Author's POV
Hari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara.
"...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.
SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.
Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futsal, Basket, Badminton, Karate, Paduan Suara, Tari Tradisional, Karya Ilmiah Remaja, Pecinta Alam, serta ekskul-ekskul agamis seperti Kajian Remaja, Rebana, Tartil, Rohis, Kaligrafi Arab dan Tari Islam.
Demo pertama diawali oleh Tim Paskibra. Para pasukan menunjukkan kebolehannya dalam baris-berbaris dengan berbagai formasi yang menarik. Bahkan murid-murid perempuan refleks berteriak ngeri sekaligus takjub saat penampilan dari pasukan paskibra tersebut menyelingi baris-berbarisnya dengan tarian sederhana diiringi lagu lingsir wengi.
Selanjutnya ekskul lain giliran menampilkan demonstrasinya. Namun pada saat Tim Basket sedang menunjukkan penampilannya, entah kenapa Haikal jadi malas menontonnya.
Firdaus di sana. Walaupun tak ada yang spesial dalam penampilan ekskulnya seperti diselingi drama atau yang lainnya, namun permainannya cukup membuat gadis-gadis terlihat sangat mengagumi sosoknya. Berkali-kali ketika Firdaus berhasil memasukkan bola ke ring, terdengar riuhan sorak-sorai terutama dari murid-murid perempuan.
Itu membuat Haikal kesal!
Setelah bermain, Tim Basket berbaris dan memperkenalkan anggotanya satu per satu.
Namun pada saat itu Haikal langsung beranjak. Kemana saja, yang penting jauh dari sana!
Ke kantin aja deh.
Jibril yang sedang asyik menonton terkejut Haikal hilang tiba-tiba. Ia pun menyusulnya.
"Eh, kemana?"
"Ke kantin." Jawab Haikal tak acuh.
"Kenapa lu? kok cemberut gitu? Hayooo... ada apa sama Mas Firdaus?" Jibril malah menggodanya.
"Apaan! Udah, nonton aja sana!" Haikal tambah emosi bukannya dihibur malah digoda sama teman terdekatnya ini.
"Eh iya iya maap, yaudah jajan es kuy!" Si cowok sipit berkacamata itupun merangkul Haikal.
Mereka pun memesan dua gelas minuman lalu duduk di ujung belakang kantin.
Suasana kantin ini tenang, tak banyak anak-anak yang ke sini karena asyik menonton demo, namun riuhan hingar-bingarnya masih terdengar sampai sini. Terlebih lagi tadi terdengar sorakan murid-murid perempuan setelah salah satu dari Tim Basket memperkenalkan dirinya, membuat Jibril penasaran dan melongok ke jendela.
"Ouh." Gumamnya lalu menurunkan kepalanya lagi.
"Apa?" Tanya Haikal yang sedang memainkan sedotan minumannya.
"Ketua."
"Apanya yang ketua?"
"Si Firdaus tuh. Dia ketua Tim Basket loh!" Jibril nyengir ke Haikal mengisyaratkan 'damai', setelah Haikal menatapnya tajam.
Beberapa saat kemudian suara di luar semakin berisik. Kali ini terdengar suara musik dari drum yang ditabuh. Penonton pun ikut mengiringi musik itu dengan tepukan tangan sesuai irama dan menyanyikan liriknya.
"Dah ganti tuh Kal! Sekarang band." Jibril melongok lagi ke jendela.
"Band?!" Haikal tersadar dan langsung mematikan ponselnya. Ia beranjak sambil menarik Jibril. "Ayo cepetan, Ril!"
"Eh, eh, es-ku belom habis!" Yang ditarik kepayahan menyedot minumannya sambil terlompat-lompat mengiringi langkah terburu Haikal.
Sesampainya di lapangan upacara mereka langsung menyerobot kerumunan agar bisa duduk di depan tanpa ada yang menghalangi pandangan mereka. Haikal yang tadinya menekuk muka mendadak ceria, membuat Jibril menghela napas sambil geleng-geleng kepala.
"Curiga nih aku, kalo lu belok." Jibril bergumam.
"Hah?" Haikal tidak begitu jelas mendengarnya.
"Gapapa."
Jadilah selama ekskul Band menampilkan demonstrasinya, Haikal sangat menikmatinya. Sesekali ia mengikuti liriknya saat sang vokalis menyodorkan mic-nya ke arah penonton, namun ia lebih sering diam saja, apalagi kalau bukan menyimak si pemain keyboardnya yaitu Sulaiman.
Setelah lagu tersebut habis, penonton bersorak riuh, namun tak lama kemudian sorakan tersebut langsung hilang, digantikan oleh pandangan takjub sekaligus penuh tanya kala band mengemasi instrumen-instrumennya dan menyisakan satu keyboard yang digeser ke tengah lapangan.
"Selamat pagi teman-teman dan adik-adik semuanya, pertama saya ucapkan selamat bagi yang diterima di sekolah ini, dan selamat menempuh pendidikan." Ia diam sejenak untuk memberikan kesempatan bagi para penonton bertepuk tangan, kemudian melanjutkan. "Nama saya Sulaiman, pada kesempatan ini saya akan menampilkan sebuah solo piano khusus untuk adik-adik yang baru bergabung di sekolah ini."
Entah kenapa beberapa kata terakhir diucapkannya sambil melirik sekilas ke arah Haikal. Haikal jadi kegeeran sendiri dibuatnya.
Kemudian permainan pianonya pun dimulai.
Penonton seketika terhening. Dengan sekejap tak ada suara lain selain dentingan keyboard dan instrumen midi yang sedang dimainkan oleh Sulaiman. Semua seakan terhipnotis baik oleh alunan yang begitu merdu maupun sang keyboardistnya yang rupawan tersebut.
Apalagi Haikal. Bisa dibilang dia yang paling terenyuh. Sampai-sampai ia halusinasi sendiri, apa mungkin penampilan itu sebenarnya ditujukan untuknya?
Jibril menyenggol siku Haikal. "Ehem." Godanya.
"Hm." Respon Haikal sekenanya.
Lagi-lagi sorakan yang tak kalah riuh dari sebelumnya menyambut Sulaiman yang telah selesai solo keyboard-nya.
Sepertinya Sulaiman juga akan jadi calon anak populer sekolah (selain Firdaus), itu terbukti saat satu per satu anggota Band memperkenalkan diri, Sulaiman mendapat sambutan paling riuh seperti tadi.
Setelah itu silih berganti demonstrasi ekstrakulikuler lain, yang berlangsung sepanjang hari tersebut.
Namun lama kelamaan ada juga murid-murid yang jenuh menonton demo tersebut, sehingga semakin lama kerumunan semakin sedikit.
Haikal, yang sebenarnya juga mulai jenuh, tidak tahu pula mau ngapain, jadi ia putuskan untuk tetap menonton saja.
Kali ini giliran ekskul Karate menampilkan demonya. Entah kenapa Jibril terlihat tertarik melihatnya. Ia pun bertanya ke Haikal.
"Udah ada pilihan, Kal?" Jibril menoleh ke arahnya.
"Belom.. kamu?"
"Ikut karate aja yuk! Kayaknya seru."
"Hmm, boleh deh."
"Kamu gak milih band juga?"
"Entah kenapa gak minat, walopun mas Iman di situ. Gimana ya..." Haikal mengerutkan dahi dan menggaruk kepalanya, mencoba menjelaskan jalan pikirannya yang ia sendiri tak paham. Intinya dia cuma tidak sreg sih, itu aja.
"Yaudah. Ntar sambil dipikir aja." Jibril melanjutkan menonton lagi.
☁
Esoknya, jam pelajaran setelah istirahat pertama hingga jam sekolah usai dikosongkan untuk pendaftaran ekstrakulikuler. Meja-meja pendaftaran dibariskan berjejer di lapangan, dengan masing-masing dipasang tulisan nama ekskul tersebut, dan masing-masing pula dijaga oleh beberapa anggota tim ekskul.
Murid-murid yang hendak mendaftar diminta berbaris mengantri untuk menuliskan nama mereka.
"Ayo Kal! Mumpung yang daftar karate masih sepi." Biasanya Haikal yang semangat, tapi kali ini Jibril lebih semangat daripadanya. Haikal jadi sedikit terkejut.
"Hai kak!" Sapanya dengan semangat juga ke kakak kelas yang berjaga.
"Hei, halo. Semangat banget ya kamu." Si kakak kelas itu pun terkekeh geli, membuat Jibril sadar kalo dia sudah terlalu narsis, jadi ia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.
"Namanya ditulis di sini ya." Kata kakak kelas itu lagi sambil menunjuk ke salah satu kolom di kertas pendaftaran.
Jibril mengisinya, setelah itu Haikal.
"Kak?" Tanya Jibril tiba-tiba.
"Ya?"
"Karate-nya hari apa aja ya kak?"
"Hehe. Baru aja mau kubilangin. Nanti sore habis sekolah kumpul ya."
Jibril pun salah tingkah lagi. "Oke kak, makasih! Eh iya, bajunya kak?"
"Gausah ganti apa-apa. Toh cuma perkenalan pertama aja kok."
"Ouh, oke deh kak! Di mana tempatnya?"
"Belom tahu. Kayaknya sih nanti di lapangan basket aja."
"Siap!"
☁
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sore itu pun para calon anggota karate baru berkumpul di lapangan basket.
"Assalamualaikum, selamat sore semuanya." Si kakak kelas yang berjaga di meja pendaftaran tadi membuka perkenalannya.
"Waalaikumsalam kak."
"Saya dulu ya yang perkenalan. Karena tak kenal maka tak sayang, hehehe. Oke, nama saya Angger Gunadi Rahmat, dari kelas 12 IPS 1. Seperti yang sudah saya kenalkan kemarin pada saat demo, saya di sini menjabat sebagai ketua." setelah itu tepuk tangan pun mengiringinya.
"Nah, sekarang giliran teman-teman ya yang memperkenalkan diri. Dimulai dari pojok kiri. Sini, berdiri." Sang ketua melambaikan tangan ke arah Jibril.
Jibril berdiri dengan deg-degan. Dia introvert otaku yang tidak terlalu suka keramaian.
"Emm... nama saya Muhammad Jibril Pramuditya."
"Panggilannya?"
"Jibril, Mas Anggun."
Setelah itu yang terjadi adalah tawa meledak dari seluruh orang-orang ada di situ. Termasuk si ketua dan Haikal.
Jibril terkaget bukan kepalang hanya mengerjap-ngerjap. Ia tidak tahu apa yang lucu dan membuat semua orang tertawa.
Saat ia mendapati Haikal juga menertawainya, Jibril pun menendang-nendang lututnya dan menanyakan maksudnya.
Haikal berusaha mengatur napasnya, "Hahaha... kamu tuh.. lucu, hahaha..."
"Seriusan, Kal! Gakapaham nih aku, emang kenapa sih??"
"Namanya Angger, Ril! Kamu salah denger ya?"
"Oh! Maaf Mas. Maaf banget mas, tadi aku dengernya Anggun bukan Angger!" Jibril merasa mukanya sangat panas, mungkin sudah merah kayak tomat.
"Enggak, enggak. Gapapa kok. Just call me that, it's hillarious," Mas Angger yang kini panggilannya jadi Mas Anggun pun terkekeh lagi.
Dan benar saja, berkat Jibril yang lucu itu sekarang Mas Angger dipanggil Mas Anggun oleh orang-orang.
☁
Sementara itu di tempat lain...
Firdaus yang tidak ada jadwal kumpul ekstrakulikuler hari itu sedang mengganti bajunya di kamar. Sejak ia kelas 10 ia mendapat tawaran untuk membantu mengajar di taman pendidikan Al-Qur'an bagi anak-anak di kampungnya. Dan ia sangat menikmatinya, terlebih lagi sejak pertama ia mulai mengajar ia sudah menjadi favorit oleh makhluk-makhluk imut berpipi bulat nan menggemaskan itu.
Ia datang sekitar jam setengah 4 sore. Dari kejauhan sudah terdengar anak-anak yang bermain di halaman TPQ dengan riangnya, beberapa di antara mereka berlarian ke arah Firdaus begitu mereka melihatnya datang.
"Assalamualaikum, Ustadz!" Seru mereka riang.
"Waalaikumsalam, adek-adek." Firdaus menyambut tangan anak-anak kecil itu yang meminta toss.
"Ustadz! Ustadz! Tadi Sholeh sama Vivi mainnya curang!" Seorang gadis imut berseru padanya dengan muka cemberut, ia terlihat menahan tangisnya.
"Curang gimana Suci sayang? Sini sini," Firdaus meraih si gadis yang membentangkan tangannya selebar mungkin tanda ingin digendong, lalu pemuda itu menggendongnya.
"Main apa kamu? Dah dong, jangan nangis dong," Si pemuda menimang-nimang Suci yang sesenggrukan sambil menghapus air matanya.
"Tadi aku disandung sampe jatuh... hik, hik," Gumam Suci di sela-sela tangisnya.
"Ehh, mananya yang sakit, hmm?"
"Sini, Ustadz..." Suci membuka telapak tangannya.
Firdaus segera mengusapnya pelan sambil meniupnya. "Dah, nih, dah sembuh. Sekarang kita ngaji bareng ya. Biar Suci cepet pinter, biar cepet Khatam Al-Qur'an. Suci mau kan jadi hafiz?"
Si gadis kecil mengangguk.
"Oke, kita belajar bareng ya." Ujarnya sambil menurunkan Suci kembali.
Kegiatan hari itu berlangsung seperti biasanya. Diawali dengan berdoa bersama lalu dilanjutkan dengan bacaan secara individu.
Hari ini jadwal Firdaus mengajar dengan ditemani oleh salah satu tim pengajar yang mendapat jadwal hari itu juga, seorang remaja sebayanya yang cantik bernama Niken.
Entah hanya perasaan Firdaus saja atau memang benar, kalau tidak salah Niken kerap kali mencuri-curi pandang ke arahnya.
Firdaus sih biasa saja, toh ia juga sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Kata orang dia tampan dan murah senyum, sehingga itu menjadi daya tarik utamanya bagi orang di sekitarnya.
Seorang anak laki-laki duduk di hadapannya, sambil menyiapkan buku pembelajarannya.
"Kemarin sampai mana?" Tanya Firdaus.
"Baru halaman pertama, Ustadz."
"Halaman pertama? Oh, kamu udah naik tingkat, ya?"
"Enggak juga, Ustadz. Aku anak baru." Anak laki-laki itu pun nyengir.
Ah, iya. Firdaus pun baru sadar. Ia belum pernah bertemu anak ini sebelumnya.
"Ohh. Namanya siapa?"
"Ibrahim, Ustadz." Jawabnya sambil menatap tepat ke arah Firdaus.
Itu malah membuat si pemuda terdiam. Bukan, bukan karena nama si anak laki-laki, tetapi wajahnya, yang mengingatkannya kepada seseorang.
Mirip sekali sama Haikal.
Namun ia segera tersadar.
"Oke, Ibrahim, sekarang baca halaman pertama ya."
Setelah kegiatan pengajian itu usai, anak-anak pun menyalami Firdaus dan Niken.
"Ibrahim!" Panggil Firdaus tiba-tiba.
"Ya, ustadz?"
"Foto sama Ustadz ya. Boleh kan?"
"Oke Ustadz!" Jawab Ibrahim riang.
Mereka pun berselfie bersama.
"Makasih ya Ibrahim. Assalamualaikum! hati-hati ya pulangnya."
"Waalaikumsalam, Ustadz." Ibrahim melambaikan tangan, lalu berlari pulang.
Niken yang seingatnya tadi sempat mencuri-curi pandang ke arahnya, memanggilnya dengan ragu.
"Hmm, Fir?"
"Ya?" Firdaus menjawab sekilas, tidak menghentikan aktivitasnya merapikan barang-barang.
"Eh, itu Fir..."
"Apa?"
"Umm, aku mau ngomong sesuatu."
"Ngomong aja."
"Hmm. Oke. Jadi gini, sebenernya aku..."
Si pemuda yang menunggu kalimat itu tak kunjung selesai, menjawab lagi. "Apa?"
"Eh, gimana ya ngomongnya." Remaja cantik itu jadi salah tingkah sendiri.
"Haha. Santai aja."
Yang diberi tertawa simpul sukses jadi lebih salah tingkah lagi.
"Oke, hehe.... Hmm, kamu... mau gak, eh itu, hmm..."
"Mau apa?"
"...eh, anu, mau... ta'aruf sama aku ga?" setelah berhasil mengutarakan perasaannya si gadis pun menunduk dalam-dalam.
"Oh, itu. Kukira apa." Jawab Firdaus sekenanya. Ia hanya sedang tidak mood untuk membahas hal semacam itu sebenarnya.
"Iya... jadi, aku tahu kamu masih sekolah, aku juga masih kuliah semester satu kok. Jadi untuk... emm, anu, pendekatannya... ta'aruf aja dulu," Niken meneruskan mengungkapkan perasaannya sambil memainkan tali tas selempangnya.
Firdaus menegakkan berdirinya, menatap langsung ke si gadis yang hanya setinggi bahunya tersebut tengah menunduk malu, "Terimakasih, Nik. kuapresiasi itu. Aku pikir-pikir dulu boleh, kan?"
"Eh... iya, kok... apapun jawaban kamu aku terima. Terimakasih juga."
"Sama-sama."
Dan, Firdaus pun pulang dan segera melupakan kejadian yang menurutnya tidak penting tersebut.
Bukan sombong sih, tapi faktanya ia memang sudah sering mendapatkan pengakuan perasaan seperti itu dari banyak gadis. Bahkan sejak saat ia duduk di sekolah dasar.
Tapi ada satu hal yang membuatnya masih trauma dalam berhubungan dengan wanita.
Saat kelas 10 dia bertemu dengan seorang gadis yang terlihat paling tertarik dengannya.
Si gadis bahkan tak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuknya. Membelikannya makanan, membelikan kuota internet, bensin, dan beberapa perlengkapan untuk sekolahnya.
Namun saat Firdaus mendesaknya untuk memberitahu dari mana semua uang yang ia dapatkan untuk membiayai Firdaus, si gadis pun akhirnya memberikan pengakuan yang mengerikan.
Ia jadi simpanan om-om dan saat itu tengah hamil. Sebelum jadi simpanan pun dia sudah menyukai Firdaus, dan berencana menikahi Firdaus setelah lulus sekolah saat ia tahu om-om tersebut menghilang begitu saja setelah ia beritahu perihal kehamilannya.
Untungnya berita itu segera menyebar ke seluruh sekolah dengan cepat. Sedikit banyak Firdaus merasa terselamatkan karena itu. Karena si gadis langsung dikeluarkan dari sekolah, dan tidak ada yang tahu bagaimana kabarnya lagi setelah itu.
Sejak saat itu ia mulai jadi pusat perhatian di kalangan murid-murid perempuan. Awalnya karena kasus tersebut, namun lama-kelamaan karena sosoknya yang rupawan.
Terlebih lagi karena Firdaus jadi acuh tak acuh terhadap gadis, itu malah membuat kaum hawa di sekolahnya jadi tambah kagum dan penasaran.
☁
Haikal lagi-lagi baru saja hampir tertidur malam itu saat sebuah pesan masuk ke aplikasi chat-nya.
Cowok manis itu akhirnya membuka blokiran kontak Firdaus di ponselnya, daripada harus 'dihukum' lagi olehnya.
Firdaus mengirimkan sebuah foto selfie-nya bersama seorang anak laki-laki.
murid gw ada yang mirip elu nih hahahahah
Tapi yang jadi fokus Haikal bukanlah si anak laki-laki tersebut, melainkan latarnya. Sebuah rumah sederhana dengan tulisan "TPQ Ash-Shirotol Mustaqim."
Firdaus guru ngaji? Wahh, hebat bener dah.
Tapi Haikal tidak membalas pesan tersebut.
Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut."Ril.""Ye."
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Author's POVFlashback...Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan y
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Author's POVFlashback...Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan y
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut."Ril.""Ye."
Author's POVHari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara."...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futs
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind