“Kalau aku selesai sidang nanti, boleh aku ajak bicara?”
Tawaran Satria membuat Amara membeku. Dia pikir selama ini mantan kekasihnya itu mencoba untuk menjauhinya. Namun dia memendam rasa senang di hati, takut jika apa yang dipikirkannya tidak sesuai rencana. “Buat?”
“Rahasia!” ucap Satria.
“Kok begitu?” protes Amara.
Satria tertawa. “Kalau dikasih tau sekarang ga akan asik. Tapi aku minta kamu berjanji satu hal sama aku!”
“Apa?”
“Apapun yang terjadi kamu harus lulus tahun ini!” pinta Satria.
Amara berfikir sejenak. Dia kemudian tersenyum. “Kalau begitu aku juga minta sesuatu sama kamu.”
“Apa?”
“Lulus bareng sama aku!”
“Oke!”
“Janji ya!” ucap Amara sambil mengulurkan jari kelingking. Dia meminta Satria untuk bersumpah.
Satria kemudian menyodorkan jari kelingkingnya juga. “Aku janji!”
Kriiingg....
Rington suara handphone Satria berbunyi. Dia kemudian melihat nama penelpon
Tuutttt... tutttt.... tuttt..... Sudah ketiga kalinya Gita mencoba menelpon Bima. Namun sepertinya lelaki itu terlalu sibuk sampai mengabaikan panggilannya. Gadis itu menjadi resah. Dilempar handphone ke kasur. “Kakak kemana sih!” ucapnya kesal. Saat ini perutnya memang tidak terlihat membesar. Hanya emosinya saja yang menjadi lebih tidak stabil. Biasanya umur kandungan muda memang harus didampingi oleh suami. Tetapi Gita pun belum memberitahukan apapun kepada Bima. Setelah mempertimbangkan banyak hal. Gita merasa sudah saatnya Bima tahu. Tentu saja dia yakin itu adalah anaknya, karena Gita hanya menjalin kasih kepada seorang saja. Tuutttt tuutttt tuttttt Dia kembali mencoba menghubungi Bima. “Ayo dong angkat!” ucapnya dengan nada penuh emosi. “Halo!” sebuah suara dari sebrang telepon terdengar. Gita tidak langsung menjawab. Dia mempertimbangkan semua yang akan dia ucapkan. “Bisa ketemu ga ka?” “Aku sibuk Git!”
"Satria?" Mata Amara membulat. "Kamu jangan bercanda deh Dell!"Della mengangguk. "Ga bercanda. Rame tahu di grup chat kampus!""Dia tadi sama aku Dell!" tampik Amara. "Dan kita berdua janji buat lulus bareng.""Hah?" Della melongo. Baru kemarin Amara bersedih karena Satria jauh darinya. Kini mereka sudah saling bertemu satu sama lain. "Jadi udah baikan nih?""Kita ga berantem kok," ucap Amara. "Cuman saling canggung. Coba ceritain yang tadi! Maksudnya gimana?"Della menarik nafas panjang. Dia kemudian menepuk kursi di sebelahnya. "Duduk sini, baru mulai cerita."Gadis itu tanda basa-basi langsung menurut. Dia duduk di sebelah sahabatnya itu. "Tau aksi demonstrasi yang bakal dilakuin Satria kan?"Amara mengangguk. "Tahu kok! Karena itu?""Betul! Demonstrasi itu kayanya ngebuat pihak kampus dan pemerintah marah!" Delia bercerita dengan antusias. "Masalahnya itu-.""Masalahnya dia bakal di keluarin dari kampus kalau tetep
"Benar."Perkataan itu membuat Bima terlihat gelisah. Dia tidak menyangka jika apa yang dia lakukan berdampak sampai sejauh ini. Diperhatikan lagi garis wajah gadis di depannya. Seolah ceria namun sendu. Seolah diapun bingung dengan masa depannya kelak.Bima menunduk. Teringat kembali pertemuan pertama dengan Gita. Dia mencoba mengingat setiap memorinya. Entah mengapa kejadian demi kejadian langsung datang di benaknya.Setengah tahun lalu..."De! Jangan lupa hari ini ke rumah tante Mega," ucap Winda. "Mereka lagi cari guru les buat anak bungsunya."Bima yang saat itu sedang kesal karena pertengkaran dengan pacarnya, hanya bisa mengangguk dengan malas. "Ya nanti ke sana.""Sekarang aja!" oceh Winda. "Mumpung belum terlalu malam. Kamu kenapa sih kaya yang uring-uringan gitu? Berantem sama Amara?"Bima malas menjawab. Tapi kakaknya memang peka. Sudah dua hari mereka bertengkar satu dengan yang lain. Pertengkaran mereka terjadi karena Bim
"Aku gamau diajar sama dia mah! Aku maunya sama ka Satria!"Bima tetap berusaha melayangkan senyum, meskipun hatinya sakit. Belum apa-apa gadis kecil yang masih berstatus seragam putih abu itu menolaknya. Hal ini membuat dirinya tertantang untuk menjinakan bocah tersebut bagaimanapun caranya."Gita!" tegur Mega. Wanita itu melirik dengan tatapan tidak enak kepada Bima. Menyesali perbuatan tidak sopan putri bungsunya tersebut."Pokoknya Gita gamau!" ucapnya. Kemudian dia bangkit dari sofa dan pergi menuju kamarnya. Menyisakan Bima dan ibunya berdua di sana.Mega kembali melihat Bima. Raut wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Tante minta maaf ya nak Bima."Dia mengangguk. "Tidak apa-apa tante.""Gita itu sebetulnya anak yang baik. Salah saya dan suami karena sering meninggalkannya sendiri. Kakaknya pun sudah lama tidak pulang ke rumah. Membuatnya kesepian," cerita Mega.Bima kini paham situasinya. Dia pun pernah merasakan saat memberontak.
"Aku ingin membuat kesepakatan!"Bima melonggo. Gadis kecil di depannya benar-benar tidak bisa ditebak. Dia mau membuat kesepakatan layaknya orang dewasa. Tentu saja Bima hanya melihatnya sebagai gadis SMA biasa pada waktu itu. "Maksudnya?""Aku ingin buat kesepakaatn dengan kakak," ulangnya. "Aku ga mau belajar. Tapi kasian juga kakak kalau sampe pulang ga ada hasil. Mungkin kakak butuh uang."Telinga Bima panas mendengar perkataan Gita. Dia kini melihat karakter seorang gadis kaya raya yang sombong. Memang benar dia butuh uang karena ayahnya telah tiada. Namun bukan berarti gadis ini bisa berbicara seenaknya.Sayangnya Bima hanya bisa diam sambil memendam kekesalan dalam hati. Dia ingat orangtua Gita lah yang memberikan biaya besar untuk membantu keuangan keluarganya. Dia tidak boleh bertindak gegabah. "Apa yang mau kamu lakukan jika tidak belajar?""Aku ingin nilaiku jelek!" ucapnya."Tidak bisa!" bantah Bima. "Aku kesini untuk membantumu
Esoknya Gita berniat untuk tidak pulang. Dia ingat ayah dan ibunya sedang dinas di luar kota. Tentu saja semua itu dia lakukan agar Bima tidak bertemu dengannya. Dia mulai menganggap guru lesnya itu pengganggu. Semakin sering Bima mengunjunginya semakin kecil kemungkinan kakaknya akan pulang.Gita sangat menyayangi kakaknya. Baginya kakaknya adalah segalanya. Di saat kedua orangtuanya sibuk bekerja, Satria yang selalu menemaninya. Satria adalah siswa berprestasi sejak kecil. Dia juga yang mengajari Gita belajar. Namun semua itu berubah saat Satria beranjak dewasa. Dia terlalu sibuk dengan kuliah.Keadaan rumah Gita tambah parah ketika Satria memimpin demonstrasi mahasiswa. Siapa sangka yang dia gugat adalah ayahnya sendiri. Tentu saja keadaan ini membuat ayahnya murka. Dia menarik semua fasilitas dan uang yang diberikan kepada kakaknya dicabut. Hingga akhirnya kakaknya memutuskan untuk pergi dari rumah."Kamu yakin ga akan pulang?" tanya Putri. Dia adalah sahaba
Tangan Bima yang besar mulai menuju arah Gita. Dia sedikit ketakutan namun tidak membantah. Akhirnya tangan Bima menyentuh rambut hitamnya. Dielus rambut tersebut sambil berkata, "besok kita mulai belajarnya. Sekarang kamu istrihat aja dulu. Besok aku jemput."Gita masih terpaku di sana. Bahkan sampai Bima keluar ruangan. Dia menyentuh dadanya. Jantungnya terasa berdebar dengan cepat. Meskipun disentuh sedikit itu membuatnya nyaman. Mulai timbul ragu dalam hatinya, haruskah dia membiarkan guru les menyebalkannya itu mengajarinya?Dia kemudian berlari ke cermin di kamar. Dia melihat wajahnya yang kemerahan di pantulan cermin. Baru kali ini dia melihat wajahnya yang demikian. Mungkin itu bukanlah hal yang buruk. Begitulah yang ada di pikirannya.***Esoknya Gita masih duduk di kantin. Teman-temannya heran melihatnya. Seakan dia menunggu seseorang. Gita juga berpenampilan beda hari ini. Dia menggunakan pemerah bibir saat keluar kelas."Menunggu siapa
Keesokan paginya Bima termenung. Dia mendapatkan chat dari muridnya yang keras kepala tersebut. Namun yang berbeda chat tersebut berisikan "Jangan datang!". Kemarin Bima yakin sekali bahwa Gita sudah membuka hati untuknya, tetapi mengapa kini gadis itu kembali menutup hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah Gita. Entah mengapa dirinya penasaran dengan gadis itu. Sesampainya tiba di kediaman Gita. Bima melihat mobil hitam melintas keluar. Diikuti oleh beberapa mobil ajudan. Bima menyangka bahwa itu mobil ayah Gita. Bima mengetahui bahwa ayahnya berprofesi sebagai anggota DPR tingkat nasional. Dia memarkirkan kendaraannya di dalam. Kemudian bergegas langsung ke pintu rumah. Bima pun membawa sekotak coklat agar Gita kembali luluh. Ting tong Bel dibunyikan, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bima mencoba untuk membunyikan kedua kali. Batinnya ragu, 'apa tidak ada orang?' Tidak lama kemudian pintu dibuka. Bukan Gita yang ada di sana na