Hoaren menyeringai memandangi Huang yang begitu kesal terhadapnya dan masih berdiri di dermaga bersama Feng.“Bodoh!” umpatnya.Dan ketika dia berbalik, seorang anak buah kapal memergokinya yang menumpang secara gelap di kapal besar tersebut.“Hei, kau tidak seharusnya―”Sang awak kapal terdiam ketika Hoaren dengan cepat memperlihatkan satu tael emas di depan wajahnya.“Apakah ini cukup untuk membuatmu tutup mulut?” Hoaren menyeringai. “Hmm?”Bola mata sang awak kapal membesar dan Hoaren tahu pasti bahwa ABK yang satu ini sangat tergoda pada satu tael emas di tangannya.“Simpanlah dan aku tidak akan mengatakan pada siapa pun tentang ini!”“Te-Terima kasih, Tuan Muda,” ujar sang awak kapal seraya menerima satu tael emas itu dengan tergesa-gesa, dan menyimpannya ke balik pakaiannya. “A-Akan saya atur satu kamar untuk Anda nanti.”Hoaren menepuk-nepuk bahu sang awak kapal. “Bagus, bagus, itulah yang aku harapkan!” ujarnya. “Sekarang, aku ingin melihat-lihat dulu seisi kapal ini.”“Si-Sil
Guru Ma tidak ingin menikmati makan malam di geladak sebab angin laut di malam hari yang lumayan kuat. Jadi, He Hwan memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan makanan bagi Guru Ma yang vegetarian di kamarnya saja.“Guru, silakan,” kata He Hwan yang dia sendirilah orang yang menghidangkan makanan bagi si Guru Besar. “Semoga Guru suka dan menikmati makanan ini.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum. “Tuan He, Anda tidak saja dermawan tapi juga budiman. Terima kasih, semoga apa pun yang Anda cita-citakan dalam hidup mendapat keberkahan dari langit.”He Hwan tersenyum lebar. “Terima kasih atas doa berkatnya, Guru. Silakan, mari dinikmati.” Dia melirik pada Daiyun. “Guru Kecil, Anda juga, mari silakan.”“Shan cai, shan cai,” ucap Daiyun. “Terima kasih banyak, Tuan He.”“Tuan He.”Si pemilik kapal yang akan keluar dari kamar itu memutar badan. “Guru, Anda membutuhkan sesuatu?”Kembali Guru Ma tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Hanya saja, apakah Nona Huang dan Tuan Muda Feng masih di kamarnya?”He
Di dalam kamar mereka, Feng duduk di atas sebuah peti panjang yang lebih berfungsi sebagai penyimpan pakaian atau barang bawaan penumpang, di sisi kiri dari pintu.Huang melepas lapis pertama pakaiannya, pakaian yang didominasi warna merah dengan sulaman benang emas di beberapa sisinya.“Kakak!”Feng mengangkat wajah dan meliri pada sang kekasih, di arah kanan dari pintu.Huang juga melirik sang kekasih dari ujung bahunya. “Apakah engkau tidak merasa aneh pada Guru Ma tadi?”Feng tersenyum dan menghela napas lebih dalam. “Aneh seperti apa yang engkau maksudkan, Adik?”Huang mengendikkan bahunya. Lalu melepaskan pakaian lapis kedua yang di dominasi oleh warna putih.“Entah kenapa,” ujarnya seraya menggantungkan pakaiannya itu pada gantungan yang menempel di dinding. “Aku merasa bahwa Guru Ma menyembunyikan sesuatu dari kita.”Feng mendesah halus dan kembali tertunduk. Masalahnya, sang kekasih kini hanya memakai pakaian lapis terakhir saja di tubuhnya, dan itu cukup tipis untuk dapat me
“Tuan Muda,” sapa seorang anak buah kapal pada Hoaren.Zhou Hoaren sedang berdiri di dekat haluan kapal, seolah menikmati pemandangan matahari tenggelam di sisi kanannya.“Ini arak yang Anda minta,” sang ABK menyodorkan satu kendi kecil pada Hoaren.“Ah, ini yang sangat aku butuhkan sekarang,” Hoaren menerima kendi itu dan langsung mereguk isinya. “Sempurna!” ujarnya. “Angin senja kali ini terasa lebih sejuk, kurasa udara malam akan lebih dingin lagi.”“Sekarang memang di ujung musim penghujan,” kata si ABK. “Hmm, Tuan Muda?”“Ya?” Hoaren melirik pada awak kapal yang telah dia suap tersebut. “Apa lagi yang kau inginkan?”“Tidak,” sang ABK tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan, hmm, apakah Tuan Muda merasa jenuh?”Hoaren terkekeh dan kembali mereguk arak di dalam kendi hingga wajahnya sedikit memerah.“Itu tidak perlu lagi dipertanyakan,” balasnya. “Beberapa hari di atas kapal, membuat tubuhku terasa pegal-pegal. Terlebih lagi, di kapal ini kalian tidak menyediakan perempuan. Apa yan
“Kakak,” ujar Huang, “Kau dengar itu?”Feng mengangguk. “Guru Ma!”Keduanya bergegas bangkit dan keluar dari kamar dengan membawa pedang masing-masing. Meski kapal terombang-ambing oleh gelombang laut yang besar, namun keduanya masih dapat mengimbangi langkah mereka.“Guru Ma! Guru Ma!” Feng mengetuk-ngetuk pintu kamar sang Biksu Besar. “Guru Ma, ini saya, Feng!”Pintu terbuka dan wajah Daiyun menyapa keduanya.“Tuan Muda Feng,” ucap sang biksu muda. “Nona Huang, masuklah!”Feng dan Huang menemukan bahwa Guru Ma duduk di atas dipannya sembari bersemadi, dia jauh kelihatan lebih tenang dibanding mereka bertiga.Muda-mudi saling pandang. Sepertinya tidak banyak yang harus mereka khawatirkan terhadap Guru Ma.“Daiyun,” ucap Feng kemudian. “Tetaplah berjaga-jaga di sisi Guru Ma, aku dan Adik Huang hendak melihat ke atas!”Daiyun mengangguk. “Shan cai, shan cai … Berhati-hatilah, Tuan Muda, Nona Huang, bajak laut biasanya tidak kenal belas kasih.”“Jangan khawatir,” Huang tersenyum. “Kami
Sang perompak tewas dengan lidah terjulur dalam cengkeraman mematikan Hoaren.Hoaren menyeringai dan menjatuhkan si perompak begitu saja. “Hmm, apakah aku harus menyamar menjadi bagian dari begundal-begundal ini?”Untuk sesaat, dia menjadi ragu akan rencananya semula. Bagaimanapun, Hoaren adalah tipikal manusia yang tidak mau terlihat kotor dalam berpakaian. Pakaian para bajak laut itu pastinya tidak sebersih yang dia kenakan, konon pula mewah.“Apa aku punya pilihan?” gumamnya seraya menatap mayat si perompak, lalu menyeringai tipis.Dan kemudian, dia menyeret mayat itu ke dalam sebuah kamar.Sementara itu, di tengah gelombang yang menggila akibat badai yang belum reda sama sekali, kapal dagang kedua dan ketiga juga telah hancur sebagian akibat serangan empat kapal bajak laut.Jerit tangis dan raung kematian tumpang-tindih di tengah deru angin yang setajam pedang. Kilat menyambar di sana-sini seakan membutakan mata, menutup jalan kebebasan. Dan petir yang sahut menyahut, tak berhenti
Zhou Hoaren bisa saja menghabisi semua bajak laut yang ada di satu kapal tersebut, dengan satu dan lain cara. Akan tetapi, jika dia melakukan hal itu, maka sudah dapat dipastikan dia akan tersesat di tengah lautan sebab dia yang tidak memahami navigasi laut.Jadi, dengan menyamar di antara para perompak, itu adalah lebih baik baginya. Meskipun dia tidak tahu sama sekali, ke mana para perompak itu berlayar.Enam kapal bajak laut akhirnya menghilang di tengah badai, meninggalkan puing-puing berserakan di permukaan laut, dan empat kapal dagang yang perlahan-lahan karam. Juga, dengan mayat-mayat yang terombang-ambing gelombang.Di atas kapal bajak laut itu, Hoaren selalu menghindar dari para bajak laut yang bergembira atas barang-barang jarahan yang mereka peroleh. Dia lebih banyak bertingkah seolah seorang perompak kelas rendahan yang hanya bertugas membersihkan kapal.Tentu saja, ini semua dia lakukan demi penyamarannya.Di satu titik di tengah-tengah laut yang masih berangin cukup kenc
“Di sini cukup indah dan sangat tenang,” Feng tersenyum pada Huang.Lagi pula, wajah sang kekasih yang ditimpa cahaya mentari pagi itu memang terlihat sangat cantik mempesona.Huang menatap wajah pemuda di sampingnya dan mendesah panjang. “Kakak Feng,” ujarnya, “kita tidak sedang berpelesir. Janganlah terlalu santai.”Sang pemuda menghela napas dalam-dalam. Dia hanya bermaksud untuk menghibur sang kekasih yang ia tahu suasana hatinya sedang tak keruan sebab mereka yang terdampar di pulau asing ini, sementara mereka tidak tahu di mana kini Hoaren berada.Dua anak buah He Hwan melangkah di depan mereka, terpaut kira-kira tujuh langkah.Mereka sudah menemukan dua rumah penduduk yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk panggung sebelumnya. Sayangnya, mereka tidak bertemu dengan siapa pun di kedua rumah sederhana tersebut.“Hei, lihat!” ABK yang di kanan menunjuk pada seorang nelayan yang sedang menarik sampannya ke pantai.ABK yang di kiri mengangguk. Dan keduanya bergegas menghampir
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n