Seseorang menarik tangan Gita ketika mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Nyawa Gita tertolong. Perasaan Gita campur aduk. Ada rasa kesal mengapa ada orang yang mencoba untuk menolongnya. Ada juga perasaan lega karena ada yang peduli kepadanya.
Gita melihat ke belakang. Orang itu masih memegang tangannya. Ternyata orang yang menarik lengannya adalah Arya. Teman SMA sekaligus rekan pemotretannya. Mata mereka bertatapan. Arya hanya melihat Gita lekat-lekat.
“Kamu mau apa?” tanya
Halo di sini Rainfall. Mulai saat ini autor akan menjelaskan beberapa hal penting sebagai bahan diskusi dan pembelajaran ya. 1. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilu. Tugasnya adalah membuat kebijakan (undang-undang) yang diharapkan untuk membuat rakyat sejahtera 2. KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas untuk mengawasi segala aktivitas pemerintahan dan mencegah adanya korupsi. Namun setelah adanya kebijakan baru tentang KPK banyak yang menilai bahwa kebijakan tersebut jadi memperhambat kerja KPK sendiri sebagai badan yang berdiri sendiri. Sekian pembelajaran dari Rainfall. semoga bermanfaat~
Peserta forum diam. Mereka semua memfokuskan pandangan kepada Satria. Faisal yang duduk di sebelahnya terlihat was-was. Dia khawatir apakah sahabatnya tersebut bisa menjawab pertanyaan tadi dengan bijak. Faisal sudah tahu sejak lama, bahwa Satria adalah anak dari pejabat tinggi. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumahnya, ketika Satria belum hidup sendiri. Namun Satria adalah orang yang dikagumi oleh Faisal. Bahkan mungkin banyak orang di kampus. Dia benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dia pun benar-benar tulus membela rakyat. Satria tahu bahwa tidak mudah untuk melawan keluarganya sendiri. Namun dia memiliki keyakinan bahwa tidak sepatutnya membela hal yang salah. Itulah salah satu yang dikagumi dari dirinya.
Gita melemparkan alat tes kehamilan di tangannya. Dia sedikit frustasi dengan hasilnya. Benar saja, keluar dua garis merah di sana. Gita langsung teduduk lesu di lantai. Dia mencoba kuat siang tadi karena ada Arya. Namun kini dia tidak punya siapapun. Keluarganya berantakan. Ayahnya seorang koruptor, ibunya gila kerja sedangkan kakaknya? Dia memang menyayangi kakaknya, namun kakaknya terlalu mencintai negara sampai lupa pada adiknya. Air mata jatuh di pipi Gita. Pikirannya kosong. Mukanya ditutupi oleh lengannya. Dia bingung, apa yang harus dilakukannya. Apakah semua cita-citanya akan terhenti sampai di sini? Dia baru menginjakan kaki di dunia modeling. Dia sangat menikmatinya. Namun sekarang apa? Hanya ada penyesalan.
Amara merasa sedih. Jika pada waktu itu dia lebih bersabar. Apakah hubungan mereka berdua akan baik-baik saja? Mungkin untuk saat ini Diana lebih membutuhkan Satria. Lagipula mereka sudah tidak ada hubungan bukan. Mengapa Amara harus merasa cemburu? Tanpa disangka Satria kembali dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Di belakangnya seorang laki-laki mengikutinya masuk ke kamar. Dia adalah sosok yang bersama dengan Satria ketika pulang tadi. “Dia Faisal temanku. Sedangkan dia Amara.” Satria mencoba memp
“Diana!” Satria menegur Diana dengan lantang. Gadis itu terkejut. Matanya langsung menunjukan rasa takut. Baru kali ini Satria menegurnya dengan sangat keras. Bodoh sekali memang Diana. Dia berani bilang hal yang seperti ini. “Maaf!” ucapnya sambil menundukan kepala. “Jika memang tidak ada yang kamu butuhkan lagi, aku mau pulang sekarang ya,” ucap Satria.
Satria sampai di rumah sakit. Segera dicari kamar tempat adiknya dirawat. Mudah sekali mencari kamar Gita di sana, karena banyak penjaga berjaga di luar. Satria tahu bahwa ayahnya sedang berada di sana. ‘Cih, aku malas bertemu dengan papa,’ batinnya. Namun Satria tetap melangkahkan hatinya. Yang ada dipikirannya hanyalah Gita. Adik satu-satunya yang paling dia sayangi. Meskipun harus berjumpa dengan ayahnya, dia tidak peduli.
“Kakak di sini kan ya? Ga akan kemana mana?” Gita bertanya dengan suara parau. Dia terus menggenggam jemari kakaknya. Satria mengangguk. “Kakak ga akan kemana mana kok.” Orangtua mereka sudah pergi. Mega bilang bahwa dia ada acara meeting dengan peringgi kampus. Ayahnya juga tidak ada di rumah sakit. Satu-satunya yang bisa menjaga Gita hanya Satria. Dia membatalkan acara diskusi kampus. Satria merasa sangat bersalah. Dia tidak menyangka adiknya akan bertindak nekat untuk mengiris urat nadinya sendiri. Beruntung Nini menemukannya dengan cepat di rumah, jika tidak nyawa Gita mungkin tidak akan bisa ditolong. Diusap kepala adiknya dengan lembut. “Kamu bener-bener gamau cerita beban kamu ke kakak De?” “Ga ada apa-apa kok ka,” ucap Gita. “Kalau ga ada apa-apa ga mungkin loh kamu nekat kaya gitu!” “Aku cuman ketakutan karena udah kelas tiga,” katanya berbohong. “Ujian membuatku stress ka. Takut gabisa buat lewatin keinginan Papa”.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Amara dengan ketus. Bima tersenyum. “Ra kamu lucu deh pas lagi marah gitu. Ngingetin aku sama waktu-waktu dulu kita pacaran.” Amara mendengus kesal. Lelaki di depannya memang tidak tahu diri. Dulu meninggalkannya. Dia juga dulu dengan enaknya berselingkuh dengan wanita lain. Kini dia duduk di depan Amara tanpa basa basi, kemudian menceritakan nostalgia lama mereka. “Pergi sana!” bentak Amara. “Aku udah gamau ketemu kamu lagi!” Bima tertawa mengejek. “Ga mungkin Ra, mana mungkin kamu ngelupain aku semudah itu. Kita pacaran bertahun-tahun loh”. “Kenyataannya bisa!” ketusnya. “Kamu aja yang kepedean”. “Aku ga percaya,” ucapnya. “Mending kamu urusin Gita aja sana!” Mendengar nama Gita, urat Bima sedikit menegang. Memang benar beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan gadis itu. Meskipun dia sudah berjanji dengan Gita, namun entah mengapa dia merasa tidak puas. Bagi Bima, Gita hanyalah anak SMA
“Sudah?” tanya Satria. Bima menaikan alisnya. Dia tampak kebingungan. “Aku percaya dengan Amara!” Satria sengaja menekan nada bicaranya. Membuat Bima sedikit geram. “Hey Bung, Yakin dengan Amara?” ucap Bima ulang. “Sejauh yang kutahu, Amara orang yang baik,” sergah Satria. “Dia pun sudah menjelaskan semuanya. Aku pikir kamu hanyalah masa lalunya saja.” Bima bungkam. “Yasudah, nikmati saja!” kata Bima sambil pergi pamit. Satria terduduk diam di samping ranjang Gita. Dia mulai memikirkan Amara. Mau bagaimanapun juga perkataan Bima serasa mengganggunya. Tanpa dia sadari Gita mendengar semuanya, hatinya sakit mendengar ayah bayi di kandungannya tidak mengakui dirinya. *** Gita sudah diperbolehkan ke rumah. Dia terduduk diam di kamarnya. Perkataan Bima benar-benar mengusik dirinya. “Bagaimana jika Ka Bima tidak mau mengakui bayinya?” monolognya. Wajahnya menjadi pucat. Selama ini gadis SMA itu tidak memikirka
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"