Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.
Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.
Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.
Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.
Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut.
"Ril."
"Ye."
"Beliin minum."
"Kantin jauh. Mager."
"Hhh... sama."
Setelah itu hening lagi. Hanya suara murrotal dari toa mushola yang memenuhi telinga mereka. Jibril pun tidak menghidupkan suara ponselnya saat memainkan gim.
Akhirnya adzan dhuhur berkumandang. Suara pelantunnya sangat merdu di telinga. Haikal bisa menjamin ini adalah seruan adzan paling merdu yang pernah ia dengar.
Kemudian ia mendapati pula beberapa gadis berkerumun di sebelahnya. Mereka tampak sedang menggumamkan suatu hal dengan riang.
Gadis-gadis itu menggumam sesuatu seperti 'Firdaus' namun Haikal tak yakin pasti.
Tapi tampaknya Jibril juga ikut mendengar gumaman tersebut.
"Ha? Yang adzan kak Firdaus?" Tanya Jibril lebih ditujukan ke Haikal, namun dengan suara agak keras, membuat gadis-gadis itu ikut mendengarnya.
Tak disangka, salah satu dari gadis itu menjawab. "Iya dek, itu Firdaus."
Haikal terkejut sekaligus terkagum. Disimaknya lagi lantunan itu dengan seksama. Tapi ia masih merasa kesal, sebab ia teringat kejadian bully olehnya beberapa hari silam.
☁
kalll!! kal!
Haikal baru saja selesai mandi sore itu saat ia lihat ponselnya mendapat beberapa panggilan tak terjawab dan banyak chat. Kesemuanya dari Jibril.
- maaf tadi habis mandi. knp?
kall~ aku akhirnya menang joki kal !
- hhh, kukira apa. bikin panik aja lu.
hehe. aku seneng banget soalnya. baru kali ini ngejokiin bule game online kal!!! nanti katanya dia mau bayar pakai dollarrrr
- wah, keren lu. traktir dong.
nah iya ni baru aja gw mau ngajak lu besok minggu ke timezone. kuyyy
- alhamdulillah aku ikut seneng hehe. thanks yak rilll
yoiii jam 10 yaa
- siap dah.
☁
Dan seperti yang telah direncanakan, keduanya pun bertemu di parkiran mall.
Haikal takjub begitu melihat Jibril.
"Woi, Ril! Anjirr, keren lu. Kek orang Korea." Haikal menepuk bahu Jibril sambil tertawa simpul.
Yang dipuji semakin sombong. Cowok berkacamata itu mengusap rambutnya. "Oh, iye dong!"
Sosok Jibril yang sipit dan berkulit kuning langsat saja sudah membuatnya imut. Apalagi ditambah dengan gaya rambut two-block dan rompi wol menutupi kemeja berlengan tergulung sebatas siku, dan juga kacamata, membuatnya jadi kayak Oppa-oppa lokal.
Haikal sendiri simpel saja, dia memakai hoodie putih dan kemeja merah.
Saat memasuki area mall Haikal melihat sekelompok gadis berjalan berlawanan arah dengan mereka. Sekilas ide pun muncul di benak Haikal.
"Eh, coba deh kamu jalannya dikeren-kerenin. Mbak-mbak yang itu kayaknya tipe K-poper deh," Bisiknya ke Jibril.
"Hehe. Coba ya. Eh tapi gimana?"
"Hmm... coba... salah satu tangan masukin ke kantong celana, satunya ngusap rambut, nanti pas deket mereka."
"Widiiih. Okedeh. Coba ya."
Dan benar saja, saat Jibril melakukan itu ketika berpapasan dengan gerombolan gadis tadi, mereka menoleh dengan takjub ke arahnya.
Kemudian mereka memekik sekilas. Itu membuat kedua cowok itu senang.
"Eh, berhasil Kal!"
"Wah, harusnya kuvideo tadi!"
Tapi Jibril malah berlari kecil.
"Lah kok lari, sih? Malah jadi ketahuan dong kalo lari." Haikal menyusul Jibril masuk ke area Timezone.
"Mau main apa Ril? Balapan mobil aja kuy!"
"Enggak."
"Trus?"
"Kamu pernah main itu gak?" Jibril menunjuk ke sebuah permainan dengan sebuah layar besar yang memutarkan lagu k-pop.
"Hooh... kamu k-poper juga toh?"
"Hehe, aku belum pernah cerita ke kamu ya? Makanya aku suka model rambut begini, two-block namanya."
"Two-block?"
"Iya. Coba deh lu potong kek begini juga, pasti cocok tuh buat lu. Dah lah, yok main."
"Eh, aku enggak bisa. Gaktau K-pop aku. Gakbisa ngedance juga."
"Dah gakpapa. Kan cuma coba." Jibril langsung menggesekkan kartunya di slot.
Haikal mengikuti sekenanya. Ia terlalu takjub dengan kelincahan Jibril yang sangat pandai menarikan berbagai macam lagu K-pop, baik dari boyband maupun girlband.
Berkali-kali Haikal mendapat skor rendah, tapi Jibril tak mempermasalahkannya.
Setelah beberapa permainan, Haikal menyerah, ia memilih untuk bermain capit boneka saja. Sedangkan Jibril masih asyik. Ia bahkan mengundang beberapa orang untuk menontonnya karena kepandaiannya dalam nge-dance.
Haikal memasukkan koin ke slot. Ia tahu percobaan pertama akan selalu gagal. Tapi ia ingat jika terus memasukkan koin, maka capitannya semakin lama akan semakin 'kuat'.
Sampai koinnya habis, ia masih belum bisa juga mengambil boneka yang diinginkannya.
Tiba-tiba seseorang di belakangnya memasukkan koin. Haikal kaget dan menoleh.
Lagi-lagi Firdaus.
Ia memilih acuh dan berbalik berniat meninggalkan pemuda itu. Namun tangan yang lebih besar menahannya.
"Sini aja."
"Maaf, permisi kak."
"Jibril udah ada yang nemenin tuh." Firdaus menunjuk Jibril yang terkaget saat di belakangnya ada Rexi. "Nah makanya lu di sini aja. Cepet mainin lagi. Udah kukasih koin tuh."
Haikal bergeming.
"Kalo gak mau main, aku yang main."
"Yaudah."
Firdaus menyeringai. "Oke."
Kemudian pemuda itu meraih tangan Haikal, menempatkannya pada tuas, dan menguncinya dengan tangannya sendiri.
"Hah! apa-"
"Ssttt... dapet nih."
Haikal merasa mukanya memanas saat Firdaus menekankan dadanya pada punggung Haikal. Tangannya memainkan tuas permainan dalam keadaan membungkus tangan Haikal. Sumpah, posisi ini sangat salah. Bikin salah paham!
Dan lagi-lagi, Haikal menghirup aroma parfum lembut yang sama seperti di toilet laki-laki pada waktu itu.
Oh tidak, apalagi beberapa orang mulai mencuri-curi pandang ke arahnya!
Tanpa sadar Haikal refleks menutup mata dengan erat.
Seakan berusaha menulikan telinganya juga, ia merasakan dada Firdaus bergetar tanda ia terkekeh kecil, entah karena apa.
Itu sukses menyuntik jantungnya sendiri jadi berdebar hebat.
Setelah saat-saat menyiksa itu berlangsung, akhirnya tangannya dilepaskan juga.
"Alhamdulillah, dapet juga!" Firdaus menunduk dan mengambil sebuah boneka sapi berukuran kecil.
"Coba lihat nih! pipinya sama kayak lu. Chubby." Si pemuda bergantian melihat boneka itu dan wajah Haikal, alalu menjejalkan ke tangannya. "Nih, buat lu! Tenang aja, gausah bayar."
"Udah makan belom? Makan yuk."
"Gausah, gak laper." Jawab Haikal ketus.
kruyuk, kruyuk..
Haikal mengerutkan dahi memandang perutnya. Astaga, perutnya mengkhianati dirinya sendiri selama kurang dari sepersekian detik!
"Hahahaha... oke. Ayok makan." Firdaus langsung menggandeng tangan Haikal keluar dari Timezone, setelah memanggil Rexi untuk berpamitan.
Dapat Haikal lihat Jibril berniat mengejarnya namun ditahan oleh Rexi.
Sepanjang perjalanannya mencari makan ia selalu berjalan di belakang Firdaus sambil menunduk. Sesekali ia mendongak, memandang punggung dan rambut Firdaus, lalu memandang lantai mall lagi.
Entah kenapa sensasi aneh di perutnya terasa lagi. Persis seperti pada saat ia menonton Sulaiman latihan solo piano di ruang band waktu itu.
Tapi kalau di belakang begini ia malah mencium parfum yang dikenakan Firdaus... Maka ia menjejerinya saja deh.
"Mau makan di mana?" Tanya Firdaus.
"Terserah yang bayar."
"Emang yang bayar siapa?"
"Ya terserah. Bayar sendiri-sendiri aja."
"Haha, kamu kok kayak cewek sih. Sukanya ngerajuk."
Itu pujian atau hinaan?
"Okedeh, makan di sini aja ya." Firdaus pun menggandengnya lagi masuk ke salah satu restoran.
Firdaus sepertinya benar-benar cuek pada keadaan mereka yang daritadi mengundang banyak pasang mata untuk memandang mereka.
☁
"Masih marah ya sama aku?" Tanya Rexi.
Jibril bergeming. Tangannya mengaduk-aduk bubble tea menggunakan sedotan.
Mereka berdua sedang duduk di stand yang menjual bubble tea setelah memainkan beberapa permainan di Timezone tadi, tetapi dengan muka Jibril yang selalu ditundukkan dari tadi. Tapi bubble tea yang dibelikan Rexi untuknya diminumnya juga dengan lahap. Haha.
Si cowok yang satunya, yang bersurai ikal, menghela napas. "Aku minta maaf lagi deh, udah mukul kamu waktu itu."
Jibril masih bergeming.
"Ada yang masih sakit? Sini aku obatin."
Pertanyaan macam apa itu?! Baru tanya begitu setelah berabad-abad?!
Itu yang ingin dijawab oleh si cowok berkacamata, tapi yang keluar dari mulutnya malah, "Ibuku."
"Ibu kamu sakit?" Rexi sedikit terkejut.
"Jadi aku boleh pulang, kan? Kakaku mau berangkat kerja sore ini."
"Yaudah aku anterin."
"Gausah."
"Idih, kayak cewek aja sok jual mahal. Udah, ayok pulang."
☁
"Di sebelah kiri kak. Catnya warna kuning."
Mobil Karimun itu pun berbelok ke halamannya yang tanpa pagar.
"Makasih kak. Hati - hati ya pulangnya."
"Gak boleh lihat ibu kamu dulu?"
"Lagi sakit kak..."
"Pamitan aja deh."
Jibril menimbang-nimbang sebentar, akhirnya mempersilakan Rexi masuk ke kamar ibunya. Jibril mengucap salam, tapi tak ada orang rumah yang membalas. Itu artinya kakaknya sudah berangkat kerja.
Tampak sang ibu sedang tertidur di ranjang.
"Jangan dibangunin. Udah lihat kan? Yaudah, pulangnya hati-hati."
Jibril mengantar Rexi lagi ke teras.
"Kamu sendirian dong jaga ibu kamu?"
"Iya. Serumah cuma aku, kakak sama ibu."
"Yaudah kalau gitu. Aku duluan ya."
"Iya."
Rexi melangkah menuju mobil, tapi kemudian berbalik lagi. "Oh ya. Panggil aja Rexi. Jangan panggil kakak."
Kemudian pemuda yang jauh lebih jangkung daripada Jibril itu membungkukkan badannya agar wajah mereka sejajar, dan mendekatkan wajahnya ke samping wajah Jibril.
Si pemuda sipit terkesiap. Sesaat ia mengira akan dibisikkan sesuatu oleh si jangkung, tapi ternyata...
Rexi mencium pipinya.
Kemudian ia menegakkan punggungnya lagi dan melambaikan tangan. "Assalamualaikum."
Jibril masih shock bahkan ketika mobil itu sudah hilang dari pandangannya.
Tanpa sadar ia meraba pipinya sendiri.
☁
Firdaus terpana saat melihat Haikal meletakkan sebuah mangkok besar yang isinya sudah habis. Di sebelahnya ada juga 2 buah piring kosong dan segelas jus yang isinya tinggal sedikit.
"Masha Allah... banyak juga ya makanmu."
Haikal menutup mulutnya rapat-rapat agar tak bersendawa terlalu keras sebelum menjawab, "Ya iyalah, gratis."
Firdaus tertawa simpul. "Oke... besok-besok kutraktir lagi ya biar gak ngambek terus." Ia hendak mencubit pipi Haikal namun segera ditepis.
Lagi-lagi mereka menjadi pusat perhatian. Beberapa orang berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke mereka.
Firdaus yang menyadari hal itu malah tersenyum simpul, dan berniat mengerjai cowok imut di hadapannya ini lagi.
"Di tanganmu ada nasi tuh." Katanya dan bukannya mengambil nasi tersebut, ia malah mengangkat tangan Haikal dan menjilat butiran nasinya.
Yang diperlakukan seperti itu refleks menutupi mukanya dengan boneka sapi pemberian Firdaus tadi.
Eh, tetapi terdengar suara beberapa gadis memekik pelan.
Dan seorang waitress, kalau ia tidak salah dengar.
Sadar dikerjain, ia pun segera bangkit dan keluar dari situ.
"Hei! Tunggu." Firdaus segera membayar sebelum menyusulnya.
"Hei, Kal!"
Cowok yang lebih pendek darinya itu tetap melanjutkan langkahnya.
"Ngambek mulu dah." Firdaus berhenti di depan Haikal untuk menghentikan langkahnya.
"Tau gitu aku gausah mau dibayarin, kalo cuma buat dikerjain." Ujarnya sambil mendorong Firdaus ke samping.
Tetapi Firdaus malah jadi gemas dibuatnya. Haikal benar-benar seperti gadis yang merajuk sekarang.
"Oke. Mau kemana lagi nih? Apa mau pulang?"
Haikal bergeming. Ia membuka layar ponsel pintar dan membuka salah satu aplikasi ojek online.
"Bareng aku aja. Aku bawa mobil loh."
"Apa sih!"
"Oke, kalo lu gamau bareng gue... Hp lu aja yang bareng gue!" Dengan cepat Firdaus merebut ponsel Haikal lalu berlari meninggalkannya.
"Woi!"
Sontak Haikal pun mengejar Firdaus. Dan terjadilah adegan kejar-kejaran ala FTV yang cukup lama. Firdaus berbelok ke parkiran, dikejar oleh Haikal.
"Hah.. hah... capek aku Fir! Plis lah, aku gamau cari gara-gara." Kata Haikal berusaha ngatur napasnya.
"Gue juga gak cari gara-gara." Firdaus mengedikkan bahunya, lalu membukakan pintu mobil di sebelah sopir, tentu saja untuk Haikal.
"Silakan."
Haikal bergeming sesaat, tapi karena ia risih juga daritadi dilihatin orang mulu, akhirnya dia masuk juga.
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Author's POVFlashback...Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan y
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Author's POVHari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara."...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futs
Haikal's POVHari ini, untuk pertama kalinya setelah aku jadi siswa SMA, aku akhirnya bisa istirahat bareng Mas Iman. Sebelum-sebelumnya aku hampir tak pernah bertemu dengannya selain sepulang sekolah. Itu pun juga aku yang mencarinya.Jibril tak ikut makan bersamaku di sini. Ia membawa bekal dan memakannya di kelas.Sambil menikmati semangkuk soto yang kupesan aku mengobrol ringan dengan Mas Iman. Mas Iman bercerita tentang prestasinya dalam bidang seni, ia berkata ia memenangkan lomba di festival band antar SMA, bahkan dengan lagu yang band-nya ciptakan sendiri. Kemudian ia dan band-nya juga diundang untuk mengisi acara ulang tahun sekolah lain pada tahun yang sama, itu membuatku sangat bangga.Aku terkesima menyimak cerita-cerita itu sampai tak sadar aku mendiamkan sotoku. Kalau tak diingatkan Mas Iman kalau sotoku akan cepat dingin, aku mungkin tetap lupa untuk memakannya.Saat kulihat meja di b
Seperti yang ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan berbicara langsung pada Firdaus, maka selama pelajaran Bahasa Indonesia ia selingi dengan menyusun rencana untuk mengajak Firdaus bertemu.Ia akan menunggu saat yang tepat untuk bertatap muka dengan Firdaus. Kemudian ia akan menanyakan semuanya, kenapa ia suka mengganggunya, apa motivasinya, dan apa yang membuatnya tiba-tiba menghentikan aksinya.Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan mengikuti setelah ia tahu jawabannya.Saat pulang sekolah, ia melihat Firdaus, Rexi dan Aldo berjalan di lorong kelas. Ia pun memanggilnya."Hei, Firdaus."Cowok itu menoleh sesaat, lalu lanjut berjalan lagi seolah tak acuh."Heii, Fir! Sombong amat sih."Lorong kelas cukup sepi setelah anak-anak lain telah berhamburan pulang, jadi teriakannya tak terlalu memancing perhatian.Haikal terus berbicara dalam keadaan menge
Author's POVFlashback...Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan y
Haikal's POVAku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia."Ehm-"Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.Hening lagi jadinya.Sampai dia menjawab, "Apa?""Kakak udah tau alamatku?""....Belum.""Kenapa engga tanya?"
Siang itu sangat terik. Kelas X-D yang baru saja selesai pelajaran olahraga sejam jam 10 tadi menampilkan murid-muridnya yang tampak keletihan, mereka berjalan gontai memasuki gerbang utama setelah berlari mengelilingi sekolah. Beberapa di antara mereka langsung menuju ke kantin, namun ada juga yang mengistirahatkan diri mereka di bangku taman, atau berselonjor di depan koperasi sekolah.Haikal dan Jibril memilih melepas penat di teras Mushola.Namun si cowok berkacamata masih sempat saja mengeluarkan ponselnya, lalu memainkan permainan online.Beberapa saat kemudian terdengar suara microphone mushola yang dites, pertanda sebentar lagi akan adzan dhuhur.Murid-murid juga mulai berdatangan ke sana, membuat Haikal dan Jibril beranjak dari tempat mereka lalu pindah ke bawah pohon belimbing yang rindang di samping mushola tersebut."Ril.""Ye."
Author's POVHari Senin pagi. Murid-murid tengah mendengarkan amanat dari pembina upacara."...Setelah ini kelas akan ditiadakan khusus hari ini, dan akan digantikan oleh demo ekstrakulikuler yang akan ditampilkan oleh kakak-kakak kelas 11 dan 12. Bagi siswa dan siswi baru, selamat menyaksikan." Demikian amanat pembina upacara menutup pidatonya dan segera diiringi oleh teriakan ricuh dari murid-murid, termasuk Haikal dan Jibril.SMA tersebut adalah Sekolah Islam yang cukup tersohor di kota tersebut. Tidak hanya berfokus pada pendidikan agama namun juga terus mengasah bakat para muridnya dalam bidang non akademis, jadi tidak heran bila banyak pula orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah ini.Begitu banyak ekstrakulikuler yang disediakan oleh sekolah ini untuk menunjang muridnya dalam mengasah bakat. Selain Paskibra dan Pramuka, ada juga PMR, Jurnalis, Theater, Band, Futs
Author's POVHaikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.Bruk!Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang.Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.Haikal sudah ber
Haikal's POVFirdaus... namanya Firdaus...Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?Kenapa ia melakukan hal itu padaku?Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia.Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.Dan... aku bertemu dengannya lagi."Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon."....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya."Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.
Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.Kini ia sudah duduk di bangku SMA.Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya..."Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya."Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghind