Satria sampai di rumah sakit. Segera dicari kamar tempat adiknya dirawat. Mudah sekali mencari kamar Gita di sana, karena banyak penjaga berjaga di luar. Satria tahu bahwa ayahnya sedang berada di sana.
‘Cih, aku malas bertemu dengan papa,’ batinnya.
Namun Satria tetap melangkahkan hatinya. Yang ada dipikirannya hanyalah Gita. Adik satu-satunya yang paling dia sayangi. Meskipun harus berjumpa dengan ayahnya, dia tidak peduli.
“Kakak di sini kan ya? Ga akan kemana mana?” Gita bertanya dengan suara parau. Dia terus menggenggam jemari kakaknya. Satria mengangguk. “Kakak ga akan kemana mana kok.” Orangtua mereka sudah pergi. Mega bilang bahwa dia ada acara meeting dengan peringgi kampus. Ayahnya juga tidak ada di rumah sakit. Satu-satunya yang bisa menjaga Gita hanya Satria. Dia membatalkan acara diskusi kampus. Satria merasa sangat bersalah. Dia tidak menyangka adiknya akan bertindak nekat untuk mengiris urat nadinya sendiri. Beruntung Nini menemukannya dengan cepat di rumah, jika tidak nyawa Gita mungkin tidak akan bisa ditolong. Diusap kepala adiknya dengan lembut. “Kamu bener-bener gamau cerita beban kamu ke kakak De?” “Ga ada apa-apa kok ka,” ucap Gita. “Kalau ga ada apa-apa ga mungkin loh kamu nekat kaya gitu!” “Aku cuman ketakutan karena udah kelas tiga,” katanya berbohong. “Ujian membuatku stress ka. Takut gabisa buat lewatin keinginan Papa”.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Amara dengan ketus. Bima tersenyum. “Ra kamu lucu deh pas lagi marah gitu. Ngingetin aku sama waktu-waktu dulu kita pacaran.” Amara mendengus kesal. Lelaki di depannya memang tidak tahu diri. Dulu meninggalkannya. Dia juga dulu dengan enaknya berselingkuh dengan wanita lain. Kini dia duduk di depan Amara tanpa basa basi, kemudian menceritakan nostalgia lama mereka. “Pergi sana!” bentak Amara. “Aku udah gamau ketemu kamu lagi!” Bima tertawa mengejek. “Ga mungkin Ra, mana mungkin kamu ngelupain aku semudah itu. Kita pacaran bertahun-tahun loh”. “Kenyataannya bisa!” ketusnya. “Kamu aja yang kepedean”. “Aku ga percaya,” ucapnya. “Mending kamu urusin Gita aja sana!” Mendengar nama Gita, urat Bima sedikit menegang. Memang benar beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan gadis itu. Meskipun dia sudah berjanji dengan Gita, namun entah mengapa dia merasa tidak puas. Bagi Bima, Gita hanyalah anak SMA
“Sudah?” tanya Satria. Bima menaikan alisnya. Dia tampak kebingungan. “Aku percaya dengan Amara!” Satria sengaja menekan nada bicaranya. Membuat Bima sedikit geram. “Hey Bung, Yakin dengan Amara?” ucap Bima ulang. “Sejauh yang kutahu, Amara orang yang baik,” sergah Satria. “Dia pun sudah menjelaskan semuanya. Aku pikir kamu hanyalah masa lalunya saja.” Bima bungkam. “Yasudah, nikmati saja!” kata Bima sambil pergi pamit. Satria terduduk diam di samping ranjang Gita. Dia mulai memikirkan Amara. Mau bagaimanapun juga perkataan Bima serasa mengganggunya. Tanpa dia sadari Gita mendengar semuanya, hatinya sakit mendengar ayah bayi di kandungannya tidak mengakui dirinya. *** Gita sudah diperbolehkan ke rumah. Dia terduduk diam di kamarnya. Perkataan Bima benar-benar mengusik dirinya. “Bagaimana jika Ka Bima tidak mau mengakui bayinya?” monolognya. Wajahnya menjadi pucat. Selama ini gadis SMA itu tidak memikirka
“Kalau aku selesai sidang nanti, boleh aku ajak bicara?” Tawaran Satria membuat Amara membeku. Dia pikir selama ini mantan kekasihnya itu mencoba untuk menjauhinya. Namun dia memendam rasa senang di hati, takut jika apa yang dipikirkannya tidak sesuai rencana. “Buat?” “Rahasia!” ucap Satria. “Kok begitu?” protes Amara. Satria tertawa. “Kalau dikasih tau sekarang ga akan asik. Tapi aku minta kamu berjanji satu hal sama aku!” “Apa?” “Apapun yang terjadi kamu harus lulus tahun ini!” pinta Satria. Amara berfikir sejenak. Dia kemudian tersenyum. “Kalau begitu aku juga minta sesuatu sama kamu.” “Apa?” “Lulus bareng sama aku!” “Oke!” “Janji ya!” ucap Amara sambil mengulurkan jari kelingking. Dia meminta Satria untuk bersumpah. Satria kemudian menyodorkan jari kelingkingnya juga. “Aku janji!” Kriiingg.... Rington suara handphone Satria berbunyi. Dia kemudian melihat nama penelpon
Tuutttt... tutttt.... tuttt..... Sudah ketiga kalinya Gita mencoba menelpon Bima. Namun sepertinya lelaki itu terlalu sibuk sampai mengabaikan panggilannya. Gadis itu menjadi resah. Dilempar handphone ke kasur. “Kakak kemana sih!” ucapnya kesal. Saat ini perutnya memang tidak terlihat membesar. Hanya emosinya saja yang menjadi lebih tidak stabil. Biasanya umur kandungan muda memang harus didampingi oleh suami. Tetapi Gita pun belum memberitahukan apapun kepada Bima. Setelah mempertimbangkan banyak hal. Gita merasa sudah saatnya Bima tahu. Tentu saja dia yakin itu adalah anaknya, karena Gita hanya menjalin kasih kepada seorang saja. Tuutttt tuutttt tuttttt Dia kembali mencoba menghubungi Bima. “Ayo dong angkat!” ucapnya dengan nada penuh emosi. “Halo!” sebuah suara dari sebrang telepon terdengar. Gita tidak langsung menjawab. Dia mempertimbangkan semua yang akan dia ucapkan. “Bisa ketemu ga ka?” “Aku sibuk Git!”
"Satria?" Mata Amara membulat. "Kamu jangan bercanda deh Dell!"Della mengangguk. "Ga bercanda. Rame tahu di grup chat kampus!""Dia tadi sama aku Dell!" tampik Amara. "Dan kita berdua janji buat lulus bareng.""Hah?" Della melongo. Baru kemarin Amara bersedih karena Satria jauh darinya. Kini mereka sudah saling bertemu satu sama lain. "Jadi udah baikan nih?""Kita ga berantem kok," ucap Amara. "Cuman saling canggung. Coba ceritain yang tadi! Maksudnya gimana?"Della menarik nafas panjang. Dia kemudian menepuk kursi di sebelahnya. "Duduk sini, baru mulai cerita."Gadis itu tanda basa-basi langsung menurut. Dia duduk di sebelah sahabatnya itu. "Tau aksi demonstrasi yang bakal dilakuin Satria kan?"Amara mengangguk. "Tahu kok! Karena itu?""Betul! Demonstrasi itu kayanya ngebuat pihak kampus dan pemerintah marah!" Delia bercerita dengan antusias. "Masalahnya itu-.""Masalahnya dia bakal di keluarin dari kampus kalau tetep
"Benar."Perkataan itu membuat Bima terlihat gelisah. Dia tidak menyangka jika apa yang dia lakukan berdampak sampai sejauh ini. Diperhatikan lagi garis wajah gadis di depannya. Seolah ceria namun sendu. Seolah diapun bingung dengan masa depannya kelak.Bima menunduk. Teringat kembali pertemuan pertama dengan Gita. Dia mencoba mengingat setiap memorinya. Entah mengapa kejadian demi kejadian langsung datang di benaknya.Setengah tahun lalu..."De! Jangan lupa hari ini ke rumah tante Mega," ucap Winda. "Mereka lagi cari guru les buat anak bungsunya."Bima yang saat itu sedang kesal karena pertengkaran dengan pacarnya, hanya bisa mengangguk dengan malas. "Ya nanti ke sana.""Sekarang aja!" oceh Winda. "Mumpung belum terlalu malam. Kamu kenapa sih kaya yang uring-uringan gitu? Berantem sama Amara?"Bima malas menjawab. Tapi kakaknya memang peka. Sudah dua hari mereka bertengkar satu dengan yang lain. Pertengkaran mereka terjadi karena Bim
"Aku gamau diajar sama dia mah! Aku maunya sama ka Satria!"Bima tetap berusaha melayangkan senyum, meskipun hatinya sakit. Belum apa-apa gadis kecil yang masih berstatus seragam putih abu itu menolaknya. Hal ini membuat dirinya tertantang untuk menjinakan bocah tersebut bagaimanapun caranya."Gita!" tegur Mega. Wanita itu melirik dengan tatapan tidak enak kepada Bima. Menyesali perbuatan tidak sopan putri bungsunya tersebut."Pokoknya Gita gamau!" ucapnya. Kemudian dia bangkit dari sofa dan pergi menuju kamarnya. Menyisakan Bima dan ibunya berdua di sana.Mega kembali melihat Bima. Raut wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Tante minta maaf ya nak Bima."Dia mengangguk. "Tidak apa-apa tante.""Gita itu sebetulnya anak yang baik. Salah saya dan suami karena sering meninggalkannya sendiri. Kakaknya pun sudah lama tidak pulang ke rumah. Membuatnya kesepian," cerita Mega.Bima kini paham situasinya. Dia pun pernah merasakan saat memberontak.