“Papa??!!!”
Gita terlihat pucat pasi. Bukankah Papanya sedang ada rapat hari ini. kenapa bisa pulang cepat? Sementara dia melihat dirinya yang tanpa busana. Bagaimana cara dia menjelaskan ke papanya. Bagaimana jika Papanya membencinya? Kemudian membuangnya? Semua itu terlintas dalam benaknya.
Bima yang melihat Gita panik, ikut panik juga pada akhirnya. Dia harus mencari tempat untuk bersembunyi atau nyawanya akan terancam. Ayah mana yang akan diam saja jika anaknya kepergok berduaan dengan laki-laki lain. Apalagi dia tidak menggunakan busana satu helai kain pun.
Akhirnya Bima memberikan kode kepada Gita untuk memakai busana dengan cepat serta keluar pintu kamarnya. Gita yang mengerti akan kode dari Bima mengangguk dan dengan cepat melakukan semuanya.
Tidak lama kemudian pintu kamar dibuka. Gita keluar dari kamar dan segera menutup pintu. Wajahnya terlihat gugup. Sementara sang ayah sedang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya.
“A
Jangan lupa menekan tanda + untuk menambahkan cerita ke libraary kalian ya! ditunggu juga komentarnya untuk cerita Finding The Sun
“Dimakan buahnya jangan malu-malu!” Kata Mega sambil menyodorkan buah bingkisan Diana kepada Amara.Amara hanya tersenyum sambil menolak. Dia merasakan tatapan tidak enak dari Diana jika dia berani mengambil buah tersebut. Sejak awal kedatangannya Diana memperlihatkan wajah tidak senang. Amara sendiri kaget karena tidak menyangka Diana akan datang ke rumah sakit tempat Satria dirawat. Ada sedikit rasa khawatir dari diri Amara, apa jangan-jangan Diana selalu bertemu dengan Satria di sini?“Tante gatau kamu kenal sama anak tante sampe jauh-jauh jenguk kemari.” Kata Mega.“Iya tante, saya memang berniat menjenguk pulang makan siang. Namun ada sedikit kendala.” Kata Amara sambil menatap Diana.Diana yang tidak terima ditatap demikian, balas menatap Amara dengan tatapan sama angkuhnya. Bagi Diana seharusnya Amara tidak bertemu lagi dengan Satria jika memang dia tahu malu. Namun ternyata Amara tetap mendekati Satria, tentu sa
Amara menemukan Bima. Dia sudah terkapar terkena efek jahat dari minuman beralkohol. Melihat Bima dalam keadaan mabuk, Amara hanya bisa mengelus dada. Ternyata benar, Bima kembali kepada kebiasaan lamanya. Rey hanya melihat Amara sambil cekikikan. Sejak awal mereka memang tidak terlalu akrab, Rey menilai Amara terlalu kaku dan Amara menilai Rey terlalu bebas.“Bima pake apa ke sini?” Tanya Amara.“Dia bawa mobilnya kok. Bawa aja.” Kata Rey.“Ga dianterin kamu?” Tanya Amara.“Dan gue harus ninggalin cewe yang gue boking? Ga deh. Kan ada lu. Anterin aja sana.” Kata Rey kemudian pergi.Amara hanya bisa melongo melihat Rey pergi. Menyisakan Bima yang setengah sadar sambil tertawa cekikikan di sana. Amara sebetulnya kecewa. Dia tidak tahu sebetulnya sudah berapa lama Bima diam-diam pergi ke tempat semacam ini di belakangnya. Memuakan memang!Akhirnya Amara membopong Bima keluar dari club malam terse
Gita memperhatikan foto itu baik-baik. Tidak salah lagi dia Amara. Orang yang Gita telepon agar membuatnya jauh dari Bima. Orang yang pernah ada di hati Bima, bahkan mungkin hingga sekarang. Orang yang membuat Bima memiliki perjanjian dengan Gita.“Kenapa?” Tanya Gita.“Kenapa apanya de?” Tanya Satria tidak paham.“Kenapa dia?” tanya Gita.“Kenapa dia? Kamu kenal memang de?” Tanya Satria.“Engga.” Jawab Gita setengah jujur. Memang dia tidak pernah mengobrol langsung dengan Amara, namun bukan berarti sepenuhnya dia tidak mengenal Amara.“Kamu gasuka?” Tanya Satria.“Mending sama ka Diana aja. Aku ga suka sama dia!” Jawab Gita singkat kemudian keluar kamar.Satria hanya melihat adiknya yang keluar kamar dengan kesal. Baru kali ini Satria melihat Gita tidak setuju dengan wanita pilihannya. Apakah memang Amara tidak baik untuknya?***
Amara memasuki secangkir kopi. Langkahnya berat saat ini. Dia akan memberitahukan semuanya. Soal hubungannya dengan Bima, dan soal dia yang menembak Satria hanya untuk pelampiasan. Baginya semua salah Gita, jika wanita tersebut tidak ada maka semuanya tidak akan terjadi. Meskipun begitu Amara tahu jika Bima pun ikut andil. Namun kenapa? Kenapa sampai hari ini dia tidak bisa membenci lelaki sialan itu. “Ka Amara?” Bunga,rekansatukerjaSatriamenyapanya. “Hai!” Balas Amarad
“Benar ya?” Tanya Gita lagi.Hatinya senang sekali. Entah mengapa ada kepuasan tersendiri karena berhasil membuat Bima bersamanya. Namun dia sengaja mengatur mimik mukanya agar terlihat sedih.“Akubukanpenyebabkakakputuskan?” Tanya Gita.
“Amara?”PanggilDellalembut.Della kesal, Amara terus menerus bengong sedari tadi. Mereka berdua janjian mengunjungi perpustakaan kota hari ini. Sebagai mahasiswa semester akhir, bukan saatnya bagi mereka untuk main-main lagi. Mereka harus lulus tahun ini. Bagaimanapun lulus telat pasti dianggap memalukan bagi angkatan mereka.Namun sayangnya semua itu tidak berjalan dengan baik. Amara yang mengajak Della untuk mengunjungi perpustakaan, namun dia hanya bengong sedari tadi. Della
Gita keluar klinik dengan wajah yang pucat. Banyak yang terlintas dalam benaknya kini. Bagaimana dengan dirinya? Bagaimana dengan masa depannya? Bagaimana dengan Bima selaku ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya. Dia ingin menangis namun tidak bisa. Akhirnya dia memilih untuk duduk di kursi depan klinik. Ada pikiran bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya. Punya anak di usia sekarang? Mana sanggup. Pikirannya kacau, hati kecilnya merasa bahwa janin di dalam kandungannya harus dia besarkan. Namun pikiran jahatnya menginginkan bahwa janin ini harus dibuang berapapun harganya. Dia tidak sanggup pulang dalam keadaan malu. Dia takut untuk pulang ke rumah.
Amara mundur beberapa langkah. Dahulu mungkin Bima adalah orang yang paling ingin ditemuinya. Dahulu Bima adalah pusat kehidupannya. Namun kini? Ada rasa muak yang tergambar jelas dalam wajah Amara. Bisa-bisanya laki-laki yang mempermainkan hidupnya itu kini dengan wajah tanpa berdosa datang ke kosan Amara.“Mauapa?” Tanya Amarasinis.Bima tersenyum mengejek di depannya. Entah apa yang Bima pikirkan, yang jelas Amara ingin lelaki kurang ajar tersebut secepatnya pergi dari sana.
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"