Amara mundur beberapa langkah. Dahulu mungkin Bima adalah orang yang paling ingin ditemuinya. Dahulu Bima adalah pusat kehidupannya. Namun kini? Ada rasa muak yang tergambar jelas dalam wajah Amara. Bisa-bisanya laki-laki yang mempermainkan hidupnya itu kini dengan wajah tanpa berdosa datang ke kosan Amara.
“Mau apa?” Tanya Amara sinis.
Bima tersenyum mengejek di depannya. Entah apa yang Bima pikirkan, yang jelas Amara ingin lelaki kurang ajar tersebut secepatnya pergi dari sana.
Seseorang menarik tangan Gita ketika mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Nyawa Gita tertolong. Perasaan Gita campur aduk. Ada rasa kesal mengapa ada orang yang mencoba untuk menolongnya. Ada juga perasaan lega karena ada yang peduli kepadanya.Gita melihat ke belakang. Orang itu masih memegang tangannya. Ternyata orang yang menarik lengannya adalah Arya. Teman SMA sekaligus rekan pemotretannya. Mata mereka bertatapan. Arya hanya melihat Gita lekat-lekat.“Kamumauapa?”tanya
Peserta forum diam. Mereka semua memfokuskan pandangan kepada Satria. Faisal yang duduk di sebelahnya terlihat was-was. Dia khawatir apakah sahabatnya tersebut bisa menjawab pertanyaan tadi dengan bijak. Faisal sudah tahu sejak lama, bahwa Satria adalah anak dari pejabat tinggi. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumahnya, ketika Satria belum hidup sendiri. Namun Satria adalah orang yang dikagumi oleh Faisal. Bahkan mungkin banyak orang di kampus. Dia benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dia pun benar-benar tulus membela rakyat. Satria tahu bahwa tidak mudah untuk melawan keluarganya sendiri. Namun dia memiliki keyakinan bahwa tidak sepatutnya membela hal yang salah. Itulah salah satu yang dikagumi dari dirinya.
Gita melemparkan alat tes kehamilan di tangannya. Dia sedikit frustasi dengan hasilnya. Benar saja, keluar dua garis merah di sana. Gita langsung teduduk lesu di lantai. Dia mencoba kuat siang tadi karena ada Arya. Namun kini dia tidak punya siapapun. Keluarganya berantakan. Ayahnya seorang koruptor, ibunya gila kerja sedangkan kakaknya? Dia memang menyayangi kakaknya, namun kakaknya terlalu mencintai negara sampai lupa pada adiknya. Air mata jatuh di pipi Gita. Pikirannya kosong. Mukanya ditutupi oleh lengannya. Dia bingung, apa yang harus dilakukannya. Apakah semua cita-citanya akan terhenti sampai di sini? Dia baru menginjakan kaki di dunia modeling. Dia sangat menikmatinya. Namun sekarang apa? Hanya ada penyesalan.
Amara merasa sedih. Jika pada waktu itu dia lebih bersabar. Apakah hubungan mereka berdua akan baik-baik saja? Mungkin untuk saat ini Diana lebih membutuhkan Satria. Lagipula mereka sudah tidak ada hubungan bukan. Mengapa Amara harus merasa cemburu? Tanpa disangka Satria kembali dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Di belakangnya seorang laki-laki mengikutinya masuk ke kamar. Dia adalah sosok yang bersama dengan Satria ketika pulang tadi. “Dia Faisal temanku. Sedangkan dia Amara.” Satria mencoba memp
“Diana!” Satria menegur Diana dengan lantang. Gadis itu terkejut. Matanya langsung menunjukan rasa takut. Baru kali ini Satria menegurnya dengan sangat keras. Bodoh sekali memang Diana. Dia berani bilang hal yang seperti ini. “Maaf!” ucapnya sambil menundukan kepala. “Jika memang tidak ada yang kamu butuhkan lagi, aku mau pulang sekarang ya,” ucap Satria.
Satria sampai di rumah sakit. Segera dicari kamar tempat adiknya dirawat. Mudah sekali mencari kamar Gita di sana, karena banyak penjaga berjaga di luar. Satria tahu bahwa ayahnya sedang berada di sana. ‘Cih, aku malas bertemu dengan papa,’ batinnya. Namun Satria tetap melangkahkan hatinya. Yang ada dipikirannya hanyalah Gita. Adik satu-satunya yang paling dia sayangi. Meskipun harus berjumpa dengan ayahnya, dia tidak peduli.
“Kakak di sini kan ya? Ga akan kemana mana?” Gita bertanya dengan suara parau. Dia terus menggenggam jemari kakaknya. Satria mengangguk. “Kakak ga akan kemana mana kok.” Orangtua mereka sudah pergi. Mega bilang bahwa dia ada acara meeting dengan peringgi kampus. Ayahnya juga tidak ada di rumah sakit. Satu-satunya yang bisa menjaga Gita hanya Satria. Dia membatalkan acara diskusi kampus. Satria merasa sangat bersalah. Dia tidak menyangka adiknya akan bertindak nekat untuk mengiris urat nadinya sendiri. Beruntung Nini menemukannya dengan cepat di rumah, jika tidak nyawa Gita mungkin tidak akan bisa ditolong. Diusap kepala adiknya dengan lembut. “Kamu bener-bener gamau cerita beban kamu ke kakak De?” “Ga ada apa-apa kok ka,” ucap Gita. “Kalau ga ada apa-apa ga mungkin loh kamu nekat kaya gitu!” “Aku cuman ketakutan karena udah kelas tiga,” katanya berbohong. “Ujian membuatku stress ka. Takut gabisa buat lewatin keinginan Papa”.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Amara dengan ketus. Bima tersenyum. “Ra kamu lucu deh pas lagi marah gitu. Ngingetin aku sama waktu-waktu dulu kita pacaran.” Amara mendengus kesal. Lelaki di depannya memang tidak tahu diri. Dulu meninggalkannya. Dia juga dulu dengan enaknya berselingkuh dengan wanita lain. Kini dia duduk di depan Amara tanpa basa basi, kemudian menceritakan nostalgia lama mereka. “Pergi sana!” bentak Amara. “Aku udah gamau ketemu kamu lagi!” Bima tertawa mengejek. “Ga mungkin Ra, mana mungkin kamu ngelupain aku semudah itu. Kita pacaran bertahun-tahun loh”. “Kenyataannya bisa!” ketusnya. “Kamu aja yang kepedean”. “Aku ga percaya,” ucapnya. “Mending kamu urusin Gita aja sana!” Mendengar nama Gita, urat Bima sedikit menegang. Memang benar beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan gadis itu. Meskipun dia sudah berjanji dengan Gita, namun entah mengapa dia merasa tidak puas. Bagi Bima, Gita hanyalah anak SMA