sekejap hotelku mengalami kemajuan, bahkan hingga menjadi target investor untuk ikut menanam modalnya. Sehingga aku tidak perlu lagi bekerja dengan mertuaku. Mungkinkah Nita akan merebut segalanya?"Gimana, Mar? Siap?" tanyaku pada Damar."Siap. Lo yakin akan menangin kerja sama ini?" Ada raut panik diwajah Damar."Y
Pov NitaMa … bangun ada tamu." Adnan beberapa kali mengetuk pintu kamarku. Kulihat waktu sudah pukul 21.00.Aku mengikat rambut, dengan riasan sisa tadi siang masih menempel di wajah."Iya, Mama keluar." Aku membuka pintu kulihat Adnan sudah tidak ada, mungkin di ruang tamu.Ada lima orang sedang berkumpul di sana. Satu wanita yang wajahnya tak asing sedang hangat berbicara dengan Papa dan Adnan. Aku menghampiri mereka."Nanda, hai akhirnya kamu ke sini juga. Maaf ya, aku baru bangun tidur," ucapku lalu duduk di sebelahnya."Dengan siapa?" tanyaku."Calon suamiku," jawabnya dengan menunjuk seseorang yang duduk di depannya. Pan
POV Vira Baru sehari aku ditinggal dengan mertuaku ampun deh! Bawel banget. Bisa-bisa aku gila kalau seperti ini. Mbak Nita kuat banget punya mertua kayak begini. Rasanya ingin kukasih racun tikus mertua gila ini. Ya Tuhan … seharian ini kerjanya ceramah terus, sampai kupingku terasa budeg. Ingin melawan tapi percuma, tenagaku sedang lemah, luka bekas jahitan juga belum terlalu kering. Sebegitu hinanya ternyata istri kedua dimata orang, bahkan dimata mertuaku. Mas Duta kenapa tidak menyuruh suster aja untuk membantuku, kenapa harus memanggil Ibunya yang kaya macan ini? Tidak pernah terbayang dalam hidupku aku akan berhubungan dengan mertua sadis. Sepertinya kalau terus seperti ini aku tidak akan kuat dengan Mas Duta. Kesung