Author's POV
Flashback...
Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.
Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.
Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.
Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan yang nampaknya mulai terbanjiri oleh air hujan.
Sampai kemudian ia melihat sesosok anak laki-laki yang kira-kira sebayanya sedang duduk bertekuk lutut di bawah pohon. Ia tak melihatnya terlalu jelas karena jarak antara mereka berdua cukup jauh. Tapi ia yakin, ada seseorang di bawah pohon sana.
Saat hujan agak reda, Haikal pun membuka payungnya dan berjalan pulang. Syukurlah anak itu masih ada di sana, maka ia menghampirinya.
Si anak laki-laki yang sedang bertekuk lutut pun mengangkat wajahnya karena ia tak lagi merasa rintik hujan mengguyurnya. Digantikan oleh suara rintik yang teredam oleh sesuatu di atasnya.
Wajah anak itu cukup tampan. Hanya saja keadaanya sedang sayu dengan jejak air mata menghiasi pipinya.
"Kamu kehujanan," Kata Haikal.
"E-eh...?" Anak itu terbata.
"Rumahmu di mana? Ayo pulang bareng. Nanti kamu masuk angin."
Kemudian anak itu pun berdiri dan mereka berjalan beriringan.
Ia memperkenalkan dirinya yang bernama Sulaiman. Ia sedang takut pulang ke rumah karena orangtuanya sering bertengkar, jadi ia berteduh di bawah pohon tersebut.
Haikal pun mengajaknya untuk ke rumahnya. Di sana, sambil makan bersama keluarga Haikal, ia bercerita kepada orangtua Haikal bahwa ia sering melihat ayahnya bertengkar dengan ibunya.
Ibu Haikal yang tampaknya sedikit mengenali Ibu dari Sulaiman menyayangkan hal itu. Lalu ia menawarkan kepada Sulaiman untuk sering-sering bermain bersama Haikal. Kemudian beliau juga berkata bahwa apabila Sulaiman butuh bantuan, ia bisa menceritakannya pada keluarga Haikal.
Tak mereka sangka, ternyata Sulaiman menjawab, "Tidak perlu repot-repot, Tante. Saya yang akan membantu Haikal saja. Saya justru berhutang budi pada Haikal yang telah menolong saya." Ujarnya dengan pandangan penuh arti kepada Haikal.
...
...
[...]
...
...
"Soni, kamu kiper, ya! kamu kan gendut." Seru seorang anak yang terlihat paling hiperaktif di antara anak-anak lain.
"Gakmau ah! Rio kan juga gendut!"
"Rio di timnya Andi! Jadi kamu di timku ya, Son!"
Sore itu tampak mendung, namun itu tak menghalangi anak-anak di kampung tersebut bermain sepakbola di lapangan yang saat ini dihembus angin yang cukup kencang, pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
Kemudian anak-anak kecil itu pun melakukan suit untuk menentukan siapa yang bermain duluan.
Setelah ditentukan, semua menyebar ke posisi masing-masing. Mereka baru saja akan memulai permainan sepakbola itu ketika seorang anak kecil berparas putih dan imut berlari ke arah mereka.
"Tunggu! Aku juga mau ikut main!"
Anak-anak lain yang mendengar seruan itu sontak menoleh.
Faisal, yang sudah dianggap 'ketua' bagi para anak-anak di kampung itu karena paling jago bermain sepakbola, terlihat geram.
"Kenapa kamu ikut, Haikal? Memangnya kamu bisa main bola?"
"Ta-tapi... aku kan bisa belajar...."
"Kita langsung main, lho! Kamu bisa jadi penyerang gak?"
"Penyerang itu... apa?"
"Tuh kan! Bahkan kamu tidak tahu apa itu penyerang! Sudah sana, nonton aja di pinggir!"
Faisal yang kehilangan kesabaran segera mendorong-dorong bahu Haikal kecil, diikuti anak-anak lain yang juga mendorong sambil meneriakinya.
Haikal yang didorong dengan kasar jadi terjerembab. Sedangkan anak-anak yang melihatnya jatuh dan menangis terpaku sebentar, sebelum satu per satu meninggalkannya, dengan bergumam "bukan aku, bukan aku...."
Tangisan Haikal semakin keras. Kaus bergambar kartun Snoopy-nya ternodai oleh tanah lapangan, dan mengenai telapak tangannya juga. Karena ia tak bisa menghentikan tangisnya, maka dengan punggung tangannya ia mengusap wajahnya yang kini basah oleh air mata sambil sesenggrukan.
Gerimis mulai merintikkan butiran-butirannya, seakan ikut bersedih melihat Haikal yang tidak boleh ikut bermain bersama teman-teman sebayanya. Cukup lama sampai sebuah tepukan mendarat di bahunya.
Haikal mengangkat wajahnya.
Seorang anak laki-laki yang 2 tahun lebih tua darinya, berlutut di sebelahnya dengan senyuman manis merekah di wajahnya yang tampan.
Haikal yang mengenali wajah itu segera berhambur ke pelukannya. "Mas Iman!" serunya sambil memeluk tubuh Sulaiman dengan erat, sampai Sulaiman jatuh terduduk.
Tapi Haikal tidak peduli, ia tetap menangis sambil membenamkan wajahnya ke dada Sulaiman.
"Hei, hei, kenapa, Kal?" Tanyanya sambil membelai rambut Haikal.
"A-aku... gakboleh... ikut main... mas... hiks hiks..."
"Main apa? Oh, main bola ya. Faisal emang jahat tuh. Udah jangan nangis," hiburnya sambil meraih wajah Haikal untuk menatapnya. Ia lalu mengusap air matanya dengan sayang.
Tangisan Haikal mulai mereda.
"Main sama aku aja, yuk?" Ajak Sulaiman.
"Main... apa, mas?"
"Hmm, gaktau. Kamu sukanya apa?"
Sebelum Haikal sempat menjawabnya, kilat petir menyambar langit gelap disertai rintik hujan yang kian deras. Anak-anak yang sedang bermain bola pun menjerit kaget dan membubarkan diri.
"Hujan! Ayo kita berteduh di gazebo itu aja." Ujar Sulaiman sambil bangkit dan menggandeng tangan Haikal berlari menuju sebuah gazebo kayu di sudut lapangan.
Sesampainya di sana, Haikal mencuci tangannya dengan air hujan sebentar sebelum duduk di sebelah Sulaiman.
Setelah duduk, Sulaiman menatapnya lekat. Sampai-sampai Haikal merasa malu.
"Kenapa, mas?" Tanyanya agak terbata karena sedikit kedinginan, tetapi juga karena malu.
Sulaiman tak langsung menjawabnya, ia terus menatap Haikal dengan pandangan lembut, namun intens.
"Kamu tau gak, Kal...." Ia tersenyum, lembut.
"Iya?"
"Kamu beneran manis banget, Kal...." Senyumnya semakin lebar.
Kemudian suara hujan mendadak tak terdengar lagi oleh Haikal. Waktu pun seakan berhenti. Sulaiman mencium pipinya.
Wajah si anak yang dicium semakin merah. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan semburat merahnya yang imut tersebut.
...
...
[...]
...
...
"Ada layangan putus! Ayo kita ambil!"
Setelah seorang anak berseru, anak-anak lain mengikutinya berlari mengejar layangan putus yang bergerak menuju sebuah pohon mangga besar di ujung jalan.
Kemudian layangan itu pun tersangkut di antara cabangnya.
Beberapa anak memanjat pohon untuk meraih layangan merah tersebut, namun tak ada yang berhasil. Layangan itu tersangkut di batang pohon yang susah dijangkau.
"Faisal! Aku juga mau main layangan!"
Semua anak menoleh. Tampak Haikal yang berlari ke arah mereka.
"Layangannya aja tersangkut di pohon! Kamu mau ambil? Kalau kamu bisa ambil kamu boleh main."
"Di mana?"
"Itu!" Tunjuk Faisal ke arah atas pohon. Haikal mengikuti arah yang ditunjuk.
Seketika ia takut. Cabang yang ada layangannya tersebut sangat tinggi, tapi kalau tidak dia ambil, ia pasti tidak boleh ikut bermain.
"Aku... gakbisa ambil."
"Yaudah, gausah main."
Haikal ingin menangis lagi, tapi buru-buru dihapusnya air mata itu dan dengan perlahan meraih batang pohon untuk ia panjat.
Ia pun berhasil naik ke cabang yang paling rendah.
"Wah, kamu bisa manjat pohon, Kal!"
Haikal yang tadinya ingin menangis jadi senang mendapatkan pujian. Ia pun bergerak lagi untuk memanjat cabang yang lebih tinggi.
Tapi saat ia memanjat lagi, seorang anak tiba-tiba berseru untuk mengajak mereka bermain yang lain. Mereka semua pun meninggalkan Haikal sendirian dalam keadaan masih di atas pohon.
Haikal meneriaki anak-anak itu, namun tak ada yang membalasnya.
Kini Haikal sendirian. Ia pun menangis lagi karena takut ketinggian.
Kemudian seseorang yang ia harap untuk datang pun menampakkan dirinya juga. Seperti mimpi. Sulaiman selalu datang di saat yang tepat.
"Kenapa kamu di situ, Kal?"
"Mass... aku takut, hiks... aku disuruh ambil layangan di sana, tapi aku ditinggal pergi..."
"Udah gausah diambil, susah. Sini, turun."
"Gak bisa, mas... tinggi banget..."
"Lompat aja, aku tangkep."
Masih dengan terisak, anak laki-laki imut itu melompat ke bawah. Sulaiman menangkapnya dan mereka jatuh berguling di tanah dengan berakhir Sulaiman yang di bawah.
Sulaiman terkekeh.
"Kamu berat ternyata."
Isak Haikal telah berhenti. Tapi matanya masih terlihat sembab.
Air mata itu diusap oleh Sulaiman.
"Jangan nangis dong. Mau kubelikan layangan?"
Haikal menangguk pelan dengan malu-malu.
"Oke aku belikan. Tapi cium dulu dong." Kekehnya lagi sambil menunjuk pipinya.
Haikal terlihat tersipu namun dengan perlahan ia mendekat ke arah pipi Sulaiman, menciumnya pelan.
...
...
[...]
...
...
Pintu rumah Haikal diketuk pelan. Haikal yang sedang menonton TV di ruang tamu pun membukanya. Ternyata itu Faisal, membawa sebuah bungkusan di tangannya.
"Faisal?"
"Hai, eh... Haikal. Ada siapa aja di rumah?"
"Cuma ada Mamahku, lagi mandi. Ada apa, Sal?"
"Aku... eh, aku masuk dulu ya."
"Oke." Kata Haikal mempersilakan Faisal masuk.
"Aku mau minta maaf, Kal."
"Kenapa?"
"Gini. Aku mau minta maaf kalo aku pernah kasar sama kamu. Sebenarnya aku gak bermaksud kasar ke kamu. Tapi kamu harus janji satu hal ya sama aku."
"Iya?"
"Tolong jangan bilang Sulaiman aku minta maaf ke kamu. Kamu bisa jaga rahasia?"
"Memangnya kenapa, Sal?"
"Udah, cukup jaga rahasia aja. Jangan bilang Sulaiman aku minta maaf ke kamu, ya."
"Iya deh."
"Oke. Ini kukasih mainan buat kamu." Faisal pun memberikan bungkusan itu kepada Haikal. Sebuah mobil mainan model Jeep.
"Ini buat permintaan maafku. Jaga baik-baik ya. Jangan sampai Sulaiman tahu aku ngasih ini ke kamu dan minta maaf. Kamu bisa jaga rahasia kan? Tolong dijaga, ya!"
"Ehm.. okedeh, Sal."
Flashback Off.
Mata coklat itu mengerjap. Haikal perlahan bangun dari tidurnya setelah otaknya dihujani oleh ingatan-ingatan masa lalu.
Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia terpikirkan lagi sesuatu. Ia harus membalaskan dendamnya kepada Firdaus! Ia harus melawannya kalau ia dibully lagi, dengan cara apa saja! Yang penting nekad.
Panjang umur, Firdaus tepat berada di depannya ketika ia memikirkan hal tersebut. Maka Haikal pun menghela napas besar, meyakinkan diri sendiri sebelum berkata, "Permisi, kak."
Ia tetap berkata begitu walaupun Firdaus yang saat ini memunggunginya tak terlalu menghalangi jalannya. Tujuannya agar cowok jangkung itu menoleh.
Dan benar saja, Firdaus menoleh.
Haikal berjalan cepat melewatinya. Namun anehnya, kali ini Firdaus tak mencoba menyentuh sesuatu dari dirinya. Entah itu menarik tasnya, atau menjegalnya, atau apa saja.
Maka dengan perasaan heran pun Haikal berlalu.
Namun dadanya masih bergemuruh, karena menanti suatu hal bully yang sepertinya akan dilakukan Firdaus. Walaupun akhirnya tidak dilakukannya, dan itu otomatis membuat Haikal gagal dalam membalas dendam.
Mungkin Haikal akan merencanakan untuk langsung mengajaknya bicara saja kapan-kapan.
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Author's POVHari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara."...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futs
Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut."Ril.""Ye."
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Author's POVFlashback...Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan y
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut."Ril.""Ye."
Author's POVHari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara."...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futs
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind