"Aku ingin membuat kesepakatan!"
Bima melonggo. Gadis kecil di depannya benar-benar tidak bisa ditebak. Dia mau membuat kesepakatan layaknya orang dewasa. Tentu saja Bima hanya melihatnya sebagai gadis SMA biasa pada waktu itu. "Maksudnya?"
"Aku ingin buat kesepakaatn dengan kakak," ulangnya. "Aku ga mau belajar. Tapi kasian juga kakak kalau sampe pulang ga ada hasil. Mungkin kakak butuh uang."
Telinga Bima panas mendengar perkataan Gita. Dia kini melihat karakter seorang gadis kaya raya yang sombong. Memang benar dia butuh uang karena ayahnya telah tiada. Namun bukan berarti gadis ini bisa berbicara seenaknya.
Sayangnya Bima hanya bisa diam sambil memendam kekesalan dalam hati. Dia ingat orangtua Gita lah yang memberikan biaya besar untuk membantu keuangan keluarganya. Dia tidak boleh bertindak gegabah. "Apa yang mau kamu lakukan jika tidak belajar?"
"Aku ingin nilaiku jelek!" ucapnya.
"Tidak bisa!" bantah Bima. "Aku kesini untuk membantumu
Esoknya Gita berniat untuk tidak pulang. Dia ingat ayah dan ibunya sedang dinas di luar kota. Tentu saja semua itu dia lakukan agar Bima tidak bertemu dengannya. Dia mulai menganggap guru lesnya itu pengganggu. Semakin sering Bima mengunjunginya semakin kecil kemungkinan kakaknya akan pulang.Gita sangat menyayangi kakaknya. Baginya kakaknya adalah segalanya. Di saat kedua orangtuanya sibuk bekerja, Satria yang selalu menemaninya. Satria adalah siswa berprestasi sejak kecil. Dia juga yang mengajari Gita belajar. Namun semua itu berubah saat Satria beranjak dewasa. Dia terlalu sibuk dengan kuliah.Keadaan rumah Gita tambah parah ketika Satria memimpin demonstrasi mahasiswa. Siapa sangka yang dia gugat adalah ayahnya sendiri. Tentu saja keadaan ini membuat ayahnya murka. Dia menarik semua fasilitas dan uang yang diberikan kepada kakaknya dicabut. Hingga akhirnya kakaknya memutuskan untuk pergi dari rumah."Kamu yakin ga akan pulang?" tanya Putri. Dia adalah sahaba
Tangan Bima yang besar mulai menuju arah Gita. Dia sedikit ketakutan namun tidak membantah. Akhirnya tangan Bima menyentuh rambut hitamnya. Dielus rambut tersebut sambil berkata, "besok kita mulai belajarnya. Sekarang kamu istrihat aja dulu. Besok aku jemput."Gita masih terpaku di sana. Bahkan sampai Bima keluar ruangan. Dia menyentuh dadanya. Jantungnya terasa berdebar dengan cepat. Meskipun disentuh sedikit itu membuatnya nyaman. Mulai timbul ragu dalam hatinya, haruskah dia membiarkan guru les menyebalkannya itu mengajarinya?Dia kemudian berlari ke cermin di kamar. Dia melihat wajahnya yang kemerahan di pantulan cermin. Baru kali ini dia melihat wajahnya yang demikian. Mungkin itu bukanlah hal yang buruk. Begitulah yang ada di pikirannya.***Esoknya Gita masih duduk di kantin. Teman-temannya heran melihatnya. Seakan dia menunggu seseorang. Gita juga berpenampilan beda hari ini. Dia menggunakan pemerah bibir saat keluar kelas."Menunggu siapa
Keesokan paginya Bima termenung. Dia mendapatkan chat dari muridnya yang keras kepala tersebut. Namun yang berbeda chat tersebut berisikan "Jangan datang!". Kemarin Bima yakin sekali bahwa Gita sudah membuka hati untuknya, tetapi mengapa kini gadis itu kembali menutup hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah Gita. Entah mengapa dirinya penasaran dengan gadis itu. Sesampainya tiba di kediaman Gita. Bima melihat mobil hitam melintas keluar. Diikuti oleh beberapa mobil ajudan. Bima menyangka bahwa itu mobil ayah Gita. Bima mengetahui bahwa ayahnya berprofesi sebagai anggota DPR tingkat nasional. Dia memarkirkan kendaraannya di dalam. Kemudian bergegas langsung ke pintu rumah. Bima pun membawa sekotak coklat agar Gita kembali luluh. Ting tong Bel dibunyikan, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bima mencoba untuk membunyikan kedua kali. Batinnya ragu, 'apa tidak ada orang?' Tidak lama kemudian pintu dibuka. Bukan Gita yang ada di sana na
"Hari ini mau makan di mana?" tanya Gita. Dia menggelayut manja di lengan guru lesnya tersebut. Sejak peristiwa malam itu mereka jadi sering bertemu satu sama lain. Setiap hari Bima menemui Gita dengan alasan belajar. Namun seperti biasa mereka mencuri-curi kesempatan untuk saling cium satu dengan yang lain. Bima terlihat berfikir keras. "Kalau semua jawabanmu benar. Aku akan memberikan hadiah." Gita tersenyum gembira. Dalam benaknya, dia menyangka jika hadiah yang diberikan oleh Bima adalah sekotak es krim ataupun berjalan-jalan malam hari. "Boleh!" Selembar soal diberikan kepada Gita. Hari itu mereka sedang belajar matematika. Gita dengan antusias mengerjakannya. Sebetulnya dia adalah anak yang pintar, namun keadaan rumahnya yang berantakan membuatnya menjadi seperti ini. Dia hanya menginginkan perhatian dari orang lain. Bima melihat wajah Gita yang serius mengerjakan soal. Baginya wajah Gita sangatlah manis. Namun seperti halnya laki-laki pandangan
Hari ini Bima masih mengajari les Gita. Namun dia melihat tatapan yang lesu dari gadis itu. Dirinya bingung, bukankah kemarin dia berwajah ceria. Akhirnya Bima memutuskan untuk bertanya, "Ada masalah?"Gadis itu menggeleng. "Engga ka.""Terus kenapa?" tanya Bima.Gita enggan berbicara. Tidak mungkin dia memberitahu perihal dirinya yang cemburu. Memang siapa dia? Cemburu dengan pacar orang lain. "Cuman cape aja kok.""Hmm!" Bima menyilangkan tangannya. Dia berfikir bagaimana membuat gadis itu tersenyum kembali. "Mau jalan-jalan?"Dia menggeleng. Membuat Bima tambah resah akhirnya. "Gimana kalau kita-!"Prang...Belum selesai Bima meneruskan ajakannya. Terdengar suara benda pecah dari luar. Keduanya nampak terkejut. Gita yang mengerti akan situasinya langsung mengalihkan muka. Dia tahu orangtuanya sedang bertengkar satu sama lain. Mereka akan mulai saling menyalahkan.Bima bangkit berdiri. Namun lengan Gita mencegahnya. Dia membe
Amara menaruh kembali ponselnya. Wajahnya terlihat kesal. Della yang memperhatikannya sedari tadi mendadak bingung. Dia kemudian bertanya, "Kenapa? Bukannya happy udah teleponan.""Yang angkat buat dia," ucap Amara.Della menjadi penasaran. "Siapa? Gita?" Amara sendiri sudah memberitahukan semuanya kepada Della. Sehingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka."Diana." Amara menyebut nama Diana dengan nada kesal."Jangan-jangan mereka balikan." Della mencoba memanas-manasi. "Kata kamu waktu itupun Satria milih buat anter Diana kan."Amara hanya diam. Dalam hatinya pun cemas. Namun jika memang mereka balikan, dia menganggap itu karmanya. Karma karena mempermainkan perasaan Satria.Della kemudian mengusap punggung sahabatnya tersebut. "Mau dia sama siapapun ga penting bagi kamu, yang penting sekarang kamu lulus dengan nilai baik. Sayang kan selama ini cumlaude karena cowo doang sampe ga lulus."Tersungging senyum kecut di bibir Amara.
Tanpa basa-basi, Satria langsung menuju ke kediamannya. Saat itu hujan sudah turun. Dia menerobos motornya melewati jalanan yang basah dan dingin. Hanya satu yang ada di pikirannya saat itu, Gita.Beberapa lama kemudian, Satria sampai ke kediamannya. Dia langsung menuju bagasi. Terlihat kendaraan milik orangtuanya tidak ada di sana. Kemudian dia naik ke lantai atas untuk sampai ke kamar adiknya.Tok.. tok.. tok...Gita membuka pintu kamar. Satria melihat dia menangis, karena matanya yang sembab. "Kamu kenapa?""Gapapa kak," ucapnya sambil tersenyum kecut."Bener gapapa?" Satria terlihat sangat khawatir. Dia membelai rambut adiknya. "Kalau gapapa kenapa nangis?""Aku baru bangun tidur ka," ucapnya. Dia menyenderkan kepalanya di bahu Satria. Tersungging senyum hangat dari bibirnya. "Kakak memang yang terbaik."Dielus rambut hitam legam milik Gita. "Kamu kagetin loh, tau-tau chat kaya gitu.""Kak!" panggilnya. Satria melirik. Dia
Gita membuka matanya lagi. Setelah hanyut dalam kenangan lama. Dia memikirkan tindakannya saat menelpon Amara. Benar, Gita sengaja menelpon Amara agar membuat hubungan mereka rusak. Dia ingat esoknya Bima menghubunginya. Dia langsung mendatanginya ke rumah."Kamu menelpon Amara?" tanya Bima. Gita bisa melihat raut wajahnya yang kesal.Agar Bima tidak marah, dia memasang wajah polosnya. "Kakak marah? Maaf aku cuman pengen kenal aja sama pacar kakak."Bima diam. Dia tidak merespon. Dalam hati dia kesal, serta takut Amara akan curiga. Hubungan mereka baik-baik saja. Amara tidak perlu tahu."Aku minta maaf ka!" ulang Gita.Bima yang mendengar permintaan maaf tersebut akhirnya menghela nafas panjang. "Iya gapapa, biar dimaafin boleh kakak minta hari ini?"Gita mengangguk. Dan kembali tersadar di masa kini. Dia ingat itulah pertama kalinya Bima tidak menggunakan pengaman. Dengan alasan agar dimaafkan olehnya. Gita kemudian tertawa dengan ker
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"